Bersama Gaza: Solidaritas Global dan Memaknai Ulang Umat Transnasional

96
VIEWS

Baca Juga:

Wawancara dengan Aisha Hasan.

 

Hampir setahun sudah berlalu serangan 7 Oktober oleh Hamas yang menjadi awal baru dari fase genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza. Hingga hari ini, sengkarut dan kebobrokan sistem hukum internasional dan kegagalan modernitas dalam mengusung hak asasi manusia tampak nyata. Degradasi, diskriminasi, dan berbagai represi terhadap para jurnalis, pekerja kemanusiaan, dan civitas akademika di belahan Utara yang bersua membela hak hidup dan hak merdeka Palestina menunjukkan masih bercokolnya denyut neo-imperialisme di masa kini. Di sisi lain, berbagai aksi solidaritas di berbagai sudut dunia terhadap tragedi genosida Gaza menunjukkan kita harapan dan optimisme akan pembebasan dan penyatuan umat. 

 

Artikel ini merupakan bentuk tertulis diskusi redaktur Islam Bergerak bersama Aisha Hasan pada 25 Ramadan 1445 H/5 April 2024 lalu. Meski sudah beberapa waktu berlalu, diskusi ini masih sangat relevan di konteks saat ini. Diskusi yang ditayangkan melalui kanal YouTube Islam Bergerak TV dilangsungkan  seminggu setelah Resolusi Genjatan Senjata PBB dikeluarkan. Aisha Hasan, anggota Ummatics Institute yang merupakan organisasi penelitian untuk studi pemikiran dan praktik keumatan sekaligus produser di TRT World dan pemimpin redaksi platform media Qarawiyyin Project yang didedikasikan untuk melibatkan perempuan muslim dalam wacana Islam, mengajak kita untuk memperingati tujuh bulan “Operasi Banjir Al-Aqsa” dengan memaknai secara mendalam apa arti perjuangan Palestina bagi gerakan global dan terutama solidaritas transnasional muslim di Dunia Selatan.

 

Islam Bergerak (IB):

Bagaimana pendapat Aisha perihal kondisi dan dinamika geopolitik hari ini sejak peristiwa 7 Oktober? Menurut Anda, apakah terdapat perubahan signifikan dalam situasi geopolitik global saat ini? Mengapa negara-negara Arab di sekitar Palestina seperti tidak mampu memberi bantuan yang signifikan untuk perjuangan rakyat Palestina?

 

Aisha Hasan:

Hari ini, sayangnya, kita hanya melihat situasi yang kian memburuk. Selama seminggu terakhir, kita menyaksikan bombardir serangan Israel ke Rumah Sakit As-Syifa. Gambar-gambar serangan tersebut benar-benar menghancurkan hati, bahkan para tenaga bantuan kemanusiaan dan peneliti tidak pernah melihatnya dalam sejarah. Agak ironis jika kita pikirkan sekarang, mengingat bagaimana lima bulan lalu setelah Israel melakukan pengeboman ke Rumah Sakit Al-Ahly, mereka menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah mengebom dan menyerang rumah sakit. Namun, sekarang, penyerangan semacam ini sudah menjadi sangat normal sehingga kebrutalan yang kita lihat sungguh tak tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ini bukan hanya pengeboman, tapi eksekusi langsung terhadap dokter, perawat, pasien, dan anak-anak. 

 

Kita menyaksikan potret-potret mayat yang dilindas di bawah tank, bayi-bayi yang membusuk, dan pasien-pasien yang terbaring di ranjang rumah sakit. Kita membaca pesan-pesan yang ditulis oleh para dokter dan pasien yang terjebak di sana selama dua minggu belakang, ditulis di dinding-dinding rumah sakit kepada seluruh dunia sebagai kata-kata terakhir mereka. Terlepas dari kebrutalan yang tak tertandingi dari kejahatan Israel, kita belum benar-benar melihat adanya perubahan besar dalam geopolitik selain kemarahan terhadap Israel.

 

Namun, saya pikir dalam beberapa waktu ke depan, kita mungkin akan melihat lebih banyak perkembangan. Pada saat saya menulis laporan ini, minggu ini, Israel menargetkan dan membunuh tujuh pekerja bantuan dari suatu organisasi bantuan internasional yang menyediakan makanan untuk orang-orang di Gaza. Dan para pekerja bantuan itu memiliki paspor Inggris, paspor Amerika, paspor Eropa. Sayangnya, hal ini yang tampaknya mampu memprovokasi semacam tanggapan riil terhadap Israel. Jadi kita mungkin akan melihat beberapa perkembangan itu berubah dalam beberapa hari ke depan. Tapi terlepas dari semua yang telah terjadi selama enam bulan terakhir, kita tidak melihat apa-apa dalam hal tindakan politik terhadap Israel.

 

Resolusi Dewan Keamanan PBB dari minggu lalu belum melihat adanya penegakan atau implementasi nyata dengan hampir semacam asumsi yang tidak terucapkan bahwa AS akan pergi dan berbicara kepada Israel sekarang karena hal ini telah disahkan oleh Dewan Keamanan. Sayangnya, meskipun Biden sekarang berbicara dengan Netanyahu mengenai para pekerja bantuan yang terbunuh, masih belum ada permintaan sepihak dari pihak AS bahwa Israel perlu menghentikan kampanye pengeboman dan perlu mengakhiri pendudukan. Namun yang paling memilukan selain dari dukungan negara-negara Barat terhadap Israel dan bagaimana hal itu diterjemahkan dalam lingkup geopolitik, sayangnya, kita melihat bahwa negara-negara Arab dan Timur Tengah yang bertetangga dengan Israel tidak banyak berubah dalam pendiriannya terhadap Israel dalam beberapa bulan terakhir, selain dari banyak retorika tentang bagaimana Israel harus berhenti melakukan genosida terhadap Palestina dan perdagangan masih mengalir melalui semua negara sekitar ke Israel.

 

Yang paling banyak dilakukan oleh negara seperti Turki adalah menghapus Israel sebagai tujuan ekspor favorit di situs web mereka, yang sebenarnya tidak banyak berubah dalam hal barang yang dikirim ke sana. Baru-baru ini saya melihat beberapa video promosi Raja Abdullah dari Yordania yang sedang berlatih operasi militer jika istananya diserang dan video-video lain yang memperlihatkan dia menjatuhkan bantuan dari pesawat-pesawat di atas Gaza. Sejujurnya ini penghinaan terhadap kecerdasan dan martabat kita sebagai Muslim, jika kita berpikir bahwa tindakan semacam ini sudah cukup. Ini memalukan karena sudah berlangsung selama enam bulan. 

 

Israel melakukan genosida terhadap dua juta orang yang terjebak di wilayah yang sangat kecil dan karena kepentingan mereka sendiri dan takut akan dampaknya, tidak ada negara tetangga yang menyatakan dukungannya kepada Palestina yang mampu mengambil sikap yang lebih kuat terhadap Israel karena takut akan diprovokasi.

 

IB:

Kita menyaksikan protes yang kuat di seluruh dunia. Di saat yang sama, kita memiliki pemimpin politik yang sebenarnya bisa melakukan sesuatu untuk menghentikan genosida, tapi tetap bersikap munafik, bahkan di negara yang disebut sebagai negara mayoritas Muslim di sekitar Palestina. Ada gelombang protes dan aksi solidaritas untuk Palestina, termasuk gerakan BDS (Boikot, Divestasi, Sanksi) untuk menghentikan bantuan kepada Israel dan Houthi Yaman yang berhasil menempatkan Laut Merah dan mengganggu arus perdagangan dan juga serangan terhadap militer dan sektor ekonomi Israel. Bagaimana bentuk-bentuk perlawanan ini berkontribusi pada eskalasi atau de-eskalasi situasi di Palestina dan mungkin geopolitik global secara umum? 

 

Aisha:

Bagus sekali Anda menyebutkan Yaman, karena saya pikir itu jelas merupakan pengecualian dari negara termiskin di kawasan ini yang mengalami krisis kemanusiaan. Yaman, yang jelas-jelas telah melalui revolusi dan perang saudara selama beberapa tahun, memblokade Laut Merah dan itu adalah satu-satunya tindakan yang diambil oleh negara dalam bentuk tindakan dan kata-kata. Karena jelas Yaman adalah negara yang mungkin paling tidak berdaya di kawasan ini, sayangnya, hal tersebut tidak memberikan dampak yang kita harapkan. Namun sebagai suatu gerakan, tidak hanya solidaritas, tetapi juga secara material mereka membuat perbedaan pada arus perdagangan global. Itu adalah langkah yang sangat signifikan berkontribusi dalam eskalasi situasi karena ini mengancam kepentingan Eropa, mengancam arus perdagangan dunia antara Eropa dan Asia. Sangat disayangkan, untuk menargetkan kepentingan ekonomi dari beberapa pemain global ini, Anda tidak akan melihat orang-orang atau pemerintah tersebut mencoba untuk bergerak seperti yang telah Anda katakan dan kita saksikan dari protes yang muncul sejak dimulainya serangan ini selama enam bulan terakhir.

 

Saya pikir jumlah dukungan yang kita saksikan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Perjuangan Palestina telah menjadi arus utama seperti halnya konflik-konflik internasional, ini tidak selalu merupakan sesuatu yang dapat Anda harapkan diketahui oleh banyak orang, seperti konflik di negara-negara lain. Tetapi ini adalah sesuatu yang disyukuri oleh perjuangan Palestina, menjadi lebih diketahui dan lebih dapat diterima.

Apa yang kita lihat baru-baru ini tidak seperti yang pernah kita lihat sebelumnya. Kita bicara tentang ratusan ribu orang yang keluar setiap akhir pekan di hampir setiap kota besar di dunia dan menyerukan bukan hanya gencatan senjata permanen untuk perang ini, tetapi juga mengakhiri pendudukan.

 

Bagaimana hal ini berkontribusi pada eskalasi atau de-eskalasi situasi di Palestina? Satu hal positif, jika Anda bisa menyebutnya begitu, yang muncul dari perang ini adalah bahwa isu Palestina kembali menjadi agenda internasional. Kita harus ingat bahwa, sebelum perang ini dimulai, Israel sangat percaya diri bahwa isu Palestina sudah mati. Negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi, sangat ingin normalisasi hubungan, dan ada banyak pertemuan di bawah meja yang sedang berlangsung untuk memfasilitasi hal tersebut. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berdiri di PBB dan menunjukkan peta Israel di Timur Tengah, dan Palestina bahkan tidak termasuk dalam peta tersebut. Hal itu dibiarkan terjadi tanpa protes yang berarti.

 

Kita berada dalam situasi yang sangat berbeda hari ini, ada begitu banyak kesadaran akan kejahatan Israel dan seruan untuk mengakhiri pendudukan terjadi setiap minggu di seluruh dunia. Israel bahkan telah diseret ke Mahkamah Internasional untuk kasus genosida. Sayangnya, kita masih menunggu hasil dari hal tersebut, dan banyak orang yang masih menggunakan keputusan sementara soal kemungkinan ini adalah genosida sebagai alasan untuk tidak mengambil tindakan apa pun dalam hal ini. Namun, hal ini sangat penting karena ini bukanlah situasi yang dapat kita bayangkan tujuh bulan yang lalu. Hal ini juga menjadi isu yang sangat menentukan di tingkat domestik bagi banyak negara di Barat. Masyarakat telah terpolarisasi hampir dalam semalam, dan dengan pemilihan umum yang akan datang, tentu saja di AS dan di Inggris, ini telah menjadi masalah besar, terutama bagi komunitas minoritas dan Muslim. Ini adalah sesuatu yang sangat dikhawatirkan oleh kampanye Partai Demokrat di AS. Mereka mencoba untuk memilih kembali Joe Biden, dan setelah masa jabatannya berakhir, apa yang akan diingat orang tentang dia, kecuali fakta bahwa dia sekarang dikenal sebagai Genocide Joe? Itu sangat memalukan.

 

Di Inggris, Partai Buruh berjuang dengan fakta bahwa mereka telah kehilangan suara Muslim dengan menolak menyerukan gencatan senjata lebih awal dan sangat mirip dengan Partai Konservatif yang saat ini berkuasa di Inggris dalam hal retorika yang mereka gunakan untuk berbicara tentang situasi Israel-Palestina. Dampak dari hal ini juga akan terlihat dalam jangka panjang. Reputasi Israel telah hancur. Banyak orang merasa simpati setelah serangan 7 Oktober, banyak negara dan orang di Barat merasa bahwa Israel telah menjadi korban serangan teror. Hal ini hampir sepenuhnya hilang karena cara mereka membantai puluhan ribu orang dan retorika genosida yang menurut saya membuat semua orang terkejut. Hal itu tidak hanya datang dari para politisi Israel, tetapi juga dari dalam masyarakat Israel. Saya rasa hal ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang bagaimana masyarakat bisa mencapai tingkat ekstrem seperti itu, di mana pembicaraan macam itu telah menjadi normal. Jadi saya pikir di masa depan, cara Israel berhubungan dengan komunitas internasional yang lebih luas akan sangat berbeda.

 

IB:

Israel tetap menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap hukum internasional dan semakin melanggar batas-batas kejahatan terhadap warga Palestina. Sebagian orang menjadi putus asa dan pesimis, seolah apa gunanya semua protes besar-besaran dan aksi massa yang dilakukan? Apa ada dampaknya dalam hal hukum internasional, dalam hal sanksi terhadap Israel? 

 

Aisha:

Sangat disayangkan karena Israel terus bersikap seperti ini. Orang-orang seperti, apa gunanya protes massa karena tampaknya tidak berdampak pada Israel? Saya pikir, hasil perang ini menunjukkan kompetensi dari sistem internasional yang sebenarnya telah digunakan secara selektif dan berulang kali untuk memajukan kepentingan Barat. Seperti yang terlihat pada perang Rusia melawan Ukraina, kita melihat hal yang sangat mirip. Jelas kita melihat hal yang lebih buruk sekarang karena ini adalah genosida. Dalam kasus ini, hukum internasional sering digunakan untuk menyoroti kejahatan perang Rusia. Namun, Israel sungguh kebal terhadap segala bentuk tindakan internasional yang dipimpin AS dari dalam organisasi-organisasi internasional.

 

Ini sangat jelas bagi saya ketika minggu lalu Dewan Keamanan PBB akhirnya bisa meloloskan resolusi gencatan senjata setelah enam bulan diajukan dan berulang kali diveto oleh banyak negara sampai akhirnya, AS adalah satu-satunya yang abstain. Para utusan negara anggota setelah resolusi tersebut disahkan, justru bertepuk tangan. Itu sangat jarang terjadi pada voting resolusi. Itu mencerminkan rasa frustrasi yang dirasakan oleh negara-negara di Selatan global yang merasa bahwa semata karena dukungan Barat, terutama Amerika, tak seorang pun bisa mengutuk Israel cukup keras.

 

Ini adalah sesuatu yang akan dibayar oleh dunia dan sistem internasional di tahun-tahun mendatang. Jika Anda punya satu anggota yang melanggar peraturan tanpa konsekuensi signifikan, mengapa peraturan itu perlu dihormati? sistem yang telah diberlakukan sejak Perang Dunia Kedua berada di tepi jurang yang berbahaya sehingga jika seluruh sistem dapat disandera oleh satu negara, dalam kasus ini, Amerika Serikat menolak memberlakukan langkah-langkah yang seharusnya ketika satu negara secara jelas melanggar hukum internasional seperti Israel, maka itu adalah dakwaan yang sangat berat terhadap sistem tersebut untuk benar-benar mengatur keterlibatan semua pohak dalam hubungan internasional. Sayangnya, banyak negara yang akan menderita jika aturan-aturan itu tiba-tiba ditentukan oleh negara lain. Namun, hal ini juga memperlihatkan betapa tidak kompetennya beberapa organisasi ini sejak awal dan bagaimana ketidaksetaraan global dalam sistem ini hanya dapat benar-benar dibongkar dengan dekolonisasi yang tulus dan mengakui bahwa struktur imperialisme masih ada di dunia internasional.

 

IB:

Terkait dengan kapitalisme rasial dan imperialisme, penting juga untuk menyoroti fakta bahwa perekonomian Israel dibangun di atas kerja paksa, sistem perampasan tanah terhadap orang-orang Arab Palestina. Di saat yang sama, mereka melakukan rasialisasi terhadap orang-orang Arab dan mendiskriminasi mereka. Jadi perekonomian Israel dan Israel sebagai negara bangsa sebenarnya menghasilkan nilai melalui perampasan dan kerja keras orang-orang Palestina. Ini adalah bentuk eksploitasi tenaga kerja dari kacamata kapitalisme rasial dimana Israel bergantung pada pekerja Palestina, khususnya dari Gaza, untuk konstruksi dan produk pertanian mereka. Saya pikir ini hal yang memicu Intifada pertama di akhir tahun 1980an yang juga menjadi latar belakang munculnya Hamas sebagai kekuatan perlawanan.

 

Terkait dengan lintasan sejarah tersebut, muncul kritik terhadap kemunafikan Barat dan keterlibatannya terhadap genosida di Gaza. Negara-negara Barat memberi dukungan militer atau bahkan perang proksi di Afrika dan Asia. Mereka telah melakukan itu selama bertahun-tahun. Sejak tanggal 7 Oktober, dunia memberontak melawan ketidakadilan ini, apakah menurut Anda momentum ini berbeda dari sebelumnya untuk menantang apa yang disebut neo-kolonialisme, neo-imperialisme, dan kegagalan sistem internasional?

 

Aisha:

Kita harus berharap bahwa pada akhir semua ini, kita dapat menemukan jalan keluar menuju sistem yang lebih baik dan adil. Setidaknya ketidakadilan seperti yang Anda bicarakan, bahwa orang-orang Palestina dan negara-negara lain yang menderita akibat kolonial yang sama, ketidakadilan semacam itu akan diperbaiki dengan cara tertentu. Tapi saya pikir ini akan menjadi jalan yang panjang. Momentum yang kita miliki saat ini, meskipun sangat penting, mungkin perlu sedikit lebih jujur, “oh, lihat, Israel dan AS tidak menghormati sistem internasional.” Tapi kita perlu berpikir, “oke, tapi kenapa ya, kenapa itu dibiarkan terjadi?” Jika ini terjadi di negara lain, hal ini tidak akan terjadi, dan hal ini tidak akan terjadi. Yang perlu kita lihat adalah pengaturan sistem internasional dan mempertimbangkan seberapa efektif sistem tersebut sebenarnya.

 

Ada harapan di antara banyak orang bahwa sistem internasional akan berjalan dengan adil dan kita bisa mengharapkan penilaian dan tata kelola yang adil dari sistem tersebut. Ilusi itu telah terbantahkan, namun kita perlu lebih kritis mengenai asal usul sistem ini. Seperti yang Anda katakan, ketidakadilan dan kesenjangan ras yang masih terjadi akibat kolonialisme dan melihat bagaimana sistem internasional tidak pernah benar-benar mampu mencerabutnya, memperbaikinya, dan memikirkan langkah-langkah apa yang sebenarnya diperlukan untuk mendekolonisasi sistem tersebut dari akarnya dan mulai memberi agensi nyata kepada rakyat di Selatan global agar mampu mengelola sesuai ketentuan mereka sendiri.

 

Saya akan membicarakan hal ini khususnya dari sudut pandang negara-negara Muslim di mana sistem negara-bangsa yang mendominasi selama 70 tahun terakhir telah digunakan sebagai cara memecah-belah berbagai belahan dunia Muslim. Hal ini kita lihat sekarang dalam konteks Palestina, dimana Yordania, negara tetangganya, yang memiliki populasi 70% penduduk asli Palestina masih dianggap sebagai negara yang terpisah dari Palestina dan oleh karena itu harus memiliki kepentingannya sendiri, meskipun mereka bersimpati kepada perjuangan Palestina. Ini adalah sesuatu yang pada akhirnya dilembagakan oleh sistem negara-bangsa yang telah menormalisasi hal ini sebagai cara standar organisasi internasional. Mungkin sekarang kita lebih skeptis terhadap beberapa organisasi internasional. 

 

Kita sebagai masyarakat di Selatan global dan sebagai umat Islam dapat memperluas imajinasi politik kita untuk mulai memikirkan cara yang berbeda untuk memberdayakan diri kita sendiri berdasarkan berbagai bentuk persatuan dan tindakan politik di masa depan. Tapi anggaplah itu jalan yang panjang. Kita harus melakukannya, insya Allah. Itu rencana jangka panjang. Namun pada saat yang sama, setidaknya kita harus mulai mengupayakannya dalam wacana kita sendiri.

 

IB:

Jika kita mengikuti dinamika Gerakan Solidaritas Palestina di Barat, kita akan menjumpai istilah ‘Progresif Kecuali Palestina’ atau Progressive Except Palestine’ (PEP), istilah yang menggambarkan bagaimana orang yang mengidentifikasi posisi politiknya progresif baik di sayap kiri atau liberal namun mereka tidak menyatakan dukungan terhadap Palestina atau mengomentari kejahatan Israel. Bagaimana PEP ini muncul dan apa ideologinya dalam perjalanan sejarah menurut pengamatan Anda?

 

Aisha:

Ini dinamika yang sangat menarik. Istilah Progresif Kecuali Palestina (PEP) sangat berguna untuk menyoroti kemunafikan yang diamati oleh banyak orang yang mengaku liberal atau sayap kiri terkait perjuangan Palestina. Fenomena ini cukup umum terjadi di Barat. Hingga saat ini, ini adalah posisi default di mana Israel selalu menjadi pengecualian bagi institusi sayap kiri. Ini sebenarnya disebabkan oleh warisan Holocaust di Eropa sendiri. Masih ada penyintas Holocaust yang hidup saat ini yang ingat melarikan diri dari rumah mereka dan pogrom di Eropa yang mengusir mereka. Banyak keturunan mereka yang meninggal di kamp konsentrasi, dan mereka ingat cerita orang tua dan kakek nenek mereka.

 

Jadi dalam banyak hal, trauma itu masih sangat terasa di Eropa mengingat sejarah tersebut masih cukup baru. Karena [negara] Israel kemudian dianggap sebagai solusi dan cara bagi Eropa untuk menebus kejahatannya. Mari kita ingat meski mereka sekarang melontarkan tuduhan anti-Semitisme kepada Muslim atau pendukung Palestina dan orang-orang di Selatan global, namun Israel dianggap sebagai solusi atas hal tersebut. Padahal karena orang-orang Eropa hingga 70 tahun terakhir paling anti-Semit dan mengusir mereka keluar dari tanah mereka, maka [negara] Israel  adalah solusi dan cara bagi mereka untuk mengatakan bahwa, “oh, lihat, kami sekarang mendukung orang-orang Yahudi di negara Yahudi,” kritik terhadap Israel biasanya tidak dibahas, bahkan di kalangan sayap kiri.

 

Ada penyatuan yang disengaja dalam banyak hal oleh banyak politisi dan kelompok lobi antara anti-Zionisme dan anti-Semitisme untuk mencegah kritik bahwa “Anda tidak bisa menjadi anti-Zionis” karena nanti Anda akan menjadi anti-Semit. Jadi di Barat, menjadi progresif atau berhaluan kiri bukan berarti menentang kolonialisme pemukim Israel, melainkan tentang mendukung kebijakan ekonomi yang mengurangi kesenjangan atau mendorong keberagaman dan inklusi. Ini bukan tentang pembebasan radikal dari kapitalisme dan imperialisme.

 

Ini banyak kita lihat sekarang dari generasi muda milenial dan Gen Z dengan aktivisme mereka untuk dekolonisasi, yang menyadari bias yang telah tertanam di dunia yang sebelumnya diterima luas dan sebenarnya muncul akibat pengalaman sejarah Eropa, apakah itu pengalaman sebagai negara penjajah atau sejarah mereka yang melanggengkan genosida seperti Holocaust.

 

Kini orang menyadari bahwa pengalaman sejarah Eropa tak perlu menentukan keterlibatan para aktivis atau gerakan progresif. Itu sebabnya kita melihat meningkatnya intoleransi di AS terhadap politisi seperti Alexandria Ocasio-Cortez dari basis pendukungnya, yang tidak senang dengan responnya terhadap genosida dan terlambat menyatakan genosida serta dukungannya yang terus-menerus terhadap Biden. Mereka mengharapkan generasi muda yang lebih baik darinya yang tidak mengira dia mewarisi pandangan PEP yang dianut oleh banyak kaum liberal lainnya. Jadi wacana itu pasti sudah ada. Tapi saya merasa sekarang kita menghadapi tantangan yang lebih dari yang pernah kita lihat sebelumnya.

 

 IB:

Dengan adanya pandangan PEP, pasca 7 Oktober juga diisi gerakan yang mendesak siapa pun yang punya hak istimewa, wewenang, dan pengaruh untuk secara terbuka menyatakan posisinya terhadap situasi di Palestina saat ini. Namun, pada saat yang sama, kita melihat ketika masyarakat bersuara keras mendukung Palestina, banyak sekali intimidasi dan marginalisasi yang mereka terima seperti masuk daftar hitam dari komunitas tertentu dan tuduhan anti-Semit yang juga disinggung Aisha tadi. Bagaimana semua ini bisa terjadi sekarang?

 

Aisha:

Bagi saya, sejujurnya ini adalah kemunduran terhadap pedoman standar mengenai siapa ytang pantas mati dari sebagian besar umat manusia. Sayangnya kita hidup di dunia di mana orang kulit hitam dan coklat mengalami perlakuan tidak manusiawi dalam kehidupan publik, baik sadar maupun tidak sadar. Dan proyek kolonial benar-benar dibangun berdasarkan hal itu, bukan? dibangun berdasarkan asumsi bahwa ras yang berbeda itu adalah sub-manusia.

 

Eksperimen yang dilakukan terhadap orang kulit hitam dan coklat di koloni dan sesudahnya baru diketahui secara luas saat ini. Kita telah mencatat dalam buku-buku sejarah, kebun binatang manusia, misalnya, yang paling menonjol pada abad ke-19 dan ke-20 di Eropa dan di tempat lain yang dirancang untuk menunjukkan keunggulan budaya kulit putih Barat versus orang-orang liar di Afrika, Amerika Selatan, Asia, Timur Tengah. Meskipun pameran ekstrem seperti ini sudah jelas adalah masa lalu, kita tidak memiliki kebun binatang manusia saat ini, namun penggambaran orientalis dan rasis terhadap orang non-kulit putih sangat umum terjadi di media modern, baik media hiburan maupun berita yang kita konsumsi.

 

Jadi, apa mengejutkan jika peristiwa tanggal 7 Oktober, yang banyak di antaranya terlalu dilebih-lebihkan dan terbukti salah, seperti semua mitos seputar pemenggalan dan pembakaran bayi? Apa mengejutkan bahwa ini menimbulkan lebih banyak simpati daripada gambaran anak-anak berkulit coklat yang benar-benar mati kelaparan? Bahkan pada minggu kita merekam diskusi ini, tujuh pekerja bantuan yang berasal dari berbagai negara Barat telah terbunuh, menimbulkan kecaman dan tuntutan gencatan senjata dari para komentator dan pemerintah Barat, yang selama ini diam atas kematian 20.000 perempuan dan anak-anak berkulit coklat.

 

Mereka yang terlihat seperti orang Eropa dan Amerika yang berbicara bahasa Inggris, serta lima juta orang Israel sebagai warga negara ganda dari negara-negara Barat lainnya. Mereka inilah yang di mata Barat jauh lebih layak mendapatkan kemanusiaan dibandingkan orang-orang berkulit coklat, terutama mereka yang Muslim yang dianggap terbelakang, menindas, dan penuh kekerasan. Sangat menyedihkan melihat problem moral yang dihadapi oleh organisasi-organisasi Barat untuk mendukung perspektif itu.

 

Namun, banyak jaringan berita mendapat tantangan internal karena dalam banyak kasus mereka mengambil keputusan editorial untuk tidak menggunakan kata seperti pembantaian untuk menggambarkan kematian massal di Gaza. Karena ada argumen bahwa pembunuhan ini, kematian ini dilakukan dari jarak jauh, tentunya karena militer Israel melakukannya dari jauh. Jadi hal ini seolah tidak mengandung kebrutalan seperti yang dijelaskan tadi. Ini sangat bias. Siapapun yang melihat gambar atau video dari Gaza akan yakin bahwa kita sedang menyaksikan kekejaman yang paling brutal, mengerikan dan biadab di zaman kita. Fakta bahwa Israel telah berhasil mencapai hal tersebut tidak membuatnya menjadi kurang kejam. Itu hanya berarti bahwa mereka telah mengasah keahlian mereka dalam menampilkan barbarisme jarak jauh. Menembak dari udara tidak kalah dahsyatnya dengan menembak dari darat. Orang-orang masih sekarat dengan cara yang sangat menyakitkan. Terdapat bukti nyata mengenai niat serangan-serangan yang tidak manusiawi ini bersifat genosida. 

 

Jadi pilihan media Barat untuk tidak menggunakan istilah ini adalah untuk mengecilkan parahnya kejahatan Israel sekaligus menjelekkan tindakan orang-orang Palestina. Meskipun kita berbicara tentang bagaimana reputasi Israel telah hancur karena semakin banyak orang yang mengetahui kejahatan ini. Ada kesadaran yang lebih besar. Namun, di antara demografi tertentu, menurut studi baru-baru ini oleh Pew Research Center, terungkap bahwa 50% orang Amerika sebenarnya tidak tahu pihak mana yang lebih banyak mengalami kematian, Israel atau Palestina. Kita tahu jumlah korban tewas resmi di Israel adalah 1.200 orang dan korban jiwa di pihak Palestina lebih dari 30.000 orang. Benar-benar mengejutkan. Ini merupakan pandangan yang mungkin lebih dominan di kalangan generasi tua, yang kurang mendapatkan informasi dari media sosial. Jadi asumsi mereka tidak dipertanyakan dan mereka tidak mencari media alternatif. 

 

Ini mencerminkan bagaimana kecenderungan media-media lama yang menyajikan fakta sesuai dengan status quo narasi Barat sungguh mempengaruhi pemahaman terhadap fakta nyata di lapangan, apalagi dengan siapa orang-orang akhirnya bersimpati. 

 

IB:

Serangan 7 Oktober juga telah setidaknya secara mendasar mengubah pandangan terhadap gerakan massal dan gerakan bersenjata. Kita melihat masyarakat luas mulai menyadari bahwa pertanyaan “tapi apa kamu mendukung Hamas?” seolah membenarkan genosida atas rakyat Palestina. Menurut kami ini telah menarik kesadaran masyarakat yang lebih luas bahwa agenda GWOT [Global War on Terror] yang dicanangkan AS setelah 9-11 secara global telah merugikan tidak hanya Palestina tetapi juga negara-negara mulai dari Irak hingga Afghanistan, seperti yang kita lihat di berita. Judith Butler, seorang post-strukturalis dan feminis, bahkan secara eksplisit menyebut serangan Hamas sebagai gerakan bersenjata, bukan sekedar terorisme seperti yang banyak dikatakan orang Barat tentang Hamas.

 

Namun, pandangan ini mendapat banyak kritik di Barat karena sebagian besar kaum liberal bahkan menyebutnya bangkrut secara moral. Kita juga melihat masih banyak masyarakat yang bingung terhadap serangan Hamas terhadap Israel. Mengapa gerakan pembebasan saat ini dipandang sebagai tujuan yang kurang mulia dibandingkan dengan sikap non-kekerasan bagi banyak orang?

 

Aisha:

Sayap militer Hamas dianggap organisasi teroris oleh Inggris dan Amerika. Anda telah menyebutkan perang global melawan teror yang jelas-jelas dimulai oleh AS setelah 9-11. Dunia Barat umumnya sejak peristiwa 9-11 dan perang global melawan teror, memaknai kelompok teroris dan masyarakat luas memahami bahwa ada tidak ada pembenaran untuk semua ini. Jika kita mulai mencoba dan mempelajari alasan di balik kemarahan masyarakat dan mengapa serangan teror ini terjadi, maka kita membenarkan terorisme, bukan? Hal ini dimulai pada masa pemerintahan George W. Bush, di mana ia sangat terkenal karena mengatakan “kami tidak bernegosiasi dengan teroris.” Hampir ada pandangan bahwa jika seseorang adalah teroris, maka mereka sudah menjadi sub-manusia sepenuhnya. Mereka melakukan kekejaman yang mengerikan ini. “Kami bahkan tidak akan mencoba dan terlibat. Mereka layak untuk dihancurkan.” Jelas, tidak ada seorang pun di sini yang mencoba membela aksi terorisme. Hal ini cukup jelas dan tidak perlu disebutkan, namun sayangnya perlu dinyatakan karena banyak orang ingin menggambarkan perempuan Muslim yang berbicara tentang kekerasan non-negara sebagai pembenaran terorisme.

Jelas tidak ada seorang pun di sini yang mencoba membela terorisme. Tapi ada sesuatu yang bisa dikatakan tentang cara label tersebut digunakan untuk menutup pembicaraan tentang mengapa orang merasa tidak puas, bukan? mengapa perlawanan dengan kekerasan justru terjadi. Penting untuk diingat bahwa orang-orang Palestina sendiri sebagai kelompok yang berada di bawah pendudukan berdasarkan hukum internasional mempunyai hak untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan pendudukan mereka.

Sekali lagi, tentu saja, hal ini tidak membenarkan terorisme, namun kita perlu mempertanyakan bagaimana kata-kata ini digunakan dan bagaimana wacana ini diterapkan ketika menyangkut Palestina. Latar belakang ini juga disertai dengan apa yang baru saja kita bicarakan mengenai dehumanisasi terhadap warga Palestina sendiri. Ini mempunyai peranan besar dalam cara pandang terhadap isu ini. Anda bertanya mengapa pembebasan dipandang sebagai tujuan yang kurang mulia dibandingkan perdamaian tanpa kekerasan? bagi banyak orang, hal tersebut terjadi karena hal ini tidak dilihat sebagai perjuangan pembebasan. Hal ini terlihat ketika Israel, negara sekutu Barat dan dianggap satu-satunya negara demokrasi di Timur Tengah, seolah diancam oleh sekelompok orang yang dasarnya teroris kejam dengan klaim agama bersejarah yang mereka katakan atas wilayah tersebut.

 

Bagi banyak orang, semua ini baru dimulai pada tanggal 7 Oktober dan karena itu dimulai dengan, “apakah Anda mengutuk serangan Hamas terhadap Israel?” Dan kejahatan Israel sebelumnya serta pelanggaran terus-menerus terhadap hukum internasional selama 76 tahun terakhir dianggap sebagai sejarah kuno yang tidak relevan. Atau bahkan jika kita berkata, oh, tahukah Anda? pemukiman ilegal adalah hukum internasional yang sah, tapi tidak ada yang membenarkan terorisme. Oleh karena itu, Palestina masih tertinggal. Mereka tetap dianggap orang-orang yang melakukan kesalahan yang lebih besar. Selain itu, jika kita menengok ke belakang dan melihat sistem secara keseluruhan, melihat konflik di seluruh dunia saat ini, kita dapat dengan pasti mengatakan bahwa Barat berperilaku dan berbicara seolah-olah mereka satu-satunya pihak yang berwenang atas konflik-konflik tersebut, punya legitimasi melakukan kekerasan. Kita melihat hal ini dengan Ukraina. Setelah serangan Hamas, wacana dari politisi Barat fokus pada hak Israel untuk mempertahankan diri. Rakyat Palestina tidak punya hak untuk membela diri, meski secara teknis menurut hukum internasional mereka berhak melakukannya. Dalam arus utama, perang ini di Barat terasa jauh. Seolah punya moral, dianggap proporsional, sementara tindakan aktor non-Barat, khususnya aktor non-negara, hampir selalu dianggap sebagai terorisme sampai terbukti sebaliknya.

 

Hal ini tampak menunjukkan bahwa masyarakat tertindas non-kulit putih harus menjadi korban yang sempurna agar dunia dapat bersimpati dengan penderitaan mereka. Dan respons mereka terhadap penindasan haruslah bersifat pasifisme, meski kekerasan harus mereka hadapi setiap hari. Walaupun jelas tidak ada satu pun dari kita di sini yang ingin hidup di dunia di mana kekerasan adalah hal yang biasa dan kita bisa bersimpati dengan semua korban jiwa, kita tidak bisa membiarkan seseorang merampas hak orang lain dan kemudian mengharapkan tidak akan memancing reaksi dari kaum tertindas. 

 

IB:

Indonesia adalah salah satu negara Muslim terbesar di dunia, namun kita melihat besarnya ekspresi solidaritas terhadap Palestina yang berbeda. Di Barat dan bahkan di Yaman, Mesir, Yordania, masyarakat turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi besar-besaran guna mendukung Palestina. Di Indonesia, kita hanya melihat beberapa peristiwa besar, unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan oleh kelompok Muslim dan beberapa aksi kecil yang dilakukan oleh LSM dan kelompok sayap kiri.

 

Menurut Anda, apakah situasi gerakan solidaritas di Utara global atau negara-negara Barat mencerminkan atau mengalami fragmentasi seperti yang terjadi di Indonesia? saya ingat salah satu kata dari Imam Tom Facchine. Dia mengatakan bahwa umat Islam di Amerika Serikat memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk memprotes Israel karena berbeda dengan Selatan global, semua sumber daya dan kekuasaan yang kuat ada di Amerika Serikat dan oleh karena itu, umat Islam disana memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk melakukan advokasi dan protes terhadap hal ini. Bagaimana Anda memandangnya? mungkin Anda bisa menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok berbeda di Utara global, negara-negara Barat ini beraliansi satu sama lain dalam gerakan solidaritas Palestina.

 

Aisha:

Saya kira pernyataan Imam Tom Facchine benar. Umat Muslim di AS secara umum memiliki tingkat kebebasan berpendapat yang lebih tinggi dan tentunya juga pembayar pajak dolar AS membayar untuk genosida ini. Umat Islam di AS tentunya memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk memastikan bahwa suara mereka didengar dan melakukan apa pun yang mereka bisa untuk mengubah dukungan terhadap Israel yang diberikan oleh negara tempat mereka tinggal.

 

Meski kita melihat beberapa protes dari tempat-tempat seperti Yordania dan Mesir, mereka menghadapi penindasan yang sangat parah dari negara karena negara sebenarnya tidak ingin mereka menunjukkan protes sekuat itu. Jika mereka menunjukkan ketidakpuasan mereka hanya terhadap Israel, itu bisa diterima. Namun ketika mereka mulai menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap pemimpin mereka sendiri terhadap isu Palestina dan penolakan untuk memberikan dukungan memadai kepada Palestina, pada saat itulah protes mereka tidak lagi ditoleransi. Jadi tentu saja bagi kita yang berada di negara-negara dan khususnya orang-orang di Barat yang, bagaimanapun juga, memiliki hak atas kebebasan berpendapat, membuat suara mereka didengar adalah hal yang sangat penting.

 

Saya pikir secara umum kita telah melihat banyak penyatuan dan aksi di Barat di antara berbagai kelompok saat ini. Pastinya ada organisasi-organisasi Muslim terkemuka yang berada di garis depan dalam mengorganisir beberapa protes, mengorganisir Kampanye Solidaritas Palestina yang kami adakan di Inggris. Namun, hal ini juga didukung oleh sejumlah organisasi non-Muslim. Dan tentu saja, oleh karena itu, terdapat perpecahan seperti dalam gerakan-gerakan berskala luas lainnya dalam hal fakta bahwa orang-orang mungkin tidak setuju ketika Anda membahas detil seperti apa solusi seharusnya atau apa cara tepat untuk mencapai tujuan misalnya Palestina merdeka untuk diorganisir. Namun saat ini, fokusnya adalah mencapai gencatan senjata permanen dan mengakhiri dukungan Barat terhadap pendudukan sehingga rakyat Palestina dapat memutuskan nasib sendiri. 

 

Menyegarkan melihat beberapa orang mengomentari hal ini di media sosial, di mana orang-orang Israel berusaha untuk mencegah dukungan terhadap Palestina dengan sering menekankan fakta bahwa sebagai Muslim dan karena identitas Islam mereka, kecil kemungkinannya mereka akan misalnya, mendukung tujuan progresif lainnya di Barat seperti isu LGBT. Beberapa informasi dan propaganda yang datang dari Israel adalah, bahwa “orang-orang ini anti-LGBT” sementara semua gerakan progresif sayap kiri di Barat mendukung mereka [LGBT]. Terkadang Anda melihat di media sosial orang-orang merespons dan mereka berkata, itulah nilai-nilai mereka. Kita tidak perlu membicarakan hal itu sekarang, terlepas dari apakah kita setuju atau tidak dengan mereka mengenai isu sosial seperti gerakan LGBT. Hal ini tidak berarti bahwa mereka [Palestina] layak hidup di bawah penjajahan dan genosida. Ini menyegarkan melihat setidaknya ada rasa kemanusiaan yang sama sehingga masyarakat dapat bersatu dan mengarahkan tindakan mereka untuk menyelamatkan nyawa.

 

Namun, ada satu jenis kesalahan atau fragmentasi yang kita hadapi di Barat sebagai masalah yang lebih luas, yaitu meski banyak pendukung Palestina melakukan hal itu atas dasar perjuangan anti-imperialis dan bahwa Israel merupakan pos terdepan imperialisme Barat di Timur Tengah. Jadi AS dan Israel digambarkan sebagai orang jahat dan semua orang yang bersama mereka adalah orang jahat dan semua orang yang menentang mereka dianggap orang baik. Ini sering menyebabkan banyak pendukung Palestina mengabaikan kejahatan rezim lain terhadap umat Islam. Sebagai contoh, mereka yang mendukung kelompok ini akan tetap mendukung Rusia dan pemerintah Suriah dalam respons brutalnya terhadap Arab Spring dan perang saudara yang telah berlangsung sejak saat itu. Banyak dari orang-orang ini akan menyangkal laporan penahanan Muslim oleh Pemerintah Cina dan perlakuannya terhadap kelompok minoritas di negara tersebut. Ini problematis karena bagi kita sebagai umat Islam, setidaknya darah saudara-saudari kita di mana pun di dunia adalah suci bagi kita. Ini harus menjadi garis merah. Semua hilangnya nyawa manusia jelas buruk. Tapi kita tidak bisa memihak siapa pun yang melakukan kampanye atau perang melawan Muslim lainnya. Hanya karena negara seperti Rusia mengecam Israel bukan berarti negara tersebut tidak mampu melakukan kejahatan mengerikan terhadap umat Islam di negara lain, baik terhadap warga Suriah atau masyarakat pada umumnya, misalnya di Ukraina.

 

Jika sungguh membela keadilan, kita sebagai umat Islam perlu menentang semua itu dan tidak hanya terjebak dalam biner yang mengatakan, oh, Barat itu jahat dan semua orang yang menentang Barat itu baik. Sayangnya, orang, negara, dan pemerintah di mana pun bisa melakukan kejahatan dan kita harus menjadi pembela keadilan di setiap situasi dan tidak melihat kontradiksi dalam menyerukan Amerika Serikat dan Israel dan juga Rusia. Namun dalam gerakan pro-Palestina, analisis politik dan sudut pandang ideologis mereka mengarahkan mereka ke arah yang sama. Ini terkadang disayangkan.

Saya tahu banyak warga Suriah di Barat dan di tempat lain yang merasa dikhianati oleh pendukung Palestina karena mereka sebenarnya mendukung kebohongan dan misinformasi yang disebarkan oleh Rusia dan pemerintah Suriah atas kejahatan yang mereka lakukan terhadap rakyat Suriah. Mengecewakan ketika seseorang pendukung Palestina dapat jelas melihat kejahatan yang dilakukan Israel, namun tidak dapat melihat kejahatan yang dilakukan rezim lain terhadap umat Islam di tempat lain.

 

IB:

Apa pendapat Anda mengenai gerakan feminis arus utama di Barat? Judith Butler adalah satu dari sedikit feminis yang berani bicara tegas mengenai masalah ini. Khususnya para feminis Muslim, kita belum pernah mendengar pernyataan publik mereka atau apa pun di Barat yang menyuarakan solidaritas untuk Palestina. Apakah jumlah mereka sangat kecil sehingga mereka bergabung ke gerakan sosial atau organisasi Islam yang lebih luas? Atau menurut Anda adakah gejala Progresif Kecuali Palestina yang terjadi di antara mereka? Hal ini juga bisa kita refleksikan di Indonesia nanti.

 

Aisha:

Saya rasa Anda benar bahwa selama ini respon dari kaum feminis pada umumnya sangat kurang dalam menyuarakan solidaritas terhadap perempuan Palestina. Saya tidak dapat berbicara atas nama banyak feminis Muslim, selain karena hanya ada beberapa akademisi dan mereka belum tentu mengomentari setiap situasi politik, meskipun Anda mungkin berpikir bahwa tiap orang bertanggung jawab untuk berbicara menentang genosida, namun mereka tidak mengomentari isu-isu seperti ini secara umum, karena tidak ada kelompok besar atau kelompok feminis Muslim yang bisa saya harapkan mendengar suara mereka.

Saya yakin tentu saja ada simpati luas dari seluruh organisasi Islam. Namun dalam kaitannya dengan feminis pada umumnya, saya pikir kita belum melihat adanya suara-suara yang secara jelas disuarakan untuk membela perempuan Palestina, dan pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap perempuan Palestina tidak hanya terbatas pada perang ini. Laporan kekerasan, pelecehan dan pemerkosaan di penjara-penjara Israel telah dilaporkan sebelumnya. Bahkan ada dampak yang lebih berbahaya lagi yang berdampak pada seluruh masyarakat Palestina.

 

Ada seorang antropolog Amerika, David Graeber, yang menulis pada tahun 2015 tentang bagaimana salon perempuan di Tepi Barat tersembunyi. Anda tidak akan menemukannya di jalan utama. Ketika Anda pergi dan ternyata tidak bisa masuk karena Anda harus membuat janji, dan mereka tidak lagi menyajikan teh untuk pelanggannya. Hal ini terjadi karena pada tahun 1980an, agen Mossad membubuhkan obat bius di salon perempuan Palestina. Mereka kemudian mengambil foto telanjang perempuan Palestina, yang kemudian digunakan untuk memeras anggota keluarga mereka agar menjadi informan.

 

Graeber sebenarnya berpikir ini terdengar seperti mitos paranoid, namun dia menemukan bahwa ada bukti dari agen Mossad yang mengaku secara anonim bahwa ini adalah praktik yang dulu mereka lakukan. Akibatnya, salon perempuan Palestina tidak lagi menyajikan teh. Sesuatu yang tampak begitu sederhana, namun sebenarnya memiliki sejarah yang sangat kelam di baliknya. Itu adalah sesuatu yang harus dijalani oleh kaum perempuan sejak lama. 

 

Dalam beberapa minggu terakhir, para ahli dari PBB menerima laporan terpercaya mengenai pemerkosaan dan perempuan yang diancam dengan kekerasan seksual. Penting untuk dicatat bahwa satu laporan tentang seorang perempuan hamil yang diperkosa di depan keluarganya bukanlah salah satu insiden terverifikasi yang dilaporkan. Saya katakan demikian karena kita di pihak Palestina tidak perlu menciptakan kekejaman untuk mendapatkan simpati publik. Jika suatu rumor tidak memiliki bukti kuat, kita tidak masalah untuk menyatakannya. Kita paham standar bukti tertentu perlu dipenuhi agar suatu klaim dapat dipercaya. Ini berbeda dengan banyak laporan kekerasan seksual dari Israel yang tidak ada bukti substansial tentang pemerkosaan sistematis massal yang diduga terjadi selama serangan 7 Oktober meskipun laporan yang belum dikonfirmasi tersebut diulangi ribuan kali oleh saluran berita dan politisi sampai hari ini.

 

Sebaliknya, kita telah melihat beberapa kasus dugaan pemerkosaan yang paling banyak dipublikasikan kemudian dibantah. Ini telah dikonfirmasi oleh beberapa penyelidikan. Baru-baru ini, investigasi Al Jazeera juga membuat film dokumenter mengenai hal ini, di mana mereka menyoroti banyak masalah dalam narasi yang muncul setelah serangan tersebut. Namun tentu saja, saat ini kita sedang melihat situasi di Gaza, dan ada banyak laporan mengenai perempuan yang ditahan mengalami kekerasan seksual dari tentara Israel. Selain itu situasi yang umumnya dihadapi perempuan dan ibu sangat mengerikan. Setidaknya 184 perempuan melahirkan setiap hari di Gaza, dan mereka kini kebanyakan melahirkan bayi dengan berat badan kurang tanpa pengobatan apa pun. Ada laporan tentang perempuan yang menjalani operasi caesar tanpa anestesi apa pun. Bayi prematur mengalami peningkatan sebesar 30%. Setidaknya 155.000 ibu hamil dan menyusui berisiko tinggi mengalami malnutrisi. Ini sungguh bencana besar karena dampak jangka panjangnya terhadap generasi perempuan dan anak perempuan tidak bisa disepelekan. Namun informasi ini sengaja disimpan oleh jaringan media arus utama yang menganggapnya tidak cukup layak untuk diberitakan, dan juga oleh organisasi-organisasi perempuan yang Anda pikir punya pendapat mengenai hal itu.

 

 IB:

Kita belum banyak mendengar organisasi-organisasi Islam atau feminis di Indonesia berbicara tentang Palestina, karena isu Palestina juga dapat dengan mudah dicap ke dalam spektrum kanan atau ini adalah wacana Muslim konservatif yang radikal saat membela Palestina. Jadi ada label yang mudah dilontarkan ke umat Islam setiap kali mereka bicara Palestina dan beberapa orang akan berkata, “oh, itu tidak religius, tidak ada yang religius. Ini murni soal perebutan tanah,” misalnya, atau bahkan ada yang justru merasa “Palestina baik-baik saja. Tidak ada masalah dengan Palestina” atau bahkan pro-Israel.

Sejujurnya, pemerintah Indonesia punya semacam kerja sama perdagangan dengan Israel, namun hal ini tidak disebutkan secara terang-terangan. Ada para pemimpin Muslim yang diundang ke Israel dan menjadi sangat bersahabat dengan Israel alih-alih memiliki pendirian yang kuat terhadap Palestina di bawah bendera perdamaian, toleransi dan sesama agama Ibrahim, “jangan melakukan perlawanan terhadap pendudukan” atau hal-hal semacam itu. Bahkan ada para da’i yang berafiliasi dengan organisasi-organisasi Islam besar mengatakan “Al-Aqsa dan Palestina baik-baik saja.” Ini agak menyedihkan. Menurut Anda mengapa hal seperti ini terjadi di Selatan global, di negara-negara dengan komunitas Muslim yang besar dan pernah mengalami kolonialisme yang sama?

 

Aisha:

Hal ini sangat mengecewakan untuk didengar. Saya juga bingung bagaimana negara dengan populasi Muslim tertinggi di dunia tidak bisa melihat bahwa mobilisasi yang signifikan melawan pendudukan adalah tujuan yang perlu mendapat dukungan luas. Sangat menyedihkan juga karena sebagai seorang Muslim ini merupakan kewajiban yang dimiliki oleh orang-orang seiman lainnya dan seperti yang Anda katakan, beberapa orang mengatakan bahwa mereka khawatir jika masalah ini menjadi masalah Muslim. Saya rasa kita tidak perlu menghindar untuk mengidentifikasinya sebagai isu Muslim. Ini bukan hanya persoalan umat Islam. Ini mungkin relevan bagi banyak orang yang mengidentifikasi diri dengan perjuangan untuk keadilan dan perlawanan terhadap kolonialisme pemukim, tapi ini persoalan umat Islam karena melibatkan umat Islam dan kebetulan juga melibatkan situs tersuci ketiga dalam Islam. Bukan berarti menghapus kehadiran umat Kristen di Palestina, namun jika dilihat dari segi jumlah, mayoritas penduduknya adalah Muslim, begitu pula dengan warga Palestina, dan mereka sendiri sering dimobilisasi untuk mendukung nilai-nilai Islam, slogan-slogan Islam, dan sebagainya.

 

Jadi kita tidak perlu menghapus ke-Muslim-an mereka agar bisa diterima, sama seperti orang lain juga tidak perlu menghapus kemanusiaan mereka atau menjadi Muslim agar bisa bersimpati pada Palestina. Keduanya bisa berdampingan bersamaan. Tapi sebagai umat Islam, ketika kita melihatnya dari kacamata kemanusiaan, kita juga melihatnya dari kacamata Muslim. 

Nabi Muhammad SAW menggambarkan umat sebagai satu tubuh, yaitu ketika salah satu bagiannya menderita suatu penyakit, maka bagian tubuh lainnya akan gemetar kesakitan dan gelisah. Beliau membuat perbandingan ini untuk menunjukkan bahwa jika umat Islam di suatu tempat menderita, maka hal tersebut memerlukan perhatian, simpati dan upaya untuk memperbaiki situasi tersebut dari umat Islam lainnya di dalam umat, di mana pun mereka berada. Ini adalah sesuatu yang perlu kita jadikan prioritas, tidak hanya bagi mereka yang kebetulan tertarik pada politik, Timur Tengah atau kolonialisme.

Sebagai umat Islam ini adalah sebuah kewajiban yang harus kita pikirkan karena orang-orang ini menderita dan hal ini sangat penting bagi kita sebagai umat Islam. Anda menyebut tentang hubungan perdagangan antara Indonesia dan Israel. Hal ini juga sangat disayangkan dan tentunya bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Hubungan ini adalah hal pertama yang perlu kita lihat dari tindakan negara-negara Muslim. Benar-benar tidak masuk akal, bahwa di tengah boikot konsumen di seluruh dunia terhadap perusahaan-perusahaan yang mendukung pendudukan, hal tersebut mengalami beberapa keberhasilan, entah itu dalam nilai saham beberapa perusahaan tersebut. 

 

Saya mendengar bahwa McDonald’s berniat membeli kembali semua waralabanya di Israel karena kerusakan yang ditimbulkan oleh waralaba Israel dalam menyediakan makanan gratis kepada tentara IDF memicu boikot yang meluas. Dan mereka sedang mencoba, Anda tahu, untuk menebusnya sekarang. Jadi di tengah pemikiran semua orang di dunia tentang bagaimana kita tidak bisa membeli minuman bersoda, kita tidak bisa membeli ini, kita tidak bisa membeli itu, negara-negara Muslim terus memasok Israel dengan sumber daya yang mereka perlukan untuk melakukan genosida. Jika tidak sekarang lalu kapan? Apa yang akan menghentikan mereka? Dan maksud saya, alih-alih mempertimbangkan hal tersebut, kita melihat kemarin bahwa duta besar UEA untuk Israel sebenarnya menghadiri acara buka puasa yang diadakan oleh pemerintah Israel dan digambarkan sedang duduk di samping Presiden Israel Herzog. Hal ini terjadi setelah Emirates menjadi tuan rumah bagi delegasi Israel lainnya pada bulan Desember. Ini benar-benar sebuah kemarahan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang kita harapkan dari para pemimpin Muslim di seluruh dunia yang seharusnya bekerja sama dan melakukan segala yang mereka bisa untuk menekan Israel agar berhenti membuat rakyat Palestina kelaparan. Sebaliknya, kita melihat mereka duduk dan makan bersama mereka, berbuka puasa bersama mereka. Bagaimana orang bisa berpikir bahwa hal itu dapat diterima dari sudut pandang moral, politik, dan agama? Ini benar-benar tidak bisa diterima. 

 

Banyak orang menunjuk ke Mesir. Mereka bilang Mesir berbatasan dengan Gaza. Mengapa bantuan tidak disalurkan? Anda tahu, Israel telah bekerja sama dengan Mesir selama bertahun-tahun untuk memastikan bahwa perbatasan tetap ditutup, kecuali dalam keadaan yang paling mengerikan. Tapi mengapa mereka tidak bisa menentang perintah Israel? Mengapa mereka tidak dapat melakukannya? Banyak orang mengira itu karena mereka tidak mampu melakukan hal itu. Tapi bukan itu alasannya. Bukan karena mereka tidak mampu atau takut, melainkan karena kepentingan mereka sebagai politisi dan kepala negara sekuler, bukan kepentingan untuk melampaui batas negara mereka dan melakukan pengorbanan demi Allah, demi membantu saudara-saudara Muslim mereka di dalam negeri. Apalagi jika hal itu dapat memancing reaksi Israel.

 

Bahkan ketika rakyat mereka menuntut tindakan, ketika terjadi protes massal di Yordania dan Mesir, mereka lebih peduli untuk menghilangkan sentimen tersebut dan mencegah agar protes tersebut tidak semakin besar atau menonjol daripada mengambil tindakan sekecil apa pun terhadap Israel. Genosida ini kembali menegaskan fakta bahwa para pemimpin politik Muslim tidak mewakili umat atau kepentingan umat sedikit pun. Ini adalah sesuatu yang benar-benar perlu diubah.

 

Anda menyebutkan tentang organisasi Muslim tertentu yang bahkan mengupayakan perdamaian dengan Israel dan apakah hal ini juga kita lihat di negara lain. Hal ini juga kita lihat di negara-negara Barat dan hal ini didukung terutama oleh kelompok lobi Israel. Mereka sering mengelola kemitraan strategis antaragama dan mengatur perjalanan ke Israel. Mereka membawa para pemimpin komunitas Muslim ke Israel dalam perjalanan yang didanai negara dan mereka mengatakan bahwa kami akan menunjukkan kepada Anda kedua sisi. Mereka [kelompok lobi] ini menyuruh mereka [pemimpin Muslim] pergi dan bertemu orang-orang di pihak Palestina dan menunjukkan kepada mereka orang-orang di pihak Israel, dan mereka mendapatkan banyak makan siang dan wisata, tur menarik di sekitar situs bersejarah di Yerusalem.

 

Untungnya, inisiatif ini hampir seluruhnya ditolak oleh komunitas Muslim di Barat. Para pemimpin masyarakat yang mengambil bagian di dalamnya sering kali sudah terpinggirkan. Mereka sering mendapat penolakan keras ketika mereka kembali. Namun gagasan bahwa masyarakat dan tokoh masyarakat atau cendekiawan di negara-negara Muslim juga akan menyuarakan retorika yang sama, “oh, sebenarnya, situasinya tidak seburuk yang kita kira. Al-Aqsa baik-baik saja karena masalahnya lebih rumit. Kedua belah pihak harus datang ke meja perundingan.” Itu sangat mengecewakan.

 

IB:

Ini menarik dan saya mau membawa ini ke hal yang Anda sebutkan. Ya, ada dasar agama mengapa kita membela Palestina. Selain banyak faktor lainnya, karena ini adalah tempat suci ketiga umat Islam. Kita punya Masjid Al-Aqsa dan peristiwa Isra Mi’raj. Jadi ini negeri yang penuh berkah, dimana Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam juga berkali-kali menyebutkannya dalam haditsnya. Jadi ada unsur agama yang tidak bisa kita abaikan. Khususnya pada bulan Ramadhan ini, kita menyaksikan kekejaman terhadap saudara-saudari Muslim kita di sana.

 

Berbicara soal umat, Anda aktif di Ummatics dan di proyek Qarawiyyin. Bisa ceritakan lebih banyak tentang akar sejarah Islam dan gagasan keumatan yang bisa kita miliki saat ini, dan bagaimana kita membangun gerakan global? Ini bisa menjadi gerakan revolusioner bersama dalam isu-isu Palestina dan bagaimana konsep Umat, sebagai seorang Muslim, memperluas solidaritas untuk Palestina dan ke wilayah lain juga, seperti di Kashmir, di Sudan atau di negara-negara mayoritas non-Muslim seperti Kongo atau Papua Barat.

 

Aisha:

Saya pikir ini adalah pertanyaan inti, ketika umat Islam mengamati perang ini dan juga perang kompleks lainnya, seperti yang Anda katakan, yang terjadi di seluruh dunia, apa yang harus kita tanggapi? sebagai umat Islam, kita semua memiliki identitas masing-masing yang terikat pada tempat asal kita, pada kelompok etnis di mana kita berasal. Islam dan Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa sebagai orang yang beriman pada Islam, kita adalah satu tubuh, kita adalah satu umat yang bersatu dan kita punya tanggung jawab dan hak yang sama terhadap satu sama lain. Salah satu hak tersebut adalah kita saling mendukung selama masa penderitaan.

 

Kita juga harus menjadi komunitas yang bersatu sehingga ketika kita mampu memberikan dukungan, tidak hanya itu, oh, kita terpecah belah. Lalu jika ada yang membutuhkan bantuan, bagaimana kita bisa bergerak untuk membantu mereka? Tidak, kita harus memobilisasi dan bersatu sejak awal sehingga kita bisa tumbuh dan sejahtera bersama sebagai satu komunitas. Sangat disayangkan bahwa saat ini konsep ummat terasa sangat abstrak dan asing bagi masyarakat karena negara-negara Muslim terbagi menjadi lebih dari 50 negara bangsa yang berbeda. Kita semua ditanamkan bahwa kita punya bendera yang berbeda, lagu kebangsaan yang berbeda, dan inilah hal-hal yang mendefinisikan kita. Namun sebenarnya, ketika kita akan berdiri di hadapan Allah pada Hari Kiamat, perbedaan tersebut bukanlah bagaimana Dia akan menilai kita. Dia akan menilai kita berdasarkan keyakinan kita dan seberapa dekat kita mengikuti perintahnya kepada umat manusia dan menunjukkan simpati terhadap rekan seiman dan sesama orang di seluruh dunia.

 

Jadi misi kami di Ummatics adalah untuk mempromosikan pendekatan terpadu menuju peradaban Islam di mana kita menyadari bahwa kekuatan kita terletak pada persatuan dan keberagaman kita. Ini bukan berarti semua orang harus sama, namun mencoba mencari tahu bagaimana kita dapat saling mendukung dan mengangkat serta memberdayakan satu sama lain, terutama mengingat banyaknya perjuangan yang dihadapi umat Islam di seluruh dunia saat ini. Institut Ummatics, seperti yang telah Anda sebutkan, memang memproduksi literatur untuk tujuan mempromosikan peradaban Islam yang bersatu. Orang-orang, insya Allah, dapat mengunjungi website kami untuk mengetahui lebih lanjut jika mereka tertarik. Namun pada dasarnya kami mencoba menemukan cara agar kita sebagai umat Islam dapat mengatur urusan kolektif kita, dengan Ummat berperan sebagai wadah untuk keyakinan dan praktik keummatan. Itu mencakup berbagai cabang, tentu saja, bidang sosial budaya, politik, ekonomi, dan agama.

 

Ini adalah wacana yang kita sebagai umat Islam di seluruh dunia terlibat secara transnasional untuk mencoba dan mengkonseptualisasikan serta mewujudkan integrasi yang lebih besar antar wilayah Muslim dengan harapan menciptakan peradaban yang lebih sejahtera dan berbudi luhur. Ini tanggung jawab yang kita miliki di antara kita sendiri, namun ini juga tanggung jawab kita terhadap seluruh dunia. Bagaimana kita bisa bersama-sama membangun gerakan global untuk tujuan yang memerlukan solidaritas kita? ada banyak hal, mulai dari isu kaum Muslim seperti masalah Kashmir, yang jelas menghadapi penjajahan yang sangat mirip dengan Palestina dan semakin menunjukkan persamaan yang sangat mirip ketika orang-orang memandang ekstremis Zionis dan melihat dampaknya terhadap orang-orang Palestina.

 

Kita saksikan perilaku yang sangat mirip dari ekstremis Hindu di India dan bagaimana mereka menargetkan kelompok minoritas, khususnya komunitas Muslim dan masjid selama beberapa tahun terakhir. Jadi itu penyebab yang juga perlu kita perhatikan. Sebagai umat, kita menyadari bahwa mereka juga adalah umat Islam yang menderita. Kita bisa membangun solidaritas berdasarkan hal tersebut. 

 

Kita harus menjadi orang yang beriman dan adil. Allah menggambarkan kita dalam Al-Quran sebagai saksi atas umat manusia yang harus mengajak yang baik dan melarang yang munkar. Kita harus melihat diri kita sebagai umat yang bersatu, sebagai kekuatan pendorong keadilan di dunia, bukan hanya sekedar penonton yang ketika kejahatan terjadi dan semua yang terjadi di tempat yang jauh, “itu tidak ada hubungannya dengan saya.” Ini berlaku untuk isu umat Islam maupun tidak. Pada akhirnya, kita hanya mampu melakukan sesuatu dan mencoba melakukan perubahan serta mendorong kebaikan tersebut ketika kita bersatu, baik dalam semangat dan pendekatan kita serta pola pikir dan visi kita, namun juga dalam tindakan kita

 

Ini, tentu saja, merupakan proyek jangka panjang dan Institut Ummatics adalah salah satu dari beberapa upaya mempromosikan wacana transnasional antara negara-negara Muslim dan menyadari bahwa garis yang memisahkan kita sebenarnya tidak sedalam yang kita telah dituntun untuk percaya. Ini adalah proyek yang berpedoman pada nilai-nilai keislaman kita, walau sulit dan memakan waktu lama, namun tetap harus diupayakan secara aktif. 

 

Untuk mengakhiri dengan sedikit catatan positif dan harapan, apa yang baru saja Anda sebutkan tentang bagaimana setelah para pekerja bantuan ini meninggal, itulah yang diperlukan negara-negara Eropa dan negara-negara Barat untuk bangkit. Menurut saya, hal ini menunjukkan kekuatan persatuan. Eropa berangkat dari salah satu benua yang paling terpecah di dunia, melewati dua Perang Dunia yang menghancurkan seluruh dunia karena dinamika internalnya masing-masing, hanya dalam satu abad terakhir hingga saat ini menjadi blok kekuatan global yang menentukan nasib seluruh dunia. Sekarang warga negara mereka atau orang-orang dari negara-negara tersebut menjadi sasaran konflik ini. Hal itu yang memicu tindakan.

 

Hal ini seharusnya menunjukkan kepada kita sebagai umat Islam bahwa sampai kita bersatu dengan cara yang sama, kita akan memiliki perpecahan yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang terjadi di Eropa. Ketika Anda melihat Perang Dunia Pertama, Eropa pada abad ke-20, kita memiliki lebih sedikit perpecahan sebagai negara-negara Muslim dalam hal jumlah penduduk sebenarnya. Jika mereka dapat mencapai tingkat persatuan itu, kita sekarang berada dalam konflik yang telah membunuh nyawa mereka yang masih begitu berharga dan hal ini akhirnya mendorong tindakan dari pemerintah Barat. Maka kita juga dapat mengupayakan peradaban bersatu bagi masyarakat, negara, dan rekan-rekan seiman kita serta semua orang yang menghadapi ketidakadilan. Jadi, ada hal yang bisa kita ambil dari kemunafikan ini, yang bisa kita perjuangkan, insya Allah, dan tentunya dimulai dengan percakapan seperti ini. 

 

***

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.