Negara, Kekuasaan, dan Kapitalisme Militer: Dari Dwifungsi ke Sirkuit Akumulasi

465
VIEWS

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 20 Maret 2025 memicu gelombang kritik dan aksi protes di berbagai kota hingga hari ini. Padahal, selama proses revisi, masyarakat telah mengingatkan pentingnya keterbukaan sebagai prinsip dasar sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bukti ketertutupan tampak jelas dalam pertemuan tertutup DPR bersama Kementerian Pertahanan (Kemhan) di Hotel Fairmont Jakarta, yang ditandai dengan simpang siurnya keberadaan naskah akademik, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), dan draf terbaru UU TNI.

Sementara itu, RUU TNI awalnya tidak termasuk dalam 41 RUU Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas 2025 yang ditetapkan 19 November 2024. Namun, pemerintah kemudian mengusulkan RUU ini sebagai inisiatif baru melalui Surat Presiden Nomor R-12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025. Usulan tersebut disetujui melalui rapat paripurna DPR pada 18 Februari 2025.

Perubahan regulasi tersebut, alih-alih memperkuat kontrol sipil atas militer, justru membuka peluang lebih besar bagi TNI untuk terlibat dalam urusan produk kebijakan dan kepentingan birokrasi-sipil. Perluasan kewenangan militer di luar fungsi pertahanan, serta penempatan perwira aktif secara masif ke ranah sipil (de facto terutama selama rezim Joko Widodo), secara terang-terangan telah membangkitkan kembali ingatan kolektif dan arogansi maupun kejahatan dwifungsi ABRI sepanjang kekuasaan Orde Baru (Orba). Padahal, penghapusan dwifungsi ABRI di masa pemerintahan Gus Dur merupakan bagian dari enam tuntutan reformasi. Berbagai tuntutan tersebut meliputi: penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, amandemen UUD 1945, adili Soeharto dan kroni-kroninya, penghapusan dwifungsi ABRI, serta pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Jauh sebelum polemik RUU TNI mencuat, Antonio Gramsci dalam Selections from the Prison Notebooks (1971) telah memberfikan semacam alarm[1] bahwa negara tidak hanya mempertahankan kekuasaannya melalui dominasi (koersi), tetapi juga melalui hegemoni. Artinya, pengesahan misi terselubung RUU TNI sejatinya merupakan upaya melegitimasi ekspansi militer secara de jure ke berbagai sendi kehidupan sipil yang dikemas menggunakan alasan stabilitas nasional dan kepentingan strategis negara. Padahal, dalam negara demokratis yang sehat, prinsip supremasi sipil seharusnya menjadi pedoman hubungan antara militer dan pemerintahan. Mengutip ulasan Samuel Huntington dalam The Soldier and the State (1957)[2], sistem demokrasi militer mestinya tunduk pada otoritas sipil guna mencegah dominasi militer dalam urusan politik-kebijakan. Pemberian kewenangan bagi perwira aktif untuk mengisi jabatan sipil, sebagaimana diatur dalam RUU TNI, justru berpotensi merusak prinsip fundamental ini.

Dengan legitimasi hukum yang diberikan oleh DPR, kini TNI memiliki akses yang amat luas, mulai dari birokrasi, kebijakan, urusan ekonomi, hingga sektor-sektor strategis lainnya. Hal demikian tentu berlawanan dengan model demokrasi yang mapan, yang  mana militer seharusnya tidak memainkan peran politik atau administratif di luar tugas keamanan dan pertahanan negara. Bilamana peran TNI kian diperluas tanpa diimbangi kontrol yang ketat dari masyarakat, situasi negara mengalami arus balik model kekuasaan otoritarian dengan wajah dan wujud yang baru atau neo-Orba.

Neo-Militerisasi

Aksi tolak RUU TNI di Surabaya. (Sumber foto: Kompas.com/ANDHI DWI)

Persengkongkolan DPR dan Kemhan demi mempercepat pengesahan RUU TNI, mencerminkan kecenderungan meningkatnya militerisme dalam pemerintahan sipil di Indonesia amat sistematis. Walter Benjamin dalam On the Concept of History (1940) turut mempertegas[3 ] bahwa setiap kebangkitan otoritarianisme selalu bermula dari kegagalan demokrasi ketika mengontrol aparat kekuasaannya sendiri. Sebab militerisme bukan semata-mata soal dominasi angkatan bersenjata di sektor pertahanan dan keamanan, tetapi juga bagaimana perwira TNI aktif secara perlahan mereduksi kewenangan institusi-institusi sipil, kemudian mengganggu, ikut menunggangi dinamika elektoral dan produk kebijakan publik.

Contoh nyata terlihat pada pasal-pasal kontroversial seperti perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Penambahan frasa ini sangat berbahaya karena memperluas ruang bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil, dari sebelumnya terbatas pada 10 kementerian/lembaga menjadi 16. Ini membuka celah bagi perluasan pengaruh militer dalam birokrasi sipil yang seharusnya independen.

Perubahan Pasal 47 jelas semakin merusak pola organisasi dan jenjang karier ASN karena akan semakin memberikan ruang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia. Sebelumnya, Imparsial mencatat terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI. Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Hal ini mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karier ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang.

Ada pula penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Ketentuan ini terangan-terangan merupakan pandangan keliru sekaligus gambaran kemandekan upaya reformasi tubuh TNI. Militer dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk perang. Ini merupakan hakikat militer di negara manapun sebagai tertera di Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal itu menyatakan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif melalui pemilu dan jabatan politis lainnya.

Sudah sepantasnya tugas dan fungsi militer hadir guna menghadapi perang/pertahanan, merupakan kewajiban yang mulia dan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit. Sebab itu para prajurit TNI dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam pelbagai bidang, bukan berbisnis. Jadi tak dapat disangkal, kontroversi RUU TNI selain mengikis prinsip netralitas militer, lebih dari itu negara berupaya mensolidkan patronase politik di tubuh TNI sendiri. Dengan kata lain, pengesahan RUU TNI sengaja didesain untuk memperlebar sirkuit oligarki ekonomi-politik di pemerintahan.

Selain itu, pembenaran utama pengesahan RUU TNI yaitu bagian dari kebutuhan negara guna merespons ancaman keamanan nasional yang semakin kompleks. Isu terorisme, separatisme, dan konflik sosial yang kerap dijadikan alasan memperkuat peran militer. Namun, logika tersebut sangatlah problematik dikarenakan mengabaikan akar persoalan dari carut marutnya konflik yang bersumber pada ketidakadilan sosial dan kegagalan negara dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat.

Michel Foucault dengan paradigma governmentality-nya[4] menjelaskan, selayaknya negara modern, seringkali menggunakan narasi keamanan, kepentingan, dan kedaruratan sebagai alat memperluas kontrol terhadap masyarakat dan sumber daya. Berkaca dari kondisi Indonesia, alih-alih membangun sistem keamanan yang berbasis pada supremasi sipil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, revisi ini sebaliknya menunjukkan bila negara lebih memilih jalan koersif dengan memperbesar ruang dan manuver politik militerisasi dalam ranah-ranah sipil.

Gurita Sirkulasi Kapital

Di satu sisi, dinamika pengesahan RUU TNI tak lepas dari fenomena ekspansi kapitalisme militer di Indonesia, yang semakin menguat di sektor-sektor sipil sejak masa pemerintahan Joko Widodo. Sirkulasi ini merupakan ancaman serius terhadap ruh demokrasi dan supremasi sipil, serta distribusi kekuasaan di ranah pemerintahan. Kekhawatiran atas meningkatnya militerisasi di sektor politik-kebijakan memiliki dasar yang kuat. Bahkan sebelum RUU TNI disahkan, praktik penempatan perwira aktif ke jabatan sipil sudah menjadi koreksi khalayak publik.

Sebagaimana dikatakan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, ada sebanyak 4.472 prajurit TNI aktif yang sejauh ini menduduki jabatan sipil di sejumlah kementerian/lembaga. Data ini tentunya jauh lebih tinggi ketimbang dari Imparsial. Artinya, revisi tersebut sekadar operasi pelegalan praktik yang sudah berlangsung secara de facto. Selain itu, tahun 2024 laporan Global Fire Power (GFP) merilis, Indonesia mengalami peningkatan skor indeks militerisasi sebesar 0.2251 dan masuk dalam peringkat ke-13 dari 145 negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia dan pertama untuk Asia Tenggara. Hasil tersebut mengindikasikan ihwal dominasi kekuatan militer di panggung kekuasaan. Maka sudah barang tentu menjadi alarm bagi kualitas demokrasi kita yang terus mengalami pergeseran, atau meneguhkan status “demokrasi catat”.

Perluasan peran militer ke ranah birokrasi sipil tak semata memperlihatkan ancaman re-demokratisasi, melainkan memiliki implikasi struktural dan distribusi kekuasaan, maupun pengelolaan sumber daya, salah satunya dengan menunggangi Proyek Strategis Nasional (PSN). Bagaimana tidak, contohnya pada 6 Januari, ketika pemerintah memulai program Makan Bergizi Gratis (MBG), di banyak sekolah prajurit berseragam militer tampak membagikan makanan kepada murid-murid di ruang kelas, sementara para guru terlihat sebatas mengawasi. Pada 13 Januari, sejumlah aktivis mengkritik rapat koordinasi antara Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Pratama. Rapat itu membahas perkembangan PSN Rempang Eco City dan relokasi warga di Kepulauan Rempang, menurut laporan Tempo.

Kemudian pada 21 Januari, Prabowo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Regulasi ini kembali melibatkan TNI melalui pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang terbagi menjadi dua, yaitu pengarah dan pelaksana. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin ditunjuk sebagai ketua pengarah satgas itu, didampingi Panglima TNI Agus Subiyanto sebagai wakil ketua II. Sementara Kepala Staf Umum TNI, Richard Taruli Tampubolon, menjadi wakil ketua I tim pelaksana.

Berlanjut pada 3 Februari, Prabowo menghadiri Rapat Pimpinan TNI-AD. Dalam rapat, Prabowo meminta TNI terlibat aktif dalam program ketahanan pangan. Dua hari berselang, TNI-AD mengumumkan penambahan jumlah personel yang ditugaskan di 100 Batalyon Teritorial Pembangunan demi mendukung program-program swasembada pangan. Lalu tanggal 8 Februari, Agus Subiyanto mengerahkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) untuk mengawal penjualan LPG tiga kilogram hingga ke pengecer.

Prabowo dan Jokowi saat melaksanakan program lumbung pangan. (Sumber foto: Akun Twitter Resmi Kementerian Pertahanan)

Kemudian yang perlu digaris bawahi terutama adalah upaya memperlebar sirkuit kapital dengan menghapus pasal larangan berbisnis, setelah itu berselancar ke sektor keamanan di perusahaan milik swasta dan negara serta pengamanan proyek-proyek pemerintah. Penghapusan pasal ini dapat melegalkan dugaan Praktik Bisnis Keamanan yang selama ini terjadi, khususnya di sektor sumber daya alam. Sebut saja pengamanan PT. Freeport Indonesia di Papua, PT. Dairi Prima Mineral di Sumatera Utara, PT. Inexco Jaya Makmur di Sumatera Barat (2018), dan PT. Duta Palma, Kalimantan Barat (2024). Termasuk keterlibatan dalam perampasan tanah adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) oleh PTPN II di Sumatera Utara (2020), PSN Bendungan Bener, Wadas (2021), PSN Smelter Nikel CNI Group, Sulawesi Tenggara (2022), PSN Rempang Eco City, Batam (2023), hingga PSN Bendungan Lau Simeme, Sumatera Utara (2024). Penting ditegaskan, tanggung jawab untuk menyejahterakan prajurit adalah sepenuhnya di tangan negara, bukan tanggung jawab prajurit secara individu. Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus di dalam menyejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis, justru hal ini berpotensi mengganggu profesionalisme dan netralitas TNI.

Baca Juga:

Gambaran di atas tak sebatas gejala sementara, melainkan bagian dari pola yang lebih luas terhadap struktur ekonomi-politik yang disebut sebagai kapitalisme militer. Mengutip perspektif Hakim (2025), militer bukan hanya berperan sebagai alat pertahanan negara, di samping itu juga sebagai aktor ekonomi yang aktif mengakumulasi modal dan mengendalikan sumber daya. Lebih lanjut, melalui kapitalisme militer, Hakim berupaya menyoroti apabila militer di Indonesia telah membangun dan memperluas jejaring ekonomi dengan berbagai instrumen negara dan institusi sipil.

Bisa dipahami juga, akumulasi kapital oleh militer tak berhenti pada tataran dominasi perwira aktif di berbagai jabatan strategis pemerintahan, institusi militer itu sendiri telah merambah ke basis-basis perekonomian dengan berselancar menggunakan karpet BUMN, badan usaha milik militer, atau skenario bisnis lainnya yang difasilitasi oleh negara. Dengan demikian, praktik ini bagian dari drama perluasan sirkuit militer ke ranah ekonomi dan politik secara sistematis.

Alasan ini sekiranya sejalan sebagaimana uraian Ridha (2024), yang melihat keterlibatan militer pada arena sipil bukan fenomena politik belaka. Ini menjadi bagian dari strategi penguasaan sumber daya ekonomi oleh aktor-aktor militer dan kekuatan oligarki yang mendukungnya. Pengesahan RUU TNI seyogyanya meringankan alur segmentasi militer untuk mengakar dalam jaringan ekonomi-politik nasional melalui jalur birokrasi dan regulasi. Jika berangkat dari kondisi Orba maka tepat yang dijelaskan Pandu (2025), dibawa kediktatoran rezim Soeharto, bagaimana komando teritorial dijadikan alat utama menegakkan kepentingan kapitalisme negara. Struktur ini memastikan kontrol militer terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi, sumber daya alam, dan kebijakan publik.

Hingga pada situasi ini menjadi relevan gagasan Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005)[5], menyebut bilamana arus bernegara di era neoliberal selalu memperkuat aparatus represifnya untuk mengamankan kepentingan ekonomi-politik elite-elite penguasa. Berhubungan dengan latar RUU TNI, kepentingan elite kekuasaan yang dimaksud adalah perwira tinggi atau para Jenderal. Dikarenakan kepentingan RUU TNI selain melanggengkan kontrol politik, produk tersebut dipaksakan secara semrawut demi menjamin kesinambungan akumulasi kapital kelompok elite yang punya kepentingan atas proyek-proyek strategis di era Prabowo-Gibran.

Arus Balik Reformasi

Arogansi pengesahan RUU TNI selain cacat konstitusi, secara tak langsung telah mengancam hak-hak masyarakat kelas menengah hingga komunitas marjinal melalui wujud dan wajah yang berbeda dengan Orba. Misalnya, kekerasan struktural akan sangat berpotensi meningkat, terutama sehubungan dengan pengelolaan konflik sosial dan kebijakan keamanan dalam negeri. Dari banyak kasus, keterlibatan TNI atas implementasi PSN, serta represi terhadap gerakan sosial masyarakat baik di perkotaan hingga pedesaan, telah menjadi perhatian serius. Keadaan saat ini mencerminkan betapa mengakarnya militer bagi kepentingan penguasa, hingga dimensi ancaman atas kebebasan sipil pun makin krusial dan kompleks.

Pengalaman pahit di masa lalu kiranya telah memberikan peringatan keras dan refleksi mendalam bagi kita. Ekspansi ABRI ke pusparagam aspek kehidupan bernegara sejatinya melahirkan represi dan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap para aktivis, jurnalis, kaum buruh, dan kelompok oposisi, bahkan masyarakat pedesaan (petani) pun terkena imbas secara tragis. Militer pun ikut terlibat sebagaimana prahara 1965-1966 yang menghilangkan sekitar 3 juta nyawa, Operasi Militer dan Seroja di Timor-Timur (1975-1999), Tragedi Tanjung Priok di Jakarta Utara (1984) terdapat 79 orang yang tewas, Peristiwa Talangsari di Lampung (1989) terdapat 246 orang meninggal, Operasi Penembakan Misterius atau Petrus (1983-1985), Pembunuhan Marsinah (1993), hingga penculikan aktivis, Peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II (1997-1999) .

Pertanyaannya kemudian, dengan terbukanya ruang militer begitu luas, apakah kita sedang mengalami arus balik ke masa kelam dibawa seorang pemimpin bertangan besi selama 32 tahun? Revisi UU TNI pada dasarnya merupakan ancaman nyata bagi eksistensi supremasi sipil. Alih-alih memperkuat kontrol demokrasi atas militerisme, regulasi ini dengan penuh muslihat sudah membuka kotak pandora militeristik gaya baru (neo-militerisme) yang menggurita ke tubuh pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat. Reformasi 1998 yang diperjuangkan dengan keringat, darah, dan air mata seharusnya dijadikan refleksi guna memastikan militer digerakkan kembali ke barak dan tidak lagi mengendalikan dimensi politik hingga ekonomi. Meski hasil revisi yang digagas bersama DPR, menampilkan demokrasi yang setengah hati—sebuah kondisi di mana sipil masih tampak berkuasa, mustahilnya militer dengan gesit mengambil alih peran-peran strategis. Jika publik membiarkan negara memperluas aparatus koersifnya tanpa kontrol, lantas menutup mata terhadap jenderal-jenderal yang mengutak-atik kebijakan sipil, maka kita sedang menyaksikan negara bergeser menuju model Leviathan yang digambarkan Thomas Hobbes—negara yang absolut dan tak tersentuh oleh kehendak rakyatnya.

Catatan Kaki:


[1] Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers, 1971, hal. 12-13.

[2] Huntington, Samuel P. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1957, hal. 83.

[3] Benjamin, Walter. On the Concept of History. Translated by Harry Zohn, Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003.

[4] Foucault, M. (1991). Governmentality dalam G. Burchell, C. Gordon, & P. Miller (Eds.), The Foucault Effect: Studies in Governmentality (pp. 87-104). University of Chicago Press.

[5] Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press, 2005.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.