Siksa dan Sakralitas Kematian

479
VIEWS

Kekerasan adalah tentang kekuasaan. Namun, kekuasaan ini timbul dari kegagalan mencipta kehidupan

torture and death
Sumber: http://hellfire-pass.commemoration.gov.au/the-enemy/treatment-of-prisoners.php

“Putra saya satu-satunya, Murtala, tewas ditembak TNI pada tahun 2005 setelah lebih dulu disiksa di Medan selama tiga bulan. Sejak kematiannya, hidup keluarga saya tidak lagi bahagia. Jiwa dan pikiran saya terganggu. Sampai sekarang saya selalu teringat pada putra kesayangan saya, cara dia mengetuk pintu, cara dia memanggil saya, serta cara dia memanggil ibunya.

Sekarang keluarga saya hidup dalam kemiskinan. Saya pernah mendapat  uang diyat dan saya gunakan untuk membuat pondasi kuburan Murtala. Saya sangat kecewa karena tidak ada lagi bantuan setelah itu, namun saya berserah diri kepada Allah.” —Abdulhamid, Aceh, Mengingat yang Tercinta

Tampak di buku itu foto Abdulhamid sedang memegang sepatu peninggalan almarhum anaknya. Ia sudah berusia lanjut. Gurat wajahnya pertanda atas waktu yang tak pernah membawa keadilan. Bagi kita, Abdulhamid mungkin hanya satu dari sekian banyak penduduk yang menderita saat terjadi konflik berdarah di Aceh.

26 Juni lalu adalah Hari Internasional Mendukung Korban Penyiksaan. Meski ada 155 negara meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, termasuk Indonesia, nyatanya, sampai saat ini praktek penyiksaan masih diberlakukan di banyak negara pihak. Negara cenderung mengabaikan dan tidak menunjukkan akuntabilitas yang nyata, terutama pada saat perang ketika apapun dibenarkan atas nama nasionalisme atau ideologi. Pada saat itu, nyawa tak lebih dari sekadar target dan ornamen pencipta teror.

Namun, bagi Abdulhamid, kematian tetaplah sakral. Baginya, uang diyat yang tak seberapa itu tak layak menjadi beras atau tembok untuk gubuk kayunya. Ia memilih membangun pusara bagi Murtala. Ia memilih memberi martabat atas rumah bagi tulang belulang anaknya.

Pun bagi banyak keluarga korban, kematian tak hanya kumpulan obituari yang dipajang dalam daftar program kompensasi pasca konflik atau retorika penguasa saat kampanye. Kematian kerabat bagi jutaan keluarga korban tetaplah satu dan khidmat – bahkan jikapun jasadnya tak lagi utuh dan nyawa meregang dalam siksaan. Khidmat dinantikan – diabadikan dan didamba – bersimbol dalam sepatu kesayangan sang anak yang kerap disentuh oleh Abdulhamid.

*

“Keluarga saya menjadi korban kekejaman milisi BMP. Saya ditembak, anak (perempuan) saya tewas (disiksa dan) dibunuh. Kakak dan dua keponakan saya juga dibunuh di depan mata saya.

Pihak UNTAET pernah datang ke rumah saya dan membawa tulang-belulang Lucinda dan kakak saya ke Dili.Ketika mereka datang lagi, saya marah karena tidak ada keadilan buat saya. Saya pernah mengikuti sidang di tribunal Dili karena pelaku pembunuhan itu ada di sana. Pelaku pembunuhan anak saya ternyata dibebaskan. Saya sangat kecewa dan sakit hati.” —Juvita Saldanha, Timor-Leste, Mengingat yang Tercinta

Timor-Leste dianggap telah mencapai langkah maju dengan berdirinya Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR, singkatan dalam Bahasa Portugis). Meski pengadilan internasional tidak terlaksana, namun ribuan masyarakat – korban dan pelaku di tingkat komunitas – telah memberikan testimoni di depan komite. Proses tersebut menjadi dasar penting bagi penguakan fakta sejarah kekejian perang di Timor-Leste dan terekam secara konkret dalam laporan bertajuk Chega!

Di lain sisi, kematian para prajurit di medan perang menguatkan imaji sakralitas negara. Terompet ditiup. Bendera dilipat. Baris-berbaris. Lapangan luas untuk pemakaman yang bernama dan berpagar. Siaran pers dan puji heroik dari para petinggi. Para penguasa negara saling bersalaman dan melempar janji rekonsiliasi. Simbol perdamaian dan demokrasi dicanangkan. Monumen dibangun. Pinjaman luar negeri dan konon bantuan bagi korban konflik mengalir.

Namun, tidak bagi Abdulhamid dan Juvita. Bagi mereka, hanya benda peninggalan dan kuburan layak bagi keluarga yang menjadi simbol sunyi,  meretas gegap gempita pengakuan negara. Terlebih bagi Juvita, yang menyaksikan pembunuh anaknya dibebaskan di pengadilan, waktu bisa jadi telah berhenti saat tulang belulang anaknya dibawa ke Dili. Waktu berhenti karena baginya masa depan hanya menatap pada pelaku. Keadilan hanya berujung pada langkah ke tribunal, tapi tidak saat palu itu diketuk.

Kematian, soal kehidupan

Norbert Elias dalam Loneliness of the Dying menyoal kematian (death) sebagai bentuk proses kehidupan yang melayu menuju musnah (dying). Bukan kematian itu sendiri, namun pengetahuan atas kematian yang memunculkan problem sosial. Problem ini sulit diatasi karena mereka yang masih hidup sulit mengidentifikasi diri dengan proses menuju kematian. Padahal, kematian dimulai jauh sebelum nyawa meregang. Menua, menarik diri dalam isolasi, dan tidak lagi menyatu dalam komunitas. Kematian adalah problematika bagi mereka yang hidup.

Persepsi inilah yang membuat kematian memiliki dua wajah–keduanya tak terpisahkan dari siapa yang memaknai nyawa. Wajah pertama adalah kematian sebagai suatu perjalanan agung. Banyak sejarah mencatat nenek moyang kita memiliki beragam tradisi upacara dan mitos terkait penghormatan terhadap orang yang meninggal. Kematian diberi simbol, mistisisme, dan bobot kolektif sebagai kebutuhan manusia untuk memiliki akar dan tujuan dari kenirabadiannya.

Wajah kedua adalah kematian sebagai sekelibat aksiden yang dirayakan. Kematian disini dianggap sebuah keniscayaan saat melihat manusia lain tidak setara. Logika kekuasaan dan kekuatan membangun persaingan yang membenarkan penyingkiran dan pembasmian terhadap kelompok lain. Politik mendefinisikan kematian dalam kategori tertentu: jikapun bermakna, maka maknanya hadir bagi para pemenang dan pembunuh. Elias mendeskripsikan satu periode sejarah,

In the Middle Ages people with minority beliefs were frequently pursued with fire and sword. On a crusade against the Albigenses in southern France in the thirteenth century, a stronger community of believers wiped out a weaker one. Its members were stigmatized, driven from their homes and burned at the stake in hundreds. ‘With joy in our hearts we watched them burn,’ said one of the victors. No feeling of identity between humans and humans here; belief and ritual divided them. With expulsion, prison, torture and burnings, the Inquisition carried on the campaign of the Crusaders against people of different beliefs. [i]

Di kedua wajah, kematian semakin diratapi ketika ia terjadi secara brutal. Seketika, dunia yang kita kenal menjadi terserak. Segala tradisi dan prosesi kematian yang diwarisi oleh budaya dan agama mengalami disrupsi ketika perang dan tragedi menginterupsi. Orang-orang yang kita sayangi tak lagi milik kita semata, kekuasaan bisa datang merenggutnya tanpa prolog. Penyiksaan, sebagai metode teror dan pembunuhan yang kerap diterapkan dalam perang, mendegradasi kematian ke titik nadir dan menggeret kehidupan orang-orang di sekitarnya menuju kesenyapan.

Kekerasan adalah tentang kekuasaan. Namun, kekuasaan ini timbul dari kegagalan mencipta kehidupan. Erich Fromm membagi dikotomi ini sebagai unsur produktif versus destruktif dalam diri manusia. Ketika manusia gagal untuk produktif, ia akan berusaha menghancurkannya. Elemen ini, dalam analisis Fromm di Anatomy of Human Destructiveness[ii], terkait pada struktur kepribadian manusia yang dibentuk oleh tata kapitalis. Meski kekerasan inheren dalam persinggungan peradaban manusia muncul jauh sebelum kapitalisme modern, seperti di Abad Pertengahan yang disinggung Elias, Fromm menitikberatkan pada kapitalisme yang membuat manusia sebagai komoditas dan patuh pada konformitas sebagai automaton. Bahkan, sifat destruktif semakin terstimuli oleh dominasi maskulinitas yang dibangun kapitalisme.

Perang di era kapitalisme modern melahirkan instrumen dan metode baru untuk bisnis militer dan penguasaan sumber daya alam, yang masih mengekploitasi apa yang disebut Fromm sebagai karakter malignant aggression atau ‘agresi kejam yang inheren’. Agresi ini dipantik oleh ketegangan yang sudah ada di masyarakat: sentimen suku, agama, ras, hingga prasangka dan kecemburuan sosial. Fromm merujuknya dengan kecederungan kapitalisme menumbuhkan serangkaian patologi khusus. Saat perang pecah, penguasa akan membentuk milisi dan menurunkan pasukan mereka. Penyiksaan – tersembunyi maupun terang-terangan – dianggap sebagai praktek yang ampuh untuk menakuti dan melumpuhkan lawan serta komunitas mereka, dengan memantikkan hasrat agresi tersebut.

Dalam kebencian untuk membasmi, seperti Elias ungkap, tidak ada rasa identitas antara si pelaku dengan korban. Identitas menjadi tunggal, disematkan oleh para pelaku untuk kemenangan atas nama ilusi negara, ideologi, agama. Menurut Eric Harper dalam esainya Torture – A Presence without an Absence, penyiksaan mencipta keruntuhan pikiran yang membuat korban tak sanggup untuk membahasakan apa yang ia alami. Horor tercipta dari pengalaman yang tak sanggup diserap secara simbolik seiring dengan ingatan yang menghantui dari kejadian tersebut. Korban tak sanggup mengidentifikasi sekelilingnya selain pada kengerian traumatik yang telah melekat. Mengutip Klein dan Freud, Harper beranggapan bahwa penyiksaan adalah sebuah kehadiran tanpa ketidakhadiran.[iii]

Baca Juga:

Pengalaman Abdulhamid dan Juvita menunjukkan bahwa penyiksaan tak hanya berdampak bagi korban langsung.Seperti spiral yang membesar, penyiksaan mencipta trauma bagi keluarga dan komunitas, berotasi pada ingatan yang tak lagi utuh. Bagi mereka yang hidup dalam trauma, kematian hadir seolah tanpa absen. Namun, kematian tetaplah sakral. Tulang belulang dan kuburan itu menjadi ingatan bahwa kehidupan itu masih ada.

Keadilan dalam fragmen ingatan

Ada dua tragedi besar yang dikenal luas terjadi dalam sejarah Aceh modern. Pertama, konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka dan Indonesia (1976-2005), kedua, tsunami (2004). Keduanya merenggut banyak nyawa, namun, meski tsunami hadir dalam sentakan besar yang langsung memakan ratusan ribu korban dan meluluhlantakkan bangunan dalam sekejap, adalah konflik berkepanjangan yang telah melahirkan trauma, ketakutan, dan penderitaan jangka panjang bagi masyarakat Aceh.

Ironisnya, dengan begitu melimpahnya bantuan dan perhatian internasional setelah tsunami dan ditandatanganinya perjanjian damai di Helsinki tahun 2005, bentuk memorialisasi pascakonflik yang ada hanyalah satu museum tsunami. Ia berdiri dengan arsitektur modern dan megah di lokasi strategis di Banda Aceh yang dikitari oleh kompleks militer Indonesia. Bangunan tersebut adalah bentuk penguasaan ruang sekaligus simbol kemenangan ingatan versi negara, bukan korban. Negara menyambut kedatangan komunitas internasional untuk membantu Aceh, namun tak hendak melestarikan ingatan publik atas keberadaan 30 tahun konflik berdarah dengan retorika “semua sudah berlalu, jangan membuka luka lama”.

Di Timor Leste, berita pembangunan Pusat Budaya Indonesia di Dili muncul saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkunjung bulan Agustus 2014 lalu. Bangunan bernilai Rp 90 miliar tersebut dicanangkan akan selesai Oktober 2015 dan dimaksudkan untuk memperkokoh hubungan kedua negara.[iv]Ruang interpretasi sejarah versi Indonesia ini dibangun saat rekomendasi laporan komisi kebenaran Timor Leste terkait akuntabilitas pihak-pihak yang terlibat perang dan hak bagi para korban masih jauh dari harapan. Testimoni ribuan korban yang dulu pernah bersaksi dan rekonsiliasi tingkat komunitas yang dianggap telah berhasil digagas kini dihadapkan pada logika bahasa diplomasi berbentuk bangunan megah. Kematian kerabat para penyintas, lagi-lagi, tak bernilai dihadapan narasi kuasa.

Secara paradoksal, ingatan kolektif tentang siksa dan kematian akibat konflik terisolasi menjadi gumaman para korban di tempat sunyi, tapi di sisi lain ingatan kolektif itu berubah wujud menjadi teriakan dagangan politik dan pertarungan ekonomi di tingkat elit.

Lantas, apa yang tersisa untuk keadilan dari fragmen ingatan para korban, dari  sepatu milik anak Abdulhamid atau tulang belulang putri Juvita?

Seperti yang pernah ditulis Peter Berger dalam Piramida Kurban Manusia, hak asasi manusia adalah reaksi umat manusia atas sejarahnya sendiri yang penuh pertumpahan darah. Berbagai upaya keadilan transisi usai perang dan konflik mencoba memberi makna dan wajah pada statistik. Penjara Tuol Sleng di Kamboja diisi oleh foto-foto korban yang disiksa oleh rejim Khmer Merah. Foto-foto yang diambil para pelaku terhadap para tawanan di sana kini dipajang agar generasi masa depan belajar dari kebrutalan masa lalu untuk tak mengulanginya. Kini, deretan foto itu  bukan lagi nomor tak bernama, wajah tak berjiwa, namun narasi yang hidup melalui tatapan mata. Di Aceh dan Timor Leste, misalnya, para korban, kerabat, dan masyarakat sipil membentuk organisasi dan menginisiasi berbagai peringatan untuk melestarikan narasi itu sebagai pesan perdamaian dan harapan keadilan di masa depan.

Pada akhirnya, seperti perang, semua materi yang dimiliki – rumah, surat berharga, ternak, kendaraan – akan sebagian atau semua musnah dan hancur. Apa yang tersisa membawa kita kembali pada awal mula: jasad itu, kemana? Diapakan? Jika telah pulang kepada Sang Pencipta, bagaimana kita menghormatinya untuk terakhir kali?

Sakralitas kematian tidak akan terdegradasi oleh siksaan yang dialami korban sebelumnya. Tidak pula dapat dicoreng oleh perang akibat ideologi, suku, agama, dan ras. Ia adalah sebuah momentum dalam kesunyian dan khidmat. Ia terpisah dari pembunuhan, perkosaan, atau penyiksaan yang mendahuluinya – seberapapun hendak dihinakan sang korban oleh pelaku. Ia akan mencipta dendam, trauma, dan kemarahan bagi keluarga dan komunitas yang ditinggalkan, tapi dalam jangka panjang ia juga berpotensi menjadi sumber pembelajaran kolektif, kekuatan untuk bangkit, dan afirmasi kepedulian dan kebersamaan dari kesadaran bahwa kehidupan ini bisa hilang sewaktu-waktu.

Potensi itu hanya bisa dilakukan jika tercipta diskursus yang cukup di ruang publik dan keterbukaan untuk menguak masa lalu serta berhadapan dengan kebutuhan masa kini. Kebutuhan yang dimaksud bukanlah semata pemberdayaan ekonomi dan akses layanan sosial, namun juga pemulihan menyeluruh berupa penerimaan masyarakat, solidaritas, penghapusan stigma dan diskriminasi, serta pendidikan lintas generasi yang memungkinkan dialog muncul di berbagai lokus.

Interpretasi sejarah harus memuat sejarah korban agar konstruksi ingatan kolektif menjadi dialektika bersama antara beragam institusi, masyarakat sipil, dan publik.

Banyak dari para korban mengungkapkan bahwa uang kompensasi atas kerabat mereka yang tewas takkan bisa memenuhi rasa keadilan. Sebagian bahkan menolak. Sebagian menerima demi bertahan hidup. Keinginan untuk mengetahui nasib keluarga mereka yang hilang atau dianggap sudah tiada, serta keberadaan jasad dan penguburan yang layak sesungguhnya mengungkapkan kepada kita yang masih hidup bahwa kematian menjadi sakral karena kehidupan itu sakral. Darah, tubuh, dan belulang itu mewakili yang tak kasat mata: ialah jiwa dan kemanusiaan kita. Keadilan adalah mengetahui kebenaran, mengakui kebenaran, dan menjadikannya alat untuk memulihkan martabat. ***

—————

[i] Norbert Elias, Loneliness of the Dying. Continuum: New York & London, 2001

[ii] Erich Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1973

[iii]http://www.lacan.com/torturef.htm

[iv] ‘SBY Letakkan Batu Pertama Pusat Budaya Indonesia di Timor Leste’ http://news.liputan6.com/read/2096905/sby-letakkan-batu-pertama-pusat-budaya-indonesia-di-timor-leste

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.