Disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja sebagai undang-undang pada Senin, 5 Oktober 2020 menjadi rekam jejak buruk yang ditoreh pemerintahan oligarki Jokowi-Ma’ruf Amin. Investasi demi penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan lagi-lagi jadi slogan terdepan yang digunakan untuk membius keresahan rakyat banyak. Slogan tersebut berujung pada kesia-siaan, karena rakyat yang sudah kadung dihimpit krisis lebih memilih beramai-ramai melakukan pembangkangan sipil sebagai penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja. Sepanjang Oktober lalu, terpantau kelas buruh, kaum tani, pelajar, nelayan, hingga mahasiswa di seluruh Indonesia melancarkan aksi massa besar-besaran di tengah situasi krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 ini.
Keterlibatan pelajar dalam penolakan Omnibus Law Cipta Kerja layak mendapat perhatian. Dalam beberapa tahun terakhir, keterlibatan pelajar pada aksi politik rakyat terlihat semakin marak. Hal ini merupakan indikasi meningkatnya kesadaran pelajar akan situasi politik dan nasib mereka sendiri di masa depan. Berdasarkan kesaksian para pelajar di wawancaran ini, mereka mengutarakan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja akan membuat mereka dicetak menjadi cadangan tenaga kerja. Artinya, Omnibus Law pun akan menyetir orientasi pendidikan nasional menjadi pencetak tenaga kerja terampil dan siap saing.
Pendidikan merupakan salah satu sektor yang dihimpit banyak persoalan menahun. Misalnya, komersialisasi pendidikan yang dimulai dari perjanjian General Agreement on Trade and Services (GATS) pada 1995 dengan WTO. Dalam perjanjian tersebut, Indonesia harus bersedia meliberalisasi setidaknya 12 sektor bidang jasa, termasuk pendidikan. Dalam perjanjian tersebut WTO juga mencantumkan ragam mode of supply atau model pasokan bagi negara-negara yang tergabung. Setidaknya ada empat model pasokan, yakni (1). Cross border supply, (2). Consumption abroad, (3). Commercial presence, dan (4). Presence of natural persons.
Perjanjian tersebut termanifestasi dalam beberapa undang-undang dan peraturan turunan tentang pendidikan, seperti PP No. 60 tentang Pendidikan Tinggi (kemudian digantikan PP No. 12 tahun 2010), UU Sisdiknas 2003, dan UU. No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Beberapa produk hukum di atas memiliki persamaan girah, yakni pendidikan harus dilaksanakan secara otonom lewat penetapan status Badan Hukum dan merupakan sektor jasa yang dapat terbuka dengan dunia industri, termasuk dalam hal investasi. Akibatnya tentu saja fatal. Biaya pendidikan menjadi semakin jauh dari jangkauan rakyat, privatisasi pendidikan melalui skema jual-beli aset, hingga orientasi pendidikan sebagai pencetak tenaga kerja adalah imbas negatifnya.
Dalam Omnibus Law, semangat tersebut termanifestasikan dalam beberapa pasal. Misalnya pada pasal 65 ayat 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan diterangkan bahwa pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah yang akan dibentuk. Ini tentu akan membuka peluang semakin banyak didirikannya institusi pendidikan yang beorientasikan keuntungan/swasta. Bahkan, mengingat gencarnya berita tentang akan masuknya Peguruan Tinggi Asing (PTA), Omnibus Law akan menjadi pintu pembuka bagi masuknya PTA.
Masuknya pendidikan dalam klaster Omnibus Law akan mempengaruhi peta ekonomi-politik yang akan terbentuk. Omnibus Law Cipta Kerja yang sangat menekankan investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan akan secara langsung, ataupun tidak langsung, akan menyetir arah pendidikan menjadi pencetak tenaga kerja terampil. Tujuannya, tak lain dan tak bukan, ialah mereproduksi sirkulasi tenaga kerja yang kelak akan semakin ketat bersaing menyusul pemberlakuan fleksibilitas tenaga kerja dan otomasi.
Keresahan inilah yang kiranya tercermin dalam kesaksian para pelajar. Kali ini, kami menyoroti dua kolektif pelajar yang telah cukup lama berkecimpung di dunia aktivisme, termasuk dalam aksi penolakan #TolakOmnibus Law. Dua organisasi tersebut ialah Aliansi Pelajar Bandung (APB) dan Aliansi Pelajar Semarang (APS).
Sekilas Aliansi Pelajar Bandung dan Semarang
Aliansi Pelajar Semarang (APS) usianya memang masih muda. APS terbentuk pada 9 September 2018. Sejarahnya berawal dari solidaritas di Tambakrejo, Semarang, yang waktu itu terjadi aksi penggusuran. Beberapa pelajar bersepakat membentuk aliansi pelajar yang bernama APS. Anggota APS saat itu mencapai 50 pelajar yang terdiri dari berbagai sekolah menengah negeri dan swasta yang ada di Semarang, meski saat ini anggota yang terbilang aktif dan masih bergabung di grup WhatsApp sebanyak 30-an orang.
APS dikelola secara kolektif tanpa ada struktur yang pasti. Anggotanya rata-rata berusia 18-19 tahun. Kegiatan-kegiatan kolektif yang pernah dilakukan APS seperti nobar film, aksi teatrikal, pembacaan puisi, akustikan, dan aksi solidaritas bersama jejaring komunitas lain di Semarang. Mereka juga aktif menyuarakan suara dan pendapat mengenai isu-isu terkini dari masyarakat, pelajar, dan mahasiswa di akun Instagram mereka @aliansipelajarsemarang.
Aliansi Pelajar Bandung pun kami soroti dalam wawancara ini. APB terbentuk pada bulan November 2017 yang terdiri dari beberapa komunitas pelajar. APB pada mulanya dibentuk oleh beberapa pelajar sebagai inisiatif politik untuk membongkar komersialisasi pendidikan. Seiring berjalannya waktu, APB pun sering bersinggungan dengan permasalahan rakyat yang lebih luas, termasuk penggusuran, agraria, dan perburuhan. APB sering terlibat aktif dalam konsolidasi dan aksi di banyak peringatan sejarah internasional maupun nasional, seperti Hari Buruh Internasional (May Day), Hari Tani Nasional (HTN), hingga Hari Pendidikan Nasional.
Hingga hari ini, APB memiliki 15 orang anggota aktif. Sistem organisasi APB cenderung fleksibel dan mengedepankan kekeluargaan. APB memiliki beberapa program konkrit seperti diskusi rutin, bedah film, kelompok membaca, hingga konsolidasi-aksi. APB juga dapat ditemui di media sosial Instagram @aliansipelajarbandung. Hingga pandemi hari ini, APB rutin melakukan propaganda melalui media sosial.
Berikut merupakan hasil wawancara tim Islam Bergerak, Isma Swastiningrum yang mewawancarai Ghiffar Arridho dan Raffi Arif Laksana, anggota APS di Serikat Dagang Kopi Semarang, Senin (16/11/2020). Serta Ahmad Thariq yang mewawancarai anggota APB bernama Ujang (bukan nama asli) via WhatsApp, Jumat (6/11/2020). Wawancara ini dituliskan sebagai upaya refleksi atas kondisi pendidikan dari kacamata para pelajar dan mahasiswa yang terdampak langsung oleh Omnibus Law Cipta Kerja di ranah pendidikan.
Isma Swastiningrum (IS): Bisa diceritakan terkait aksi Omnibus Law di Semarang dari APS?
Ghiffar Arridho (GA): Kalau dari APS mengikuti aksi Omnibus Law. APS ada orasi juga, menuntut hak-hak pelajar, menuntut hak-hak kita, terus, tentang masa depan kita. Kita masih pelajar, masih muda terus ada UU Omnibus Law sendiri, dan kalau aku baca, banyak merugikan, karena digampangakan investor luar masuk, perizinan dimudahkan. Kalau dari teman-teman APS, lebih dari 25 orang ikut. Lewat WA, lewat grup, kabar-kabar. Nanti ketemu di titik ini, kita berangkat bareng.
IS: Latar belakang apa yang menggerakkan APS untuk ikut demo Omnibus Law?
GA: Latar belakangnya, sistemnya itu udah simpang siur. Udah gak bener menurutku. Kan ada draft yang satunya 800-an, yang satunya 1.000-an. Terus ada yang disahin dan ada yang belum. Ini yang buat bingung. Terus aku lihat dari beberapa isinya juga, tentang tadi dipermudahkan perizinan. Aku baca-baca kalau di Asia Tenggara itu sendiri, yang ngesahin Omnibus Law itu kan kayak Filipina dan negara lain. Ada lima negara, tapi aku lupa. Menurutku kalau disahkan itu memaska. Karena menurutku juga pemikiran orang Indonesia kalau udah gini, ya gini, gak bisa diubah-ubah.
IS: Itu sempat ada pembacaan dulu gak dari internal APS terkait aksi Omnibus Law?
GA: Pembacaan, ada Mahasiswa Bergerak, aku sering ikut konsolidasi juga sama mereka yang mau ngadain aksi itu, aku ngikuti itu. Kalau selesai dan ada surat pernyataan gitu, baru aku sebar ke Aliansi Pelajar Semarang sendiri. Lalu upload pamflet itu, dan sebenarnya sebelum aksi, kita sudah edukasi tentang tuntutan-tuntutan apa yang dilaksakan di aksi. Biar kita tahu. Kadang gini, di tolak Omnibus Law kemarin, Pak Ganjar itukan mewawancarai anak pelajar itu kan. Katanya malah gak tau apa-apa. Takutnya kalau Aliansi Pelajar Semarang kena juga, sebenarnya itu juga udah ada edukasinya tentang tuntutan itu. Kita juga sudah sebar lewat IG.
IS: Kan pas aksi ada semacam pembangkangan sipil di Semarang, pagar dijebol, terjadi ricuh juga, lemparan batu, pengrusakan fasilitas umum. Gimana pendapat APS tentang vandalisme-vandalisme tadi?
GA: Itu menurutku gak sebanding dengan yang merusak hutan, dengan diperbanyaknya pertambangan. Pemerintah malah mempermasalahkan kayak yang bakar halte itu. Pemerintah bakar hutan itu biasa aja. Terus juga soal pelemparan, aku kan di situ di lokasi, itu gak semua dari pelajar atau mahasiswa. Ada intel-intel gitu yang mau merusak aksi kita. Kayak ada oknum provokator. Kayak ada tukang Gojek tapi jaketnya dibalik. Kayak provokator, pas udah selesai saat mobil komando kembali mundur, terus ada provokator. Berkata kalau dalam bahasa Jawa, “wis ngene tok iki? Wis kesel-kesel, panas-panas kok muk ngene tok, ora onok balesane?” (sudah segini saja? Sudah capek-capek, panas-panas kok cuma segini saja, tidak ada balasannya?) Itu yang membuat pelajar dan mahasiswa kayak lempar-lempar. Pas bentrok dan ada tindakan represif dari kepolisian, si oknumya malah ikut-ikut. Dia malah sabuknya itu disabet-sabetke (diputar-putarkan), aku lihat sendiri. Aku bisa bilang provokator karena aku bisa lihat sendiri.
IS: Trus di media juga, itu kan ada isu eksistensi yang diklaim pihak kepolisian. Bahwa pelajar gak tahu apa-apa, cuma yang ini eksistensi mereka aja, ikut-ikutan aja. Itu tanggapannya gimana?
GA: Kalau menurutku, pemerintah udah mulai takut. Munculnya pelajar-pelajar sekarang yang udah kritis, yang udah mulai melek pikir tentang politik di Indonesia, udah tahu tentang sistem-sistem kepemerintahan. Itu mungkin pemerintah mulai takut sehingga membuat narasi yang seperti itu. Yang seolah-olah kita sebagai pelajar itu gak tahu apa-apa. Trus banyak pelajar yang ditangkap kan itu. Kebebasan berpendapat gak dibatasi umur kan, pelajar juga berhak menuntut apa yang dituntut. Itu juga ada yang di UUD 45. Kebebasan berpendapat, kenapa kita pelajar yang ditangkap?
IS: Pelajar sekarang memang sudah lebih melek, ikatan solidaritasnya lebih kuat.
GA: Iya, apalagi anak-anak STM. Itu karena di STM ada kayak tempat kumpul, basecamp-basecamp gitu. Solidaritasnya ya dimulai dari situ. Tapi kan kebanyakan arahnya di sampingkan seolah mau ikut tawuran aja. Sebenarnya kalau APS ngaitkan itu terus kita bergerak bareng itu malah asyik. Nah kita lagi mencoba itu. Kapasitas kita belum sampai itu, nanti biasanya kalau basecamp STM itu ada IG sendiri, kita coba follow DM dia gitu, kayak pendekatan. Trus mau tidaknya itu kan hak mereka. Setidaknya kita telah mencoba.
IS: Bagaimana isu soal pendidikan dalam Omnibus Law?
GA: Kalau menurutku, sistem pendidikan di Omnibus Law, lek aku belum terpikir sama itu sih. Karena kan Omnibus Law ini disahkannya baru. Kalau sistem pendidikannya, kalau menurutku, karena ditambahnya banyak aturan, mungkin di sekolah itu banyak aturan juga. Yang mungkin mempersulit kekebasan berpendapat mereka.
IS: Kalau sistem pendidikan sekarang menurutmu gimana? Secara umum?
GA: Kalau pas aku sekolah, murid kayak didorong untuk patuh aturan, pemerintah. Kalau upacara itu ada kepolisian masuk, menyampaikan gak usah ikut demo-demo gini. Kalau ikut nanti bakal dikeluarkan, kayak ada ancaman-ancaman gitu yang membuat mereka takut dan sempit berpikir. Karena stuck, takut, aku wedi (takut), gak usah begini-begini. Yang membuat pikiran kita stuck di situ, gak bisa berpikir kritis lagi. Pembatasan pikiran sih.
IS: Soal kebijakan pendidikan juga, menurutmu, sistem pendidikan yang ideal yang gimana?
GA: Yang pertama itu, gratiskan SPP. Walaupun itu negeri, juga kalau swasta itu tetap bayar. mungkin diperingankan. Itu buat beban kita juga. Kedua, kebebasan berpendapat. Terus aku malah nglihatnya, OSIS dan ketua OSIS itu kayak diperbudak oleh sekolahan. Tidak bisa leluasa dan itu harus belajar lagi untuk evaluasi lagi tentang kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah yang menurutku terlalu formal, kita kayak disuruh belajar-belajar, belajar doang.
IS: Kalau untuk isu lain di sektor pendidikan, misal kurikulunm, relasi antara guru dan murid, dan isi dari sistem pendidikan sendiri itu gimana?
GA: Kita itu disuruh menghafal, kalau dari STM dulu, paling susah memang menghafal sih. Guru duduk, cuma menerangkan, kita pegang buku satu per satu, kita menghafal, itu yang bikin susah. Karena tidak ada tindakan lanjut dari gurunya sendiri untuk gimana cara lain dari permasalahan ini, biar kita bisa berpikir lebih gampang gitu. Mengingat lebih gampang, belum aku temukan di situ. Di sekolahku dulu.
IS: Pendapat terkait aksi Omnibus Law dari sisi pelajar (APS)?
Raffi Arif Laksana (RAL): Menurutku kalau pelajar seluruh yang ikut turun keren sih mereka. Mereka berani bersuara. Meskipun banyak tindakan represifitas dari aparat-aparat itu, tapi kawan-kawan pelajar masih tetap bertahan dan melawan balik malah. Ya mungkin, yang dibutuhkan oleh kawan-kawan pelajar, kita perlu pendidikan untuk mereka soal Omnibus Law itu apa? Gimana? Dan kenapa kita harus menolaknya? Perlu sih.
IS: Kenapa harus menolak Omnibus Law?
RAL: Karena menurut kami dari Aliansi Pelajar Semarang, Omnibus Law secara prosedural sebenarnya sudah cacat. Dan tidak ada kejelasan, bahkan petinggi-petinggi mereka berkata bahwa juga tidak tahu isi tentang Omnibus itu. Jadi ya benar-benar cacat dan mencurigakan.
IS: Tanggapan terkait isu-isu krusial yang ditolak dalam Omnibus Law?
RAL: Menurutku soal perampasan hak yang dimiliki oleh pekerja itu, soal pemotongan upah terus penambahan jam kerja, pengurangan hari libur … Apa ya, para pelajar itu kan juga calon buruh. Kami juga dihidupi oleh para buruh. Maka dari itu, dampaknya pasti bakal terasa banget. Dan apa yang kita nikmati saat ini juga hasil para buruh. Maka dari itu, kita juga harus berani merebut kembali hak-hak kita.
IS: O, itu ya berarti alasannya. Calon buruh, dihidupi buruh, kita menikmati hasil buruh. Ya, ya, menarik-menarik. Waktu itu kan ada semacam pembangkangan sipil gitu kan ya, terkait tindakan penjebolan pagar, terus pelemparan ke gedung DPR, fasilitas umum. Gimana pendapat kamu?
RAL: Menurutku, aku gak bakal menyalahkan mereka karena itu cara mereka menyampaikan pendapat. Karena dari pemerintah juga banyak melakukan pengrusakan, dan lebih fatal dari itu. Kayak pembakaran, penambangan secara masif, di Kendeng pun, juga ada izin yang udah dicabut sama Jokowi. Di Kendeng penambangan itu masih dilakukan padahal izinnya udah dicabut sama Jokowi. Apalagi yang terkait dengan Omnibus Law, kan itu juga cukup gila sih.
IS: Tapi kamu sepakat gak dengan tindakan yang kayak gitu? Atau mungkin ada cara lain yang lebih tepat?
RAL: Mungkin pemblokadean jalur ekonomi. Itu bisa sih aslinya. Stasiun, ya karena dalam pemblokadean jalan ekonomi, secara langsung mereka yang tidak ikut turun akan juga menghentikan laju ekonomi. Pemerintah pasti akan merasakan dampak kerugian.
IS: Pendapat kamu terkait isu di media yang mengatakan pelajar cuma ikut-ikutan atau untuk eksistensi?
RAL: Mereka berisik sih yang berpendapat kayak gitu. Karena menurutku pasti memang ada yang tidak tahu keseluruhan isi termasuk dari mahasiswa juga, jadi mereka selalu menyudutkan pelajar, itu berasa banget dan Pak Ganjar (Gubernur Jateng) itu juga lebih banyak menyalahkan pelajar yang ikut turun.
IS: Apa buntut aksi dari demo tolak Omnibus Law? Apakah ada hukuman, entah itu dari kepolisian, atau dari orang tua, atau yang lainnya?
RAL: Ada dari teman pelajar yang dapat SK malahan dari sekolahan. Mereka yang ikut turun itu ada. Itu yang ketangkap dimasukin ke DPRD, ada juga yang kena pukul. Soalnya yang sekolah, dulu waktu penolakan RUU KUHP aksi pertama itu juga, waktu pelajar ada yang turun, besoknya kepolisian nyamperin ke sekolah-sekolah untuk mewanti-wanti biar pelajar gak ada yang turun. Karena sekolahan juga terikat dengan instansi pemerintah, pasti sekolah juga menuruti itu. Akhirnya mengikat para pelajar agar tidak turun aksi. Semua sekolahan disamperin pas RUU KUHP kemarin. Semua, SMK Negeri, SMA. Yang datang kepolisian. Dan waktu setelah RUU KUHP itu ramai-ramainya pelajar ikut turun, siang hari polisi pasti sweeping ke tempat-tempat tongkrongan anak-anak. Itu sering banget dulu.
IS: Pentingkah pelajar ikut dalam gerakan rakyat? Kenapa?
RAL: Menurutku penting karena mereka juga terdampak. Karena mereka calon buruh, hidup dari hasil buruh, dan pekerja adalah bagian dari rakyat itu sendiri yang dirampas haknya. Karena kita seharusnya turun untuk merebut hak kita sendiri bukan turun untuk mewakilkan hak orang lain.
IS: Untuk ke depan apa yang perlu dilakukan dan diharapkan?
RAL: Omnibus Law harus dibatalkan secepatnya dan berharap semoga kawan-kawan kami yang tertangkap segera dibebaskan. Masih banyak pelajar-pelajar yang ditangkap.
Aliansi Pelajar Bandung
Ahmad Thariq (AT): Bisa ceritakan sekilas tentang APB?
Ujang (U): Organisasi dari beberapa kumpulan pelajar di Bandung yang terdiri atas beberapa komunitas atau individu, yang menjadi wadah bagi siapapun yang memiliki keresahan yang sama, terutama di sektor pendidikan.
AT: Kenapa para pelajar perlu untuk ambil bagian dalam gerakan #TolakOmnibusLaw?
U: Karena secara tidak langsung Omnibus Law Cipta Kerja dapat memiliki dampak besar, baik di hari ini, ataupun masa depan kami nanti. Misalnya, dampak yang terasa hari ini ialah ibu/bapak kita lebih rentan terkena PHK bagi yang memiliki kerja. Sedangkan bagi yang belum memiliki kerja tidak ada kontrak kerja yang menjamin ibu/bapak kita untuk mendapat pekerjaan yang tetap dan layak. Fleksibilitas kerja juga mungkin akan membuat ibu/bapak kita tidak memiliki jam istirahat yang tetap dan teratur Begitu juga dengan generasi kita yang akan ikut kena dampak buruk tersebut di masa depan, terlebih bagi mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu, pasti akan mengalami dampak serupa seperti bapak/ibu kita.
AT: Apa Omnibus Law Cipta Kerja juga berdampak buruk bagi pelajar?
U: Dalam hemat saya, dampak buruk yang dapat dilihat ialah kelak tidak akan memiliki pilihan selain menjual tenaganya menjadi pekerja yang memiliki status rentan (prekariat) akibat Omnibus Law. Karena dalam undang-undang tersebut, definisi buruh yang merujuk pada status kerja rentan kembali dicantumkan, bahkan semakin dideregulasi; tenaga kerja alih daya (outsourcing), tenaga tanpa kontrak, pekerja lepas, dan pekerja paruh waktu adalah beberapa status kerja rentan yang dilegitimasi Omnibus Law. Para pelajar menjadi harus menormalisasi anggapan bahwa setelah lulus, kita harus menjadi tenaga kerja yang minim perlindungan dan daya tawar secara politik. Pada akhirnya kita akan terus-menerus disuruh untuk kreatif supaya memperoleh kerja.
AT: Apa peran yang dijalankan oleh para pelajar, khususnya APB, dalam menggalang perlawanan #TolakOmnibusLaw?
U: Saat aksi #TolakOmnibusLaw, APB secara tidak terlibat secara organisasi. Inisiatif memang diambil oleh para pelajar itu sendiri. Akan tetapi, di aksi-aksi lain, biasanya para pelajar sering berkontribusi dalam penyebaran pamflet atau rilis ke sekolah-sekolah yang terdapat anggota APB. Selain itu, APB juga sering mendatangi tongkrongan para pelajar, misalnya di warung, atau sekitar sekolah. Tujuannya untuk menyebarkan rilis dan berdiskusi. Ini semua dilakukan untuk menjaring massa, APB pun mendorong setiap anggotanya untuk menyebarkan rilis sampai ke para pelajar lain untuk dibaca. Saat aksi setiap individu yang menjadi bagian dari APB juga sering terlibat sebagai tim teknis. Sedangkan bagi mereka yang tidak mendapat porsi kerja sebagai tim teknis ditugaskan untuk mendekati dan berkenalan dengan pelajar-pelajar lain.
APB juga memiliki divisi/tim. Misalnya ada tim propaganda yang bertugas mengurusi rilis, caption, dll. Ada juga tim perluasan yang bertugas menyebarkan ide atau propaganda yang telah dibuat entah itu dengan diskusi, acara musik, maupun kegiatan lainnya. Ada juga tim persatuan yang bertugas menjadi penghubung beberapa komunitas pelajar yang tertarik bergabung dengan APB.
Biasanya, setelah aksi APB pasti melakukan evaluasi, untuk bisa menilai kekurangan dan perkembangan selama aksi, supaya kedepannya dapat mempertahankan perkembangan, dan meminimalisasi kekurangan.
AT: Komunitas/organisasi apa saja yang menjadi jejaring APB?
U: Ada beberapa jejaring APB, misalnya Aliansi Pelajar Lembang, Aliansi Pelajar Bandung Timur, Aliansi Pelajar Bandung Selatan, dan beberapa tongkrongan kecil pelajar di warung-warung Ada juga beberapa individu pelajar di sekolah-sekolah.
AT: Bagaimana tanggapan Ujang terkait stigma bahwa keikutsertaan pelajar dalam aksi #TolakOmnibusLaw sebatas ikut-ikutan?
U: Tidak bisa dipungkiri, ada saja para pelajar yang ingin sekedar ikut-ikutan. Tapi toh, sekalipun ikut-ikutan, pelajar tetap punya hak untuk ikut aksi. Toh, para pelajar pun punya hak berdemokrasi. Alasan masih pelajar tidak boleh ikut aksi ini justru yang bermasalah. Maka dari itu wajar saja pelajar ikut aksi dan bersolidaritas, bukankah kekuatan dari massa aksi ada di persatuan, yakni ketika ada yang dirugikan yang lain ikut membantu?
AT: Apa keikutsertaan ini juga berkaitan dengan semakin meningkatnya kesadaran berpolitik dari pelajar?
U: Nah iya, sekarang pelajar lebih melek terhadap kondisi sekitar dan dinamika politik. Maka dari itu aksi para pelajar ini beralasan, bukan hanya cari ricuh. Dalam hal ini, APB pun berupaya menggelar berbagai diskusi tentang demokrasi, gender, dan kritik pendidikan Indonesia, bahkan dunia. Diskusi seperti ini tentu bukan APB saja yang mendorong. Barangkali banyak pelajar di luar sepengetahuan kita melakukan hal serupa, Tapi itulah semangatnya. Dua tahun ini organisasi sejenis APB banyak bermunculan.
AT: Apa Ujang, atau kawan pelajar lain di APB sempat mendapat ancaman akibat mengikuti aksi #TolakOmnibusLaw?
U: Ada. Setelah berbagai media beramai-ramai membingkai aksi yang direpresi polisi di Bandung 1 Mei lalu sebagian aksi ricuh, dan mayoritas yang kena ditangkap adalah pelajar SMA, banyak media mainstream mengabarkan bahwa para siswa ini adalah anggota APB dan yang diajak oleh organisasi APB. Dalam narasinya APB dilekatkan dengan ideologi tertentu. Akibatnya beberapa sekolah mendeklarasikan pelarangan APB. Bahkan, pernah ada pelajar yang ketahuan tergabung dengan APB akhirnya terpaksa mengundurkan diri karena orang tuanya berjanji kepada pihak sekolah untuk menjauhkan anaknya dari APB.
AT: Selain investasi di ketenagakerjaan, Omnibus Law Cipta Kerja juga membuka investasi di sektor pendidikan. Apa undang-undang ini dapat berdampak pada komersialisasi pendidikan?
U: Sebelum dibuka secara terang-terangan melalui Omnibus Law komersialisasi pendidikan sudah eksis, bahkan sekolah/kampus negeri yang ada yang pun sudah terbuka untuk investor. Mungkin Omnibus Law jadi jembatan yang dibangun untuk komersialisasi pendidikan yang bisa saja kedepannya dapat semakin menggila.
Hampir semua sekolah di Indonesia memandang siswa sebagai komoditas yang akan membayar sekolah melalui ilusi membagi pengetahuan yang sebenarnya keuntungannya dimonopoli oleh sistem pendidikan mereka sendiri. Adanya investasi asing, dimuluskannya pembentukan tenaga kerja, dan dibukanya lapak bagi investor asing yang ingin membangun sekolah, jadi problema yang semakin pelik. Logikanya jadi kompetisi. Misalnya memperketat kompetisi pasar pendidikan tanpa melihat terjangkau atau tidaknya akses pendidikan bagi mayoritas rakyat Indonesia, Di sini jelas bahwa niat dari pembangunan institusi pendidikan tidak jauh berbeda dari sebelumnya yaitu untuk mencari keuntungan (bisnis) bukan mencerdaskan masyarakat.
AT: Apa harapan Ujang sebagai pelajar untuk pendidikan Indonesia yang berkeadilan?
U: Harapannya tentu saja pendidikan bisa gratis bagi semua orang. Demokrasi juga penting. Itu berarti para elemen yang ada di dunia pendidikan seperti pelajar, guru, cleaning service, bahkan bapak/ibu kantin terlibat dalam menentukan arah pendidikan. Itu jangka panjang.