Tameng bagi Oligarki: NU dan Ekonomi-Politik Kebijakan Konsesi Tambang

1.2k
VIEWS

Sebulan yang lalu, beberapa kawan baik mengirimkan pesan kepada saya via WhatsApp. Isinya sebuah link berita tentang PBNU yang menerima konsesi tambang dari pemerintah. Saya tahu persis mereka sebenarnya bukan hanya berniat untuk mengirim sebuah informasi penting, melainkan juga untuk mengejek saya karena, seperti Bahlil Lahiadi pernah katakan, “saya lahir dari rahim kader NU.” Namun, saya tak terlalu meladeni ejekan mereka dan sejurus kemudian mencari tahu lebih jauh mengapa PBNU “sudi” menerima konsesi tambang; suatu aktivitas bisnis yang pada tahun-tahun silam dikutuknya berkali-kali.1 

Saya pun akhirnya menemukan bahwa sejak tahun 2021 Jokowi memang sudah menjanjikan konsesi Minerba pada NU. Janji itu disampaikan pada acara pembukaan Muktamar NU  ke-34 di Lampung. “Saya menawarkan yang muda-muda ini dibuatkan sebuah wadah bisa PT atau kelompok usaha dan pemerintah, saya siapkan. Kalau siap saya menyiapkan konsesi. Baik itu konsesi terserah dipakai lahan pertanian silakan, saya juga siapkan konsesi minerba. Yang pengen bergerak di usaha nikel misalnya, batubara, bauksit, usaha koper tembaga silakan,” begitu Jokowi menjelaskan.2 

Namun, janji itu baru ditepati tiga tahun kemudian—tepat di penghujung periode pemerintahan Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Peraturan ini menyebut bahwa ormas keagamaan kini dapat memperoleh prioritas Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)—privilise yang sebelumnya hanya bisa diperoleh BUMN atau BUMD.3

Mungkin karena itulah NU sekonyong-konyong menerima konsesi tambang dari pemerintah tanpa berpikir panjang. “Nahdlatul Ulama telah siap dengan sumber-sumber daya manusia yang mumpuni, perangkat organisasi yang lengkap, dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut,” tegas Gus Yahya, Ketua Umum PBNU.4 Dengan ini, ia berharap dapat memberikan kemaslahatan yang seluas-luasnya kepada umat.

Saya sebenarnya tak paham di mana letak kemaslahatan yang dimaksud oleh Gus Yahya. Tambang justru mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan dan memakan korban jiwa. Pencemaran air, pencemaran udara, dan hilangnya nyawa di bekas lubang galian adalah sederet permasalahan yang muncul ketika industri ekstraktif macam pertambangan hadir.5 

Gus Yahya kemudian meralat ucapannya dengan mengatakan bahwa NU hanya mau menerima konsesi tambang yang tidak menyerobot hak ulayat dan tidak berlokasi di dekat pemukiman warga.6 Hanya saja, penegasan ini juga tak luput dari problem: Gus Yahya tak menyebut suatu contoh industri tambang yang memenuhi dua kriteria itu. Sebab sepanjang saya tahu, sepertinya tak ada industri tambang yang tak merebut hak ulayat dan tidak berlokasi di dekat pemukian warga. Orang yang sedikit waras pun paham bahwa yang namanya mengambil mineral dari dalam perut bumi dengan jumlah yang besar dan terus-menerus pasti akan merusak lingkungan, sekalipun orang itu tak pernah membaca satupun laporan JATAM atau Walhi.7

Akibat penerimaan konsesi tambang oleh NU tersebut, banyak respon dilontarkan oleh kalangan cendekiawan dan intelektual. Respon mereka berkisar pada peringatan akan dampak yang terjadi bila ormas keagamaan mau menerima konsesi tambang dari pemerintah. Hairus Salim, misalnya, melalui artikel berjudul “Bahaya Ormas Agama Ikut Main Tambang”8 mengingatkan betapa bahayanya bila ormas keagamaan menjadi aktor dalam industri pertambangan. Cendekiawan NU itu mengatakan bahwa agama memang boleh dan perlu untuk terlibat dalam persoalan pendidikan, sosial dan, kesehatan. Namun bukan berarti ormas keagamaan kemudian turut serta dalam industri pertambangan. Alasannya tentu karena daya destruktif pada tambang itu sendiri, entah pada lingkungan atau manusia. Lagi pula industri tambang, menurutnya, lebih banyak menguntungkan negara besar ketimbang negara dari industri tambang itu berasal. Karena itu, ormas keagamaan justru harus mengkritik tambang dan bukan malah menjadi aktor tambang.

Ironis bila ada konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan, ormas keagamaan justru berada di kubu yang kedua. Akibatnya, ormas keagamaan kehilangan legitimasi moralnya dan malah menjadi sumber dari demoralisasi itu sendiri. Dengan ini, Hairus Salim menghimbau agar ormas keagamaan menolak konsesi tambang dari pemerintah. Walau cukup apik menjelaskan konskuensi yang muncul ketika ormas keagamaan menerima konsesi tambang dari pemerintah, tulisannya belum menjelaskan ekonomi-politik mengenai sikap PBNU di balik kebijakan konsesi tambang untuk ormas keagamaan. Ketika menyinggung penyertaaan ormas keagamaaan yang turut andil dalam industri pertambangan sebagai pola “penjinakan” terhadap agama, ia sayangnya tak menjelaskan secara lebih dalam bagaimana mekanisme dan konskuensi logis dari pola semacam itu.

Respon yang hampir sama juga datang dari Eko Cahyono dengan tulisan berjudul Wajah Ganda Agama: Antara Anugerah dan Bencana.9 Dalam tulisan ini, Eko menganggap bahwa agama tak selalu mendatangkan anugerah. Ada kalanya agama justru menjadi sumber bencana itu sendiri. Bencana dalam agama bisa muncul ketika suatu teks keagamaan diinterpretasikan secara absolut tanpa ada pretensi untuk membuka pemahaman dengan wacana, pengetahuan, atau ajaran lain. Bukan itu saja, agama juga bisa menjadi sumber bencana ketika agama dijadikan sebagai instrumen politik praktis. Dengan lain kata, agama dapat menjadi busuk ketika manusia beragama menggunakan legitimasi agama untuk memperoleh keuntungan politik. Dalam konteks ini, penerimaan konsesi tambang atas nama agama—yang mana direpresentasikan oleh NU—jelas merupakan praktik pembusukan agama. Eko menganggap praktik tersebut sebagai ”holy grabbing” (penyingkiran rakyat dari ruang hidupnya atas nama kesucian). Karena itu, ia menyerukan ormas keagamaan untuk menolak praktik politisasi tersebut dan kembali pada hakekat agama itu sendiri yang menjadi sumber “energi pembebasan kaum marginal, berwatak sosialistik yang anti eksploitasi dan akumulasi, menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kemanusiaan yang akan melahirkan anugerah.”

Melihat dimensi dialektik dari agama tersebut membantu kita untuk memahami bahwa agama bukanlah entitas suci yang tak pernah mengenal kata bobrok. Ada masa di mana agama menjadi bobrok ketika ia digunakan untuk memperoleh keuntungan politik yang sempit. Namun, anggapan Eko terhadap politik nampak pejoratif. Seakan-akan menggunakan agama untuk memperoleh kekuasaan adalah hal buruk. Perlu ditelaah terlebih dahulu basis material dari bagaimana agama digunakan untuk memperoleh kekuasaan politik. Apabila agama digunakan untuk memperoleh kekuasaan demi mewujudkan pembebasan kaum marginal sebagaimana Eko sebut, saya kira tak menjadi masalah. Analisis Eko juga tak menjangkau wilayah ekonomi-politik di balik penerimaan konsesi tambang oleh suatu ormas keagamaan. Sehingga, tulisannya tak lebih dari seruan moral pada ormas keagamaan agar tidak melupakan hakekat dari agama sebagai pembawa anugerah.

Untuk mengisi kekosongan tersebut, tulisan ini hendak menelisik dimensi ekonomi-politik yang terselubung dalam penerimaan konsesi tambang oleh ormas keagamaan. Bahwa pemerintah bisa dengan mudahnya memberi konsesi tambang kepada ormas keagamaan bukanlah karena kemurahan hati. Ormas keagamaan yang mau menerima konsesi tambang tak bisa tidak harus memberikan timbal balik politis kepada pemerintah. Sehingga, ketika NU mau menerima konsesi tambang, NU harus bersedia menjadi “laundry machine” yang membersihkan bercak darah dan kotoran yang menempel dalam tubuh pemerintah. Tugas ini harus dilaksanakan sekalipun NU harus mengkhianati slogan “kembali ke khittah 1926” yang kerap digaungkan.

Ekonomi politik oligarki dan propaganda NU

Saya ingin menyegarkan ingatan pembaca pada masa Pilpres 2019. Pada masa itu, Jokowi kembali bertarung dengan Prabowo dalam ajang politik 5 tahunan tersebut. Awalnya, Jokowi hendak menggandeng Mahfud MD untuk menjadi wakilnya. Namun, berhubung Prabowo menggaet kelompok “sayap kanan” macam Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang dua tahun sebelumnya berhasil mengantarkan Anies menjadi Gubernur Jakarta, Jokowi memutuskan untuk menggandeng Ma’ruf Amin untuk menjadi wakilnya. Bagaimanapun, Ma’ruf Amin adalah sosok yang lebih disegani di kalangan Nahdliyyin ketimbang Mahfud MD. Hal ini mengingat ia merupakan salah satu kiai sepuh yang cukup lama berada dalam kepengurusan PBNU. Langkah Jokowi untuk menggandeng Ma’ruf Amin berarti strategi politik untuk mendulang suara dari kalangan NU. Strategi ini juga cara yang efektif untuk mengubah stigmatisasi publik bahwa Jokowi adalah sosok yang anti-ulama.10

Dengan merangkul kalangan NU itu, Jokowi berhasil untuk kedua kalinya menduduki kursi presiden. Hanya saja di masa awal pemerintahannya, Jokowi banyak diprotes oleh kalangan NU. Sebabnya, NU merasa tak mendapatkan jatah kekuasaan dari Jokowi. NU merasa tak cukup bila hanya satu kadernya, yakni Ma’ruf Amin, yang menempati kursi pemerintahan. NU ingin kadernya yang lain ditempatkan di kursi pemerintahan. Memang saat itu semua menteri di Kabinet Indonesia Maju tak ada yang berasal dari kalangan NU. Bahkan, menteri agama yang selalu dijabat oleh kalangan NU, saat itu dijabat oleh Purnawiraman Jendral TNI Fachrul Razi. Maka, tak heran apabila Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jatim pernah bersoloroh: “tidak ada dukungan politik yang gratis.”11

Namun, situasi itu berubah pada tahun 2020 ketika Jokowi tiba-tiba menunjuk Yaqut Cholil Staquf, yang merupakan kader NU, untuk menggantikan Fachrul Razi menjadi menteri agama. Bahkan, Jokowi memberikan “bonus” kepada NU dengan diangkatnya Said Aqil menjadi komisaris PT. Kereta Api di Indonesia (KAI) menggantikan Jusman Syafii Djamal. Di tahun itu pula, Jokowi berjanji akan memberikan konsesi minerba kepada NU. Pada 31 Januari 2022, Jokowi kemudian mengatakan akan segera merealisasikan pemberian konsesi tersebut untuk NU. “Saya pastikan yang gede, enggak mungkin saya memberikan ke NU yang kecil-kecil,” begitu kata Jokowi.12

Mengapa ketika dibuatkan regulasi tak hanya NU yang dapat memperoleh konsesi tambang, melainkan ormas keagamaan lain juga dapat memprolehnya? Pertanyaan ini penting karena membuat kita bisa memahami bahwa konsesi tambang yang diterima NU tak bisa dimaksudkan serta-merta sebagai balas jasa Jokowi karena NU telah membantu memenangkan Prabowo-Gibran dalam kontestasi pemilu kemarin.13 Jawaban yang lebih tepat agaknya bahwa Jokowi (dan juga Prabowo) ingin meluaskan aliansi politiknya tak hanya pada NU, melainkan juga ormas keagamaan lain ketika membuat regulasi konsesi tambang untuk ormas keagamaan. Hal ini mengingat prospek pemerintahan Prabowo nanti berupaya mengakomodasi aliansi tak hanya pada rival politik, melainkan juga kelompok yang berada di luar kontestasi politik namun memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk menguatkan stabilitas politik.

Namun demikian, bagaimana stabilitas itu bisa tercipta dalam kaitannya dengan pertambangan? Dan peran apa yang bisa dimainkan oleh ormas keagamaan untuk mengamankan stabilitas itu? Untuk menjawab pertanyan ini, saya akan mencoba untuk menjelaskan secara singkat dinamika ekonomi-politik pertambangan batubara. Dalam menganalisis prospek pemerintahan Prabowo di masa mendatang, Muhammad Ridha sepakat dengan analisis Abdul Mughis Mudhoffir bahwa anggapan pemerintahan Prabowo akan membawa kemunduran demokrasi atau bahkan jatuh pada otoritarianisme melupakan faktor penting tentang konstelasi oligarki. Perlu diingat bahwa demokrasi justru memungkinkan para oligark berkompetisi dalam menguasai institusi formal negara guna mempertahankan kekayaaan. Otoritarianisme tidak menguntungkan bagi para oligark karena kekuasaan pada ujungnya bersifat sentralistik. Kendati demikian, Ridha tak sepakat bila pemerintahan Prabowo tak lebih dari kelanjutan pemerintahan Jokowi semata. Ridha melihat adanya konfigurasi yang berbeda dalam pemerintahan Prabowo. Perbedaan ini bisa dilihat dari bagaimana Prabowo berusaha untuk mengakomodasi aliansi politik seluas mungkin. Namun, akomodasi yang coba dilakukan oleh Prabowo tak hanya ditujukan pada kelompok oposisi, melainkan juga kelompok yang berada di luar kontestasi politik, namun memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat. Pemberian konsesi tambang terhadap ormas keagamaan adalah salah satu contoh terhadap upaya tersebut. 14

Baca Juga:

Walau demikian, Ridha percaya bahwa perluang stabilitas dalam pemerintahan Prabowo tetap ada. Stabilitas itu bisa tercipta dengan inisiatif industri nikel untuk kendaraan listrik, kesolidan anggota aliansi pendukungnya karena alokasi sumber daya alam yang merata, dan lemahnya gerakan rakyat karena kuatnya intensitas represi. Namun, ada beberapa hal yang perlu ditanggapi di sini. Saya tak sepakat bila pemerintahan Prabowo berbeda dengan Jokowi karena ia berusaha untuk mengakomodasi aliansi politik yang lebih luas. Saya kira Jokowi pada masa pemerintahannya juga melakukan akomodasi aliansi politik yang lebih luas. Bahkan, Prabowo yang dulu lawan politiknya bisa kemudian digandeng untuk menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinetnya. Saya juga tak sepakat dengan anggapan Ridha bahwa represi yang keras dari negara akan membuahkan perlawanan yang juga keras. Bagi saya, hal tersebut tak selalu terjadi karena sangat mungkin eskalasi perlawanan yang muncul begitu minim atau bahkan tak ada sama sekali ketika negara makin menunjukkan wajahnya yang represif. Penyebabnya bukan hanya kuatnya intensitas represi sebagaimana anggapan Ridha, melainkan juga inkorporasi ideologi, moral, dan agama kepada kelas pekerja.

Sebagaimana sudah diketahui, pertambangan batubara adalah aktivitas industri yang kerap dipermasalahkan. Bukan tanpa alasan, selain memakan korban jiwa dan merusak lingkungan, industri tersebut juga sarat dengan korupsi. Dalam hal ini, korupsi dilakukan dengan cara menghindari pembayaran pajak  dan royalti, termasuk biaya asuransi reklamasi, asuransi pasca penambangan, jaminan ganti rugi, dan asuransi lingkungan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dorongan korupsi yang semakin akut dalam pertambangan batubara terjadi pasca reformasi—tepatnya pada tahun 2001 ketika proses desentralisasi dalam pemerintahan berlangsung. Hal ini bisa dilihat dari ekspor batubara illegal yang naik menjadi 90 juta ton dengan nilai berkisar pada angka US $5 milliar atau setara dengan 58 trilliun tiap tahunnya. IUP pun naik menjadi 13 kali lipat sejak tahun 2001.15 Sehingga, tak mengejutkan bila pada tahun 2014-2018 jumlah korupsi di sektor pertambangan mencapai angka hingga 210 trillun.16

Penyebabnya adalah kebijakan desentralisasi yang memungkinkan kekuasaan para pejabat lokal untuk mengambil keputusan yang lebih leluasa. Massifnya korupsi juga tak terlepas dari bagaimana kondisi internal pertambangan batubara yang memang membutuhkan modal yang besar, keterlibatan regulasi pemerintah yang besar, komoditas yang bernilai tinggi, jumlah royalti dan pajak yang besar, tempat pengoperasian yang terpencil, dan lainnya. Pertambangan batubara adalah aktivitas industri yang kotor.

Namun, keuntungan dari industri pertambangan batubara bukanlah isapan jempol semata. Pada 2023, Adaro Energy Indonesia (ADRO) melaporkan bahwa keuntungan bersih yang diperolehnya adalah sebesar 44, 01 trillun; Grup Astra, United Actors (UNTR) sebesar 22, 78 trillun; dan Bukit Asam (PTBA) sebesar 17, 18 trilliun.17 Keuntungan sebesar ini dapat diperoleh karena industri tersebut tak membayar biaya eksternalitas. Dan acapkali industri tersebut tak melakukan reklamasi setelah melakukan aktivitas pertambangan. Pada 2020, JATAM melaporkan bahwa ada 3.092 lubang tambang dibiarkan menganga dan tidak direklamasi.18

Untuk mengamankan bisnis kotor itu, perusahaan tambang membutuhkan legitimasi hukum yang dimanifestasikan dalam produk undang-undang. Pengesahan UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan revisi UU KPK adalah contoh riilnya. Guna membalas jasa itu, pengusaha tambang mesti mengalirkan sebagian uangnya untuk mendukung politisi-birokrat yang bertarung dalam kontes pemilihan umum, entah pada tingkat lokal maupun nasional. Dalam Pilpres kemarin, misalnya, ada 21 pengusaha tambang dan energi yang menyokong Prabowo-Gibran, 9 pengusaha tambang dan energi yang menyokong Ganjar-Pranowo, 8 pengusaha tambang dan energi yang menyokong Anies-Muhaimin.19 Hal yang sama juga terjadi pada Pilpres 2019, di mana ada 11 pengusaha tambang dan energi yang menyokong Jokowi-Ma’ruf dan 6 pengusaha tambang dan energi yang menyokong Prabowo-Sandiaga.20 Mereka mencoba untuk menyebar di berbagai kontestan dengan tujuan mengamankan bisnis mereka. Karena itulah, menjadi logis bila ada yang berkomentar bahwa semua calon capres-cawapres sebenarnya sama saja karena kebijakan ekonomi-politiknya akan selalu ditujukan untuk memuluskan bisnis mereka.

Kait kelindan antara politisi-birokrat dengan pengusaha tambang itulah yang disebut dengan sistem oligarki. Dengan ini, oligarki adalah sistem yang terbentuk melalui aliansi predatoris antara politisi-birokrat yang memiliki sumber daya materiil terbatas dengan pengusaha yang membutuhkan akses politik untuk mengakumulasikan dan mempertahankan kapitalnya. Sistem relasi kekuasaan yang demikian memungkinkan reproduksi dan pertahanan konsentrasi kekayaan dan otoritas di tangan segelintir orang.21 

Namun, bukan berarti kedua aktor tersebut bisa duduk tenang ketika berhasil mengkonfigurasi aliansi predatoris. Selalu saja ada api perlawanan yang tumbuh di hati mereka yang ruang hidupnya dirampas untuk dijadikan sebagai ladang pertambangan. Sekuat apapun negara hendak mengukuhkan legitimasi bagi pengusaha untuk bebas mengeksploitasi sumber daya alam sepenuhnya, tetap saja pergolakan untuk mempertahankan ruang hidup akan muncul. Cerita soal perlawanan terhadap tambang batubara—misalnya— datang dari warga Desa Paldas, Rantau Bayur Banyuasin, Sumatera Selatan. Pada tahun 2023, Mereka berani membakar kendaraan operasional perusahaan PT. Basing Coal Mining (BCM) yang memang sudah lama beroperasi di wilayah tersebut. Bentrokan pun akhirnya tak bisa dihindari antara mereka dengan karyawan di perusahaan tersebut. Aksi kekerasan tersebut dilakukan karena pertambangan batubara yang dilakukan oleh BCM telah mengakibatkan sungai tercemar dan gagal panen. Mereka sudah muak dengan BCM dan tak bisa lagi menahan luapan amarah yang sudah lama tertanam dalam diri mereka.22

Tentu ada kepanikan bila perlawanan seperti itu suatu saat akan muncul di berbagai situs tambang batubara lainnya dan barangkali jauh lebih terorganisir. Sebab, represifitas dari aparat kekerasan terkadang tak mampu untuk menghentikan gelombang perlawanan atas tambang batubara. Apalagi menyewa aparat kekerasan secara terus-menerus berarti sama saja dengan merogoh kocek yang cukup besar. Sehingga, perlu digunakan aparatus hegemonik yang berfungsi untuk mematikan dan menjinakkan pikiran massa agar mau menerima tambang batubara. Sebab, gelombang perlawanan yang massif terhadap tambang—bila diorganisir secara sistematis—dapat menjadi kekuatan yang menantang kekuasaan oligarki itu sendiri. Dengan lain kata, gelombang perlawanan itu dapat mengganggu atau bahkan merobohkan stabilitas politik yang coba dipertahankan oleh para oligark. Dalam konteks inilah, NU sebagai ormas keagamaan yang menerima konsesi tambang harus difungsikan sebagai alat pelancar hegemoni.  

Untuk melakukan itu, saya kira NU akan menggunakan propaganda “Islam Moderat.”23 Ada tiga hal yang akan dilakukan oleh NU melalui senjata andalannya itu: pertama, NU akan banyak mewacanakan isu toleransi, kebebasan beragama, dan pluralisme. Hal tersebut dilakukan bukan hanya untuk menghantam radikalisme Islam, melainkan juga untuk mendemonstrasikan bahwa persoalan intoleransi jauh lebih penting ketimbang perampasan ruang hidup dan ketidakadilan redistributif. Penonjolan yang terlalu berlebihan terhadap isu toleransi, dugaan saya, dilakukan oleh NU untuk mengalihkan persoalan lain yang jauh lebih subtansial seperti konflik agraria, kriminalisasi pejuang agraria, atau kerusakan ekologis akibat industri ekstraktif.

Kedua, NU akan memainkan prinsip moderasi ketika mengeluarkan fatwa keagamaan. Dengan lain kata, NU akan mengklaim mengambil “jalan tengah” terhadap suatu persoalan yang saling berseberangan untuk menunjukkan bahwa ia netral, walau sejatinya ia secara tak langsung memihak kelompok tertentu. Dalam konteks tambang, misalnya, NU mungkin akan memberikan fatwa kurang lebih seperti ini: pengambilan ruang hidup masyarakat untuk pertambangan diperbolehkan asalkan sudah izin dengan mereka, pertambangan diperbolehkan asalkan dibarengi dengan konservasi lingkungan, pertambangan diperbolehkan asalkan membuka lapangan pekerjaan masyarakat di sekitarnya, pertambangan diperbolehkan asalkan memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat dan sebagainya. Sikap yang kerap dianggap tidak tegas dan tidak berpendirian tersebut sebenarnya menguntungkan NU: terlihat tidak resisten terhadap pemerintah dan seolah simpati atau mendukung masyarakat yang menjadi korban tambang.

Ketiga, NU akan mengendurkan semangat perlawananan yang radikal terhadap pertambangan dengan mempropagandakan Islam yang damai dan cinta kasih. Apa yang saya maksudkan di sini adalah bahwa NU memang memperbolehkan penolakan terhadap pertambangan. Hanya saja, penolakan itu tak boleh dilakukan dengan aksi atau tindakan yang destruktif, keras, dan tanpa kompromi. Aksi penolakan itu harus disalurkan melalui dialog atau tabayyun dengan pemerintah atau pengusaha tambang agar suatu kesepakatan bersama bisa tercipta. Sebab, menurut NU, Islam sejatinya mengutuk kekerasan dan mendukung perdamaian dalam situasi apapun.             

NU adalah ormas keagamaan terbesar di Indonesia dengan jumlah pengikut sebanyak 56,9 persen dari total 280 juta penduduk Indonesia.24 Ini ditambah dengan basis massa yang kuat dan ketaatan mutlak pada sosok kiai sebagai pemimpin. Sehingga, bisa menggandeng NU sebagai aliansi politik adalah penawar yang cukup efektif untuk membersihkan hama-hama yang dapat mengganggu stabilitas kekuasaan. Agaknya tak rugi juga bagi NU menerima tambang bekas PT. Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar 61. 543 ha.25

Pelajaran dari dalih Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Suaedy

Selama ini, banyak kritik yang muncul terhadap PBNU karena mau menerima konsesi tambang dari pemerintah. Kritik itu bahkan disuarakan oleh kalangan nahdliyyin sendiri. Asman Aziz yang merupakan pegiat NU Kaltim, misalnya, mengaku kecewa dengan keputusan Gus Yahya ketika mau menerima konsesi tambang dari pemerintah. Menurutnya, selain bahwa tambang memiliki banyak mudharat, NU sebenarnya sudah melanggar hasil bathsul masail dan rekomendasi sebelumnya yang melarang aktivitas perusakan terhadap alam, termasuk pertambangan.26

Penolakan serupa juga datang dari 68 alumni Universitas Gajah Mada yang mendaku sebagai kelompok nahdliyyin. Mereka mendesak pada PBNU untuk menolak konsesi tambang dari pemerintah karena merusak marwah ormas keagamaan sebagai institusi moral, menghilangkan tradisi kritis ormas, dan hanya menguntungkan segelintir elit saja. Mereka juga menyerukan PBNU untuk mendayagunakan potensi yang ada demi kemandirian ekonomi ketimbang harus bermain dalam bisnis kotor pertambangan.27 

Beberapa kalangan rumput nahdliyyin seperti warga Wadas yang memang pernah merasakan sendiri pahitnya perampasan ruang hidup juga turut menyuarakan penolakan. Mereka terkejut dengan keputusan PBNU ketika menerima konsesi tambang dari pemerintah karena berbanding terbalik dengan fatwa-fatwa sebelumnya yang justru mengharamkan pertambangan. Dengan ini, mereka tak percaya lagi dengan PBNU karena sikapnya yang mencla-mencle.28 

Merasa dihantam kritik terus-menerus dan mengingat ada pihak yang bahkan memodifikasi logo NU menjadi “Ulama Nambang”, cendekiawan atau intelektual NU pun tergerak untuk menjawab berbagai kritik tersebut. Ahmad Suaedy, dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi Post-Secular dan Agenda Kesetaraan (Kasus Tambang untuk Ormas Keagamaan)29 menganggap bahwa kebijakan konsesi tambang untuk ormas keagamaan merupakan langkah radikal pemerintah karena selama ini sumber daya alam hanya bisa dikelola dan dinikmati oleh segelintir orang. Memberikan amanah kepada ormas keagamaan untuk mengelola sumber daya alam, bagi Suaedy, adalah sebuah demokrasi post-secular. Ia menganggap bahwa demokrasi post-secular adalah sebuah kritik terhadap sekularisme yang berkiblat pada demokrasi liberal. Selama ini sekularisme telah mengeksklusi agama karena dimensi spiritual telah disediakan oleh teknologi dan sistem komunikasi. Apalagi tendensi terhadap demokrasi liberal yang gagal memberikan kenikmatan sumber daya alam sepenuhnya kepada rakyat. Melibatkan kelompok agama untuk mengelola sumber daya alam adalah sebuah demokrasi post-secular karena secara strukrural pemeluk agama berada di dasar piramida sosial. Karena itu, ia mengamini Gus Yahya yang menyatakan, “bahwa aturan tentang konsesi sumber daya alam kepada kelompok agama merupakan langkah yang afirmasi yang berani oleh pemerintah bagi kelompok yang setidaknya dua abad lebih disingkirkan oleh sistem sekularisme dan liberalisme di Nusantara.”

Apa yang perlu ditanggapi pertama ialah anggapan bahwa selama ini agama disingkirkan oleh praktik sekularisme telah melupakan historitas relasi agama dan negara. Pada masa Orde Baru, misalnya, Islam memang pernah dikebiri habis-habisan demi stabilitas politik di awal pemerintahannya dengan diakomodasinya semua kelompok Islam dalam satu partai bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, di akhir masa pemerintahannya, Orde Baru justru melirik kekuatan Islam ketika ditinggal oleh kelompok militer dengan dibentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan diizinkannya Bank Muamalat sebagai bank perbankan Islam. Sehingga, anggapan Suaedy bahwa agama selama ini selalu disingkirkan dalam ranah sosial dan politik adalah salah besar.         

Selain itu, anggapan bahwa konsesi tambang untuk ormas keagamaan dapat menjadi jalan keluar bagi problem ketidaksetaraan dalam menikmati sumber daya alam akibat demokrasi liberal juga salah besar. Anggapan ini berasal dari pengandaian bahwa semua pemeluk agama berada di dasar struktur sosial, sehingga ketika kelompok agama macam NU bisa mengelola tambang pemeluk agama bisa merasakan manfaatnya.

Kecacatan dari anggapan ini terletak pada bagaimana universalisasi kondisi ekonomi pemeluk agama. Seolah-olah semua pemeluk agama adalah miskin dan tidak bisa menikmati manfaat ekonomi dari sumber daya alam. Padahal ada kelas sosial dalam pemeluk agama dan banyak dari mereka yang justru dapat menikmati manfaat tersebut. Lagi pula tak bisa dipastikan bila ormas keagamaan mengelola tambang, maka otomatis akan tercipta kesetaraan dalam menikmati sumber daya alam. Sebab, bukan soal bahwa NU belum memiliki kompetensi tambang, melainkan karena tambang itu sendiri masih bercorak kapitalistik.

Argumen yang lebih konyol datang dari Ulil Abshar Abdalla melalui esai pendeknya yang berjudul Isu Tambang, Antara Ideologi dan Fikih.30 Dalam esai tersebut, Ulil mencoba untuk menengahi perdebatan antara kalangan yang menolak tambang dengan kalangan yang menerima tambang melalui sudut pandang epistemologis. Menurutnya, kalangan yang menolak tambang seperti para aktivis lingkungan cenderung menggunakan pendekatan ideologis, sementara kalangan yang menerima tambang seperti para kiai NU cenderung menggunakan pendekatan fikih. Perbedaan inilah yang mengakibatkan dua kalangan itu tak bisa bertemu. Ia menganggap para aktivis lingkungan bersikap non-konformis ketika dihadapkan dengan kasus tambang karena mereka seperti mengakidahkan persoalan lingkungan. Sehingga, pandangan yang muncul selalu dalam kerangka hitam putih seperti kemasalahatan-kerusakan, manfaat-rugi, dsb. Padahal, lanjutnya, isu perubahan iklim belum selesai dan masih menjadi polemik di negeri-negeri Eropa dan Amerika. Sedangkan, kiai NU secara umum tidak resisten terhadap tambang. Pendekatan fikih yang dipakai oleh mereka membuat pandangan yang muncul tidak hitam-putih. Kebijakan konsesi tambang untuk ormas keagamaan dilihat pada mana yang paling memberikan kemaslahatan bagi sebesar-sebesar rakyat. Ia menyitir kaidah fikih yang artinya kurang lebih adalah pada dua hal yang mengandung dua mafsadah (kerusakan), kita harus memilih mana yang paling sedikit menghasilkan mafsadah. Kaidah inilah yang setidaknya menjadi dasar hukum mengapa kiai NU menerima konsesi tambang. Dari perbedaan pendekatan inilah, Ulil mengajak kita untuk tidak terjebak pada vilifikasi terhadap pihak tertentu. Sebab, ini soal khilafiah belaka.

Laiknya seorang muslim moderat pada umumnya, Ulil mencoba untuk menjadi penengah antara para aktivis lingkungan dengan para kiai NU, namun sebenarnya secara tak langsung memihak pada para kiai NU. Ini terlihat dari bagaimana ia mendiskreditkan para aktivis lingkungan tak ubahnya seperti kelompok Salafis yang memandang sesuatu pada kerangka hitam-putih tanpa mengkalkulasi terlebih dahulu mana yang paling menghasilkan maslahat. Menurutnya, ketika para aktivis lingkungan memiliki pandangan yang berbeda dengan para kiai NU, mereka tak perlu menganggap para kiai NU sebagai kelompok evil yang telah keluar dari jalur akidah lingkungan. Sayangnya, Ulil tak menyebut negeri mana di Eropa atau Amerika yang menganggap bahwa isu perubahan iklim masih menjadi polemik dan belum final. Di tempat lain ia menyebut bahwa penjelasan itu terdapat dalam buku “Unsettled: What Climate Change Tells Us, What It Doesn’t and Why It Matters” yang ditulis oleh Steven E. Koonin. Buku tersebut sebenarnya bukan tanpa kritik. Mark Boslough,31 misalnya, mengatakan bahwa Koonin menggunakan argumen lama yang dibuat oleh para penentang ilmu iklim pada tahun 1990-an untuk menciptakan ilusi tentang ilmuwan yang arogan, media yang bias, dan politisi yang suka menipu. Lagi pula ketika Koonin berbicara bahwa “sains sudah mantap” untuk menuduh klaim para ilmuwan iklim, frasa itu sebenarnya tak pernah dipakai oleh mereka. Frasa itu biasanya justru dipakai oleh kritikus perubahan iklim macam Koonin. Artinya, para ilmuwan pun justru tetap berpedoman bahwa “sains memang tak pernah mengajarkan kepastian.” Setiap berjalannya waktu, selalu ada tesis-tesis baru yang akan menggugurkan tesis-tesis sebelumnya selagi tesis itu dapat diverifikasi dan difalsifikasi. Yang pasti, terlepas dari perdebatan para ilmuwan iklim yang memang di luar bidang saya, saya hanya ingin mengingatkan lagi pada satu hal: yang namanya tambang pasti mengakibatkan air tercemar, udara tercemar, produktivitas pertanian menurun, dsb. Saya kira semua orang akan sepakat mengenai hal tersebut. Hanya orang-orang yang tidak membuka matanya pada kenyataan saja yang akan menampik hal tersebut.

Saya tertawa ketika Ulil menganggap bahwa afirmasi NU terhadap konsesi tambang adalah sikap yang menghasilkan sedikit mafsadah. Seolah-olah bahwa NU dihadapkan pada kondisi yang mendesak, sehingga tak ada pilihan lain selain menerima konsesi tambang. Padahal, tidak ada mafsadah sedikitpun ketika NU menolak konsesi tambang. NU justru menghindari mafsadah dengan menunjukkan dirinya sebagai ormas keagamaan yang memiliki simpati terhadap korban tambang. Atau mungkin mafsadah itu termanifestasi dalam keregangan hubungan antara NU dengan pemerintah. Mengenai hal ini, hanya PBNU dan Tuhan saja yang tahu.

Apa yang bisa kita jadikan pelajaran dari tulisan Suaedy dan Ulil tersebut adalah pentingnya bersikap logis dalam politik. Saya kira semasuk akal apapun kita memberikan respon, seruan, kritik terhadap PBNU untuk menarik sikapnya mengenai konsesi tambang, mereka akan tetap teguh pendiriannya. Bahkan bila hal tersebut kita lontarkan berkali-kali. Sejujurnya, saya muak mendengar celotehan terus-menerus agar NU kembali mengukukuhkan dirinya untuk menolak tambang. Bukan berarti saya tak menganggap perlu adanya nasihat atau kritik terhadap mereka. Hanya saja bila hal tersebut dilakukan berkali-kali, saya khawatir kita melupakan hakikat perjuangan kita. Dengan afirmasi PBNU atas konsesi tambang, maka mereka bersedia menjadi tameng bagi oligarki. Ratapan kesedihan dan luapan kekecewaan yang tiada henti sama saja dengan menebalkan tameng itu. Sehingga, tugas kita seharunsya menjadi senjata yang dapat menghancurkan tameng itu. Singkatnya, kita perlu memisahkan mana kawan dan mana lawan dalam perjuangan politik. Saya kira inilah mengapa Nabi Muhammad tetap mendakwahkan Islam sekalipun Abu Lahab yang notabene pamannya justru menentangnya dan mengapa Nabi Nuh tetap teguh pada pendiriannya sekalipun anak dan istrinya tak pernah mengikuti jalannya.

Penting bagi ormas keagamaan yang menolak konsesi tambang seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sudah seyogyanya menemani, mengadvokasi, dan mengorganisir mereka yang ruang hidupnya dirampas untuk dijadikan ladang pertambangan. Mereka tidak saja mengkritik pertambangan, melainkan menjadi ormas keagamaan yang harus melakukan konter-hegemoni terhadap NU. Mereka harus mempropagandakan pemahaman keagamaan yang menolak secara teguh setiap aktivitas pertambangan dan menyerukan perlawanan kepada mereka yang ruang hidupnya terancam oleh pertambangan. Sehingga, mereka dapat menghidupkan segi emansipasi dari agama: berani membela kaum tertindas dan memperjuangkan kelestarian lingkungan.

Hal tersebut juga berlaku pada pegiat atau cendekiawan NU. Pada langkah selanjutnya, mereka semestinya tak hanya mengkritik sikap PBNU, melainkan juga mempropagandakan pada kaum nahdliyyin lainnya untuk melawan pertambangan. Mereka bahkan harus berani melawan PBNU sendiri bila sewaktu-sewaktu PBNU mendukung perampasan lahan untuk pertambangan. Mereka harus percaya bahwa tak semua kaum nahdliyyin akan selalu manut pada fatwa PBNU. Masyarakat Wadas, misalnya, yang notabene adalah kaum nahdliyyin berani mengolok-olok PBNU ketika menerima konsesi tambang dari pemerintah. Dan saya kira di tempat tinggal komunitas nahdliyyin lain yang menjadi situs konflik agraria akan muncul kegeraman seperti itu. Hanya saja, perlu bagi mereka untuk mewujudkan kegeraman itu pada aksi-aksi yang lebih konkret. Mereka melakukan ini bukan atas dasar bahwa pertambangan itu najis,32 melainkan mereka yang mendukung pertambangan itulah yang najis.

Catatan akhir

  1. Salah satunya adalah rekomendasi Muktamar ke-34 di Lampung pada 2021, di mana PBNU mendesak kepada pemerintah untuk menghentikan aktivitas PLTU dan mengurangi produksi batubara demi transisi energi pada 2022. Lihat selengkapnya dalam https://storage.nu.or.id/storage/files/rekomendasi-muktamar-ke-34-nu-lampung_1641275327.pdf
  2. https://news.detik.com/berita/d-5865445/di-muktamar-jokowi-tawari-anak-muda-nu-konsesi-pertanian-tambang 
  3. https://www.bbc.com/indonesia/articles/ce55nej8kmlo
  4. https://www.nu.or.id/nasional/ketua-umum-pbnu-angkat-bicara-soal-konsesi-tambang-untuk-ormas-keagamaan-RXbOF
  5. Untuk mengetahui bagaimana tambang batubara memiliki dampak yang destruktif bagi lingkungan lihat selengkapnya dalam https://www.mongabay.co.id/2023/11/30/jejak-daya-rusak-batubara-dari-kaltim-ke-pulau-obi/
  6. https://www.nu.or.id/nasional/pbnu-tak-mau-disodori-konsesi-tambang-yang-berpotensi-rugikan-warga-O5N8Y
  7. Melalui penelitian tambang batubara di Malinau, Kalimantan Utara, JATAM menunjukkan bagaimana industri tersebut memiliki andil dalam merusak lingkungan hidup. Lihat selengkapnya dalam https://jatam.org/id/lengkap.php?slug=tambang-batu-bara-sokongan-jepang-menghancurkan-lingkungan-hidup-di-malinau
  8. https://gusdurian.net/2024/06/03/bahaya-ormas-agama-ikut-main-tambang/
  9. https://nasional.sindonews.com/read/1392299/18/wajah-ganda-agama-antara-anugerah-dan-bencana-1717819586
  10.  https://www.iseas.edu.sg/articles-commentaries/iseas-perspective/20201-jokowis-management-of-nahdlatul-ulama-nu-a-new-order-approach-by-norshahril-saat-and-aninda-dewayanti/
  11.  https://tirto.id/peran-nu-di-pilpres-2019-dan-balas-budi-jokowi-goyS
  12.  https://nasional.kompas.com/read/2022/01/31/12001631/jokowi-untuk-nu-tidak-mungkin-saya-beri-konsesi-yang-kecil-pasti-yang-gede
  13.  https://www.cnbcindonesia.com/news/20240609182258-4-545074/bahlil-tegaskan-bagi-bagi-tambang-ke-ormas-bukan-politik-balas-budi
  14. Mengembangkan analisis Coen Husain Pontoh, Ridha berpendapat bahwa kekuasaan negara yang semakin represif dan eksploitatif terhadap kelas pekerja bukan saja karena tekanan dari logika dan struktur akumulasi kapital, melainkan juga karena kebutuhan untuk memberikan jatah kepada aliansi pendukungnya. Tak bisa dipungkiri, dengan mengakomodasi aliansi politik yang lebih luas, pemerintahan Prabowo membutuhkan sumber daya alam yang besar untuk menghidupi mereka. Hanya saja tendensi yang demikian akan membuahkan instabilitas dalam tubuh pemerintahan Prabowo. Bagaimanapun, akomodasi yang luas membutuhkan praktik akumulasi kapital dengan surplus yang besar. Namun, absennya kapital konstan yang berskala besar dan canggih justru mendorong surplus yang besar sulit tercipta. Karena itu, menjadi seolah tak mungkin bagi pemerintahan Prabowo untuk mengalokasikan sumber daya alam secara merata bagi para aliansi pendukungnya. Jika demikian, ada kemungkinan anggota aliansi pendukungnya yang merasa mendapatkan sedikit jatah akan meninggalkan Prabowo. Hal tersebut ditambah dengan reaksi perlawanan dari kelas pekerja akibat represi yang keras dari negara. Ada kemungkinan perlawanan itu tak bisa dihentikan oleh negara karena pendalaman eksploitasi yang dilakukan. Lihat selengkapnya dalam https://indoprogress.com/2024/06/corak-pemerintahan-prabowo-dan-prospek-perlawanan
  15. Laporan CoalCoruption: Elite Politik Dalam Pusaran Bisnis Batubara yang diterbitkan atas kerja sama GREENPEACE, JATAM, ICW, dan AURIGA.
  16. https://www.jatam.org/uu-kpk-berlaku-korupsi-pertambangan-berpotensi-meningkat/
  17. https://www.cnbcindonesia.com/market/20230307124044-17-419551/5-perusahaan-batu-bara-ri-tercuan-labanya-bikin-gak-kedip
  18. https://www.jatam.org/terus-melegitimasi-lubang-kematian/
  19.  https://www.mongabay.co.id/2024/01/27/laporan-jatam-beberkan-jaringan-oligarki-tambang-dan-energi-di-kubu-capres-cawapres/
  20.  https://www.mongabay.co.id/2023/02/15/cerita-tolak-tambang-batubara-dari-lereng-bukit-biru/
  21. Robison, Richard dan Vedi  R.Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market (London: Routledge, 2024).
  22.  https://rmol.id/nusantara/read/2023/09/02/587390/ricuh-tambang-pt-basin-coal-mining-warga-bakar-kendaraan-operasional 
  23.  Untuk melihat bagaimana promosi Islam Moderat terkait dengan kebijakan ekonomi politik Amerika Serikat, lihat selengkapnya dalam Amy L. Freedman, “Civil Society, Moderate Islam, and Politics in Indonesia and Malaysia,” dalam Journal of Civil Society, vol. 5, no. 2 (2009).
  24.  https://www.nu.or.id/nasional/ketum-pbnu-ungkap-pertumbuhan-signifikan-konstituen-nu-U0Dhy 
  25.  https://www.cnbcindonesia.com/news/20240611162436-4-545739/jos-bahlil-sebut-izin-tambang-untuk-nu-bakal-diterbitkan-pekan-ini
  26.  https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240609024817-20-1107576/pegiat-nu-kaltim-kecewa-pbnu-terima-konsesi-tambang-dari-jokowi
  27.  https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/06/09/68-warga-nu-alumni-ugm-tolak-tambang-untuk-ormas 
  28.  https://www.bbc.com/indonesia/articles/ce55nej8kmlo
  29.  https://mediaindonesia.com/opini/676371/demokrasi-post-secular-dan-agenda-kesetaraan-kasus-tambang-untuk-ormas-keagamaan
  30.  https://www.kompas.id/baca/opini/2024/06/19/isu-tambang-antara-ideologi-dan-fikih 
  31.  https://yaleclimateconnections.org/2021/05/a-critical-review-of-steven-koonins-unsettled/ 
  32.  https://www.suara.com/bisnis/2024/06/27/103637/pbnu-tambang-batu-bara-itu-anugerah-allah-jangan-dibilang-najis 

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.