Banjir sebagai bencana alam (natural hazard) memang bersifat alamiah, tapi ini hanya berlaku untuk wilayah dengan kriteria dan kondisi khusus. Seperti saat hujan terlalu deras, maka daerah yang tidak memiliki kontur lahan yang kuat dan hutan primer, tidak dapat menghalau banjir. Tapi sebagian besar diakibatkan oleh manusia, didorong oleh perilaku antropocene. Dalam hal ini adalah penggunaan lahan hutan yang tidak sesuai peruntukan. Dampaknya, tutupan hutan primer berkurang dan terjadi perubahan morfologi hutan dan lahan, seperti hancurnya lahan basah (wetland). Situasi tersebut mendorong alam tak lagi mampu menahan gejolak di domainnya. Mereka kehilangan kemampuan mencegah dan menanggulangi atau, istilah lainnya, alam telah mengalami keretakan “metabolik.”
Menurut Taroli et.al (2019), manusia dan komunitasnya telah mengubah secara masif kondisi penampakan wilayahnya, dalam hal ini perubahan lanskap geomorfologi dengan kecepatan dan skala yang meningkat di seluruh dunia. Pola antropogenik ini, secara langsung dan tidak langsung, mengubah proses permukaan bumi sekaligus mencerminkan kondisi sosial budaya masyarakat yang menghasilkannya. Lebih lanjut, Taroli yang seorang ahli lingkungan dari Italia, mengatakan bahwa bencana alam dipengaruhi secara eksklusif oleh dampak yang dihasilkan oleh manusia. Pada lanskap terkini, terdapat banyak kasus bencana yang diakibatkan campur tangan manusia. Ini dapat dilihat sebagai akibat dari kombinasi proses alam dan antropogenik. Proses tersebut dapat dilihat dalam sebuah pendekatan “proses antropogenik”, yakni bagaimana aktivitas manusia secara sosial, ekonomi dan kultural berpengaruh pada sebuah bencana.
Pada kasus di Kalimantan Selatan (Kalsel) dan wilayah lainnya, memang diperlukan sebuah pendekatan yang tidak fatalis. Artinya kita mampu dengan jernih melihat bahwa bencana ini ternyata tidak tiba-tiba datang. Ada yang memicu untuk memperparahnya, yakni perilaku manusia. Apakah semua manusia? Tentu tidak. Ada kelas-kelas elit yang berkuasa atas suatu wilayah, dapat berbentuk HGU atau IUP, yang mendorong perubahan lanskap geomorfologi untuk kepentingan akumulasi modalnya. Salah satunya adalah alih fungsi hutan dan kebijakan yang menyokongnya. Perlu dicatat bahwa kerugian secara ekonomis yang dirasakan masyarakat cukup tinggi, belum lagi kita bicara tentang kerugian negara. Jika setiap tahun ini terulang, maka hal tersebut merupakan pembenaran atas eksploitasi dan ketimpangan.
Peran ekosistem hutan dan lahan basah (rawa, gambut, dll) memiliki peran yang signifikan dalam konteks adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana, khususnya banjir. Dalam tulisan ini, didapatkan sebuah gambaran bahwa banjir mempunyai dampak yang besar pada kehidupan dan kerentanan mata pencaharian di Kalimantan. Resiko banjir memiliki relevansi dengan ciri-ciri iklim dan lanskap lokal, utamanya perubahan penggunaan lahan yang telah berkembang pesat selama 30 tahun terakhir.
Banjir Didorong oleh Alih Fungsi
Wells et.al (2016), dalam penelitiannya terkait banjir di Kalimantan, menemukan sesuatu yang berkontradiksi dengan argumentasi pemerintah terkait banjir. Penelitian ini menemukan fakta bahwa banjir jauh lebih meluas dari perkiraan pemerintah. Temuan lainnya mengungkapkan jika peristiwa banjir yang bersifat lokal sering kali memiliki dampak yang lebih besar. Selama tiga tahun, peneliti yang mengambil catatan penelitiannya dari kombinasi data primer dan data sekunder ini, salah satunya kliping warta lokal terkait banjir, menemukan fakta jika mayoritas pewarta lokal telah melaporkan bahwa banjir telah mempengaruhi kehidupan 868 permukiman; selama 966 kali (termasuk 89 di daerah perkotaan), menggenangi sedikitnya 197.000 rumah, dan membuat lebih dari 776.000 orang mengungsi; mungkin sebanyak 1,5 juta (yaitu 5% – 10% dari total populasi).
Penelitian Wells dkk juga menggunakan analisis spasial dengan data primer berupa survei dan pemeriksaan data sekunder seperti citra satelit dan data terkait lainnya. Berdasarkan hasil survei yang disebar pada 364 desa di Kalimantan, mereka menemukan bahwa frekuensi banjir dengan intensitas tinggi memiliki relevansi dengan adanya penggunaan lahan (land use) di daerah tangkapan (catchment area), termasuk tutupan, kondisi hutan, dan lahan basah, akibat beralihfungsi menjadi tambang (tambang batu bara atau emas terbuka/open pit) dan kelapa sawit. Kemungkinan besar intensitas banjir menjadi tinggi selama 30 tahun terakhir, dan lebih tinggi untuk desa-desa yang lebih dekat dengan tambang. Begitupun di daerah aliran sungai dengan perkebunan kelapa sawit yang lebih luas, tetapi lebih rendah di daerah aliran sungai dengan tutupan hutan tebang pillih (selective logging) atau hutan utuh yang lebih besar. Selective logging merupakan praktek dengan cara menebang satu atau dua pohon dan membiarkan sisanya tetap utuh. Cara ini sering kali dianggap sebagai alternatif yang berkelanjutan dari tebang habis (clearcutting), di mana sebagian besar hutan ditebang dan hanya menyisakan sedikit sisa kayu, puing-puing, dan lanskap gundul (Wells et.al, 2016).
Gambar 1: Hasil Survei Wells, dkk (2016) tentang tutupan lahan dan penggunaan lahan
Deforestasi hutan di Indonesia memang tercatat pada taraf yang cukup tinggi. Bila mengacu pada catatan Nahib et.al (2018), hutan di Indonesia, dalam rentang tahun 2000-2009, telah mengalami kehilangan tutupannya sekitar 15.158 juta ha dari total 103.309 juta ha. Hasil penelitiannya, dengan metode observasi dan perbandingan data, menemukan jika laju deforestasi di Kalimatan mencapai 1.417 juta ha per lima tahun.
Hal ini juga diamini oleh Forest Watch Indonesia (FWI). Dalam rilis medianya, mereka menunjukan jika hutan alam di Indonesia terus berkurang setiap tahunnya. Dari tahun 2013 hingga 2017, tutupan hutan alami di Indonesia benar-benar mengalami penurunan sebesar 5,7 juta ha, dari luas sebelumnya 88,5 juta ha di tahun 2013. Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia telah kehilangan 1,4 juta ha hutan alam setiap tahunnya. Menurut FWI, Kalimantan termasuk ke dalam wilayah dengan laju deforestasi yang tinggi.
Melanjutkan catatan dari FWI, Eyes on The Forest, melalui analisis citra satelit, menunjukan jika Kalimantan memiliki luas hutan sekitar 32 juta ha pada tahun 2000 dan memiliki tutupan hutan sekitar 58%. Tetapi, luasan hutan telah berkurang sebanyak 2,7 juta ha di tahun 2009. Hal ini semakin diperparah dengan hilangnya tutupan hutan sekitar 2,2 juta ha pada 2016. Sebagai informasi, pada tahun 2016, dengan laju deforestasi yang tinggi, Kalimantan mengalami penurunan tutupan hutan hingga 9%. Jika tutupan tersebut dikonversi, maka areal hutan yang tersisa tinggal 27 juta ha. Laju deforestasi hampir mencapai 300.000 ha (0,9%) per tahun dari rentang waktu 9 tahun (2000-2009). Laju tersebut semakin meningkat dari rentang waktu tahun 2009 ke 2016 menjadi 320.000 ha (1,1%).
Gambar 2: Peta deforestasi Kalimantan sampai pada tahun 2016
Greenpeace dalam beberapa kesempatan mengungkapkan jika salah satu penyebab dari adanya deforestasi masif ini adalah semakin masifnya pembukaan hutan untuk kepentingan usaha sawit, pulp dan tambang. Mereka melihat bahwa perubahan lanskap di Kalimantan diakibatkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah dalam kebijakan perlindungan hutan dan persoalan deforestasi yang erat kaitannya dengan perubahan iklim. Sementara perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan bencana alam, seperti banjir, longsor, panas berkepanjangan, peningkatan suhu, sehingga menjadi salah satu faktor meningkatnya resiko kebakaran hutan dan lahan.
Banjir dan Retakan Metabolisme
Gambar 3: Peta prediksi peningkatan banjir di Kalimantan. Titik merah menunjukkan terdapat peningkatan tren banjir, sementara warna putih tidak ada perubahan (Wells et.al, 2016).
Pernyataan klise sering dilontarkan oleh pemerintah. Dalam beberapa warta, kebanyakan mengatakan jika banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Di manapun kala intensitas hujan tinggi, tentu itu akan meningkatkan resiko bencana seperti banjir. Tetapi alam memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya, mengurangi resiko bencana yang lebih luas. Itu pun syaratnya tidak ada perubahan yang cukup masif dari kenampakan kondisi alam, seperti perubahan tutupan hutan.
Menurut WALHI Kalsel, Provinsi Kalsel sendiri memiliki problem kerusakan lingkungan yang cukup besar. Data yang dipaparkan oleh WALHI Kalsel menunjukkan jika ada sekitar 157 perusahan tambang batubara yang beroperasi, rata-rata wilayah konsesi mereka berada di wilayah hutan alam. Selain tambang, ada juga perkebunan sawit yang keberadaannya cukup masif. Hampir 50% wilayah Kalsel dikuasai oleh konsesi tambang batubara dan sawit. Kondisi ini semakin memperparah bencana, di mana fungsi ekosistem dan alamiah hutan menjadi rusak.
Gambar 4: Perbandingan spasial dari bahaya banjir yang diperkirakan berdasarkan wawancara desa versus laporan berita. Warna yang lebih gelap menunjukkan frekuensi banjir yang lebih tinggi diprediksi dari wawancara desa (frekuensi banjir selama 5 tahun terakhir, terutama tahun 2004-2009). Warna merah menunjukkan daerah di mana banjir yang dilaporkan berita diperkirakan akan terjadi (kemungkinan relatif lebih tinggi dari banjir yang dilaporkan berita selama 3 tahun April 2010 – April 2013). Karena itu, warna merah yang lebih gelap menunjukkan area di mana kedua sumber data memberikan prediksi bahaya banjir yang tinggi. Warna hijau menunjukkan daerah di mana banjir tidak diperkirakan dari laporan berita. Oleh karena itu, warna hijau pucat menunjukkan area yang disetujui oleh kedua data sumber yang memiliki bahaya banjir rendah. Hijau tua menunjukkan frekuensi banjir desa yang tinggi di daerah di mana banjir yang dilaporkan berita diperkirakan akan absen (Wells dkk, 2016).
Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh retakan metabolisme alam. Metabolisme alam, menurut Foster (2000: 141), digunakan untuk mendefinisikan proses tenaga kerja sebagai proses antara manusia dan alam; sebuah proses yang mana manusia melalui tindakannya memediasi, meregulasi dan mengontrol metabolisme dengan alam. Relasi produksi kapitalistik yang berlangsung memunculkan sebuah retakan metabolisme yang tak dapat diperbaiki. Proses dari hubungan tersebut berimplikasi pada kemampuan alam untuk memulihkan dirinya, sebagai konsekuensi dari hubungan antara manusia dan alam.
Retakan metabolisme merupakan sebuah hubungan yang retak antara fungsi alam dan produksi manusia. Di saat manusia, dalam hal ini kelas kapitalis, mengeksploitasi alam besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan, mereka sesungguhnya telah menciptakan sebuah dampak, yakni menurunnya transfer nutrisi alam, sehingga sumber daya semakin menipis (Foster dkk, 2011: 45-46). Artinya, eksploitasi alam secara besar-besaran dapat mengakibatkan bencana, contohnya banjir, karena sumber daya alam yang menipis tidak mampu menanggulangi hal tersebut. Di samping itu, kondisi ini juga mendorong adanya sebuah ketimpangan dan eksploitasi yang dialami oleh kelas-kelas marjinal seperti masyarakat adat dan petani kecil. Mereka harus kehilangan sumber nutrisinya sekaligus teralienasi dan harus menanggung beban bencana.
Realitas ini menunjukkan jika bencana banjir yang terjadi di Kalsel tempo hari, secara lebih luas di Kalimantan, bahkan mungkin di Jawa dan wilayah lainnya, merupakan hasil dari eksploitasi kapitalis terhadap alam; selain eksploitasi buruh melalui kerja upahan, merampas lahan petani dan memaksa mereka menjadi buruh. Eksploitasi atas alam, terutama di Kalimantan, tidak dapat dilepaskan dari “kapitalisme ekstraktif” dan, karenanya, rezim pemerintah ekstraktif, yang mengelola negara dengan paradigma tambang. “Keruk, ambil dan jual!” Di kala terjadi bencana, rakyatnya disuruh berdamai dan pasrah: “semua ini sudah digariskan Tuhan!” Namun nyatanya tidak. Catatan ini menjadi semacam diskursus ketika melihat bencana. Bencana bukanlah sesuatu yang fatalistik, tetapi merupakan akibat dari manusia. Tidak semua manusia, melainkan manusia di dalam kelas sosial tertentu.
Referensi
Tarolli, P., Cao, W., Sofia, G., Evans, D., & Ellis, E. C. (2019). From features to fingerprints: A general diagnostic framework for anthropogenic geomorphology. Progress in Physical Geography: Earth and Environment, 43(1), 95-128. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0309133318825284\
Tarolli, P., Sofia, G., & Ellis, E. (2017). Mapping the topographic fingerprints of humanity across Earth, Eos, 98. Diakses dari https://www.researchgate.net/profile/Erle_Ellis/publication/315342859_Mapping_the_Topographic_Fingerprints_of_Humanity_Across_Earth/links/59c8f96eaca272c71bcdcc01/Mapping-the-Topographic-Fingerprints-of-Humanity-Across-Earth.pdf
Wells, J. A., Wilson, K. A., Abram, N. K., Nunn, M., Gaveau, D. L., Runting, R. K., … & Meijaard, E. (2016). Rising floodwaters: mapping impacts and perceptions of flooding in Indonesian Borneo. Environmental Research Letters, 11(6), 064016. Diakses dari https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/11/6/064016
Nahib, I., Trenggana, S., Suryanta, J., Munajati, S. L., & Windiastuti, R. (2018, May). Measuring Environmental and Socio-economic Impact of Deforestation at Kalimantan Island. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 149, No. 1, p. 012008). IOP Publishing. Diakses dari https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/149/1/012008
Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology: Materialism and nature. NYU Press.
Foster, J. B., Clark, B., & York, R. (2011). The ecological rift: Capitalism’s war on the earth. NYU Press.
Sumber rujukan media
https://fwi.or.id/deforestasi-di-indonesia-alarm-pengelolaan/
New deforestation revealed as Indonesian minister arrives in EU to defend palm oil industry
https://www.eyesontheforest.or.id/backgrounders/kalimantan
https://news.detik.com/berita/d-5336603/bppt-banjir-kalsel-karena-hujan-ekstrem-intensitasnya-bakal-menurun
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210116102955-20-594505/banjir-kalsel-walhi-ingatkan-soal-kerusakan-lingkungan