Hidup di Tahap Baru Imperialisme

1.6k
VIEWS

Imperialisme merupakan konsep yang luas dan transhistoris yang telah digunakan dan dipahami melalui berbagai cara sejak jaman Kerajaan Romawi. Secara umum, imperialisme diartikan sebagai dominasi politik, ekonomi dan/atau militer oleh satu negara atas negara lain. Sejak akhir abad kesembilan belas, istilah tersebut memiliki konotasi yang berbeda bagi para Marxis, yang diakui sebagai suatu bagian intrinsik dari perkembangan kapitalisme. Pandangan imperialisme semacam inilah yang ditelisik oleh Anthony Brewer dalam bukunya Marxist Theories of Imperialism: A Critical Survey (1990). Ia berargumen bahwa teori-teori Marxis tentang imperialisme masih belum sepenuhnya diterima maupun ditolak, tanpa menjadi subjek dari penyelidikan sistematik apapun. Oleh karena itu, ia mengadopsi suatu ‘posisi simpatik namun kritis’ dalam evaluasinya atas teori tersebut (1990: ix).

https://www.amazon.in/Marxist-Theories-Imperialism-Critical-Survey/dp/0415043077

Buku ini dibuka dengan sejarah singkat kapitalisme dan tinjauan ringkas atas analisis Marx terhadap kapitalisme sebagai suatu corak produksi. Disini, Brewer menelisik dan menjelaskan beberapa konsep kunci diantaranya seperti reproduksi yang meluas, nilai lebih, dan konsentrasi serta sentralisasi kapital. Para penulis yang disurvei di dalam buku menarik ide-ide ini dalam analisis mereka tentang watak imperialisme dan dampaknya. Karena Marx tak pernah secara eksplisit menuliss tentang imperialisme, bagian ini secara khusus bermanfaat dan membantu membangun koneksi antara kontribusi dari teori-teori ini dan karya-karya Marx. Brewer memilih untuk tidak memberikan satu definisi tunggal tentang imperialisme dan merujuk pada apa yang digunakan oleh penulis yang ia diskusikan.

Teoretisi pertama yang ia kaji adalah Rosa Luxemburg yang menganalisis bagaimana ekspansi sistem kapitalis global terjadi melalui suatu corak produksi pra-kapitalisme yang berkelanjutan (baik di dalam dan antarnegara). Meski Brewer mengakui pentingnya kontribusi ini, ia secara simultan mengritik proposisi Luxemburg yang menyatakan bahwa pendorong dari ekspansi ini adalah suatu dorongan untuk mencari pasar baru, yang timbul dari kurangnya permintaan atas komoditas di dalam ekonomi kapitalis. Dengan cara yang sama, ia lanjut mengritik pandangan John A. Hobson tentang konsumsi kurang (underconsumption) sebagai pendorong imperialisme. Meski Hobson bukanlah seorang Marxis, dimasukkannya ia ke dalam edisi buku ini dibenarkan atas dasar bahwa karyanya tentang imperialisme memiliki pengaruh kuat pada karya-karya Marxis di periode selanjutnya seperti Lenin, Paul Baran, dan Paul Sweezy.

Bergeser ke posisi berikutnya secara urutan kronologis, bagian berikutnya fokus pada Rudolf Hilferding, Nikolai Bukharin, dan Lenin yang bertanggung jawab untuk merumuskan ‘teori-teori imperialisme Marxist klasik’ (ibid: 88). Ditulis di awal abad keduapuluh, analisis mereka berpusat di aspek kompetisi ekonomi, politik dan militer antara kekuatan-kekuatan kapitalis besar masa itu dan tendensi mereka ke arah perang inter-imperial. Sementara Hilferding mengidentifikasi kebangkitan monopoli dan kapital finansial di dalam negara-bangsa, adalah Bukharin yang mengintegrasikan elemen-elemen ini dan mengajukan gagasan imperialisme sebagai suatu kebijakan kapital finansial. Brewer menemukan bahwa karya Lenin hanya memberi kontribusi teoretis yang marjinal, dan memandangkan sebagai suatu sintesis dari karya-karya Hilferding, Bukharin dan Hobson.

Periode pasca-perang menyaksikan teori Marxis bergeser dari perdebatan seputar dinamika internal dari kekuatan-kekuatan kapitalis menuju pemahaman soal proses perkembangan kapitalis di negara-negara yang kurang berkembang. Baran merupakan salah satu yang pertama mendiskusikan fenomena ini dan ia mempertimbangkan fakta bahwa struktur ekonomi internal dari negara-negara berkembang berarti negara-negara tersebut tidak mengikuti jalur pembangunan negara-negara maju secara mekanik. Berdasarkan pemikiran ini, Mazhab Ketergantungan (Dependency School) mempelajari bagaimana proses ekonomi yang menghubungkan metropolis dan satelit memberi ruang bagi ekstraksi nilai lebih, yang secara simultan memicu pembangunan di pusat dan keterbelakangan di pinggiran. Kontribusi dari tiga teoretisi (Andre Gunder Frank, Immanuel Wallerstein dan Samir Amin) dianalisis dan kekurangan dari proposisi mereka digarisbawahi (khususnya mengenai watak statik dari analisis mereka dan penekanannya pada eksploitasi melalui relasi pertukaran, ketimbang relasi produksi).

Memahami imperialisme sebagai eksploitasi dan ketidaksetaraan, teori ketidaksetaraan pertukaran yang dirumuskan oleh Emmanuel Aghiri menganalisis bagaimana perbedaan upah antara negara maju dan berkembang dapat berakibat pada terbangunnya hubungan dagang yang tidak simetris. Berupaya untuk lepas dari pandangan yang terlalu mengedepankan tahapan perkembangan, bagian kedua terakhir dari buku tersebut menerangkan tentang beberapa perdebatan seputar perkembangan kapitalisme di negara berkembang. Meski terlihat menarik, penjelasan tersebut justru terkesan menyimpang dari tujuan utama buku. Sebagai simpulan, Brewer memaparkan tentang beberapa perkembangan terkini dari kapitalisme berikut spekulasi perkembangannya di masa mendatang.

Bagi para pembelajar imperialisme dan Marxisme, pentingnya dan kebergunaan buku ini tidak boleh dilebih-lebihkan. Brewer memang melakukan upaya yang tak ternilai dengan melakukan penyelidikan dan menyusun berbagai literatur imperialisme dalam tradisi Marxis. Ia mampu menyaring pokok pikiran yang merupakan inti dari setiap karya dan menginterogasinya secara berimbang. Meski demikian, pada bagian-bagian tertentu (seperti pada bagian Emmanuel), pemaparannya terkesan terlalu ekonomis, teknis dan kurang luwes, dengan sedikit, dan bahkan tanpa kontekstualisasi secara historis maupun politis.

Bagian pengantar tentang Marx dipaparkan secara jernih dan berhasil merengkuh keluasan pemikirannya tanpa kehilangan kompleksitasnya. Sepanjang buku, Brewer menjalin keterhubungan antar beragam teori, mendemonstrasikan kontinuitas dan keterputusan antar teori, sambil mengaitkannya pada Marx. Dengan demikian, pembaca disuguhkan penjelasan yang koheren tentang evolusi konseptualisasi Marxis terkait imperialisme dari masa ke masa.  Dicantumkannya nama Rosa Luxemborg patut dicatat, sebagai sosok yang menduduki posisi ambivalen dalam tradisi kanon Marxian mengingat kritik tajamnya pada arus reformis sosial demokrasi dan Leninisme (Kołakowski, 1978: 61). Meski penulis buku mengkritik beberapa proposisi teoretisnya, Brewer mengakui pentingnya analisis ia (Rosa) terkait ekspansi kapital secara terus-menerus yang merambah hingga sektor pra-kapitalis- persis posisi yang diambil oleh Harvey hari ini dalam idenya tentang ‘akumulasi lewat perampasan’ (Michael-Mastas, 2008: 49). Perwujudan terkini dari logika tersebut dapat dilihat dari tren gelombang besar marketisasi dan privatisasi secara terus-menerus (Callinicos, 2009: 14).

Selanjutnya, Brewer secara tepat menggarisbawahi kontribusi Hilferding, yang ia juluki sebagai “penemu teori imperialisme tradisi Marxis klasik” (1990: 108). Saat dipublikasikan, Finance Capital (1910) karya Hilferding dielu-elukan sebagai pelengkap dari Capital-nya Marx. Karena relevansinya yang terbatas pada masa de-finansialisasi pasca perang, buku ini kehilangna popularitasnya (King, 2010: 52,59). Meski begitu, kegunaan pendekatan dan metodologi yang dirumuskan oleh Hilferding ternyata semakin marak digunakan dalam mempelajari watak terkini dari kapitalisme finansial global (Lapavitsas, 2013: 799).

Salah satu fitur paling mencolok dari buku ini ialah perlakuannya terhadap Lenin, yang sering dianggap sebagai salah satu kontributor besar pemikiran Marxis terkait imperialisme. Sepertihalnya kebanyakan, Brewer (1990: 21) berpendapat bahwa “pamflet Lenin telah mendapat banyak perlakuan hormat yang tidak layak” mengingat kontribusi teoretis dan keasliannya yang minim (Marshall, 2014: 317). Ia bersikap kritis terutama terhadap pemikiran yang ia sebut sebagai pandangan konsumi kurang ala Lenin. Pembacaan ini berasal dari ambiguitas yang menyelubungi penjelasan Lenin terkait keberlangsungan ekspor kapital sebagai hasil dari perkembangan “paling mutakhir” kapitalisme di tahap monopoli. Dalam karya Lenin jelas terlihat (1996: 61), bahwa ia menitiktekankan peran akumulasi kapital berlebih (dibanding komoditas) di dalam sistem, dan meletakan motor utama imperialisme pada bagian produksi ketimbang konsumsi. Posisi ini konsisten dengan penolakan Lenin sebelumnya terhadap underkonsumsi menyebabkan krisis kapital (Marshall, 2014: 320). Hal yang mengherankan ialah meskipun Brewer (1990: 119) mengakui secara eksplisit argumen tersebut, ia terus mengasosiasikan teori Lenin dengan konsumsi kurang, dibanding dengan gagasan penuruan laba Marx.

Keterbatasan besar lainnya ialah buku tersebut belum diperbaharui setelah hampir tiga dekade. Ini jelas mempengaruhi bagian simpulannya, dimana Brewer mengantisipasi berakhirnya hegemoni AS. Sejak berakhirnya Perang Dingin pada 1991, imperialisme AS telah menebar pengaruh sangat besar dan telah terjadi masa pencerahan (renaissance) di teorisasi Marxis tentang imperialisme. Ini dimulai dengan Empire (2000)-nya Hardt dan Negri, dan kemudian mencakup beragam penulis seperti Harvey, Ellen Meiksins Wood, Leo Panitch, and Sam Gindin, dan lainnya. Fase ketiga dari para pemikir memunculkan beragam tafsir ulang teori imperialisme klasik dalam terang globalisasi neoliberal hari ini. Selain itu, kebangkitan Cina telah menimbulkan beberapa perdebatan terkait berkurangnya hegemoni AS (khususnya setelah krisis finansial 2008). Meski begitu, faktor ekonomis seperti penggunaan dolar AS sebagai cadangan mata uang internasional, dan kukuhnya kekuatan politik dan militer Amerika, dikombinasikan dengan perekonomian Cina berikut struktur politiknya , menunjukan keterbtasan Cina sebagai ancaman nyata bagi imperialisme AS (Callinicos, 2009: 188-227). Buku Brewer tidak mampu menangkap seluruh perkembangan imperialisme abad-21 ini- celah yang telah berhasil diisi oleh Noonan (2017).

Terlepas dari kekurangan tersebut, teori Marxis tentang imperialisme selalu menjadi bagian perkenalan terbaik di ranah ini. Bagian ini menghadirkan berbagai argumen kompleks dengan cara yang mudah dipahami dan mudah diakses, meski terkadap membingungkan dibanding apa yang diutarakan. Mengingat imperialisme telah bangkit kembali di abad ini, buku ini mendesak untuk diperbaharui. Karena bagaimanapun, buku ini tetap merupakan karya yang komprehensif dan menarik yang dapat banyak membantu dalam memahami dinamika perkembangan kapitalis terkini.

 

*Artikel ini juga dipublikasikan dalam versi aslinya di Rubrik English dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Redaksi IB

 

Bibliografi

Brewer, A. (1990). ​Marxist Theories of Imperialism: A Critical Survey. 2nd ed. London: Routledge.

Callinicos, A. (2009). ​Imperialism and Global Political Economy. Cambridge: Polity.

Hardt, M. and Negri, A. (2000). ​Empire​. Harvard University Press.

King, J. (2010). Hilferding’s Finance Capital in the Development of Marxist Thought. ​History of Economics Review, 52(1), pp.52-62.

Baca Juga:

Kołakowski, L. (1978). ​Main Currents of Marxism – Volume II: The Golden Age. Oxford: Clarendon Press, pp.61-97.

Lapavitsas, C. (2013). The financialization of capitalism: ‘Profiting without producing’. ​City, 17(6), pp.792-805.

Lenin, V. (1996) [1916]. ​Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. 1st ed. London: Junius Publications Ltd.

Marshall, A. (2014). Lenin’s Imperialism Nearly 100 Years on: An Outdated Paradigm?. Critique, 42(3), pp.317-333.

Michael-Matsas, S. (2008). The New-Old Imperialism. ​Critique, 36(1), pp.45-61.

Noonan, M. (2017). ​Marxist Theories of Imperialism: A History. I.B. Tauris.

 

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.