Negeri Halmahera Tengah bukan Untuk Industri Ekstraktif

945
VIEWS

Sebagai anak yang lahir di bumi Fagogoru, penulis sangat paham, jika belum musim panen, orang tua kami berprofesi sebagai nelayan, dan jika datang musim angin selatan kami naik ke gunung dan bertani lagi. Sederhananya apa yang ingin saya sampaikan adalah kami akan tetap hidup tanpa industrialisasi. Toh, nenek moyang kami bisa bertahan hidup ratusan tahun dengan tradisi multikulturnya dan berprofesi menjadi petani dan nelayan.

Tulisan ini adalah kritik penulis terhadap krisis lingkungan di Halmahera Tengah.

Berbicara soal ketimpangan yang terjadi di Indonesia bagian Timur, kebanyakan orang mungkin akan serentak tertuju pada Papua, misalnya kasus PT Freeport, masalah rasisme dan diskriminasi masyarakat Papua. Sementara, masih sangat minim dan bahkan jarang sekali perhatian tertuju pada kondisi sosial-kultur serta isu ketimpangan yang terjadi pada masyarakat pulau-pulau kecil di Timur Indonesia. Melalui artikel ini, saya ingin sedikit beranjak, berjalan-jalan ke sebuah pulau yang bertetangga dengan Papua, yaitu provinsi Maluku Utara, tepatnya di Halmahera Tengah (selanjutnya disingkat Halteng).

Halteng, atau dikenal dengan negeri yang berlandaskan falsafah Fagogoru memiliki makna filosofis yakni berkumpul dan bersama-sama. Di dalamnya terkandung empat nilai, yaitu sopan re hormat (saling menghargai dan menghormati), budi re bahasa (kebaikan dan santun berbicara), ngaku re rasai (kebersamaan dan kekeluargaan), dan metat re meimoy (malu dan takut pada kesalahan). Falsafah ini kemudian diadopsi dalam lambang dan moto Kabupaten Halmahera Tengah.

Selain falsafah yang menjadi kebanggaan, Halteng merupakan wilayah yang memiliki keberlimpahan sumber daya. Ciri khas masyarakatnya memiliki corak produksi yang bergantung pada perkebunan pala, cengkeh dan kelapa kopra yang telah lama dikelola dengan model yang tradisional demi menunjang hidup. Bahkan ketika terjadi krisis moneter 1998, masyarakatnya masih bisa bertahan hidup sebab pertaniannya tidak mengenal tradisi monokultur. Namun, corak produksi masyarakat Halteng semakin terancam dengan masuknya pertambangan industri ekstraktif, perlahan mengubah masyarakat yang semulanya berbasis masyarakat agraris menjadi masyarakat industrialis.

Kasus Tambang di Pulau Gebe

Negeri Fagogoru punya sisa-sisa buruk tentang industri ekstraktif. Sebut saja PT. Aneka Tambang (ANTAM) yang beroperasi di pulau Gebe (sekitar tahun 1979-2004). Industri yang bergerak dibidang nikel ini ketika izin produksi berjalan memberikan dampak positif terhadap warga Gebe. Minimal, masyarakat mendapatkan akses listrik dan air bersih secara gratis, upacara-upacara seremonial 17 agustus-an maupun ulang tahun ANTAM selalu mendatangkan artis-artis nasional untuk memeriahkan pulau kecil itu. Tetapi, ketika ANTAM angkat kaki dari pulau Gebe pada 2004, pulau Gebe menjadi gelap gulita, air bersih susah didapatkan lagi. Dan apa boleh buat, tanah mereka terlanjur dieksploitasi habis-habisan. Gebe seperti menjadi pulau “mati”, masyarakatnya terpuruk, menjerit.

Tidak sampai disini cerita soal pulau Gebe. Ada beberapa perusahaan tambang yang masih saja ingin menguras habis pulau kecil berlimpah sumber daya alam itu. Ketika ANTAM pergi meninggalkan lubang dan lahan-lahan gundul, sekitar tahun 2006, PT.Gebe Karya Mandiri (GKM) mendapat izin dari Pemerintah daerah Halteng. Mereka menambang kembali areal bekas operasi ANTAM. Dan ketika GKM yang masuk pada tahun 2006, belum banyak melakukan aktivitas reklamasi dan eksploitasi nikel Gebe. Pada tahun 2012, Pemda kembali memberikan kesempatan kepada perusahaan tambang nikel yang baru, yakni PT. Fajar Bhakti Lintas Nusantara (FBLN).

Lantas apa yang diberikan FBLN kepada masyarakat Gebe? FBLN memberikan janji manis kepada masyarakat, misalnya akses lampu yang tinggal di kontak langsung, air bersih, BBM untuk mesin listrik. Namun faktanya, masyarakat Gebe hanya dipekerjakan sebagai buruh yang tidak memiliki posisi tawar. Bahkan ironisnya, janji manis itu tidak direalisasikan sama sekali. Penderitaan akibat janji FBLN dan masalah-masalah lainnya ini, akhirnya mengundang amuk marah besar masyarakat Gebe. Puncaknya, masyarakat bersama kelompok mahasiswa yang berjumlah sekitar dua ribu massa, melakukan aksi demonstrasi pada tahun 2016 lalu. Sayangnya, aksi tersebut berujung pada kekerasan, 4 warga menjadi korban dan 14 warga Gebe lainnya ditangkap.

Membuka kembali banyaknya dampak buruk akibat industri ekstraktif di pulau Gebe mungkin ibarat mengorek kembali luka lama. Namun, sebelum kehadiran PT. ANTAM, pada tahun 1968 ada juga perusahaan Jepang PT. Indonesia Nickel Development (INDECO), hingga perusahaan GKM dan FBLN. Kehadiran perusahaan-perusahaan tambang tersebut patut diingat sebagai pelajaran bagi masyarakat Gebe, negara, Pemprov Maluku Utara, dan Pemda Halmahera Tengah.  Tidak ada eksperimen industri ekstraktif manapun yang bisa membuat masyarakat sejahtera.

Lantas, dengan pengalaman buruk aktivitas industrialisasi di pulau Gebe ini, apakah  cukup memberikan pelajaran untuk menolak masuknya pertambangan industri ekstraktif? Ternyata tidak juga.

Kasus PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)

Hasrat kekuasaan untuk memasukkan industri ekstraktif masih saja berlanjut. Faktanya, proses percepatan pembangunan industri ekstraktif lainnya dilakukan Pemerintah Daerah Halteng. Pertemuan bupati dengan Mentri Koordinator Kemaritiman serta Direktur Utama PT. IWIP yang berlangsung pada 2 November 2018 di kantor Kementrian Koordinator Kemaritiman. Akhirnya, pada 31 Agustus 2018 lalu,  Luhut Binsar Panjaitan kebanggaan investor asing, meresmikan PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Maluku Utara tepatnya di Kab. Halmahera Tengah, lokasi operasinya di Desa Lelilef Kec. Weda Tengah.

Proyek besar ini bergerak di bidang nikel menjadi baterai litium. Nilainya cukup besar, US$ 10 Milliar. Kawasan industri yang berlokasi di Weda, Halmahera Tengah ini merupakan kerjasama antara Eramet Group (Perancis) dan Tsingshan (Cina) bersama partner lokalnya PT ANTAM. IWIP adalah Kawasan Industri terpadu yang akan mengolah sumber daya mineral dari mulut tambang menjadi produk akhir berupa Baterai Litium dan Besi Baja. Bukan proyek yang kaleng-kaleng.

Proyek ini terbukti bermasalah dalam menyejahterakan para pekerjanya.

Pada bulan Mei 2020 lalu, buruh PT. IWIP bersama mahasiswa yang tergabung dalam Forum Perjuangan Buruh Halmahera Tengah (FPBH) melakukan aksi demonstrasi. FPBH menentang kebijakan perusahaan yang dinilai sepihak.  Tuntutan FPBH adalah terkait dengan kebijakan yang mewajibkan karyawan dirumahkan, mendesak perusahaan untuk mengembalikan aturan izin resmi keterangan izin sakit bagi buruh.

Selain itu, massa menuntut perusahaan agar menerapkan sistem kerja dari 12 jam dikurangi menjadi 8 jam. Massa aksi juga menyuarakan kasus kecelakaan kerja, dan kriminalisasi terhadap buruh, kasus PHK sepihak, upah pokok bagi buruh yang dijeda dan tidak dibayarkan, kebijakan sepihak berupa memo yang merugikan buruh, serta kasus-kasus lainya yang merugikan buruh sendiri. Perusahaan harus penuhi hak buruh perempuan, kembalikan izin resmi untuk buruh di PT IWIP. Selanjutnya, pihak perusahaan harus melakukan lockdown selama masa pandemi Covid-19, serta membayar upah pokok 100 persen. Sayangnya, aksi tersebut berujung pada pengrusakan kantor perusahaan, alat berat, penjarahan bahan makanan dan membakar kios kosong di depan gerbang perusahaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Masa FPBH dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian.

Selain itu, beberapa bulan lalu, kabar duka menimpa negeri Fagogoru. Desa Lelilef tempat beroperasinya PT. IWIP diguyur hujan selama dua hari yang mengakibatkan banjir. Hujan yang terjadi selama dua hari mengakibatkan smelter A-D terendam air. Bahkan, beberapa warung di areal perusahaan juga hanyut dibawa banjir. Tidak hanya itu, banjir tersebut mengakibatkan jalan lintas Halmahera tidak bisa diakses. Beberapa mobil yang memaksa lewat terpaksa mogok akibat dimasuki air. Sementara itu, di Desa Sagea Kecamatan Weda Utara rumah warga tergenang air hujan. Setidaknya ada 7 rumah warga yang tergenang air. Genangan air itu dipicu meluapnya air sungai Sageyen di Desa Sagea.

Secara akademis, kita bisa menguji penyebab terjadinya banjir atau kerusakan lingkungan di arena operasi sebuah pertambangan. Misalnya, kajian soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Tanpa bermaksud menyalahi, tetapi patut dicurigai. Jangan sampai, kajian soal AMDAL dan mekanisme perijinan PT. IWIP ternyata bermasalah.

Hal ini mendapat komentar Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara Munaidi Kilkoda yang sekaligus sebagai anggota DPRD Komisi III Kab. Halteng. Melalui status Facebook-nya, ia telah memprediksikan banjir yang terjadi sejak awal. PT. IWIP hanya memikirkan profit ketimbang keberlanjutan lingkungan, terbukti dengan adanya banjir akibat pembukaan lahan dan hutan di kawasan tersebut secara masif sehingga daya dukung lingkungan tidak lagi sebanding dengan intensitas hujan yang tinggi.

Baca Juga:

Kerusakan ekologis: menengok kembali relasi manusia dan alam

Fenomena kerusakan ekologis berupa pemanasan global, perubahan iklim, banjir, hingga tanah longsor memunculkan diskursus tentang relasi manusia dan alam, dan kita berargumen bahwa alam harus dipergunakan sebaik-baiknya demi kemaslahatan ummat. Namun, problemnya adalah paradigma manusia modern yang sangat antroposentris. Ini adalah pandangan yang menganggap bahwa alam dan lingkungan hidup adalah harta berlimpah yang harus dikuasai, dieksplorasi dan dieksploitasi atas nama kemaslahatan dan kepentingan. Akibatnya, kehancuran ekologis menjadi masa depan. Padahal pemaknaan atas kerusakan yang terjadi sudah seharusnya dikerahkan untuk membangkitkan kesadaran atas berbagai krisis yang terjadi di muka bumi ini, termasuk terhadap kerusakan ekologi. Relasi antara manusia dan alam harus seimbang. Manusia tidak boleh melakukan aktivitas eksploitasi atas alam yang berakibat kehancuran.

Dalam konteks Islam, Al Quran surat Ar-Rum (30:41) telah memperingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”.

Kehadiran industri ekstraktif di beberapa wilayah termasuk Sagea telah merubah kondisi lingkungan Halteng yang semulanya hijau menjadi lahan-lahan gundul. Masyarakat yang semulanya berprofesi sebagai petani akhirnya tidak punya pilihan lain untuk menjadi buruh pabrik. Bahkan tidak jarang, masyarakat Halteng sendiri sama sekali tidak dipekerjakan.

Namun pada kasus ini, akhirnya, cukup bahwa PT. IWIP menjadi referensi penting, khususnya pemerintah daerah Halteng, bahwa pemerintah masih saja tidak peka dengan aktivitas pertambangan yang lebih banyak mengundang unsur mudhoratnya. Hal ini justru akan mengundang perusahaan ANTAM, FBLN, dan IWIP—dalam bentuk baru lainnya—bersiap menggerogoti tanah Fagogoru.

Bencana banjir yang hampir menenggelamkan Desa Lelilef cukup dijadikan pelajaran berharga bahwa tanah Halmahera Tengah adalah tanah masyarakat yang merupakan kaum petani. Jangan lagi memaksakan logika kemajuan dan peradaban dengan agenda industri ekstraktif sehingga menabrak kearifan lokal yang telah lama menghidupkan rakyat Halmahera Tengah.

Penutup

Negara tidak perlu berbicara panjang lebar soal peradaban bangsa, cukup dengan membiarkan rakyat hidup dengan cara mereka, tumbuh dan berkembang dengan tradisi lokal mereka sendiri. Bumi Fagogoru masih “cukup” bersih dari jejaring oligarki ibu kota Jakarta, jangan rusaki tanah, laut dan nilai-nilai Fagogoru yang menjadi kebanggaan kami dengan kebiadaban oligarki.

Masyarakat Halteng tidak bodoh. Kami tahu, zaman sekarang adalah zaman serba-serbi kerja sama di bidang industri dan omong kosong lainnya. Dengan iming-iming kesejahteraan yang merupakan logika pasar neoliberalisme. Ini bukan pula soal minimnya pemahaman masyarakat setempat atas logika industrialisasi yang konon katanya akan berdampak pada kesejahteraan dengan skema Corporate Social Responsibility (CSR). Sekali lagi kami sadar, bahwa semua itu omong kosong.

Penolakan atas masuknya industri di Halteng akan selalu diperjuangkan. Namun selalu saja digagalkan oleh segelintir elit lokal yang pro terhadap industri dengan beragam alasan. Sebut saja yang terjadi baru-baru ini terkait upaya untuk menghadirkan perusahaan kayu di wilayah Patani yang kemudian mendapatkan dukungan dari salah satu anggota DPRD Halteng dari fraksi Hanura yang merupakan anak petani juga. Penolakan dilakukan oleh mahasiswa yang tergabung dalam Sarekat Tani Patani (SERTANI). Artinya bahwa penolakan dan perlawanan atas industri apapun masih dan akan terus berlangsung.

Sebagai penutup, tidak ada eksperimen industri ekstraktif manapun yang telah memberikan jaminan hidup masyarakat Fagogoru. Satu-satunya jaminan hidup masyarakat Fagogoru adalah pala, cengkeh dan kelapa (kopra)nya.

 

Related Posts

Comments 1

  1. koreksi harus menjelaskan secara objektif, terkait dengan aksi buruh mei 2020. Ekspresi politik buruh ada saat aksi adalah bagian dari akumulasi kemarahan penindasan terhadap perusahaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.