Rabu Abu dan Pertobatan Ekologis

4.2k
VIEWS

Pada tanggal 26 Februari tahun ini, sebagian umat Kristiani di Indonesia akan berpartisipasi dalam ibadah Rabu Abu. Di negeri ini, ibadah yang mengawali masa Prapaskah tersebut telah lama diidentikkan dengan Gereja Katolik. Namun dalam beberapa tahun terakhir, beberapa gereja Protestan di Indonesia mulai mengadakannya.

Rabu Abu menyerukan pesan pertobatan. ‘Bertobatlah dan percayalah kepada Injil’ atau ‘ingatlah, kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu’ adalah dua formula yang biasanya diucapkan oleh imam atau pendeta dalam ibadah tersebut, sembari menorehkan abu dengan bentuk salib pada dahi umat. Lewat ritual tersebut, umat Kristiani diundang untuk melakukan introspeksi diri dan bertobat.

Ibadah Rabu Abu sendiri telah dipraktikkan gereja sejak berabad-abad silam. Dalam bukunya, Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja, Rasid Rachman menjelaskan bahwa hingga abad ke-10, istilah Rabu Abu sebenarnya belum dikenal. Ritual menorehkan abu di dahi umat juga baru secara resmi diterapkan di abad ke-13. Namun penggunaan hari Rabu untuk mengawali masa Prapaskah sebenarnya telah dipraktikkan sejak abad ke-6.[1]

Bagaimana gereja-gereja di Indonesia memaknai pertobatan dalam penyelenggaraan ibadah Rabu Abu di tahun 2020 ini tentu menarik untuk disimak. Di sini gereja-gereja ditantang untuk menunjukkan relevansi ritual peribadatan ini, sekian abad sejak ibadah Rabu Abu mulai dilaksanakan.

Terkait dengan tema pertobatan yang menjadi pesan ibadah Rabu Abu, salah satu upaya gereja untuk menunjukkan relevansinya di abad ke-21 ini adalah dengan mendengungkan istilah yang dalam beberapa tahun terakhir semakin populer, yakni ‘pertobatan ekologis’. Surat edaran Paus Fransiskus di tahun 2015, Laudato Si, adalah salah satu faktor pendorong popularitas istilah tersebut. Oleh banyak pengamat, surat yang menyerukan pertobatan ekologis tersebut dilihat sebagai salah satu dokumen yang sifatnya monumental dalam pergumulan gereja untuk menjawab tantangan zaman. Namun bukan hanya di Gereja Katolik, di gereja-gereja Protestan istilah ‘pertobatan ekologis’ juga makin sering dipercakapkan. Lewat seruan pertobatan ekologis ini, gereja-gereja berusaha merespons salah satu pergumulan utama dunia di masa kini, yaitu ancaman kiamat iklim.

Ancaman Kiamat Iklim

Meski telah disuarakan sejak puluhan tahun silam, isu perubahan iklim (climate change) semakin menunjukkan urgensinya di tahun ini. Banjir besar di Jakarta dan kebakaran hebat di negara tetangga, Australia, di awal tahun 2020, seakan menyalakan alarm bahaya tentang apa yang mungkin terjadi dalam dekade ke depan.

Menanggapi banjir di Jakarta Januari lalu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menemukan adanya peningkatan curah hujan yang signifikan jika dibandingkan dengan kondisi seratus tahun lalu ketika keadaan iklim global masih sangat berbeda. Perubahan ini disinyalir sebagai faktor dominan penyebab banjir kemarin serta peningkatan resiko terjadinya bencana serupa di waktu-waktu ke depan.

Sementara itu di Australia, kebakaran semak (bushfires) seluas jutaan hektar lahan di awal tahun 2020 yang menewaskan puluhan orang, menghabisi ribuan tempat tinggal, serta memakan korban jutaan hewan, juga tidak lepas dari faktor perubahan iklim. Climate Council, organisasi penyedia informasi terkait isu perubahan iklim di Australia, menyatakan bahwa rendahnya curah hujan, kekeringan, serta peningkatan suhu, yang semuanya terkait dengan perubahan iklim, adalah kondisi-kondisi yang bakal membuat ancaman kebakaran semak di waktu mendatang semakin membahayakan.[2]

Menanti Keberanian Gereja

Di tengah ancaman kiamat iklim yang semakin nyata, keberanian gereja memosisikan pewartaannya pada akhirnya bakal turut menentukan bagaimana ia akan dihakimi oleh sejarah. Sementara di abad-abad sebelumnya gereja telah seringkali menunjukkan wajah oportunis dan reaksioner di tengah gelombang sejarah masa lalu seperti kolonialisme dan perang imperialis, generasi mendatang nantinya juga akan menilai bagaimana gereja menghadapi tantangan krisis iklim di masa kini.

Salah satu tolok ukur keberanian gereja di masa genting ini ialah seberapa eksplisit pewartaannya berkonfrontasi dengan tatanan kapitalisme global. Sebagaimana telah dijelaskan oleh banyak studi, akar masalah krisis iklim hari ini ada pada sistem ekonomi yang sejatinya tengah memerangi kehidupan mayoritas penghuni muka bumi lewat obsesinya akan profit dan pertumbuhan ekonomi. Penulis bestseller Naomi Klein mungkin adalah salah satu yang terpopuler dalam penjelasannya tentang poin ini lewat bukunya yang terbit pada tahun 2014, This Changes Everything.[3] Namun poin serupa sebenarnya juga muncul dari petinggi dunia seperti mantan Sekjen PBB asal Korea Selatan, Ban Ki-Moon, yang dalam World Economic Forum tahun 2011 menyatakan bahwa melanjutkan model ekonomi yang berjalan selama ini berarti melangkah menuju ‘bunuh diri global’.[4]

Dalam hal keberaniannya menyoroti problem sistemik masalah iklim hari ini, surat edaran Paus Fransiskus, Laudato Si, bisa dibilang telah menunjukkan langkah yang cukup maju. Bahkan intelektual Marxis sekaliber Michael Löwy pun turut menyatakan apresiasinya atas naskah tersebut. Dalam artikelnya di Monthly Review yang khusus membahas dokumen gereja tersebut, Löwy mengkategorikan surat edaran tersebut sebagai tulisan yang bercorak anti-sistemik. Artinya, meski dalam surat tersebut Paus Fransiskus tidak sekalipun menyebut istilah ‘kapitalisme’, analisisnya tidak menyoroti akar masalah iklim pada perilaku individu semata, melainkan pada moda produksi dan konsumsi yang dominan hari ini, yang tidak lain adalah kapitalisme.[5]

Majunya posisi Laudato Si dalam percaturan kekristenan global hari ini akan sangat kentara ketika kita membandingkannya dengan ekspresi-ekspresi Kristen lainnya yang beredar. Kita tahu bahwa Presiden penyangkal masalah iklim, Donald Trump, punya basis pendukung yang luas di kalangan Kristen Injili Amerika Serikat. Laporan riset dari Pew Research Center, juga menunjukkan bahwa kesadaran di kalangan ini tentang masalah iklim terkategori paling rendah jika dibandingkan dengan kalangan Kristen lainnya di Amerika.[6] Di dalam tubuh Gereja Katolik sendiri, posisi yang dikemukakan Paus Fransiskus dalam Laudato Si tidak serta-merta diterima oleh bawahannya. Uskup Agung Kraków, Polandia, yang bernama Marek Jędraszewski, misalnya, menyatakan bahwa gerakan lingkungan seperti yang dipelopori oleh Greta Thunberg adalah bertentangan dengan Alkitab dan melawan tradisi Kristen.[7]

Laudato Si sendiri tentu bukannya tanpa kelemahan. Kecermatan melakukan diagnosis atas akar permasalahan tidak selalu dibarengi tawaran solusi yang jitu. Michael Löwy, misalnya, menyoroti minimnya gagasan tentang gerakan politik yang diperlukan serta absennya pengakuan atas potensi peran kaum miskin sebagai protagonis pembebasan atas permasalahan ini. Yang terakhir ini dianggap Löwy lebih digambarkan sebagai korban alih-alih agen perubahan. Meski demikian, kritik ini disertai dengan permaklumannya karena dalam surat edaran tersebut Paus Fransiskus juga menyebut tentang keterbatasan peran gereja yang tidak bermaksud untuk menggantikan fungsi partai politik.[8]

Namun dalam batasan peran gereja sebagaimana dibayangkan oleh Paus Fransiskus tersebut pun sepertinya tidak akan mudah bagi kita untuk menemukan pewartaan yang semaju konten Laudato Si di gereja-gereja yang ada. Untuk mengembangkan ‘pelayanan’-nya, gereja membutuhkan biaya. Ongkos pembangunan gedung, pembelian tanah, remunerasi staf, hingga perlengkapan ibadah tidaklah murah. Dalam situasi yang demikian, peran anggota jemaat yang memiliki modal lebih menjadi semakin krusial. Pada posisi ini, pilihan untuk mewartakan sikap kritis terhadap kapitalisme adalah beresiko. Bakal berterimakah pesan-pesan anti-sistemik di telinga mereka yang justru dimungkinkan untuk bermodal lebih berkat sistem yang ada sekarang? Himbauan untuk mengurangi penggunaan plastik, menggalakkan penghijauan, atau mengurangi konsumsi individu, tentu akan jauh lebih mudah diucapkan di mimbar-mimbar gereja. Tetapi bagaimana jika akar permasalahannya terletak pada sistem pengorganisasian kegiatan produksi dalam masyarakat yang ada, yang operasinya dibiarkan tak tersentuh ketika fokus kita teralih pada pengamalan himbauan-himbauan tadi?

Tantangan yang tidak mudah ini barangkali membuat pesan pertobatan dalam hari raya Rabu Abu yang akan datang ini begitu mengena, pertama-tama bagi gereja sendiri. Sejauh apakah keberanian gereja untuk menempuh jalan salib yang penuh resiko, ketika hari ini ia ditempatkan di tengah-tengah krisis dunia yang begitu nyata? Agaknya pertanyaan ini layak menjadi perenungan bagi kita semua yang bakal menerima torehan tanda salib di dahi pada tanggal 26 Februari nanti.

[1] Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Peran Pastoral Gereja (Jakarta: BPK-GM, 2005), 58.

[2] “The Facts About Bushfires and Climate Change”, https://www.climatecouncil.org.au/not-normal-climate-change-bushfire-web/.

[3] Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014).

[4] “Ban Ki-Moon on ‘Revolution’”, https://www.youtube.com/watch?time_continue=11&v=BmgEddwyTcY&feature=emb_logo.

Baca Juga:

[5] Michael Löwy, “Laudato Si—The Pope’s Anti-Systemic Encyclical”, https://monthlyreview.org/2015/12/01/laudato-sithe-popes-anti-systemic-encyclical/.

[6] “Religion and Views on Climate and Energy Issues”, https://www.pewresearch.org/science/2015/10/22/religion-and-views-on-climate-and-energy-issues/.

[7] “‘Ecologism is very dangerous and contrary to the Bible’, warns Polish Archbishop”, https://notesfrompoland.com/2019/12/27/ecologism-is-very-dangerous-and-contrary-to-the-bible-says-archbishop-of-krakow/.

[8] Löwy, “Laudato Si”.

Related Posts

Comments 6

  1. Sony Rospita Simanjuntak says:

    Bagus sekali artikelnya. Penuh informasi. Terima kasih. Hanya ada satu komentar tentang terjemahan ‘bushfire’ ke ‘kebakaran semak’ di Australia. Seorang jurnalis Indonesia yang saya kenal dan hidup di Australia mengulas terjemahan itu sebagai tidak tepat karena dalam konteks Australia, ‘bushfire’ itu adalah ‘kebakaran hutan’ karena pohon-pohon yang banyak terbakar tinggi-tinggi. Hanya sebagai masukan

  2. Wah, terima kasih banyak untuk masukannya. Saya memang agak bimbang waktu memutuskan terjemahan ‘kebakaran semak’. Keputusan banyak media lain untuk menggunakan istilah yang sama membuat saya berani memilih opsi tersebut. Tapi memang mungkin ‘kebakaran hutan’ lebih tepat untuk menggambarkan bencana yang skalanya masif tersebut.

  3. Arif Harsana says:

    Terimakasih dan apresiasi kepada penulis artikel bernas dan berbobot Damiel I.N. Sihombing.
    Penulis menunjukkan kemampuannya mengutarakan masalah yg berdimensi filosofis dg muatan makna yg dalam, universal dan fundamental dengan uraian yang mudah dibaca oleh publik luas tentang pentingnya menanggulangi bahaya perubahan iklim secara konsekwen.

    Semoga semangat yang mengilhami para pendukung paham Theologi Pembebasan akan ikut berperan aktiv dalam perjuangan bersama demi tercapainya tatanan yg lebih adil dan lebih ramah lingkunngan hidup.

  4. Terima kasih, Pak Arif, untuk apresiasinya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.