Mungkin pohon-pohon pinus tua—beberapa batang cemara
di seberang kuil merah yang atapnya hampir menyentuh udara
kau berdiri seperti Budha, disepuh gerimis juga taburan salju
lengkung langit menyimpan ritus dan tarian ke atas gurun berbatu
kelokan tangga-tangga menyerupai tubuh panjang seekor naga
yang melata ke tepi kolam. Puisiku bersemedi pada retakan cuaca
kulihat, tanganmu menuliskan kata-kata mutiara di gigir senja kelam
menghantarkan himne yang dinyanyikan imigran dengan wajah muram
Pada gerbang itu, pokok-pokok beringin putih—serta ranting kamboja
di halaman kecil yang dindingnya mulai memudarkan sepihan bata
ilalang memenuhi pelipismu yang berdarah dan ditisik kembang sepatu
gema lonceng raksasa berdentang menyusutkan gigil tubuhku yang kelabu
sayap-sayap badai berhamburan ke arahku juga, menancap seperti ribuan duri
kemudian menyusun penjuru mata-angin serta garis-garis lembayung sore hari
kubaca, kata-katamu kian runcing seperti tajam samurai dan rahasia filsafat
mengepung seluruh cemas jiwaku, memasuki ruas waktu yang memberat
Lalu seorang lelaki—entah siapa, dengan senapan dan sekeranjang stroberi
mereguk secawan anggur yang dituang dari airmataku serta sayatan pori-pori
lenganku. Di hamparan rumput yang berkabut, para biksu menunduk kaku
meditasi dan menenangkan diri. Tapi, dengan sisa senyuman yang ragu-ragu
kedua tanganmu mengulurkan kitab-kitab lama, dengan gambar dewa bersayap
terbang di antara gugusan burung-burung malam, gulungan mega yang berasap
memenuhi lambungku yang terluka, menyelami dasar hatimu yang tak teraba
dan kau mungkin tahu, kota ini, telah mengurungku menjadi seekor laba-laba
Taiwan, 2004/2011.