Pengantar Redaksi
“Islam moderat” menjadi istilah yang politis dan sarat kepentingan dalam penggunaan serta praktiknya beberapa dekade belakang. Ia menjadi salah satu ikon yang ditonjolkan oleh pemerintah Indonesia sebagai “identitas politik” untuk mengkonstruksi Islam versi lunak terhadap rezim berkuasa. Pengerangkaan ini secara kontradiktif “mendepolitisasi” atau menumpulkan Islam sebagai gerakan yang secara historis kerap menjadi basis perlawanan atas ragam praktik ketidakadilan struktural.
Dalam konteks Indonesia, organisasi masyarakat Islam telah lama turut memproduksi pengetahuan dan mengoperatori program yang ditujukan untuk mengarusutamakan konsep Islam Moderat. Di saat yang sama, konsep Islam Moderat juga menjadi “alat pukul” untuk kelompok radikal yang diterjemahkan sebagai kelompok masyarakat yang dinilai memiliki kepentingan berbeda dengan rezim berkuasa. Temuan menarik dari pemaparan diskusi ini ialah Islam moderat secara historis memiliki akar kerangka konseptual “wasathiyyah Islam” yang dipelopori oleh lingkaran intelektual Ikhwanul Muslimin–organisasi yang dalam konteks kontemporer Post-GWOT tidak dikategorisasikan sebagai “muslim moderat”. Buku pertama yang secara khusus mengusung tajuk ini berjudul “Wasathiyyah Islam” ditulis oleh Muhammad Muhammad al-Madani (1907-1968), seorang kibar ulama Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Konteks kolonialisme oleh Barat di wilayah Timur Tengah telah mendorong pewacanaan wasathiyyah terus bergulir di tangan para pemikir dan aktivis Muslim, termasuk mereka yang dianggap punya afiliasi dengan Ikhwan al-Muslimin. Namun, geopolitik di Timur Tengah kontemporer juga membuat wacana wasathiyyah ini bertransformasi menjadi konsep moderasi beragama (religious moderation, moderate Islam), terutama melalui Global War on Terror (GWoT) Amerika Serikat pasca kejadian 9/11, yang membuatnya tak terpisahkan dari wacana radikalisme/terorisme.
Perang global melawan teror telah menciptakan diskursus baru dalam politik global. Dunia seolah terbagi ke dalam dua kelompok dalam istilah “sekutu AS” dan “musuh AS”. Dalam konteks Islam, perang global melawan terorisme telah menciptakan kategorisasi baru bagi muslim, antara “muslim yang baik” dan “muslim yang buruk”, yang didasarkan pada subjektivitas liberal dan sarat kepentingan politik AS (Mamdani, 2002).
Beranjak dari akar diskursus Islam moderat yang dipelopori oleh kelompok yang dilabeli teroris, menarik untuk ditelusuri, bagaimana sebenarnya genealogi Islam moderat ini? Artikel berikut merupakan hasil transkripsi salah satu diskusi menarik yang penting dalam upaya mendudukkan dan menguji wacana Islam moderat. Diskusi ini diselenggarakan oleh Forum Questioning Narratives. Diskusi tersebut berupaya menelusuri konstruksi, genealogi, dan relasi kuasa yang mengitari wacana moderasi agama dalam lintasan sejarah, baik dalam dunia Muslim, konteks global, maupun lokal di Indonesia.
Pembicara
Asep Nahrul Musadad (Asep), dosen di UIN Sunan Kalijaga. Fokus risetnya pada studi Quran, dekolonisasi, dan sejarah Islam di Indonesia. Di sela-sela menulis disertasi terkait Islamicate occult sciences, Ia kini juga sedang menulis perihal diskursus Islam moderat di Indonesia bersama mitra peneliti lainnya.
Afifur Rochman Sya’rani (Afif), dosen di UIN Sunan Kalijaga. Fokus risetnya pada studi agama dan antar agama serta gerakan gender dan sosial.
Lien Iffah Naf’atu Fina, dosen di UIN Sunan Kalijaga dan mahasiswa doktoral UniversitasUniversitas Chicago.
Sawyer Martin French, mahasiswa doktoral University of Chicago.
Diskusi
Afif: Selamat datang di sesi diskusi kedua Questioning Narrative. Questioning Narrative (QN) merupakan forum dan wadah untuk belajar dan berdiskusi mempertanyakan (questioning) dan memikirkan ulang narasi-narasi yang kita terima secara apa adanya, tetapi sebenarnya menyimpan segudang kompleksitas yang perlu ditelisik lebih jauh. QN didirikan oleh Lien dan sekarang dikelola oleh saya dan Sawyer Martin French. Topik diskusi kita hari ini adalah moderasi beragama (religious moderation). Dalam konteks Indonesia, praktik dan wacananya telah bergulir sejak lama dan di-endorse oleh pemerintah dan menyebar di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Namun, wacana ini mengandung sejumlah kompleksitas. Ia menarik untuk ditelisik secara genealogis, dari mana asal ide moderasi beragama, dan bagaimana praktik dan wacana moderasi berkelindan dengan politik global sebagaimana dalam narasi “perang” Israel-Palestina. Israel, misalnya, menyebut muslim atau individu pro-Palestina sebagai ekstremis atau teroris. Oleh karenanya menarik untuk mempertanyakan bagaimana genealogi Islam moderat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan muslim moderat, dan apa wacana yang terkandung di dalamnya.
Kita akan berdiskusi lebih jauh mengenai bagaimana secara historis dan secara konseptual gagasan Islam wasathiyyah (Islam pertengahan/islam moderat) yang sebenarnya telah ditulis pada awal abad 20 oleh tokoh-tokoh muslim di Mesir yang banyak terafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin atau The Muslim Brotherhood, organisasi yang kini “dicap” sebagai ekstremis. Mas Asep, bagaimana sebenarnya sejarah dan genealogi “Islam wasathiyyah” dalam tradisi intelektual Islam? benarkah ia ditulis oleh sarjana Ikhwanul Muslimin? Seperti apa pemikiran mereka dan bagaimana konteks sehingga wacana tersebut hadir untuk meresponnya?
Asep: Terima kasih atas undangannya di forum yang saya pikir bisa memberi warna baru maupun mendobrak kebuntuan gerakan intelektual Islam hari ini. Sebagai disclaimer, paparan saya merupakan bagian kecil dari hasil penelitian kolaboratif bersama dua peneliti lainnya. Mohon maklum jika ada kekurangan. Penelitian ini tidak secemerlang judulnya, karena surveinya (ala tradisi riset di) Indonesia yang (misalnya) Januari mendapatkan pendanaan, Maret atau April harus mengirimkan laporan.
Saya akan memulainya dari genealogi moderasi beragama. Kita perlu tarik ke belakang dan mengakui bahwa (salah satu) genealogi “moderasi beragama” berasal dari pewacanaan wasathiyyah. Term wasathiyyah sangat terinspirasi dari al-Qur’an. Jika kita membaca tulisan intelektual muslim, semuanya akan merujuk al-Baqarah ayat 143, yakni:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Kata w-s-th disebut lima kali di dalam al-Qur’an dengan berbagai derivasinya. Saya akan membahas rasa bahasa wasath dan bagaimana transisinya menjadi “moderasi” yang tentu memiliki transisi linguistik/gramatikal dan transisi rasa. Dari rasa bahasa, kata wasath dalam bahasa Arab sebelum Islam, seperti kita lihat dari syair-syair Zuhair bin Abi Salma, dipakai sebagai kata untuk menegaskan posisi yang mustawal jawanib (memiliki sisi-sisi yang sama), ma lahu tarfani mutawasiyal qadr (sesuatu yang memiliki dua ujung dengan kadar yang sama) atau markaz al-dairoh (tengah-tengah lingkaran). Artinya, wasath adalah sesuatu yang ada di tengah secara fisik dan memiliki ujung yang sama dan seimbang. Akan tetapi, sejak awal kata wasath juga dipakai untuk mendenotasi (melugaskan) keadilan (al-‘adl). Sejak pra-Islam kita sudah punya legitimasinya, (bahwa wasath) tidak hanya tentang isu jalan tengah (atau) isu pertengahan saja. Terdapat rasa bahasa yang tidak boleh kita tinggalkan, yaitu al-’adl (keadilan). Selain al-’adl juga terdapat khoiriyyah (kebaikan). Jika kita memeriksa semua kitab tafsir terkait ummatan wasathan semua (hampir) menyepakati makna ummatan yang al-’adl (adil), al-khiyar (pilihan), khair al-ummah (umat terbaik). Ini adalah rasa bahasa yang tidak boleh kita nafikan dalam kata wasath.
Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan ummatan wasathan dengan tiga takwil, yakni al-’adl, al-khiyar, dan tawassuth. Pertama adalah umat yang adil. Jadi, the very idea of wasathiyyah, yang paling dasar adalah keadilan itu sendiri. Keadilan sejak awal merupakan makna bawaan secara linguistik dari wasathiyyah yang kemudian al-’adl itu diasosiasikan berada di tengah, mengetahui sisi kiri dan sisi kanan, mengetahui semua (aspek), sehingga (manusia dapat) menjadi syumul. Aspek syumul inilah yang memiliki keterhubungan dengan ideologi Ikhwan nantinya. Syumul dimaksudkan, karena mengetahui kondisi dan situasi segala sisi, baik kanan dan kiri, (manusia akan) memberikan hak-hak mereka (yang berada di kiri dan kanan dengan tepat) sehingga tercapailah syumuliyyah (kesempurnaan). Semua kitab tafsir akan membicarakan hal yang sama di level linguistik (soal wasatiyyah).
Selain para mufassir yang mengonseptualisasikan ummatan wasathan, al-Baqarah ayat 143 juga dipakai (sebagai) dalil dalam konteks kalam, fiqh, dan ushul fiqh. Kalau kita bertanya, siapa yg pertama kali “mengkonsepkan” wasath sebagai term teknis? Saya ingin mengatakan bahwa, Al-Quran sendirilah yang pertama kali menggunakan wasat sebagai technical term: ummatan wasathan. Akan tetapi, dalam perkembangan wacana intelektualisme Islam, term tersebut masuk ke dalam wacana kalam, fiqh, dan ushul fiqh. Misalnya dalam tafsir Ar-Razi dikatakan bahwa ayat ini menjadi legitimasi jumhur ulama sunni dan jumhur ulama mu’tazilah untuk melegalkan ijma’. Bagaimana rasionalisasinya? Ijma’ merupakan konsensus (umat) dan umat ini ialah umat wasath yang bermakna adil. Dalam ijma’ ulama terdapat ide adalatul ummah (keadilan umat). Umat yang adil berfungsi sebagai syuhada (saksi). Maka terdapat variabel kedua yg tidak bisa kita lewatkan, wasath harus dipasangkan atau dilengkapi dengan syuhada
Lien: Jadi “syuhada” adalah istilah setelah umatan washatan dalam ayat tersebut?
Asep: Betul. Jadi saya lihat bahwa ulama-ulama pra-modern selalu membingkai wasath tidak terlepas dari syuhada dia komplementer. (Perkembangannya) syuhada kemudian ditafsirkan sebagai (basis) legalitas ijma’. Umat yang adil menjadi saksi, saksi untuk legalitas ijma’ (yang lahir) dari ide adliyyah dan khoiriyyah. Wasath juga masuk dalam diskursus kalam. Ia menjadi dalil bahwa perbuatan hamba (merupakan) makhluqun (sesuatu yang diciptakan) – salah satu permasalahan yang terdapat dalam pokok perdebatan Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Di dalam diskursus yang lebih “canggih”, yakni ushul fiqh, tokoh seperti al-Syatibi (juga) menggunakan wasath untuk menjelaskan watak dari syariah. Menurutnya, syariat itu (berlaku dalam sebentuk hukum) ‘ala al-thoriq al-wasath al-a’dal” (berdasarkan prinsip proporsional/adil) ) sebagaimana terdapat dalam kitab al-Muwafaqat.
Di era modern, terdapat semacam pergeseran (dari penggunaan wasath). Pergeseran pertama dapat kita lihat dalam kitab tafsir Muhammad Abduh (dan Rashid Ridha), yakni al-Manar. (Pada dasarnya) makna wasat ialah khiyar dan adl tetap (seperti pemaknaan pada masa awal), tetapi Abduh menarik wasath lebih jauh sebagai device (perangkat), sebagai instrumen, atau alat untuk menjelaskan sikap Islam di hadapan Barat. (Dalam konteks tafsir Al-Qur’an) di kitab ini lah perluasan wasat (dilakukan) untuk pertama kalinya–sejauh yang saya ketahui. Abduh menjelaskan bahwa wasath adalah pertengahan antara dua sisi yang (menyangkut) falsafah manusia: antara materialisme dan spiritualisme. Menjadi muslim berarti berada di pertengahan antara materialisme dan spiritualisme. Materialisme oleh Abduh diasosiasikan ke Yahudi dan spiritualisme dihubungkan kepada Nasrani. Terdapat semacam intervensi isu-isu materialisme, yakni ruhiyyah dan jasadiyah, yang berimplikasi kepada makna wasat, (yakni) manusia itu (hakikatnya adalah) ruhaniyah dan jismaniyyah,,hayawanun wa malak (hewan dan malaikat) dalam saat yang sama. Fa Inna al-Insan jismun wa ruhun wa hayawanun wa malakun (sesungguhnya manusia itu [pada saat yang sama] adalah jasad dan ruh serta hewan dan malaikat) (insert arab dan translasi).
Setelah Abduh dan Ridha (Rashid Ridha) berhasil mengkristalisasi harakah pemikiran tajdid (yang telah berjalan) sejak awal abad 19–yang terhubung dengan al–Tahtawi, muncullah seorang intelektual di lingkaran Abduh, yakni Muhammad Muhammad al-Madani. Ia merupakan kawan karib Syaikh Syaltut yang merupakan Syaikhul Al-Azhar dan juga satu angkatan dengan Sayyid Quthb. Al-Madani menulis untuk pertama kalinya Wasathiyyah al-Islam–sependek pengetahuan saya dan juga diakui oleh Mohammad Hashim Kamali. Ia menjadi buku pertama yang menulis soal isu Wasathiyah, dikarang oleh Muhammad Muhammad Al-Madani yang tergabung dalam lingkaran Muhammad Abduh sekaligus juga tergabung dalam usaha reformasi Al-Azhar bersama Ahmad Mustafa Al-Maraghi yang menjadi rektor al-Azhar kala itu.
Lien: Asep, apa konteks khusus pada waktu itu sehingga muncul perkembangan makna wasath? Apakah ‘Abduh dalam Tafsir al-Manar menawarkan sebuah tafsir baru terhadap ayat ini? Karena biasanya ‘Abduh begitu, ia merespon konteks khusus pada waktu itu. Termasuk juga, mengapa al-Madani menulis kitab tersebut?
Asep: Mungkin ada beberapa kata kunci yang bisa kita telaah. Saya melihat di antara kata kunci penting baik di dalam bukunya al-Madani ataupun Abduh. Abduh menarik wasathiyyah dalam isu dualisme antara jasad dan ruh. Sedangkan (pada kasus) al-Madani terdapat kata kunci lain yakni fitrah. Saya melihat ini adalah upaya awal reformis di awal abad ke-20 dan akhir abad ke 19 untuk mendefinisikan kembali manusia muslim; manusia muslim di dalam “dunia yang baru”. Siapa kita? siapa fitrah kita? Kita telah kebanjiran pengetahuan dari Eropa, tetapi di satu sisi juga kita melihat kejumudan umat Islam, sebetulnya kita berada di mana? Jadi terdapat kata kunci fitrah itu dalam mendefinisikan on being muslim saat itu harus seperti apa.
Lien: Konsep fitrah juga sangat sentral dalam Ibnu Taimiyyah. Bisakah Asep cerita perihal kitab-kitab pasca al-Madani yang membahas konsep wasathiyyah dan bagaimana kita kemudian mengenal kitab wasathiyyah oleh Ibnu Taimiyyah? Apakah Ibnu Taimiyyah benar-benar menulis kitab itu ataukah judul tersebut (justru) diberikan oleh orang-orang yang membahas diskursus wasathiyyah di abad ke-20?
Asep: Saya kira, meskipun al-Madani ialah orang pertama yang menulisnya, kita perlu mencatat bahwa bukunya (baru) ditemukan pada tahun 80an/90an. Kita dapat melihat bagaimana al-Qardhawi (sejauh yang terobservasi saat ini) sama sekali tidak menyadari keberadaan buku ini di tahun 70-an ketika ia menulis wasathiyyah (sebagai karakteristik) Islam. Al-Qaradawi bahkan baru menyadari buku tersebut di tahun 2000-an. Yang ingin saya kisahkan, wasathiyyah setelah al-Madani justru ditangkap oleh arsitek intelektual Ikhwan (al-Muslimin)–dengan self-evidence yang kuat, sebelum (diasosiasikan) ke Ibnu Taimiyyah, sebelum ke sayap salafisme (dan kepada arus pemikiran lainnya). Akan tetapi, bahasanya berbeda; bukan (hanya diidentifikasi dengan) wasathiyyah, melainkan (juga) tawazun.
Pada saat yang sama, ketika al-Madani mengeluarkan Wasathiyyah al-Islam, Sayyid Quthb yang juga merupakan kawan satu angkatan dengan al-Madani, memiliki konsep tawazun. Tawazun, bagi Quthb, ditempatkan sebagai salah satu kekhasan konsep Islam. Terdapat satu genre yang menjadi pintu masuk wasathiyyah khas Ikhwan, yakni khasha’is. Khasha’is al-Tashawwur al-Islami merupakan buku yang ditulis oleh Sayyid Quthb pada 1960. Semangat yang diusung dalam penulisannya, kata Sayyid Quthb, ialah “salah satu persoalan dharuri (aksiomatik) saat ini, adalah merumuskan ulang khasha’is al-slam, konsepsi Islam dan komponen atau elemennya.” Sayyid Quthb menjadi intelektual Ikhwan pertama yang menjelaskan (secara partikular) khasha’is. Di antara khasha’is tersebut adalah rabbaniyyah dan syumul. Setelah elemen syumul, terdapat elemen tawazun. Sayyid Quthb menjelaskan tawazun kemudian juga menjelaskan wasath di sana. (Secara lebih detail) rabbaniyyah, tsabat, syumul, tawazun, ijabiyyah, waqi’iyyah dan tauhid ialah khasaish tasawwur al-Islam menurut konsepsi Sayyid Quthb.
Pada era 70-an–tepatnya 1977, al-Qardhawi menulis tentang Al-Khas’aish ‘Ammah li al-Islam. Genre yang sama dengan khasha’is karya Quthb. Namun, uraian al-Qaradawi memiliki modifikasi elemen khasha’is, yakni: rabbaniyyah, insaniyyah, syumul, wasathiyyah. Yang semula terdapat tawazun dalam konsep Quthb, al-Qaradhawi menggantinya dengan wasathiyyah. Setelah al-Qardawi, pada tahun 1983, Abdul Lathif Farfur, intelektual muslim Syiria, menuliskan perihal khasha’is dalam bukunya yang bertajuk Khasha’ish al-Fikri al-Islami. Tawassut menjadi salah satu elemen dalam konsepsi khasha’is Farfur. (Kecuali dalam konteks Farfur) dari sinilah kita dapat melihat bagaimana wasathiyyah berkembang dalam lingkar intelektual Ikhwan. Kelak di tahun 1990-an, al-Qardawi menulis Al-Ikhwan al-Muslimun wa Madrasah Hasan al-Banna yang menjelaskan bahwa ciri khas gerakan Ikhwan ialah tawazun dan al-wasathiyyah.
Afif: Menarik mengamati bahwa wacana moderasi (wasathiyyah) dikembangkan oleh aktivis-aktivis berlatar belakang IM. Bisa dijelaskan inti dari apa yang sebenarnya mereka wacanakan? Dan konsep wasathiyyah tersebut seperti apa? (28:05)
Asep: Berdasarkan apa yang saya pahami dan data yang saya kumpulkan selama ini, bisa saya katakan bahwa wasathiyyah versi IM saat ini adalah ekstensi pemikiran Abduh-Ridha. Ketika Abduh menarik wasathiyyah ke diskursus dualisme antara body & mind, antara jism & ruh, al-Madani kemudian berbicara mengenai fitrah. Dan Sayyid Quthb juga berbicara hal yang sama hanya saja di level yang lebih intelektual. Misalnya saja, ia menggunakan wasathiyyah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam “siapa kita?”, “siapa umat Islam itu?”, “Umat Islam itu umat yang merekognisi (mengakui) “masyi’atullah” (kehendak Allah) di satu sisi dan “masyi’atu al-insan” (kehendak manusia) di sisi yang lain”.
Intinya, (sependek yang saya pahami) narasi yang dibangun adalah kontra sekularisme. Itu yang pertama saya tangkap. Terdapat narasi kontra sekularisme yang luar biasa di dalam wacana wasathiyyah sampai di Sayyid Quthb. Sampai pada al-Madani, yang mana background-nya adalah Syariah, beliau adalah dekan Fakultas al-Syariah wa al-Qanun, maka wasathiyyah-nya selain anti-sekularisme, sebagaimana yang diwariskan Abduh (jism-ruh), dirinya memanfaatkan wasathiyyah untuk merevitalisasi atau penyegaran kembali isu-isu al-ahwal al-syakhsiyyah. Jadi al-Madani berbicara banyak mengenai hak-hak perempuan hingga relasi keluarga di masa modern, dan ini merupakan contoh pengaplikasian wasathiyyah di dalam fikih. Nah, oleh al-Qardhawi, diluaskan lagi bahwa wasathiyyah ada di dalam fikih, i’tiqad, politik dan di banyak dimensi lainnya. Saya kira (pewacanaan) wasathiyyah mengkristal di al-Qardhawi. Bisa dikatakan bahwa wasathiyyah adalah alat untuk mendefinisikan ulang “apa itu syariat Islam” hingga “seperti apa Islam bersikap di hadapan Barat pada waktu itu”, dan wasathiyyah adalah salah satu alatnya (30:40).
Lien: Ada tokoh bernama ‘Abdurrahman Habannaka al-Maidani, dan beliau merupakan teman seangkatan Ramadan al-Buti. Keduanya mondok di (madrasah) ayahnya ‘Abdurrahman di Damaskus. Lalu, pada tahun 60-an beliau pindah ke Arab Saudi karena waktu itu ayahnya anti pan-Arabisme. Pada waktu itu, di Damaskus ada Ba’ats (party) kemudian di Mesir ada (Gamal Abdel) Nasser. Pan-Arabisme, baik di Mesir maupun di Damaskus, dan negara-negara Arab lainnya, pada tahun 1967 bersama-sama menyerang Israel tapi kemudian kalah. Dan sampai pada tahun 60-an banyak terjadi persekusi terhadap kelompok Ikhwan di negara-negara seperti Mesir, Damaskus, dan lain sekitarnya. Mereka yang dipersekusi akhirnya ditampung oleh Arab Saudi yang waktu itu sedang menikmati uang minyak (yang melimpah). Mereka ingin membangun peradabannya dengan mendirikan banyak sekali kampus tapi tidak punya sumber daya manusia. Akhirnya, orang-orang Ikhwan seperti al-Qaradlawi, al-Ghazali, adiknya Sayyid Quthb (Muhammad Quthb), dan ada beberapa ulama tradisional yang dekat dengan (Ikhwan atau anti pan-Arabisme) pada waktu itu (juga) pergi ke sana (Arab Saudi).
Al-Maidani juga menulis kitab tentang wasathiyyah. Ada yang mengatakan bahwa al-Maidani bagian dari Ikhwan, tapi saya sendiri tidak berani mengatakannya secara eksplisit karena belum ada bukti validnya. Namun bagaimanapun al-Maidani punya training ulama tradisional. Di dalam bukunya, al-Maidani justru membahas wasathiyyah yang ditujukan untuk non-Muslim. Dia menulisnya untuk non-Muslim, bukan Muslim. Dia mengatakan bahwa Islam tidak seperti yang orang-orang Barat kira. Islam bukan agama kekerasan. Al-Maidani semacam hendak merespon sebuah asumsi yang saya kira telah berkembang sejak penjajahan, bahwa Islam adalah agama yang dekat dengan kekerasan. Apakah dalam kitab-kitab tersebut istilah wasathiyyah atau tawazun juga dipakai oleh para penulis kitab (tentang) wasathiyyah untuk merespon kritik Barat terhadap Islam yang diasumsikan suka (melakukan) kekerasan? Mereka (Barat) pasti memiliki trauma tersendiri terhadap kolonialisme karena yang berada di garda depan yang melawan kolonialisme adalah orang-orang Islam, dan banyak dari orang tarekat juga.
Kedua, al-Maidani menjelaskan bahwa Islam tidak benci Yahudi, tapi sikapnya tegas terhadap ketidakadilan. Saya merasakan bahwa narasi wasathiyyah di era-era ini, dan saya yakin bahwa al-Maidani menulis setelah 1967 khususnya pasca perang Arab, (merupakan) respon terhadap upaya Israel yang menyamakan terorisme [dengan) Palestina. Jadi, Palestina adalah teroris, dan terorisme adalah Palestina.
Pada tahun 1970-an Netanyahu menggelar konferensi anti-terorisme. Framing bahwa upaya Israel adalah perjuangan melawan terorisme memang sudah di-framing sejak awal. Saya menduga al-Maidani menulis (mengenai wasathiyyah) di waktu-waktu ini. Al-Maidani juga menulis di era-era pasca perang Arab, di tahun 1983 juga, tapi saya belum membaca kitab-kitab itu. Satu contoh, misalnya, al-Maidani mengatakan secara jelas bahwa umat Islam tidak membenci Yahudi-Kristen, tapi tetap tegas terhadap ketidakadilan. Ada juga kritik menarik dari al-Maidani, yang kurang lebih mengatakan “Kalian ini menuduh Islam sebagai agama yang suka kekerasan, tapi ini (sebenarnya) adalah cara (kalian) untuk menutupi kekejaman dan kekerasanmu ketika kolonialisme. Kok enak-enaknya kalian ngomong bahwa Islam adalah agama pedang?”
Kita belum ngomong tentang pergeseran ke moderasi. Menjadi menarik ketika term tersebut tiba-tiba dipakai justru untuk melegitimasi kerja-kerja “anti-teror” dalam pengertian yang khusus. Sawyer pada bulan Juni lalu juga menulis tentang isu-isu terkait di Maydan.
Sawyer: saya juga mau menambahkan pertanyaan sedikit untuk Mas Asep (37:00). Saya juga penasaran, tadi Mbak Lien menanyakan terkait konteks geopolitik internasional dan sebagainya yang melandasi isu moderasi dan wasathiyyah, saya penasaran ketika munculnya diskursus tersebut di Mesir atau di dalam Ikhwanul Muslimin apakah ada perkembangan politik tertentu yang mendorong diskursus tersebut berkembang pada saat itu? Karena saya sendiri tidak begitu paham dengan sejarah politik Mesir. Namun sejauh saya tahu bahwa pada waktu itu Ikhwanul Muslimin sangat direpresi oleh rezim Nasser dan Anwar Sadat berikutnya. Nah, apakah ada semacam upaya dari kubu Ikhwanul Muslimin sendiri untuk membuktikan “kita toh moderat”, “kita toh enggak ekstrimis”, karena kalau mereka dicap sebagai ekstremis-teroris, apakah wacana moderasi ini muncul sebagai jawaban terhadap tuduhan dari luar atau kah upaya untuk menavigasi politik Mesir dan geopolitik Timur Tengah pada saat itu. Kita melihat ada dua fase perkembangan wacana. Pertama, perkembangan wacana wasathiyyah. Kedua, ada fase wacana moderatisme beragama pasca kejadian bom di WTC (World Trading Center). Apakah keduanya dapat dianggap sebagai hasil dari dorongan dan faktor geopolitik juga?
Lien: Saya mau menambahkan (apa yang disampaikan) Sawyer dan juga menambah pertanyaan, kaitannya dengan apakah hal-hal itu sebentuk respon Ikhwanul Muslimin terhadap konteks lokal/regional waktu itu. Salah satu asumsi saya, bahwa perkembangan wacana wasathiyyah ini sekaligus merupakan respon terhadap tuduhan Eropa yang menganggap Islam sebagai agama pedang yang mana asumsi tersebut mendapatkan justifikasi di tengah perlawanan Palestina terhadap okupasi Israel, (i.e.) bahwa Islam adalah agama teroris. Dan Ikhwanul Muslimin juga punya hubungan erat dengan Hamas sebagai yang mendirikan, meskipun kedekatan itu terjadi agak belakang. Nah, jadi ada sebentuk upaya untuk merespon hal-hal tersebut, seperti tadi Sawyer yang mengatakan konteks Nasserism di Mesir, dan juga ada konteks isu Palestina-Israel. (40:00).
Asep: Saya akan memulai lebih dahulu dari pertanyaan apakah ada preseden (merespon tudingan Barat) seperti yang dilakukan oleh Syaikh Habnaka al-Maidani. Terkait apa yang dijelaskan Mbak Lien mengenai respon Habnaka yang seperti “talk back”, hal tersebut mirip sekali dengan apa yang dilakukan al-Madani. Saya bahas Al-Madani dulu. Jadi, al-Madani sebelum menjelaskan segala sesuatu, beliau terlebih dahulu menjelaskan bahwa “buku ini ditujukan; pertama, untuk umat muslim; dan kedua, untuk non-muslim”. Untuk umat muslim buku ini ditujukan agar mereka meyakini bahwa agama mereka adalah agama yang paling baik. Jadi, seolah-olah ada krisis kepercayaan, krisis eksistensi, dan semacamnya. Di sini al-Madani berupaya untuk menegaskan bahwa agama Islam adalah agama yang relevan di masa modern. Kedua, ditujukan untuk non-muslim agar mereka paham bahwa relasi kita, relasi Islam dengan mereka adalah relasi yang tasamuh dan birr. Jadi relasi muslim dengan non-muslim adalah relasi tasamuh, pandangan toleran dan kebaikan. Kedua, apa yang mereka anggap bahwa Islam adalah agama agresor dan destruktif (adalah) salah sama sekali. Buktinya tidak. Narasi yang dibangun al-Madani seperti itu. Mungkin, memang ada kemiripan dengan narasi Syaikh Habnaka, tapi mungkin dengan konteks yang berbeda. Saya menduga bahwa yang disasar oleh al-Madani adalah; pertama, citra Islam yang dibangun oleh orientalisme (pada dan) sebelum abad ke 19 untuk mendelegitimasi klaim-klaim seperti Islam agama pedang, agresor dan lain sebagainya (dinan hujumiyyan … hadiman mudmiran).
Untuk “talk back” seperti Habnaka, saya belum menemukan. Saya justru menemukan semangat “dekolonisasi pengetahuan”. Jadi wasathiyyah al-Madani mengkritisi mengapa syuhada’ kita saat ini sudah Eropa? Syuhada’ kita ini, sedikit-sedikit mengutip pemikir Eropa, kata pemikir Eropa, kata hakim Eropa dan lain seterusnya. (Jadi,) sudah ada upaya de-westernisasi, sudah ada kesadaran taghrib (pembaratan) ketika itu. Mungkin memang konteks Habnaka tadi mirip sekali dengan al-Madani.
Menanggapi Mas Sawyer tadi, saya memang harus mengakui bahwa ini lagi-lagi ada persoalan training. Training (studi) saya di Qur’anic studies, dan menulis tentang wasathiyyah, dan ini bebannya luar biasa. Memang saat ini yang sedang saya dalami adalah kompleksitas sejarah Ikhwanul Muslimin dan hubungannya dengan Mesir itu sendiri. Yang jelas berdasarkan yang telah saya lihat dari buku-buku mereka, misalnya, buku al-Qardhawi, di situ beliau jelas menyebutkan Nakba (sebagai salah satu latar dan prinsip wasathiyyah dalam merespon okupasi Palestina oleh Israel). Jadi, di dalam buku tersebut al-Qardhawi mereviu sejarah kebangkitan Islam dari harakah tajdid, kebangkitan sebelum abad ke-20, kemudian (sampai kepada apa yang) beliau istilahkan dengan shahwah. Shahwah sendiri adalah kebangkitan kembali umat Islam pada tahun 70an dan di situ secara eksplisit menyebut latar belakang shahwah adalah karena adanya perang Arab-Israel pada tahun 1967.
Lien: (44:35) sedikit menambahkan. Shahwah movement didirikan di Arab Saudi dan yang mendirikan adalah adiknya Sayyid Quthb (Muhammad Quthb). (Ia adalah) perkawinan antara Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme. Di bawah rezim saat ini, Prince Mohammad Bin Salman (MBS), pada 2017, semuanya (yang terlibat gerakan shahwah) ditangkap karena takut pengalaman Arab Spring (yang erat kaitannya dengan Ikhwanul Muslimin) terulang (45:06).
Asep: Syaikh Habannaka juga tergabung di dalam shahwah (?) Muhammad Quthb pun menulis soal wasathiyyah dan tawazun di al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Tidak mengherankan jika terdapat unsur-unsur puritanisme dalam corak (konsep) wasathiyyah-nya Habannaka. Ketika Habannaka mengkritisi (beberapa) di antara (aspek) ghuluw, (ia) menggunakan shalawat yang tidak ma’tsur (memiliki basis teks dari Al-Qur’an atau Hadis), misalnya. Shalawat aneh-aneh tersebut termasuk ghuluw dan itu bukan termasuk wasathiyyah. Habannaka memang (juga) tergabung dalam Liga Muslim (Rabithah al-’Alam al-Islami/The Muslim World League), kalau tidak salah.
Lien: Semula The Muslim World League spiritnya sangat Pan-Islamism. Sementara, Arab Saudi punya kepentingan untuk menjaga diri dari Pan-Arabism, yang pada waktu itu punya spirit mirip Pan-Islamism–kesatuan umat Islam di seluruh dunia. Tapi kemudian The Muslim World League yang didirikan dan didanai (oleh) Arab Saudi perlahan mengubah haluan. Narasi yang dibangun menjadi moderasi Islam (sejak MBS) (46:34).
Asep: Saya mau menanggapi Mas Sawyer terkait konteks geopolitik internasional yang memantik wacana moderasi. Berdasarkan teks-teks yang saya telaah, satu yang pasti ada dalam pewacanaan wasathiyyah (sejak dekade 70an) adalah kesadaran penjajahan Israel terhadap Palestina. Pasti ada variabel “at-takhadzul amama al-Israiliy” (kelemahan di hadapan Israel). Pasti ada kesadaran tersebut. Bahkan (konsep) wasathiyyah-nya al-Qardhawi kelak dirumuskan – sebagai informasi, al-Qardhawi terhitung beberapa kali menulis tentang wasathiyyah – dengan salah satu poin utama (di dalam wasathiyyah-nya) yakni membebaskan tanah umat Islam dari penjajahan. Sangat eksplisit di dalam karyanya Kalimat fi al-Wasathiyyah (2008), al-Qardawi menyebut penjajahan zionisme atas tanah Palestina yang dibiayai oleh Amerika. Konteks karyanya tersebut adalah pasca peristiwa 9/11 dan wasathiyyah yang dibahas oleh al-Qardhawi sebelum peristiwa 9/11, pada tahun 1970-an ke atas, konteksnya adalah gerakan shahwah, dan selalu ada variabel penjajahan Israel terhadap Palestina di dalam pewacanaan wasathiyyah-nya. Oleh karena itu sangat aneh sekali ketika wasathiyyah “dibajak” oleh beberapa orang menjadi (narasi) moderate/moderat. Dan (apalagi) moderat yang dipakai adalah moderat versi Washington. Padahal moderatnya umat Islam di dalam wasathiyyah sejak awal justru adalah moderat yang berupaya membebaskan Palestina. Maknanya jadi jungkir balik sekarang (48:53).
Lien: Apakah ada ulama tradisional yang menulis tentang wasathiyyah? Saya juga sedang mencari.
Asep: Ada satu sosok (ulama tradisional) yang saya duga menulis tentang wasathiyyah Islam. Namanya Abdul Lathief Farfur. Sudah sempat saya mention juga tadi. Hanya saja, sejauh ini saya belum menemukan data-data lebih lanjut tentang beliau. Abdul Lathief Farfur menulis Wasathiyyah al-Islam dan juga Khashaish al-Fikri al-Islami”. Dari apa yang ia tulis, isu-isunya sangat (dekat dengan) IM. Sejauh ini informasi yang saya dapat beliau adalah “orang tarekat” dan lulusan Al-Azhar. Jadi sangat mungkin isunya (terpengaruh) dari Al-Azhar. Bisa dikatakan bahwa Mesir adalah (sumber) mata air wasathiyyah yang mengalir deras dengan infrastruktur IM. Karya-karya Abdul Latif Marfur meski seorang pengikut tarekat tradisional juga sedikit menyinggung mengenai wasathiyyah. Namun saya belum punya bukunya karena keterbatasan.
Lien: Saya pernah diingatkan oleh seorang kawan, dan ini penting bagi saya waktu itu, agar hati-hati ketika membaca gerakan IM awal karena kita sudah punya bias terhadap siapa sosok IM, dan apalagi ketika itu tercatat sebagai organisasi teroris terutama di sebagian negara termasuk juga di Amerika. Mereka dianggap teroris mungkin karena mendirikan Hamas, saya kurang tahu. Karena pada awalnya (IM) cair. Misalnya ‘Abdurrahman Habannaka al-Maidani, yang training tradisionalnya sangat kental, (dianggap dekat dengan IM). Saya kurang tahu apakah beliau punya afiliasi dengan tarekat. Sayap militernya Hamas juga didirikan oleh IM dan mengambil nama ‘Izzuddin al-Qassam atau bin Qassam, saya agak lupa. Beliau juga orang tarekat, tapi belakangan saya belum mencari informasi yang lebih valid. Bapaknya Ismail Haniyeh juga disebut sebagai mursyid tarekat Syadziliyyah dan dirinya juga terlibat dalam tarekat Syadziliyyah. Jadi ada kompleksitas yang mengingatkan kita agar tidak mudah meletakkan satu tokoh dalam satu kotak and that’s it. Ada sengkarut kompleksitas dan latar belakang ulama-ulama atau tokoh yang kita bahas di sini.
Asep: (51:39) yang saya catat (bahwa) wasathiyyah IM yang diarusutamakan oleh al-Qardhawi tetap saja di kalangan tradisionalis dipandang sebagai sesuatu yang masih berkompromi dengan Barat. Muhammad Imarah juga menulis tentang wasathiyyah. Bahkan beliau menulis dalam dimensi yang berbeda. Beliau menjelaskan wasathiyyah Islam dalam konteks Aristotelian, dan memakai logic, pendekatannya mantiqi. Dan hal tersebut bagi beberapa kalangan tradisionalis dan salafi masih disebut kompromistik dengan Barat, dan masih dipandang “rawan disusupi” agenda-agenda westernisasi. Beberapa waktu yang lalu saya membaca karya Aria Nakissa mengenai antropologi hukum Islam (Anthropology of Islamic law) dan saya sepakat dengan pemetaannya mengenai tiga kelompok dalam konteks hukum Islam. Menariknya, Nakisa mengelompokkan wasatism sebagai kelompok tersendiri. Jadi ada wasatism, salafism (salafi), dan tradisionalis. Dalam beberapa hal saya sepakat dengan kategorisasi Nakisa setelah baca al-Qardhawi. Yang dimaksud Nakissa di sini (adalah) konteks hermeneutika hukum Islam. Jadi memang ada demarkasi tersebut antara salafisme, wasatisme, dan tradisionalisme. Ini (baru bicara wasathiyyah [abad ke-20]) kita masih belum berbicara di abad 21.
Afif: Jadi isu-isu tentang keadilan, kolonialisme Barat, dan tantangan terhadap kolonialisme sangat sentral di dalam wacana atau diskursus wasathiyyah yang dikembangkan di Mesir. Saya sebenarnya juga penasaran mengenai peran Al-Azhar dan irisannya dengan IM, apakah ada clue yang mungkin bisa disampaikan?
Asep: Saya tidak bisa berkomentar banyak soal hal tersebut karena belum mengamatinya secara mendalam. Tapi yang saya amati secara umum bahwa arsitek intelektual wasathiyyah mesti kita akui berasal dari mata air Al-Azhar, terutama melalui Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Semua pemikiran wasathiyyah bermuara ke sana. Misalnya, kita bisa melihat Sayyid Quthb dalam beberapa hal di dalam hashaish al-Tasawwur al-Islam” merujuk pada al-Syaikh al-Imam, (yakni) Abduh (juga) kepada Rashid Ridha. Sayyid Quthb sangat mengagumi sekali pemikiran Abduh, dan IM, secara intelektual, asupan intelektualnya berasal dari kesarjanaan Al-Azhar–Al-Azhar reformisme yang dibawa oleh Abduh dan Ridha–meskipun pada akhirnya Sayyid Quthb dicap sebagai munharif (menyimpang) oleh ulama Al-Azhar sendiri. Pada akhirnya Sayyid Quthb memilih jalan yang sedikit berbeda dan otoritas Al-Azhar tetap menganggap Sayyid Quthb sebagai munharif. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan Sayyid Quthb yang mempunyai konflik dengan Naser, yaitu pembunuhan Naser oleh oknum IM waktu itu dan hal tersebut dijadikan justifikasi untuk menjatuhkan hukum mati terhadap Sayyid Quthb. Sejarahnya memang sangat kompleks. Saya ingin menekankan bahwa secara watak dan karakter, wasathiyyah yang diarusutamakan oleh IM adalah wasathiyyah yang berangkat dari dualisme. Maksudnya, wasathiyyah bukan lah sesuatu yang (semata secara fisik) berada di tengah, dan pemahaman ini saya dapat dari Muhammad Imarah. Dalam mantiq Aristoteles ada hukum ‘adami al-tanaqudl (hukum non-kontradiksi). Hukum hitam-putih, tidak ada tengah-tengah (jalan ketiga di antara keduanya). Muhammad Imarah mengatakan bahwa wasathiyyah adalah jalan ketiga–kalau kata Aristoteles tidak ada yang namanya jalan ketiga, jika benar, maka benar dan jika salah, maka salah. Imarah mengatakan wasathiyyah sebagai “jalan ketiga” untuk menghadapi dualisme dunia modern, antara jasad dan ruh, marxisme dan kapitalisme dan seterusnya. Hal-hal tersebut juga disebut al-Qaradhawi di dalam (penjelasan wasathiyyah terkait) nizham al-iqtishadi”(tatanan ekonomi). Dalam konteks ekonomi, wasathiyyah adalah apa yang ada di antara marxisme dan kapitalisme, antara materialisme dan spiritualisme dan seterusnya. Jadi, wasathiyyah adalah “jalan ketiga” untuk menghadapi dunia modern (58:39).
Lien: Kita geser ke kawan-kawan, kita juga pengen mendengar komentar dari yang lain. Sebagai catatan, saya kira (perbincangan tentang) isu-isu kontemporer dan modern tentang wasathiyyah sudah banyak membahas tentang good-bad Muslims. Jadi, bisa kita ringkas (bagian ini), dan kita mau mendengar teman-teman yang lain untuk berkomentar.
Afif: Isu wasathiyyah masih banyak yang bisa dijadikan tema riset dan sangat promising sekali terutama mengenai bagaimana genealogi dan pembentukan wacananya. Kemudian, bagaimana transformasi wacana wasathiyyah menjadi moderasi? (1:00:15) Pasca 9/11 sebenarnya sudah banyak penelitian mengenai hal ini, yang banyak disebut oleh para sarjana bahwa serangan 9/11 ke gedung WTC, yang diduga dilakukan oleh Muslim ekstrimis atau teroris, menjadi titik krusial yang kemudian mentransformasikan wasathiyyah menjadi moderasi. Pertanyaannya, bagaimana wacana tentang wasathiyyah kemudian berubah atau menjelma menjadi moderasi sebagaimana yang kita kenal sekarang?
Lien: Saya akan sangat berterima kasih jika ada dari teman-teman yang bisa memberikan jawaban itu ke kami. Penggunaan term “moderate” atau “moderation” sebagai terma yang digunakan di dalam bahasa Inggris itu kapan, terus terang saya kurang tahu. Penggunaan terma moderasi di Indonesia, asumsinya, lebih inklusif untuk semua agama. Berbeda dengan wasathiyyah yang terdengar terlalu islami. Di dalam laporan riset Asep yang pernah saya baca, ada keterangan bahwa pasca 9/11 banyak negara-negara Muslim merasa harus segera membuat program moderasi beragama. Asep barangkali bisa cerita dari situ. Kemudian pada 2007, RAND Corporation AS mengeluarkan proposal yang diperuntukkan bagi kebijakan luar negeri AS untuk mendukung program Islam moderat.
Asep: Transformasi dari wasathiyyah ke moderat tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada banyak sekali. Saya ingin menekankan bahwa wasathiyyah dan moderasi punya nuansa yang berbeda. Dari maknanya saja, sebagai orang yang fokus di studi Qur’an, sudah berbeda. Saya ambil contoh seperti wa al-‘ashri, kenapa tidak wa az-zamaani? Kenapa tidak wa al-waqti? Itu semua punya makna yang berbeda-beda. Pemakaian wa al-’ashri punya arti waktu yang memeras. Arti pertama al-’ashr adalah memeras, kemudian dipinjam untuk mendefinisikan waktu, waktu yang memeras. Berbeda jauh artinya dengan az-zamaan, al-waqti dan segala macam. Penggunaan istilah selalu mengandung implikasi tersendiri. Nah, wasathiyyah sudah saya tekankan mengandung makna dasar “keadilan”, “kebaikan”, dan “pilihan”. Ada elemen-elemen itu di dalam term wasath. Ketika berubah ke “moderasi”, kok seolah-olah berubah jadi hanya isu jalan tengah? Moderation jadi mirip seperti moderator akhirnya. Ada orang lagi diskusi kemudian moderator menengahi. Dalam grammar of concept-nya saja – meminjam bahasa Talal Asad – sudah ada perbedaan narasi. (Terkait) kapan perubahan wasathiyyah menjadi “moderasi”, memang harus ada riset. Dan ini masih promising sekali karena kita belum punya monograf di isu ini, sehingga statement-nya belum banyak. Yang jelas, perubahan menjadi “moderat” terjadi sejak 9/11.
Pada awal 1990-an Samuel Huntington telah memberi prolog mengenai Clash of Civilization, dan narasi-narasi itu (yang meliputi Clash of Civilization) turut termanifestasi ke dalam narasi moderat-radikal pasca 9/11. Ketika itu, telah cukup banyak gerakan-gerakan wasathiyyah. Di Malaysia, misalnya, gerakan-gerakan serupa sudah muncul sebelum 9/11, tapi gerakan moderat, entah kenapa, baru menjamur pasca 9/11. Dalam riset, sebetulnya kita menemukan bahwa gerakan wasathiyyah muncul di dalam forum, organisasi, lembaga, seperti Moderate Muslim Society (terafiliasi NU) dan Center for Moderate Muslim (terafiliasi Muhammadiyah), dua tahun pasca 9/11, pada 2003 dan 2005. Ada Zuhairi Misrawi di NU (yang menjadi salah satu pelopor), di Muhammadiyah juga ada. Pada titik ini moderat mulai masuk di Indonesia. Dari situ kemudian wasathiyyah (berubah bahkan tergantikan) menjadi moderat. Parahnya, bagi saya, wasathiyyah kemudian (dalam beberapa hal) di-hijack oleh makna moderat.
Maksud saya begini, wasathiyyah memang memuat makna yang (beririsan) dengan tawassuth, moderat. Tapi itu sebenarnya masih mereduksi wasathiyyah. Apalagi (dengan makna) moderat yang didefinisikan oleh Washington. (Jika dibandingkan) di khittah Nahdliyah, KH. Ahmad Shiddiq masih memakai istilah al-tawassuth wal-i’tidal. Tidak ada istilah moderat di tahun 70-80-an (sependek yang kita telusuri). Apakah ketika KH. Ahmad Shiddiq merumuskan Khittah Nahdliyyah yang mana terdapat pula karakter al-tawassuth wal-i’tidal beliau membaca karya-karya al-Qardhawi? Apakah beliau terinspirasi oleh isu-isu yang dibawa oleh Ikhwanul Muslimin? Saya menduga kuat, sedikit banyak KH. Ahmad Shiddiq membaca karya-karya intelektual Ikhwanul Muslimin, dan karenanya, isu wasathiyyah sampai ke Nusantara. Kemudian pada akhirnya wacana moderat mulai menjamur dan perlahan menggantikan wasathiyyah, terutama setelah Luqman Hakim Saifuddin (Mantan Menteri Agama) mengampanyekan wacana Moderasi Beragama dan di tahun yang sama PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) meresmikan International Years of Religious Moderation. Saya belum mengulik lebih jauh bagaimana konteksnya dan kenapa keduanya kebetulan bersamaan. Saya pikir (tentu) ada faktor-faktor yang membuat moderasi menjadi populer sampai kita lupa jati diri wasathiyyah pada awalnya seperti apa.
Lien: Seperti yang saya sampaikan di esai saya di Islami.co tentang 9/11, saya tidak ingin masuk ke dalam konspirasi siapa pelaku sebenarnya tragedi tersebut. Akan tetapi, saya membayangkan (bagaimana, atau betapa) kerja-kerja Israel yang berupaya menyamakan (aksi) terorisme dengan (perjuangan bersenjata rakyat) Palestina tiba-tiba mendapatkan berkah atas terjadinya tragedi 9/11 karena ia dapat dipakai dengan sangat mudah untuk semakin mengarusutamakan narasi terorisme–setidaknya untuk menjadikan Islam (baca: Muslim) sama dengan teroris. Namun, di sisi lain, di tingkat lokal, kita juga punya problem seperti peristiwa Bom Bali. Tantangan-tantangan lokal ini juga memerlukan tindakan. Ini (desakan pengarusutamaan moderasi Islam di negara-negara Muslim) jadi semacam gayung bersambut, dan pada akhirnya kebutuhan lokal yang ada di berbagai negara ini menjadi sejalan dengan kebutuhan elit global (untuk merumuskan wacana moderasi) demi stabilitas nasional atau internasional.
Menarik mengulik lebih dalam mengenai transformasi dari wasathiyyah ke moderasi, yang tentu saja definisinya sangat dekat dengan (definisi) Washington (DC). Saya tidak tahu apakah ketika kita melihat buku panduan moderasi beragama Kemenag ada konsep-konsep seperti keadilan/’adl, khair, tawassuth (di dalam wacana moderasi beragama) sebagaimana tadi disampaikan oleh Asep. Hal ini juga perlu diulik. Wacana moderasi beragama dalam konteks Indonesia menjadi program negara terjadi sangat belakangan, ya. Pasti Jokowi ketika mengarusutamakan wacana moderasi beragama punya kepentingan tertentu, kenapa PBB sampai membuat International Years of Religious Moderation, apakah ada lobi-lobi Amerika di balik itu semua? Dan masih ada banyak sekali pertanyaan yang bisa kita ulik dari konteks pasca 9/11.
Afif: Banyak poin yang dapat dikembangkan terutama pasca 9/11, dan hal tersebut dapat menjadi titik krusial bagi pembentukan ulang wacana tentang moderasi yang mana selama ini justru sesuai dengan kepentingan Amerika sehingga wacana moderasi (seolah meng-counter) ekstrimisme dan terorisme, dan pada akhirnya Islam seolah-olah punya beban untuk menjelaskan dirinya bahwa Islam adalah agama anti terorisme-ekstremisme dan seterusnya.
Lien: Yang penting menurut saya adalah bahwa dari wasathiyyah ke moderasi memiliki pola yang sama-sama memberikan beban kepada Muslim agar menjelaskan dirinya bahwa, pertama, Islam bukan agama pedang. Kemudian, (dengan) isu Israel-Palestina yang mana Islam dituduh sebagai pemantik perang–dianggap (agama) terorisme, Islam (menjadi perlu untuk) dimoderasi; bahwa Islam bukan agama pedang. Sehingga, narasi ini (menjadi) yang mesti dijelaskan dan dibuktikan sebaliknya oleh umat Islam untuk kesekian kali: secara spesifik misalnya, Islam bukan agama teror, Islam bukan agama ekstrem, Islam bukan agama yang radikal.
Benang merah ini menurut saya punya kelindan dengan isu Israel dengan Palestina. Ketika wacana wasathiyyah (sebelum bertransformasi menjadi moderasi) masih punya karakter al-’adl, (tokoh-tokoh) Islam (di atas) berani mengatakan bahwa kita anti-penjajahan dan punya sikap tegas terhadap penjajahan Palestina oleh Israel yang didukung Amerika Serikat. Namun wacana moderasi pasca 9/11 dibelokkan oleh elit global agar tumpul terhadap penjajahan Israel terhadap Palestina. Wacana moderasi menjadi ompong terhadap isu tersebut. Lantaran kelindan yang sangat erat dengan isu anti-teror, anti-radikal, anti-ekstrem yang mana istilah-istilah tersebut sudah begitu lekat dengan figur-figur atau kelompok-kelompok seperti Hamas dan perjuangan perlawanan Palestina. Dan pada titik ini lah letak benang merah pergeseran tersebut (1:15:20).
Afif: Sebetulnya hal-hal tersebut juga dikemukakan oleh para sarjana misalnya John L. Esposito dan Muqtader Khan. Ada buku berjudul Debating on Moderate Islam yang mana salah satu variabel Amerika dalam menentukan apakah dia Muslim moderat atau tidak dilihat posisinya dalam melihat hubungan Israel dan Palestina. Esposito jelas-jelas mengatakan bahwa jika kamu pro-Palestina berarti kamu ekstremis, dan itu pendapat Esposito berdasarkan analisis yang ia lakukan terhadap wacana moderasi Islam di Amerika. Jika netral atau setidaknya abu-abu dan silent, berarti kamu moderat.
Asep: Saya jadi ingat di dalam dokumennya RAND, Building Moderate Network, terdapat istilah false moderate. Jadi, ada orang moderat yang salah, yaitu Imam Ahmed Abu Laban. Jadi ada seorang intelektual di Denmark (Ahmed Abu Laban) yang dianggap moderat oleh Amerika. Ternyata itu (dianggap) salah, karena ketika ada isu karikatur Nabi Muhammad dirinya berkeliling ke negara-negara berpenduduk muslim dan memobilisasi massa untuk melakukan aksi protes. Dari sini lah muncul istilah false moderate yang ditujukan kepada Ahmed Abu Laban.
Moderat atau tidak sangat tergantung siapa yang mendefinisikannya. Apa resiko ketika wasathiyyah/moderasi dimaknai sebagai “jalan tengah”. Tengah-tengah dari pihak mana? Posisi tengahnya ada di mana dan melihat ke mana? Misalnya secara sederhana kita ambil istilah Middle-East, Timur Tengah, dari (posisi) mana? Atau Southeast Asia, sentralnya ada di mana? Kok menjadi Asia-Tenggara, padahal menurut kita ini bukan Tenggara. Jadi, seperti itu lah gambaran problem kuasa atas definisi, selalu ada power-relation.
Lien: Itu lah pentingnya kita mesti jeli sebab selalu ada aspek politis dalam pendefinisian.
Afif: And to define is to include and exclude some. Mungkin poin pentingnya adalah melihat saling tarik menarik(nya) tersebut, ya. Tentu tidak tepat dan bijak mengatakan bahwa wacana moderasi beragama terutama yang tumbuh di tanah air sebagai semata-mata produk dari hegemoni Barat. Akan tetapi, penafian moderasi tidak memiliki kelindan dan relasi dengan geopolitik dan relasi kuasa pasca 9/11 yang telah kita diskusikan juga tidak tepat. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita memikirkan ulang tentang wacana moderasi beragama?
Penanya 1: Saya membaca dari buku moderasi beragama yang dibuat Kemenag mengenai pemaknaan wasathiyyah, sebagaimana beragam makna yang tadi juga sudah disinggung berbagai tafsirnya, juga digunakan dalam buku Moderasi Beragama (versi Kemenag) untuk menggambarkan wasathiyyah-nya (moderasi beragama) dan untuk menyamakan antara moderasi beragama dengan wasathiyyah. Karena itu, secara pemaknaan (antara makna moderasi beragama versi Kemenag dengan konsep wasathiyyah) bisa dikatakan sama. Namun dalam merumuskan konsep dan kriteria moderat-wasathiyyah-nya seseorang–dalam buku Moderasi Beragama–cenderung menggunakan konsep-konsep yang digunakan oleh Barat umpamanya penggunaan kriteria toleran, inklusif dan hal-hal seperti itu. Indikator keberhasilan seseorang dapat dikatakan sebagai orang yang moderat adalah ketika sikapnya berorientasi kebangsaan dan bersikap nasionalisme sehingga menafikan nilai-nilai keagamaan. Nah, (pada titik ini) saya belum menemukan indikator yang dikatakan wasathiyyah. Bagaimana wasathiyah menurut Islam, dan bagaimana konsep adil menurut Islam, dan bagaimana konsep adil dalam versi yang sekuler? (Jika bisa demikian) maka perbedaan antara wasathiyyah dengan moderasi bisa sangat jelas. Mungkin seperti itu.
Afif: (1:22:38) Mungkin bisa, tentang indikator atau variabel mana moderat dan mana yang tidak.
Asep: Untuk indikator moderasi beragama versi Kemenag sudah ada di buku tersebut. Ada 4 indikator kalau saya tidak salah. Di antaranya adalah komitmen kebangsaan, dan itu sudah ada indikator-indikatornya. Memang isu moderasi beragama keluaran Kemenag, di dalam road map-nya), masih menjadi living documents. Jadi, dokumen yang masih hidup. Masih ada kemungkinan untuk berubah. Misalnya kita bisa melihat pergeseran dari buku Moderasi Beragama tahun 2019 dan Peta Jalan/Road Map tahun 2020, narasi “jalan tengah” sudah (cenderung) hilang. Kalau kita lihat moderasi beragama di buku yang tahun 2019, perspektifnya sangat jalan tengah. Tapi di Peta Jalan/Road Map (2020), saya melihat jalan tengahnya sudah tidak dominan. Tidak jadi kata kunci. Catatan Hasan tadi sudah tepat, ada variabel-variabel kepentingan berbangsa dan bernegara sehingga di dalam indikator moderasi beragama terdapat komitmen kebangsaan. Saya kira itu poinnya. Jadi, (moderasi beragama) masih jadi living documents, dan kita menantikan riset lanjutan.
Riset terkini soal moderasi beragama oleh Zainal Abidin Bagir (Pak Zein), misalnya, ternyata masih tumpul dalam konteks KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Moderasi beragama masih belum mengakomodasi perspektif kebebasan beragama. Kalau untuk indikator wasathiyyah seperti apa, jawabannya ada di bukunya Yusuf Al-Qardhawi. Dan di antara indikatornya adalah dukungan terhadap pembebasan Palestina. Jadi, ada di Kalimat fi al-Wasathiyyah: Ma’alim wa Manarat, (ajaran-ajaran wasathiyyah–katakanlah seperti itu) di antaranya adalah al-jam’u baina tsabat wa at-tatawwur (kompromi antara pakem/sesuatu yang tetap dan yang berkembang). Nah, salah satu ma’alim al-wasathiyyah-nya itu adalah upaya tahriru al-ardhi al-Islamiyyah yang menjadi indikator wasathiyyah versi al-Qaradhawi. Jadi, kesimpulannya, wasathiyyah sangat terpengaruh oleh sikap kita terhadap isu Palestina-Israel. Kalau di dalam dokumen Moderasi Beragama, isu tersebut sama sekali tidak ada. Ini lah yang kita lihat, dan memang ada (perbedaan bahkan) pergeseran.
Tidak ada variabel Israel-Palestina (di dalam dokumen moderasi). Coba lihat di buku Moderasi Beragama (2019) atau yang ada di Road-Map (2020). Prolog sebelum bergulirnya moderasi beragama, justru fokusnya saya lihat soal HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan ISIS (Islamic State in Iraq & Syria), (moderasi beragama seakan hadir) untuk mendelegitimasi mereka semua. Jika kita bandingkan dengan wacana wasathiyyah yang mana terdapat titik berangkat pembebasan tanah Palestina, pada wacana moderasi beragama sudah tidak ada lagi narasi tentang pembebasan tersebut (dan fokusnya lebih terkait dengan fenomena ekstrimisme/ghuluw). Itu yang mungkin bisa saya sampaikan.
Asep: Meskipun begitu, al-Qardhawi dan Ikhwanul Muslimin bukan berarti menutup mata terhadap adanya gejala ekstremisme di dalam internal umat Islam. Sebab al-Qardhawi sendiri pernah menulis Dzahiratul Ghuluww fi at-Takfir. Jadi wasathiyyah Ikhwanul Muslimin sendiri, khususnya al-Qaradhawi, tidak sepakat dengan takfirisme. Ketika ada insiden pembunuhan Husain adz-Zahabi, pengarang at-Tafsil wa al-Mufassirun, di Mesir tahun 70an, al-Qardhawi secara khusus menulis Dzahiratul Ghuluw fi al-Tafkir wa at-Takfir. Jadi, tidak dinafikan juga ada fenomena seperti itu, tapi jangan sampai hal tersebut menjadikan kita menggebyah uyah, dan jangan pula menjadikan kita silau terhadap isu-isu yang lebih besar. Kurang lebih seperti itu kata al-Qardhawi.
Lien: Kita juga mesti berhati-hati dalam melihat Ikhwanul Muslimin karena mereka tidak monolitik. Di Amerika, mereka (para intelektual Ikhwanul Muslimin) mendirikan MSA (Muslim Student Association) bahkan sebelum tragedi 9/11 terjadi. (Warna IM beragam, misalnya,) ketika sudah ada Undang-undang anti-terorisme di Amerika pertengahan tahun 90-an, UU ini dipakai untuk melakukan surveillance dan menangkapi orang-orang yang mendukung Palestina, misalnya, Sami Al-Arian. Sami Al-Arian dituduh teroris karena dianggap memberikan support terhadap perjuangan pembebasan Palestina atau dalam bahasanya Washington (DC), mendukung terorisme. Tapi ada juga kelompok lain di dalam Ikhwanul Muslimin yang justru dekat dengan Washington (DC dan menjadi juru bicara kampanye anti-terorisme. Ada kelompok borjuasi juga di dalam Ikhwanul Muslimin. Artinya Ikhwanul Muslimin tidak benar-benar monolitik. Kalau dalam konteks Indonesia salah satu contohnya mungkin PKS, dan saya juga tidak tahu apakah Ikhwanul Muslimin semuanya menerima negara bangsa atau tidak. Tapi poin yang saya ingin sampaikan (adalah) bahwa Ikhwanul Muslimin tidak lah monolitik.
Penanya 2: Menarik sekali, saya mendapat ilmu dan wawasan baru terutama tadi tentang keterbatasan makna wasathiyyah. Wasathiyyah ternyata maknanya dekat sekali dengan al-’adl, yang mana al-’adl sendiri itu kan tidak selalu sama, adil itu kan bisa proporsional maknanya. Selain itu tadi yang menarik adalah soal bias bagaimana kita melihat Ikhwanul Muslimin, dan itu merupakan hal baru bagi saya. Karena selama ini saya sendiri cukup melihat Ikhwanul Muslimin dari sisi ekstrem. Kalau kita melihat Ikhwanul Muslimin terlalu ekstrem, artinya kita tidak wasathiyyah lagi. Mengenai wasathiyyah, sebagai orang yang awam, saya jadi kepikiran soal hukum ekonomi. Dalam hukum ekonomi ada hukum penerimaan dan penawaran yang mana di tengah-tengahnya ada titik equilibrium. Titik equilibrium punya titik yang tidak selamu sama, tidak tetap. Jadi, ukuran-ukuran wasathiyyah tersebut saya melihatnya sebagai kemampuannya untuk bergerak sesuai zaman dan waktunya. Jangan lupa bahwa pejuang-pejuang kita dahulu seperti KH. Hasyim Asy’ari dan Diponegoro, dinilai oleh penjajah Belanda waktu itu sebagai ekstremis meskipun dalam sudut pandang kita mereka adalah seorang pejuang. Nah, saya membayangkan wasathiyyah sebagai wasit dalam pertandingan sepak bola. Dari situ kita bisa melihat siapa yang menjadi FIFA dalam sebuah pertandingan. Dan dalam berbagai konteks, siapa yang menjadi FIFA? FIFA versi mana? Seperti halnya dalam relasi dengan Palestina, siapa pihak yang menjadi FIFA?
Afif: Ini mungkin kaitannya dengan rezim pengetahuan dan kaitannya dengan bagaimana pengetahuan dijadikan instrumen kekuasaan.
Asep: Wasathiyyah yang mana, whose moderation? Pertama dan yang paling utama kita memang harus memiliki, Syed Hussein Alatas menyebut, autonomous knowledge (saya berhutang kepada KH. Jazilus Sakhok yang sudah memperkenalkan isu ini). Pertama kita memang harus memiliki “pengetahuan otonom” mengenai siapa diri kita, bukan pengetahuan tentang kita yang dikonstruksi oleh orang lain. Ketika kita mengetahui siapa diri kita secara genuine dan organik, kita bisa mengidentifikasi problem yang sangat dekat dengan kita. Bukan problem yang jauh. Dalam soal moderasi dan segala macam hal yang berhubungan dengannya, kita memang harus punya kesadaran tersebut. Kita bisa memulai dari titik tolak yang otonom. Konteks Indonesia yang secara politis menganut politik “bebas aktif” dalam percaturan geo-politik juga memungkinkan sebuah karakter kosmopolit. Watak politik “bebas aktif” tersebut memungkinkan tumbuhnya ragam tafsir. Namun yang mesti kita selesaikan lebih dulu adalah problem “pengetahuan otonom tentang kita”, bukan yang dikonstruksi oleh orang lain. Kedua, soal siapa yang menjadi FIFA yang wasathiyyah? Ada pula FIFA yang moderat versi Washington, dan kita tidak menafikan bahwa dua arus tersebut di Indonesia sama-sama tumbuh. Tapi autonomous knowledge tetap merupakan krisis kita hari ini. Saya biasanya menganalogikan autonomous knowledge dengan makanan Magelangan. Di warung burjo (warmindo) biasanya ada makanan namanya Magelangan, tapi yang jadi problem adalah ketika orang Magelang makan di burjo. Dia harus bilang “A’, Magelangan”. Padahal sesuatu yang dikonstruksi Aa’ burjo sebagai Magelangan, di Magelang sendiri itu bukan Magelangan. Bagi orang Magelang, ketika saya menanyai mereka, Magelangan di burjo itu nasi goreng. Orang Magelang cukup bilang nasi goreng maka otomatis ada mie di dalamnya. Tapi ketika pergi ke burjo, dia bakal terasing. Mau tidak mau dia tetap harus bilang Magelangan. Nah, isu dekolonisasi bisa kita simplifikasi menjadi isu Magelangan. Kenapa, misalnya, kita memakai metodologi research programme-nya Lakatos? Apa bedanya dengan penggunaan metodologi ushul fiqh?. Itu catatan saya. Ketiga, saya mencatat kekhasan isu moderasi beragama bahwa ia diinisiasi secara struktural oleh pemerintah. Jadi karakternya akan berbeda dengan isu-isu yang diinisiasi oleh civil society secara kultural. Misalnya dulu kita mendengar hingar bingar “Islam dan Kemodernan”-nya Cak Nur, “Pribumisasi Islam” Gus Dur. Semua itu kultural wataknya. Isu-isu tersebut muncul dari civil society meskipun pada akhirnya (beberapa) mendapat represi dari rezim. Saya kadang mikir jangan-jangan perkembangan intelektual akan lebih bagus di bawah represi rezim?
Asep: Kenapa setelah reformasi saya tidak mendengar lagi, misalnya, pluralismenya Gus Dur atau sekularisasinya Cak Nur atau Pribumisasi Islamnya Gus Dur, tapi yang saya dengar justru scopusisasi? Saya rasa watak moderasi beragama yang dibawa secara struktural oleh pemerintah sangat berbeda. Apakah kita sudah krisis intelektual? Apakah civil society sudah tidak lagi mampu menggulirkan isu-isu karena memang sudah terwakili atau dihijab infrastruktur oleh pemerintah? Wallahu a’lam.
Lien: Saya kira riset-riset tentang moderasi di lingkungan PTKIN belum ada yang benar-benar kritis. Dari beberapa yang saya lihat justru mendukung. Ada suara kritis tapi memang kebanyakan mendukung narasi yang disokong oleh pemerintah.
Asep: Terakhir saya ingin mengatakan apa yang dikatakan oleh al-Madani di dalam Wasathiyyah al-Islam. Jadi, ketika menulis buku tersebut al-Madani mengatakan Laisa ghordi al-‘isti’ab wa laakin fathu al-bab”. Artinya, “Jadi tujuan saya bukan mencakup segala hal tentang wasathiyyah, tetapi hanya membuka kran saja”. Mudah-mudahan forum malam ini dapat membuka kran itu. Maksudnya, kran riset-riset dan juga kesadaran untuk menelisik kembali tentang wasathiyyah, moderasi, dan segala macam yang berhubungan dengannya. Itu yang pertama. Kedua, saya ingin tekankan juga bahwa moderasi kita hari ini memang seharusnya berlandaskan wasathiyyah, dan wasathiyyah itu sendiri tidak hanya berputar pada “isu jalan tengah”. Jangan lupakan aspek keadilan dan kebaikan dalam wacana yang dibawa wasathiyyah. Jadi, bagaimana kebaikan dan keadilan harus kita setarakan dengan isu jalan tengah di dalam narasi moderasi beragama kita hari ini. Terakhir, kenapa isu Palestina-Israel hilang dalam cara kita ber-wasathiyyah hari ini? Tidak seperti wasathiyyah-nya kawan-kawan dulu pada abad shahahwah??
Catatan Kaki
- Situs Questioning Narratives dan tautan diskusi dapat diakses di sini.
- Salah satu karya penting Al-Qardhawi yang membahas fenomena ghuluw (ekstremisme) dalam pemikiran dan praktik keagamaan, khususnya dalam isu takfir (menganggap orang lain sebagai kafir). Buku ini ditulis dalam konteks meningkatnya fenomena radikalisme di dunia Islam, yang pada saat itu mulai memunculkan kelompok-kelompok ekstrem yang menggunakan dalil agama untuk melegitimasi tindakan kekerasan, pengkafiran, dan pemberontakan. Lihat selengkapnya: xx