Gambaran Umum
Amanat konstitusi dalam rangka membentuk masyarakat Indonesia baru yang mandiri hingga hari ini tidak pernah terwujud. Landreform/Reforma Agraria (LR/RA) sebagai alat untuk membangun sosialisme Indonesia telah dihentikan sepenuhnya. UUPA 1960 yang merupakan pengejawantahan dari amanat konstitusi dikubur bersamaan dengan gelombang pembantaian massal pada 1965.
Dominasi paham pembangunanisme yang diusung oleh negara-negara kapitalis di inti sistem, menjadi pertanda bahwa Indonesia telah kembali ke dalam struktur kapitalisme global. Modernisasi dan pertumbuhan ekonomi dikejar dengan bergantung kembali pada investasi asing dan utang luar negeri. LR/RA segera digantikan dengan agenda pembangunan yang hanya menguntungkan petani-petani kaya dan tuan-tuan tanah. Ini terjadi seturut dengan upaya revitalisasi perkebunan-perkebunan besar. Pemberian konsesi swasta untuk industri ekstraktif yang terus meluas telah mengorbankan banyak petani dan masyarakat adat, bersamaan dengan perusakan lingkungan yang mengiringinya. Eksploitasi tenaga kerja dan penciptaan buruh murah untuk menggerakan mesin kapitalisme pun semakin intensif.
Di pedesaan, proses konsentrasi dan monopoli penguasaan tanah oleh kelas tuan tanah berlangsung secara terus-menerus. Petani miskin,[1] buruh tani, dan petani tak bertanah (landless) semakin banyak jumlahnya. Ketersediaan lahan yang semakin sempit membatasi kesempatan petani untuk menggarap dan bereproduksi. Di satu sisi, 40% (75 juta ha) dari total luas daratan Indonesia telah dikuasai oleh industri ekstraktif berskala besar. Di sisi lain, 120 juta ha telah dinyatakan sebagai Kawasan Hutan yang tidak boleh dilakukan kegiatan pertanian di dalamnya. Hanya tersisa 21 juta ha (2018) untuk lahan pertanian yang tidak pernah sebanding dengan populasi rumah tangga petani yang jumlahnya terus bertambah.[2]
Hasil sensus pertanian (2018) menunjukkan rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga petani hanya mencapai 0,78 ha per rumah tangga. Rumah tangga petani miskin dan tak bertanah (absolute-landless) secara berurutan telah mencapai 59% dan 36% dari total seluruh rumah tangga petani yang ada (sekitar 37 juta).[3] Dengan struktur penguasaan tanah yang demikian, rasio gini ketimpangan penguasaan tanah oleh rumah tangga petani sangat tinggi, tidak pernah berada di bawah 0,5 sejak enam dekade ke belakang, bahkan mencapai 0,7 pada 2018.[4] Angka-angka ini adalah indikasi bagaimana pembangunan yang diinisiasi oleh negara tidak pernah ditujukan untuk merombak struktur penguasaan tanah yang timpang di pedesaan.
Gelombang reformasi juga tidak mengubah kondisi ketimpangan alokasi lahan dan penguasaan tanah yang menjadi penyebab kemiskinan. Sebaliknya, jumlah investasi asing dan dalam negeri untuk pembangunan infrastruktur dan industri ekstraktif semakin menguat. Pencaplokan lahan yang memicu konflik agraria dan kriminalisasi petani masih terus berlangsung di banyak daerah di Indonesia. Di desa-desa, petani dibiarkan berproduksi di bawah hukum besi persaingan usaha tanpa perlindungan negara. Harga sewa tanah dan proposi bagi hasil yang dimonopoli oleh tuan tanah hanya merugikan petani, hingga jeratan utang dan riba dari para tengkulak yang tidak bisa dihindari. Pelepasan tanah oleh petani pun semakin sering terjadi. Konsekuensi logisnya adalah diferensisasi kelas yang semakin mendalam.
Banyak petani dan komunitas pedesaan terpaksa pindah ke kota akibat lahan yang menyempit dan sumber ekonomi di desa yang terbatas. Kesempatan kerja di perkotaan tidak selalu berarti lebih baik secara sosial dan ekonomi. Tidak sedikit yang menggantungkan hidupnya di sektor ekonomi informal atau bekerja serabutan yang lebih rentan terhadap penindasan. Di kota, mereka juga segara dihadapi dengan harga jual/sewa tanah dan akses terhadap fasilitas publik yang tidak murah – prakondisi yang mendorong mereka membangun pemukiman dan perkampungan “kumuh”, dan akhirnya hanya menjadi pemasok tenaga kerja murah di perkotaan. Pada gilirannya, kampung-kampung “kumuh” perkotaan akan dianggap tidak produktif dan tidak memiliki nilai tukar sehingga menjadi dalih bagi pemerintah untuk mengkomodifikasi tanah dan ruang demi pembangunan perkotaan.[5] Hal ini pada akhirnya memungkinkan mereka kembali mengalami penyingkiran.
Di saat yang sama, negara lebih senang memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan swasta melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat khusus untuk itu. Kebijakan yang paling mutakhir terfeleksikan dari UU Cipta Kerja yang dibuat di atas asumsi bahwa investasi swasta adalah juru selamat bagi pertumbuhan ekonomi. Proses pengadaan tanah untuk korporasi pun akan semakin dipercepat melalui rencana pembentukan institusi Bank Tanah. Pembangunan dijalankan di dalam kerangka domein verklaring kolonial yang menekankan kepemilikan tanah oleh negara. Alhasil, pencaplokan lahan dan penggusuran dengan dalih penertiban tanah negara dan untuk kepentingan pembangunan dapat terlegitimasi.
Tidak hanya berimplikasi pada transformasi petani ke kelas buruh upahan murah, tapi kelompok perempuan yang terlibat dalam kegiatan produksi pun akan terus mengalami penindasan demi penindasan sambil mengabaikan kerja reproduksi sosial dan biologisnya. Kelompok perempuan menjadi entitas paling rentan untuk dikriminalisasi dan dilecehkan. Kekerasan terhadap perempuan, dan adanya kecenderungan femisida, semakin dilanggengkan di dalam kerangka pembangunan hari ini. UUPA 1960 telah menyatakan bahwa setiap warga negara indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya.[6] Ini berarti, pembangunan pedesaan melalui LR/RA, sesungguhnya dapat mencapai keadilan sosial jika diiringi dengan upaya keadilan gender – sesuatu yang tidak ada di dalam logika pembangunan hari ini.
LR/RA adalah memang cara paling efektif untuk menata struktur penguasaan tanah yang timpang, yang dapat menjadi fondasi awal bagi pembangunan industri nasional dengan berlandaskan sektor pertanian; serta menjadi landasan untuk mengubah struktur kekuasaan yang tidak adil demi pengembangan institusi lokal dan nasional yang lebih partisipatoris, dan dengan demikian memperkuat demokrasi.[7]
Satu hal yang pasti, yang dinyatakan sebagai “reforma agraria” oleh negara pada hari ini tidak pernah dimaksudkan untuk tujuan tersebut. Tidak hanya dijadikan strategi politik untuk merebut suara dalam pemilu, melainkan lebih dari pada itu, yakni untuk menyediakan ‘pelumas’ yang cukup dalam operasi akumulasi kapital atau pemulihan dan pembentukan sirkuit-sirkuit kapital di berbagai sektor ekonomi.[8]
Di saat yang sama, kebijakan pertanahan global, yang disokong oleh institusi perbankan internasional, meletakkan LR/RA hanya sebagai instrumen untuk memperkuat pasar tanah melalui percepatan dan perluasan kepastian hak atas tanah oleh masyarakat.
Kritik terhadap “Reforma Agraria” Hari Ini
Landreform/Reforma Agraria (LR/RA) di Indonesia pada dasarnya telah memiliki satu bangunan hukum yang bersifat prinsipil yang terkandung di dalam UUPA 1960 sebagai induk dari segala bentuk aturan hukum pelaksanaannya. Itu dibentuk atas dasar semangat bangsa Indonesia untuk lepas dari ikatan-ikatan kolonialisme dan ikatan-ikatan feodal secara utuh, serta membentuk masyarakat baru. Bung Karno pernah menegaskan dalam pidatonya: Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.[9]
UUPA 1960, UUPBH 1960, UU 56Prp/1960, PP 224/1961 merupakan dasar hukum yang ditujukan untuk mengatur bagaimana LR/RA harus dijalankan. Batas maksimum dan minimum luas tanah yang bisa dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau badan hukum melalui itu ditentukan. Tanah guntai (absentee) dan tanah kelebihan harus menjadi objek prioritas dari LR/RA, selain tanah negara dan tanah (eks)swapraja, untuk diredistribusikan kepada rakyat tani. Jelas dinyatakan bahwa orang-orang yang mempunyai tanah berlebih-lebihan sedangkan ada orang yang lain tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya dapat menghambat produktivitas tanah dan tenaga kerja sehingga bertentangan dengan asas kesetaraan dan keadilan.[10]
Merombak struktur penguasaan tanah dan pengerahan tenaga kerja pertanian menjadi tahap awal yang mesti diatasi, sehingga produktivitas sektor pertanian di pedesaan menjadi optimal. LR/RA 1960 sesungguhnya telah mengatur bagaimana produktivitas pertanian seharusnya dikelola, yakni secara bersama-sama melalui unit koperasi di desa-desa. Koperasi menjadi instrumen untuk menghalau konsentrasi kekayaan atau surplus akibat proses akumulasi, sehingga dapat dialokasikan untuk kepentingan industrialisasi nasional, serta mengubah struktur ekonomi berbasis pertanian ke struktur ekonomi industri. Karenanya, LR/RA 1960 ditempatkan bukanlah sebagai tujuan akhir, melainkan di dalam konteks perubahan relasi produksi sebagai alat untuk mencapai masyarakat Indonesia baru.
Capaian LR/RA 1960 memang tidak bisa kita lihat pada hari ini. Peristiwa genosida 1965 dan peralihan kekuasaan ke tangan diktator Suharto telah menghentikannya secara sistematis. Pembangunan pedesaan dan nasional diorientasikannya ke arah yang eksploitatif. Ketimpangan alokasi dan penguasaan lahan pun kian lama kian melebar.
Dua dekade terkahir adalah momen di mana isu LR/RA kembali mencuat ke permukaan. Dibicarakan oleh banyak orang dan menjadi jargon banyak kelompok gerakan sambil menaruh harapan kepada rezim penguasa untuk menjalankannya. Apa yang membedakannya adalah LR/RA yang digagas tidak lagi berasal dari akar yang sama sebagaimana yang diamanatkan konstitusi dan UUPA 1960. Konsepsi dan makna LR/RA direduksi sedemikian rupa hingga hanya diidentikkan pada upaya-upaya legalisasi dan kepastian hak atas tanah. Objek tanah-tanah yang didistribusi pun tidak lagi menyasar tanah-tanah kelebihan dan tanah-tanah guntai (absentee). Penguatan unit produksi pertanian tidak pernah dibentuk dengan serius, tidak ada upaya untuk menjadikan sektor pertanian sebagai basis ekonomi untuk pembangunan industri nasional. LR/RA hanya menjadi jargon dan “gimmick” bagi penguasa.
Pada hari ini, rezim Jokowi mengagendakan sebuah program yang dinyatakan sebagai “Reforma Agraria”. Alih-alih berlandaskan konstitusi sebagaimana yang sudah ada sejak 1960, rezim Jokowi justru mengabaikannya dengan menerbitkan peraturan baru. Reforma Agraria (RA) ala Jokowi, atau yang disebut sebagai TORA, mengklaim akan membagikan sekitar 9 juta ha tanah kepada kaum tani miskin.[11] Perlu digaris bawahi bahwa sebagian besar isi dari program RA ala Jokowi ini merupakan legalisasi aset dan sertifikasi tanah semata. Begitu juga dengan (re)distribusi tanah yang diklaim berasal dari tanah eks-HGU yang berstatus Tanah Terlantar dan pelepasan Kawasan Hutan yang pada faktanya telah digarap dan dikuasai oleh masyarakat sejak lama melalui aksi- aksi pendudukan atau reclaiming tanah.[12] RA ala Jokowi sama sekali tidak menyasar tanah-tanah kelebihan atau tanah-tanah absentee (guntai) yang selama ini merupakan sumber masalah dari konsentrasi dan ketimpangan penguasaan tanah.
Selain itu, bahwa luas tanah yang ditentukan terlebih dahulu—sebagaimana program RA ala Jokowi dengan menunjukkan 9 juta ha—tanpa penentuan berapa jumlah pasti rumah tangga petani sebagai penerima tanah adalah logika yang keliru. Sepatutnya luas tanah objek LR/RA ditentukan berdasarkan jumlah potensial penerima tanah, jika memang tujuannya adalah mengurangi ketimpangan penguasaan tanah. Pun dari sekian persil tanah yang diklaim telah di(re)distribusi melalui program RA ala Jokowi ini, tidak pernah ada ukuran yang jelas tentang dampaknya pada tingkat produktivitas pertanian, apalagi ukuran bagaimana RA ala Jokowi atau sektor pertanian telah berkontribusi pada pembangunan industri.
Penekanan yang hanya diletakkan pada upaya legalisasi dan sertifikasi tanah justru selaras dengan agenda pasar bebas neoliberal. Bahkan, program RA ala Jokowi telah dijadikan sebuah legitimasi baru bagi rezim untuk dapat mengakses utang luar negeri, termasuk dari Bank Dunia, untuk mengefisiensikan fungsi pasar tanah.[13] Tanah-tanah yang disertifikasi akan dapat dengan mudah dialihkan (transferable) sehingga ‘pasar tanah bebas’ menjadi semakin efektif dan efisien. Transaksi jual-beli akan semakin cepat, tidak hanya antar individu tapi juga mengindikasikan pemberian kemudahan bagi investasi swasta untuk melakukan penetrasi kapital di atas tanah yang aman secara hukum. Industri perbankan, melalui jaminan kredit tanah, semakin mulus dalam menggerakkan roda ekonomi perbankan.
Input pertanian yang menjadi faktor produksi penting bagi petani skala kecil masih terus dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan asing. Dalam hal ini negara memainkan perannya untuk membuka keran impor seluas-luasnya, alih-alih mengontrol dan mengoptimalkan sistem produksi nasional. Harga produk impor yang murah telah memaksa petani untuk menjual produknya jauh lebih murah agar dapat tetap bersaing di pasar dalam negeri. Jeratan kredit dan utang menjadi hal yang paling umum dihadapi petani saat ini. RA ala Jokowi tidak pula berintensi untuk mengeliminasi atau mengurangi praktik riba dan rente di pedesaan oleh kelas tuan tanah dan tengkulak, serta lembaga keuangan. Petani yang tidak memiliki kapital yang cukup dengan segera jatuh pada kemiskinan hingga kehilangan tanah garapannya.
Dengan kondisi demikian, ditambah tiadanya penentuan batas maksimum-minimum penguasaan tanah, konsentrasi dan ketimpangan penguasaan tanah semakin menguat. Fungsi tanah tidak lagi dilihat berdasarkan aktivitas produksi yang berlangsung di atas tanah tersebut, melainkan kedudukan tanah sebagai sekedar komoditas belaka, atau lebih lanjut lagi, sebagai ekuitas (equity) dalam menentukan besar-kecilnya kekayaan. Dengan demikian, RA ala Jokowi adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan amanat UUPA 1960 untuk menuju Indonesia baru. Ketimbang menata ulang penguasaan tanah, memproduktifkan tenaga kerja pertanian, dan menempatkan sektor pertanian sebagai landasan pembangunan industri nasional, RA ala Jokowi justru mempermudah investasi swasta, mengukuhkan keberadaan pasar tanah dan ekonomi perbankan dan finansial.
Oleh karena itu, dapat kita nyatakan bahwa RA ala Jokowi pada hari ini adalah “Reforma Agraria” yang palsu atau bukan Landreform/Reforma Agraria sama sekali!
Menjadi terang bahwa rejim penguasa pada hari ini tidak menjalankan LR/RA sebagaimana mestinya. Rezim yang tidak setia pada konstitusi juga berarti tidak berminat mengedepankan kepentingan rakyat. Karena alasan tersebut, ketimbang mengandalkan instrumen negara, kelompok gerakan LR/RA sudah seharusnya menempuh jalannya sendiri. Aksi-aksi pendudukan tanah yang marak sejak 1970-an hingga masa runtuhnya rezim Orde Baru, patut untuk kembali direplikasi pada situasi hari ini demi menjalankan amanat konstitusi dan UUPA 1960, serta mendorong perubahan menuju masyarakat yang baru. Tawaran untuk melakukannya adalah dengan menempatkan pokok-pokok mekanisme (re)distribusi cum konsolidasi ke dalam agenda aksi kolektif yang terorganisir, yakni bagaimana kelompok penerima tanah untuk dapat disatukan dalam satu hamparan yang terikat sebagai kesatuan usaha bersama.[14]
Sekali lagi, LR/RA harus berupa (re)distribusi sekaligus konsolidasi. Objeknya adalah tanah-tanah guntai (absentee) dan tanah yang dikuasai oleh pihak-pihak (tuan-tuan tanah) yang sudah melebihi batas maksimum penguasaan tanah, juga tanah-tanah negara termasuk yang berada di dalam ‘Kawasan Hutan’, yang akan dibagikan dan dikuasai oleh masing-masing individu atau rumah tangga penerima manfaat (beneficiaries) terpilih atau yang diorganisir dengan status hak kepemilikan atau penguasaan jangka panjang. Satuan-satuan lahan harus dikuasai dan diusahakan secara bersama oleh unit koperasi yang dikelola oleh organisasi dan penerima tanah (konsolidasi), sehingga dapat mencegah persaingan usaha yang saling menyingkirkan, mengoptimalkan produktivitas dan memungkinkan pengembangan usaha bersama (kolektif) dengan semangat gotong-royong.
Organisasi dan para penerima tanah juga perlu menyepakati secara bersama-sama perencanaan tentang apa yang akan diproduksi dan bagaimana memproduksinya. Bisa juga disertai dengan masukan dari tenaga ahli di bidangnya. Dapat pula dikembangkan usaha produktif pertanian komersial dan pangan (mix-crops), agroforestri, atau bentuk-bentuk usaha yang sesuai dengan lingkungan dan perencanaan ekonomi wilayahnya, demi membangun masyarakat yang berdaya lenting secara ekonomi sekaligus ekologis. Patut dicatat bahwa (re)distribusi cum konsolidasi merupakan mekanisme yang pengembangannya memenuhi prinsip-prinsip LR/RA, yakni tanah untuk rakyat. Mekanisme ini bersifat transformatif secara sosial dan ekonomi dengan model pengerahan tenaga kerja dan penguasaan lahan yang produktif hingga menciptakan hubungan-hubungan agraria pedesaan yang baru.
Pernyataan KBPRA
Dengan gambaran umum persoalan-persoalan agraria yang dibentuk secara historis hingga pada hari ini menguatkan keyakinan KBPRA untuk merebut kembali diskursus Landreform/Reforma Agraria yang sesuai dengan amanat konstitusi dan UUPA 1960. Tidak ada rasionalisasi apapun untuk mengandalkan rezim penguasa hari ini agar mau menjalankannya. Ini adalah pertanda bahwa kelompok gerakan sosial yang terorganisir harus menjadi penggerak utama pelaksanaan Landreform/Reforma Agraria yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pada peringatan Hari Tani 2022 ini, KBPRA hendak menyatakan:
Pertama, bahwa program “Reforma Agraria” hari ini ditujukan semata-mata untuk memperkuat hubungan kapitalisme di pedesaan Indonesia. Legalisasi aset dan tanah yang mendominasi program tersebut hanya membuat petani dan penerima tanah berada di bawah kuasa pelaku pasar neoliberal. Investasi asing dan pencaplokan lahan untuk korporasi yang semakin intens menunjukkan rezim penguasa hanya bekerja untuk kepentingan kapital. “Reforma Agraria” pun menjadi legitimasi rezim untuk mengakses utang ke lembaga-lembaga internasional yang menjadi penyokong kapitalisme dan imperialisme.
Kedua, bahwa program “Reforma Agraria” hari ini tidak menyasar ketuantanahan dan tidak mencegah monopoli tanah. Tanah-tanah kelebihan dan tanah-tanah guntai (absentee) tidak menjadi sasaran program tersebut. Tidak ada keinginan dari rezim penguasa untuk mengurangi angka rasio Gini ketimpangan penguasaan tanah oleh rumah tangga petani. Ketuantanahan yang dipelihara juga berarti memelihara penghisapan terhadap petani.
Ketiga, bahwa kelompok gerakan sosial di pedesaan dan perkotaan tidak perlu lagi menunggu inisiatif negara untuk menjalankan Landreform/Reforma Agraria yang sesuai amanat konstitusi dan UUPA 1960. Kelompok gerakan sosial harus menjadi mesin penggerak utama dalam menjalankan Landreform/Reforma Agraria secara terorganisir dengan cara membangun kekuatan ‘dari bawah’ demi terciptanya perubahan sosial yang radikal.
Keempat, bahwa praktik Landreform/Reforma Agraria harus kembali diletakkan di dalam konteks perubahan relasi produksi, yakni melalui usulan mekanisme (re)distribusi cum konsolidasi: dengan mengorganisir petani penggarap, petani miskin, buruh tani, dan petani tak bertanah untuk mengelola dan menguasahakan hamparan tanah secara bersama-sama (kolektif) sehingga mendorong penciptaan hubungan-hubungan agraria baru di pedesaan.
A Luta Continua!
Catatan Kaki
[1] Penjelasan mengenai Petani Miskin dapat dilihat di: D. N. Aidit (1964), Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa, Yayasan Pembaruan: hlm 19-27
[2] Dianto Bachriadi (2020), “24.2: Manifesto Penataan Ulang Penguasaan Tanah ‘Kawasan Hutan’, ARC Books: hlm. 13-17
[3] Ibid., hlm. 68-70
[4] Ibid.
[5] Dianto Bachriadi (2021), Reforma Agraria dan Transisi Agraria, http://arc.or.id/reforma-agraria-dan-transisi-agraria. Hlm. 16.
[6] Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960): BAB I, Pasal 9 Ayat 2.
[7] Lihat: Roy L. Posterman, Mary N. Temple, Timothy M. Hanstad (1990), Agrarian Reform and Grassroots Development: Ten Case Studies, Lynne Rienner Publisher. Hlm. 2.
[8] Dianto Bachriadi (2021), Op. Cit., hlm. 13.
[9] Soekarno (1960), Laksana Malaekat yang Menyerbu dari Langit: Jalannya Revolusi Kita, Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1960 di Jakarta.
[10] Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Maksimum dan Minimum Tanah Pertanian: Penjelasan Umum, Poin 2. Hlm. 2.
[11] Arahan dari Kantor Staf Presiden (KSP) (2016), Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019. Hal. 2.
[12] Dianto Bachriadi (2019), Panas Tak Sampai Petang: Reforma Agraria Dipantu Hutang, Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru, Vol. 2 No. 3/WP-KAPPOB/II/2019. Hlm. 9-10
[13] Ibid.
[14] Dianto Bachriadi (2020), Op Cit., hal. 84-85.