Muhammadiyah melakukan terobosan “progresif” dengan keberhasilannya mendorong pembatalan UU Nomor 7/2004 tentang sumber daya air, yang memunculkan suatu konsepsi baru, di tengah krisis dogma-dogma neoliberal, mengenai air sebagai sumber daya yang harus dimiliki bersama, alih-alih menjadi properti privat yang dikomodifikasi bagi kepentingan pasar.

Langkah ini, bersama-sama uji undang-undang yang akan bergilir dilakukan oleh organisasi besar ini, disebut merupakan “jihad konstitusi” untuk memerangi neoliberalisasi dan mengembalikan praktik ekonomi-politik kepada amanat konstitusi yang melindungi kepentingan rakyat di hadapan pemodal.
Apakah Muhammadiyah sedang mengalami tanwir, “pencerahan”, sehingga terdorong melahirkan ide segar ini? Bagaimana memahami geliat “progresif” organisasi yang sebelumnya tidak memiliki catatan memakai jargon rakyat dalam agenda-agendanya, dan lebih banyak bekerja pada penataan dan manajemen internal organisasinya daripada mencurahkan diri untuk menjawab krisis-krisis besar yang terjadi di tengah-tengah masyarakat?
Tesis Kuntowijoyo satu dekade silam di dalam bukunya, Muslim Tanpa Masjid (2001), yang menyebut Muhammadiyah mewakili suatu tipologi khas dari budaya “Muslim kota” yang memiliki pola integrasi “ke dalam”, alias integrasi sosial yang lebih peduli kepada penataan internal daripada eksternal, kepada urusan-urusan privat dan keluarga daripada sosial-kebangsaan, sepertinya sedang gugur di sini. Muhammadiyah mulai keluar dari “cangkang”-nya, menularkan cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti rakyat.
Suatu komparasi yang menarik ditandai: ketika Nahdlatul Ulama (NU) hari-hari ini mulai bergerak “ke dalam”, ke penataan organisasinya (jam’iyyah)dan semakin swa-sadar akan pentingnya manajemen internal atas potensi organisasionalnya yang belum terkelola dengan baik, Muhammadiyah mulai bergerak “ke luar”, memikirkan isu-isu strategis yang tidak lagi menyangkut kepentingan organisasinya tetapi berada pada aras kemaslahatan umum, kemaslahatan yang menjadi salah satu tumpuan hajat hidup bersama (common good)— air.
Bagaimana sebuah organisasi yang pernah dikritik oleh sebagai representasi “Islam Borjuis” di Indonesia (Nur Khalik Ridwan, 2002) mampu membawakan diri sebagai angin segar baru yang mendukung pemajuan agenda-agenda kerakyatan? Apakah Muhammadiyah sedang menyalahi “fitrah”-nya, ataukah sedang terjadi metamorfosa baru dalam peta gerakan Islam hari-hari belakangan ini?
Barangkali merupakan suatu anomali bahwa suatu organisasi yang sering dideskripsikan mewakili kultur borjuasi yang lekat dengan etos kewirausahaan, efisiensi, dan profesionalitas, dan pembentukan individu yang kuat dan mandiri di dalam amaliah sosial-keagamaannya, tertarik kepada orientasi baru yang tampaknya membedai etos borjuasi tersebut, yaitu orientasi akan kepemilikan bersama yang melampaui kepentingan privatnya sebagai kelas. Padahal, bukankah sifat borjuasi adalah justru mendorong agar kepemilikan privat itu semakin dapat dimiliki dan diakumulasi olehnya? Bukankah semestinya, kalau konsisten dengan logika linear demikian, Muhammadiyah menjadi salah satu agen dari neoliberalisasi yang mendorong penguatan orientasi kepemilikan privat yang lebih besar, seperti dalam “ramalan profetik” Kuntowijoyo, bahwa Muhammadiyah merupakan agen utama pendorong kemajuan umat Islam Indonesia di dalam “masyarakat industrial lanjut”, alias kapitalisme neoliberal?
Sambil melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu, di sisi lain, kita melihat fenomena yang menarik ditandai pada selapisan kalangan Nahdliyyin (warga NU) yang sepertinya lamat-lamat mulai menempa diri secara evolutif sebagai “kelas menengah baru”, dengan adopsinya atas nilai-nilai pasar dan kewirausahaan. Banyak kalangan profesional baru lahir dari NU — manajer, pengusaha, birokrat, akademisi, ekonom. Perbankan syariah, sistem ekonomi “islami” yang awalnya didakwahkan oleh kalangan Muslim modern urban dan terdidik yang ingin mengawinkan Islam dengan semangat kapitalisme modern sambil tetap mempertahankan citra sebagai Muslim yang “baik” dan “sukses”, hari-hari ini mulai diterima di lingkungan warga NU yang terdidik sebagai suatu keniscayaan menuju kemapanan ekonomi dan sosial (lihat bagaimana wacana ini beralih dari para “santri” urban seperti Syafi’i Antonio ke “santri” sarungan di pelosok-pelosok desa). Citra warga NU yang kampungan, miskin, dan tidak mampu mengelola urusan-urusan “duniawi” secara profesional mulai luntur, seiring dengan citra baru yang hendak ditempa dengan adaptasi yang lebih intens atas nilai-nilai kapitalisme itu sendiri. Meminjam kerangka Kuntowijoyo, NU tampaknya sedang melakukan strategi “mobilitas sosial” yang justru sebelumnya dilakukan oleh Muhammadiyah, ketika Muhammadiyah justru sedang melakukan strategi “kultural” yang selama ini sudah dikuasai dengan mahir oleh NU.
Perbandingan dialektis Muhammadiyah dengan NU dapat memperjelas arah orientasi kelas yang sedang bergerak pada keduanya, sekaligus menjawab rasa penasaran kita akan tanda-tanda “progresivitas” Muhammadiyah.
Pertama, Muhammadiyah relatif lengang dari okupasi atas kekuasaan politik praktis pasca-Reformasi. Lebih khusus lagi, setelah keberhasilan simbolik strategi “struktural” NU—meminjam teorinya Kunto; “struktural” dalam arti kekuasaan politik praktis—menaikkan Gus Dur serta selapisan generasi muda NU yang dibawanya ke dalam pemerintahan. Pasca-Reformasi, NU tersita dengan keperluan mengisi kekuasaan politik praktis, baik sebagai pendukung (kritis) rezim maupun sebagai “payung” bagi kepentingan-kepentingan bangsa yang lebih luas, yang terancam oleh fundamentalisme agama, sektarianisme, separatisme, dan lain-lain. Pada era SBY, NU menikmati “bulan madu” yang cukup intens dengan pemerintah dan aktor-aktor negara secara umum, yang mengakibatkan terpolarisasinya secara perlahan dua hal yang berseberangan: orientasi selapisan kelas menengah NU yang mendukung iklim neoliberalisasi yang lebih kondusif yang dijalankan oleh rezim SBY, di satu sisi, dan fakta mayoritas warga Nahdliyyin yang terkena dampak dari neoliberalisasi tersebut, di sisi lain. Muhammadiyah relatif tidak disibukkan oleh dinamika tersebut, dan memiliki energi yang lebih banyak untuk berbuat sesuatu yang berbeda.
Hal tersebut terkait dengan poin kedua: “kebangkitan” selapisan kaum santri Nahdliyyin melalui jalur mobilitas sosial menjadi kelas menengah baru yang mapan, bermetamorfosa dari kultur agrarisnya yang kental, berhubungan dengan“stagnansi” kelas menengah Muhammadiyah yang sekian lama, di bawah pemerintahan Soeharto, menikmati kedekatan dengan negara melalui terserapnya sumber daya-sumber daya intelektual mereka ke dalam kelas terdidik Muslim bentukan negara (ICMI) dan kelas menengah borjuis yang disiapkan untuk menjadi pelopor kemajuan industrial Orde Baru. “Stagnansi” ini bukan tanpa aktivitas politik; terdapat aktivitas “politik”, tetapi semata untuk memperkuat status quo (hal ini mulai berubah di akhir-akhir kekuasaan Soeharto, ketika status quo itu mengalami krisis dan Muhammadiyah dipaksa masuk bergabung dalam gerbong “demokratisasi”). Hal yang berbeda dengan NU, yang mengalami fase-fase berat di bawah rezim Soeharto, dan selalu bergulat mengalami dinamika politik dari “dalam” untuk melawan rezim sekaligus memelopori suatu perubahan politik baru yang lebih demokratis. Kelas menengah Muhammadiyah yang relatif telah menikmati kemapanan di bawah pemerintahan Soeharto, tidak dapat menikmati kemapanan yang sama di era Reformasi. Mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat diam melihat krisis-krisis bangsa. Oleh karena itu, momentum bahwa saatnya bergerak, mulai mengisi relung kesadaran kelas ini. Kemapanan mereka telah menjadi modal yang cukup untuk memulai suatu langkah baru yang “progresif”.
“Jihad konstitusi” Muhammadiyah ada di dalam kesadaran ini. Bila dulu di pemerintahan Orde Baru Muhammadiyah pernah diberi kepercayaan menjadi pelopor kelas menengah untuk mencapai cita-cita industrial rezim, saat ini merupakan saat yang tepat bagi Muhammadiyah untuk menjadi pelopor perubahan di bawah lembaran sejarah yang lain.
Hal yang patut ditanyakan kemudian: apakah “jihad konstitusi” ini termasuk dalam gerakan emansipasi yang menjadi jalan pembebasan gerakan-gerakan sosial-kerakyatan? Meski bertujuan mulia, “jihad konstitusi” ini memiliki keterbatasan justru di dalam kekuatannya yang paling menonjol: suatu strategi legal-politis yang bertujuan mengubah keadaan melalui perjuangan konstitusionalisme, yaitu melalui penegakan tata hukum yang mampu mendorong perubahan pada tata kebijakan di lapangan. Dengan kata lain, suatu strategi suprastruktur, bukan suatu langkah yang bergerak pada basis, pengorganisasian massa, dan kritik yang lebih mendasar atas kapitalisme itu sendiri sebagai suatu ancaman permanen atas kepemilikan rakyat atas sumber dayanya.
Daniel S. Lev, dalam Hukum dan Politik di Indonesia (1990), sudah menunjuk batas-batas pendekatan ini: “[k]onstitusionalisme bukanlah suatu solusi yang jelas bagi banyak masalah serius yang mendesak yang dihadapi oleh umat manusia. Ia tidak bisa menghapuskan masalah kemiskinan ekonomi, atau diskriminasi sosial, atau penyalahgunaan kekuasaan politik; begitu juga tidak bisa mengatasi ketidakcakapan, kerakusan, dan kedunguan para pemimpin politik. Terhadap semua isu semacam ini, satu-satunya solusi yang paling tepat adalah pengetahuan yang relevan, ideologi yang diartikulasikan dengan jelas, dan kekuasaan yang dikelola secara efektif dalam jenis struktur politik apapun yang tersedia”.
Dalam arti tertentu, strategi legal-politis yang dipertunjukkan oleh Muhammadiyah memiliki kekuatan untuk membatasi terjadinya eksploitasi sumber daya yang bertentangan dengan undang-undang (yang sejauh ini baru berhenti pada sumber daya air), tetapi belum tentu dapat menghentikan laju eksploitasi tersebut. Strategi ini belum otomatis mampu mendorong emansipasi yang lebih nyata dalam bentuk kepemilikan rakyat atas sumber dayanya, jika tidak diimbuhi dengan pendekatan berbasis massa yang dibangun dari bawah—sesuatu yang tampaknya belum menjadi agenda Muhammadiyah. Di sini langkah elegan para intelektual dari kelas menengah lama yang terbaharukan ini ditantang untuk bergerak melampaui batas-batas sektoral ego kelasnya sendiri dan berjumbuh dengan rakyat yang berpeluh yang saat ini, seperti di Rembang dan juga tempat-tempat lain, sedang bergerak memperjuangkan hak-haknya.[]
Ruh Hayyan `Ilman Sami`an Bashiron Muttakaliman menjadikan pesan moral “Amar ma`ruf nahi munkar” mencuat progresif. Ngulik kata nyumput (Sunda; menelaah kata sembunyi) untuk bersikap tawadhu menghindari ibadah riya’ menjadi Al-Auf/Al-Haidar (singa Allah) bersikap berani menyuarakan haq demi kemashlahatan ummah. Pesan moral memakmurkan bumi Allah Al-Yuhyi Wal-Mumiit implementasi peran dan fungsi amanah Kekhalifahan anak Adam. Alhamdulillah, ikhwan Muhammadiyah! :-). Allahumma sholli ala Muhammad wa ala ali Muhammad.