Pemerintah Jokowi, melalui Kementerian Sosial pimpinan Khofifah Indar Parawansa, meresmikan nama KH Wahab Chasbullah sebagai seorang pahlawan nasional. Suatu hal yang ditunggu-tunggu sekian lama, mengingat jasa-jasa Mbah Wahab– demikian beliau akrab dipanggil– terhadap bangsa, dan sebagaimana menjadi harapan warga Nahdliyin khususnya pada Haul ke-41 Mbah Wahab di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, September 2014 silam.
Pendiri berbagai organisasi Islam (Sarekat Islam cabang Mekkah), organisasi Islam-nasionalis (Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan), organisasi intelektual (Tashwirul Afkar), organisasi wirausahawan (Nahdlatut Tujjar), serta komite diplomasi keagamaan (Komite Hijaz, cikal bakal Nahdlatul Ulama), Mbah Wahab tak pelak merupakan salah satu di antara sedikit tokoh Islam yang kiprahnya melampaui batas-batas tradisional seorang kiai. Pergaulannya yang luas membuatnya menjadi seorang ulama yang unik, dengan gesekan-gesekan yang membuatnya bersinggungan langsung dengan dinamika ekonomi-politik dan sosial di tengah masyarakat.
Keberhasilan Mbah Wahab mendirikan berbagai organisasi tersebut bukanlah semata-mata hasil dari kematangan sikap intelektualnya yang terbuka, tapi terlebih merupakan manifestasi dari prinsip organisatoris yang dipegangnya: kesatuan antara ide dan aksi, antara organisasi dan militansi. Beliaulah yang terkenal dengan ucapannya, pada masa-masa pembentukan laskar rakyat-pemuda (Laskar Hizbullah) menghadapi pendudukan Jepang: “Kalau kita mau keras, harus mempunyai keris!”. Gagasan membutuhkan suatu sikap, sikap membutuhkan perangkat, dan perangkat tersebut, bagi Mbah Wahab, mesti merupakan suatu alat di mana gagasan tersebut menemukan cara perwujudannya. Dengan kata lain, bagi Mbah Wahab, ide mestilah “bertangan” dan “berkaki”.
Prinsip tersebut mengantar Mbah Wahab pada pemikiran tentang perlunya berserikat. Berserikat, artinya berkumpul dan menjalin persekutuan di antara berbagai pihak untuk mengambil sikap bersama mengenai suatu pokok tertentu, dan bergerak bersama dalam melangkah menuju tujuan bersama. Dalam pemikiran Mbah Wahab, “berorganisasi” nyaris identik dengan “berserikat”: suatu perkumpulan yang tidak sekadar merupakan wadah bagi suatu keanggotaan atau afiliasi tertentu, tetapi suatu perkumpulan yang memungkinkan orang-orang di dalamnya untuk terlibat aktif mengambil inisiatif, merumuskan visi bersama, bergerak bersama, dan mewujudkan tujuan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Dalam pandangan itu, konsepsi perserikatan yang tampaknya dianut oleh Mbah Wahab melampaui konsepsi organisasi yang umum dipahami, karena menggabungkan dua hal yang luput dari organisasi-organisasi dalam pengertian status quo: heterogenitas dan militansi.
Heterogenitas, berarti bahwa berserikat hanya mungkin terbentuk dari pertemuan di antara unsur-unsur yang beragam, dari latar belakang yang beragam, dengan sikap dan bahkan ideologi yang beragam. Hal ini yang memungkinkan Mbah Wahab bergaul dengan luwesnya, tanpa kehilangan pendirian, dengan kalangan nasionalis, ketika kelompok Islam dan kelompok nasionalis sering dibedakan karena orientasi ideologis dan agenda masing-masing. Perkenalannya dengan H.O.S. Tjokroaminoto membawanya membentuk Serikat Islam cabang Mekkah, dan kontak ini terus berlanjut dengan bergabungnya Tjokro ke dalam jajaran penggerak organisasi yang dibangun oleh Mbah Wahab sendiri, Nahdlatul Wathan.
Dengan cara berserikat demikian, Mbah Wahab meretas suatu hubungan asosiatif yang dibangun di atas prinsip egaliter dan pengaburan latar belakang sosial maupun primordial. Suatu prinsip yang mungkin terilhami dari penafsiran Tjokro terhadap syura dalam Islam, yang menghapuskan, menurut Tjokro, “segala perbedaan antara kaoem ‘jang memerintah’ dan kaoem ‘jang diperintah’” (Islam dan Sosialisme), sehingga Wahab muda tanpa canggung duduk dengan senior-seniornya, tanpa memandang apakah mereka datang dari kalangan Islam maupun sekuler.
Tetapi keragaman itu bukan sekadar prinsip bagi pergaulan yang inklusif atau kosmopolit, tetapi merupakan prakondisi dari hal kedua, militansi. Agar perserikatan itu benar-benar menjadi sebuah tindakan berserikat, ia mesti merupakan suatu perkumpulan yang militan dalam memperjuangkan suatu gagasan sampai tuntas dan mewujud dalam kenyataan. Perserikatan mesti pertama-tama merupakan suatu pergerakan, dan bukan sekadar perhimpunan pasif dari para anggotanya. Ia merupakan pergerakan yang menjadikan para anggotanya secara kolektif terlibat sebagai penggerak dan pengkader yang membuka ruang bagi seluas mungkin pihak untuk mewujudkan kepentingan bersama. Dalam konteks kolonial, kepentingan itu adalah pembebasan selekas-lekasnya dari penjajahan. Dalam konteks kapitalisme Hindia-Belanda, kepentingan itu adalah kemandirian ekonomi anak bangsa dari penghisapan kaum penjajah.
Mbah Wahab memang mewujudkan sebagian dari pergerakan yang dirintisnya ke dalam bentuk-bentuk organisasi pengkaderan anti-kolonial yang merentang dari Nahdlatul Wathan sampai Laskar Hizbullah, dari pendidikan pengkaderan intelektual dan kepemudaan sampai pengkaderan paramiliter. Di sisi lain, untuk mengerek roda kemandirian ekonomi, beliau merintis Nahdlatut Tujjar, sebuah organisasi borjuis-kecil yang menjadi wadah berserikat para pedagang dan niagawan menengah-ke bawah dari kalangan santri dan umum, untuk menghilangkan ketergantungan ekonomi kepada penjajah. Tetapi, menjadi impian Mbah Wahab sebenarnya untuk memperluas gagasan perserikatan itu pada ranah di mana sebagian besar warga Nahdliyin sendiri hidup: pertanian dan perburuhan. Dengan kata lain, ranah di mana sebagian besar orang menghabiskan kerjanya secara kolektif. Karena itu, beliau menyeru: “Wahai pemuda tanah air yang cerdik-cendikia! Wahai para ustaz yang mulia! Mengapa engkau sekalian tak mendirikan saja perserikatan kerja? Satu daerah, satu perserikatan yang mandiri”.
Kepada pengurus Islam Bergerak, sebagai media publikasi yang baik dan benar, saya pikir sudah menjadi kewajiban bagi Islam Bergerak untuk membuat halaman khusus ‘Tentang Kami’. Pembaca harus tahu siapa yang bertanggungjawab terhadap penerbitan konten-konten di situs web ini!!