Tulisan-tulisan apokaliptik dalam Alkitab seringkali menjadi legitimasi sebagian umat untuk mengabaikan persoalan di bumi. Calvin DeWitt, tokoh kaum Injili di Amerika, menuliskan 10 hambatan orang Kristiani untuk peduli pada persoalan di bumi, nomor 1 berkaitan dengan pandangan dari teks apokaliptik, yakni bumi sebagai tempat tinggal sementara yang akan hancur lebur pada hari kiamat.[1] Dengan pandangan tersebut, umat menjadi tidak peduli dengan jurang kemiskinan semakin lebar, penggundulan hutan di Kalimantan, kolonialisme di Papua hingga genosida 1965. Semua persoalan tersebut dianggap perkara duniawi, sehingga menurut mereka (umat) yang penting adalah hadirnya kerajaan Allah di masa depan yang akan menghapus segala permasalahan.
Di sisi lain, ada anggapan juga bahwa agama dalam gerakan revolusioner yang bertumpu pada filsafat materialisme dianggap tidak signifikan. Agama yang percaya pada intervensi supranatural dalam sejarahnya dianggap mengaburkan analisis objektif dan pada akhirnya turut menjadi alat hegemoni yang melanggengkan penderitaan rakyat.
Di sini penulis akan melihat tafsiran terhadap teks-teks apokaliptik. Teks-teks tersebut terlihat berpengaruh pada pandangan sosial dan politik umat sekalipun penerapannya tidak seragam (setidaknya itu yang tergambar dalam kisah Luther dan Muntzer). Umat dapat menjadi revolusioner atau kontra revolusioner dengan pengaruh inspirasi dan harapan apokaliptik.
Tulisan ini akan melihat pemikiran mengenai teks-teks apokaliptik dari Marthin Luther dan Thomas Muntzer, dua tokoh yang pernah menjadi simbol oposisi terhadap gereja berkuasa, walaupun Muntzer nantinya akan melangkah lebih jauh dengan melakukan perlawanan revolusioner dalam perang tani 1525. Baik Luther maupun Muntzer memang menafsirkan peristiwa sejarah melalui perspektif apokaliptik, meskipun keduanya bertentangan dalam melihat konsekuensi sosial dan politiknya. Apapun itu, pandangan dua tokoh di awal reformasi ini mengajarkan bahwa hal-hal membawa kemajuan dalam kehidupan masyarakat secara aktual perlu diperjuangkan
Luther dan Thomas Muntzer
Ketika Martin Luther melontarkan kritiknya terhadap gereja dari tahun 1517, teks-teks apokaliptik terlihat mengambil bagian dari seruan perlawanannya. Paus berulang kali diidentifikasi sebagai Antikristus dan Roma (pusat gereja Katolik) disebut Babilonia baru. Mengenai Antikristus, ia merujuk pada kitab Wahyu, sedangkan Babilonia didasarkan pada kitab Daniel (dan juga Wahyu) yang telah diterapkan pada situasi politik saat itu.
Marthin Luther bisa dikatakan berada di antara posisi Erasmus yang konservatif dan Muntzer yang progresif.
Di satu sini, Luther tidak menyetujui sikap Erasmus yang menampilkan diri sebagai seorang pecinta damai, menentang reformasi[2] dan meyakini bawa pemberontakan di awal reformasi dapat menyebabkan lebih banyak kerusakan dibandingkan kebaikan bagi Injil dan juga masyarakat biasa.[3] Menurut Luther, sikap itu bertentangan dengan Alkitab, bahwa kebenaran harus dinyatakan, apapun kondisinya. Tidak hanya itu, sikap Erasmus yang takut akan kekacauan menurut Luther juga melawan firman Allah. Di sini lain, Luther juga menuduh Muntzer dan para pengikutnya yang melakukan perlawanan sebagai orang-orang fanatik. Menurut Luther, orang-orang fanatik tersebut tidak berjalan sesuai firman, namun, berjalan sesuai kehendak sendiri dan memakai Alkitab untuk kepentingannya sendiri.
Oleh Luther, gereja Katolik Roma dituduh telah melakukan kegagalan. Ia menolak Erasmus dan para teolog gereja yang bersepakat bahwa bahasa Alkitab itu tidak jelas dan ambigu, sehingga dibutuhkan magisterium kepausan untuk mendapatkan interpretasi yang benar.[4] Berbagai kutipan dari tulisan Paulus dijadikan referensi oleh Luther untuk menunjukkan bahwa Injil itu sendiri adalah pesan yang kuat yang mengharuskan reformasi. Luther mengklaim bahwa Alkitab memiliki pesan yang jelas dan seharusnya dapat diakses oleh siapa saja. Prinsip interpretasi ini berbahaya bagi stabilitas politik di Eropa akhir abad pertengahan. Luther tentu sadar konsekuensi politik dari tuntutannya tersebut. Pandangannya tersebut dapat berkontribusi pada potensi revolusi, dengan alasan pembebasan dari “penawanan di Babilonia”.
Pada akhirnya pemberontakan revolusioner yang ditafsirkan sebagai intervensi ilahi dalam sejarah dan tanda apokaliptik mengenai kedatangan hari-hari terakhir, meskipun melewati konflik dan pertumpahan darah, terjadi dengan hadirnya perang tani di Jerman 1524–1526. Perang tani yang salah satu pemimpinnya adalah Thomas Muntzer tersebut terkait erat dengan peristiwa reformasi.[5] Perang tani di Jerman mungkin bukan satu-satunya pergolakan kaum tani yang timbul di Eropa pada saat itu, namun perang tersebut merupakan perlawanan radikal yang bisa disebut revolusioner. Semangat revolusioner tersebut terkait erat ajaran sola fide yang memproklamasikan kesetaraan semua manusia dalam hubungannya dengan Allah.[6]
Thomas Muntzer sendiri sebelumnya adalah mahasiswa Luther di Wittenberg.[7] Ia kemudian menjadi seorang pendeta di Zwickau pada tahun 1520. Ia kemudian melarikan diri ke Praha, di sana ia menerbitkan manifesto yang menggabungkan visi apokaliptik dengan antiklerisme dan pemberontakan. Tahun 1523 ia kembali aktif sebagai pengajar di kota Allstedt dan ia menulis liturgi Jerman yang kemudian digunakan sebagai liturgi standar di gereja Allstedt. Kemudian ia melarikan diri ke Muhlhausen di Thuringia pada Agustus 1524. Dia kemudian menjadi pendeta dan berkontribusi pada reorganisasi kota sesuai dengan cita-cita egaliter. Pada bulan April dan Mei 1525 ia menjadi salah satu pemimpin pusat dalam pergolakan Thuringian melawan kaum bangsawan.
Muntzer memiliki beberapa konfrontasi dengan Luther dari tahun 1523, terutama mengenai masalah-masalah teologis dan juga penerapan politik dari ide-ide teologis. Sejarawan gereja, Carl Hinrichs, yakin bahwa Muntzer mencoba mendirikan pusat politik Reformasi yang baru, pertama di Allstedt dan kemudian di Muhlhausen.[8] Pemberontakan kaum tani berkontribusi terhadap radikalisasi politik, seperti yang dituliskan oleh Friedrich Engels, sedangkan kontra revolusi berada di pihak lain. Luther berpendapat adanya perbedaan yang tegas antara kerajaan surga dan dunia, sedangkan Muntzer berargumen dengan tindakan politik saat ini adalah bentuk perjuangan dalam bingkai sejarah apokaliptik.
Dalam Sermon to the Princes (1524), Muntzer mengajak kaum bangsawan untuk harus mengikuti contoh Nebukadnezar dalam kitab Daniel (membunuh para pendeta yang ingin memerintah negara seperti para orang pintar di sekeliling raja Babilonia). Ia juga menulis dengan nada apokaliptik: “Karena itu, Daniel yang baru harus muncul dan menafsirkan wahyu tersebut untuk Anda. Daniel tersebut harus maju, seperti yang diajarkan Musa, (dalam Ulangan 20: 2) sebagai pemimpin pasukan. Dia harus mendamaikan kemarahan para pangeran dan orang-orang yang marah.”[9] Muntzer dalam tulisannya tersebut mengdentifikasi dirinya dengan Daniel dan mengancam para pangeran jikalau mereka tidak menggunakan pedang mereka melawan musuh-musuh Kristus, maka pedang tersebut akan diambil dan bahkan berbalik menghabisi mereka. Khotbah tersebut membuat cemas para penguasa dan Muntzer dicabut jabatannya sebagai pengkhotbah dua minggu kemudian.
Interpretasi Munzter terhadap ajaran Alkitab adalah langkah mengkonkretkan pesan Alkitab dalam tindakan-tindakan politik. Ia menolak pemikiran Luther bahwa manusia dibenarkan oleh iman tanpa perbuatan, karena ia percaya bahwa iman digenapi dan diaktualisasikan melalui perbuatan. Pembenaran, menurut Muntzer, harus terwujud pada tindakan mengejar keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Konflikpun antara Muntzer dan Luther semakin lama semakin tajam. Luther dikritik karena mengkhianati prinsip-prinsip dasar Reformasi dan mengecewakan rakyat biasa yang mengharapkan bantuan moral dalam perjuangan untuk keadilan. Muntzer memanggil Luther sebagai Dr. Pembohong (Dr. Liar):
“Oh Doctor Liar, you sly fox. Through your lies you have made sad the hearts of the righteous, whom God has not deceived. Thereby you have strengthened the power of the evildoers, so that they remain set in their old ways. Thus your fate will be that of the trapped fox. The people will be free. And God alone will be lord over them.”[10]
Ketika konflik meningkat pada tahun 1525, Luther mencoba untuk memberikan solusi bagi petani dan para penguasa. Dalam Admonition to Peace[11] ia menantang kaum bangsawan untuk menerima beberapa tuntutan petani yang tertulis dalam twelve article dan memberi tahu kaum bangsawan bahwa semua tuntutan yang berkontribusi pada masyarakat yang lebih baik, lebih damai, dan makmur bagi semua orang, harus diterima. Dia juga memperingatkan para petani bahwa sekalipun dianiaya untuk sementara waktu, dan meskipun menghadapi kematian, mereka akan menang pada akhirnya, dan jiwanya akan bersama semua orang suci. Tetapi jika mereka tidak memiliki keadilan dan hati nurani yang baik, meskipun mereka menang sementara waktu, dan membunuh semua pangeran, namun pada akhirnya akan hilang tubuh dan jiwanya selamanya. Para petani juga dianggap oleh Luther telah keliru menafsirkan tulisannya dalam On the Freedom of a Christian dengan aplikasi aksi politik (padahal konsep dua kerajaan dalam tulisannya tidak bermaksud demikian). Pamfletpun disebarkan untuk meredam kekacauan, namun, tidak berkontribusi banyak meredakan konflik, tidak lama setelah itu, pemberontakan besar pecah.
Dalam situasi situasi yang semakin chaos, Luther menerbitkan pamflet Against the Robbing and Murdering Hordes of Peasants (1525).[12] Pamflet tersebut berisi serangan terhadap para petani karena dianggap meninggalkan jalan damai dan mengambil jalan kekerasan, perampokan dan teror (diibaratkan oleh Luther seperti anjing gila) untuk mencapai tujuan mereka. Ada tiga dosa yang dilakukan petani, pertama, melawan penguasa (bertentangan dengan ajaran Yesus dalam Lukas 20:25), kedua, melakukan pemberontakan, merampok dan menjarah biara dan istana, ketiga, menutupi dosa tersebut dengan menyebut diri mereka orang-orang Kristen. Karena tindakan tersebut, Luther menegaskan bahwa mereka pantas mati, tidak hanya sekali, tetapi sepuluh kali, dia juga menyebut mereka sebagai setan dan akan menderita dalam api neraka. Bagi Luther, situasi itu bukan hanya pemberontakan terhadap para pangeran tetapi melawan Allah sendiri (dengan legitimasi Lukas 20:25 dan Roma 13:1). Bagi Luther pembebasan dan keadilan dalam Kristus ada di bidang spiritual, sedangkan perjuangan untuk barang-barang hal-hal duniawi diatur oleh hukum manusia dan harus dipertahankan dengan pedang. Luther berkesimpulan tugas para pangeran untuk membunuh para pemberontak dan melakukan hal tersebut adalah memenuhi misi Allah:
“Therefore, dear princess, here is a place where you can release, rescue, help. Have mercy on these poor people [whom the peasants have compelled to join them]. Stab, smite, slay, whoever can. If you die in doing it, well for you! A more blessed death can never be yours, for you die obeying the divine Word and commandment in Romans XIII...”[13]
Ketika Luther mendefinisikan petani pemberontak sebagai lawan Allah, ia memberi para bangsawan legitimasi untuk membunuh. Dengan pamfletnya tersebut, dapat dikatakan Luther berkontribusi pada pembantaian puluhan ribu orang tidak bersalah karena para bangsawan tidak berhenti dengan membunuh pemberontak bersenjata, mereka memburu semua petani orang-orang desa karena dukungan mereka terhadap para pemberontak. diperkirakan seratus ribu orang terbunuh dalam aksi kontra-revolusi.
Semangat apokaliptik Muntzer memainkan peran penting untuk terjadinya perang. Penindasan yang meningkat dan kondisi ekonomi politik yang sulit menjadi alasan material untuk pemberontakan tetapi pergolakan tersebut mungkin tidak dapat dibayangkan tanpa inspirasi dari harapan apokaliptik. Beberapa hal yang signifikan dalam hal ini adalah: 1) Melalui harapan bahwa hari akhir sudah dekat menjadikan petani berani memberontak dan setelah melewati berbagai penderitaan, keributan dan pertumpahan darah maka akan datang kehidupan yang lebih baik; 2) Petani yang memberontak mengidentifikasikan dirinya sebagai orang pilihan untuk menggenapi janji Allah; 3) Karena orang pilihan, mereka memiliki kebersamaan yang kuat, berbagi segala sesuatu seperti kehidupan orang kristen perdana; 4) Musuh didefinisikan sebagai kejahatan, Si Iblis, dsb. Musuh kehilangan sifat manusianya dan dapat dibunuh tanpa ragu-ragu, sedangkan pengkhianat dihina, disiksa, dan dapat dipenggal kepalanya; 5) hal ini memberi teks apokaliptik relevansi politis yang dapat memungkinkan terjadinya revolusi.
Menariknya, Luther juga menerima deskripsi apokaliptik tentang dunia dan harapan tentang hari akhir, bahkan ia menerima kekacauan yang bisa saja hadir kapanpun. Namun, ia membalikkan posisi agen perubahan atau orang pilihan Allah, para penguasa dipahami sebagai pejuang Tuhan dan pembunuhan petani dibenarkan sebagai tindakan suci. Melihat posisi Luther yang demikian penafsiran teks-teks apokaliptik menjadi sangat politis seperti halnya Muntzer dan jauh dari agendanya semula.
Muntzer dalam Pandangan Pemikir Marxis
Di sini penulis memaparkan secara singkat dua pandangan dari pemikir marxis yakni Friedrich Engels dan Ernst Bloch. Yang pertama, Engels melihat Muntzer sebagai seorang pendahulu semua revolusi setelah melihat perannya selama perang tani tahun1525.[14] Engels melihat kejadian pemberontakan dan kontra-revolusi sebagai kacamata untuk melihat dinamika historis revolusi secara umum. Muntzer disebut pahlawan dan martir revolusioner. Menurut Engels, ia menolak membiarkan reformasi berakhir di bawah kelas yang baru, ia mempertaruhkan nyawanya untuk harapan-harapan yang ia yakini: keadilan bagi yang tertindas, peningkatan kondisi ekonomi mereka, pembaharuan radikal struktur kekuasaan. Engels melihat Muntzer memberikan ekspresi politis dari visi utopis tentang kerajaan Allah melalui kebebasan, kesetaraan, dan perdamaian di bumi.[15]
Perang Tani dimodelkan sebagai awal revolusi dengan berbagai kepentingan seperti pada tahun 1848, Engels juga menggambarkan Luther:
“Antara tahun 1517 dan 1525, Luther telah mengalami transformasi yang sama seperti kaum konstitusionalis Jerman Lainnya antara tahun 1846 dan 1849. Seperti inilah kasus yang terjadi pada setiap partai kelas menengah yang, setelah memimpin sebentar di depan gerakan, kemudian menjadi kewalahan karena didesak dari belakang oleh partai proletar dan partai kaum plebeian.”[16]
Luther dianggap mengkhianati tidak hanya pemberontakan petani, tetapi juga pemberontakannya sendiri melawan otoritas agama dan kaum fanatik. Engels melihat perjuangan Muntzer sebagai keterlibatan faktor ideologis (yang menjadi semangat revolusi yang bernada apokaliptik) dari seorang teolog dalam perjuangan kelas. Muntzer digambarkan sebagai seorang revolusioner dan idenya sangat sesuai dengan perjuangan abad ke-19:
“Muenzer kebanyakan mengkhotbahkan semua doktrin ini dengan cara sembunyi-sembunyi, dengan jubah berupa ungkapan Kristen yang terpaksa digunakan untuk filsafat baru ini buat sementara waktu. Meskipun demikian, ide bid’ahnya yang mendasar dapat dilihat dengan mudah dalam tulisan-tulisannya, dan jelaslah bahwa jubah kitab Injil itu baginya jauh kurang penting daripada bagi kebanyakan murid Hegel di jaman modern ini. Walaupun begitu, terdapat jarak tiga ratus tahun di antara Muenzer dan filsafat modern sekarang ini.”[17]
Yang kedua, menurut Bloch, Luther adalah kekuatan progresif sekaligus reaksioner. Luther menyerang pemilik tanah (Lords) dan mendukung revolusi, tapi kemudian berbalik mundur dan bahkan melawan gerakan revolusi. sedangkan Muntzer, menurut Bloch, berjalan bersama gerakan revolusi sampai akhir. Muntzerlah yang membawanya melampaui tahap reformasi, perubahan yang terikat pada Gereja menuju revolusi sosial yang sebenarnya. Muntzer melaksanakan propaganda dengan berkhotbah kepada para penambang dan penenun pada waktu itu, dan punya gagasan bahwa kelas subaltern akan menjadi agen revolusi petani dan mengubahnya menjadi revolusi buruh.[18]
Pemberontakan Muntzer dipandang sebagai bagian dari tradisi komunis, gerakan revolusioner melawan otoritas kelas atas. Sedangkan Luther membangun otoritas baru dari atas. Dia juga melihat gerakan Muntzer sebagai bagian dari antisipasi kesadaran masa depan tentang kemungkinan komunisme.[19] Dia melihatnya bahwa itu dapat muncul kapan saja dan agama berfungsi sebagai pembawa harapan.
Epilog
Agama memang cenderung keberadaan bergantung pada realitas material dari suatu masyarakat tertentu. Tidak heran agama bisa menjadi alat memukul kekuatan revolusioner dari rakyat. Luther melontarkan berbagai ayat dalam Alkitab untuk melawan pemberotakan petani. Pembunuhan dan pembantaian petani pun menjadi wajar dengan legitimasi agama. Secara ekstrem, bisa dikatakan bahwa agama hanya bergantung penuh pada sistem sosial politik dan ekonomi masyarakat, sehingga banyak doktrin-doktrin agama menjadi penyokong tatanan yang mapan. Tetapi, dilihat dari sejarah pula, agama dapat berfungsi sebagai instrumen dalam perjuangan kelas buruh dan kelas tertindas lainnya.
Marx memang menganggap agama sebagai candu bagi rakyat[20], tetapi setelah melihat inspirasi dan harapan apokaliptik yang menginspirasi rakyat untuk perjuangan kelas, hubungan antara politik dan agama menjadi lebih kompleks. Agama tidak sekadar dalam determinasi realitas ekonomi politik. Sehingga, agama dan perjuangan kelas tidak dalam posisi vis a vis, hal ini terlihat dimana Engels menggambarkan dinamika revolusi dengan membandingkan pemberontakan revolusioner tahun 1525 dan 1848 dan Bloch melihat perjuangan Muntzer sebagai bagian dari antisipasi kesadaran masa depan tentang kemungkinan komunisme.
Perjalanan sejarah berdasarkan teks apokaliptik pun dapat menjadi inspirasi dan harapan dalam perjuangan. Seperti yang dituliskan di atas, sekalipun kondisi objektif semakin sulit dan menderita yang dapat menjadi alasan untuk pemberontakan para petani, tetapi pergolakan tersebut tidak dapat dibayangkan tanpa inspirasi dari harapan apokaliptik. Teks-teks apokaliptik tersebut tidak membuat umat pasrah, pasif dan berserah dengan keadaan, tetapi justru menjadi penyemangat membaharui kehidupan secara radikal.
Catatan akhir
[1] Calvin DeWitt, “Creation’s Environmental Challenge to Evangelical Christianity” dalam Berry (ed) The Care of Creation: Focusing Concern and Action ( Madison, InterVarsity, 2000), 60-73.
[2] Sekalipun memang kritik-kritiknya terhadap keburukan gereja dan tafsiran-tafsirannya Perjanjian Baru menjadi inspirasi bagi Luther untuk melakukan reformasi. Namun, ia juga mengambil jarak dari Luther yang sedang berjuang dalam jalan reformasi. Lih. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), 75.
[3] Lih. Marthin Luther, The Bondage of the Will (1925). Dapat diakses di https://www.monergism.com/thethreshold/sdg/pdf/luther_arbitrio.pdf
[4] Ibid.
[5] Marius Timmann Mjaaland, The Hidden God: Luther, Philosophy, and Political Theology (Indiana: Indiana University Press, 2016), 156
[6] Ibid.
[7] Biografi Muntzer dapat dilihat di Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), 140.
[8] Ibid. 157.
[9] Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penulis. Thomas Muntzer, “Sermon to the Princes, ” dalam Revelation and Revolution (Pennsylvania: Lehigh University Press, 1993), 110.
[10] Thomas Muntzer, “Highly Provoked Defense,” dalam Revelation and Revolution (Pennsylvania: Lehigh University Press, 1993), 153–54.
[11] Dapat dilihat di http://www.godrules.net/library/luther/NEW1luther_d17.htm
[12] Dapat dilihat di http://zimmer.csufresno.edu/~mariterel/against_the_robbing_and_murderin.htm
[13] Ibid.
[14] Dapat diakses di https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1850/PerangTani/index.htm
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Lih. https://www.spiked-online.com/2017/10/27/ernst-bloch-on-thomas-muntzer/
[19] Ibid.
[20] Walaupun memang opium pada saat itu bisa bermakna positif, namun, kebanyakan orang menjadikan kalimat Marx tersebut sebagai referensi bahwa ajarannya anti agama.
Comments 2