Dalam artikelnya di Islam Bergerak awal tahun ini, Muhammad Ridha menandai kegelisahan atas bercokol kuatnya cara pandang dan rujukan terhadap literatur liberalisme di dalam dunia Islam, termasuk di Indonesia. Hal ini membuat argumentasi, perspektif juga alat analisis yang kuat dan tajam dari perspektif kiri masih dimarjinalisasi, dikriminalisasi, dan disalahpahami (sengaja atau tidak sengaja). Persentuhan Islam dengan ragam perspektif kiri—termasuk komunisme, sosialisme, dan marxisme di Indonesia dianggap sebagai kecelakaan sejarah, atau infiltrasi asing. Jarang ada upaya untuk melihat perspektif kiri pertama-tama sebagai produk perjuangan dan intelektual yang berhak mendapat porsi selayaknya dalam perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk gerakan sosial.
Oleh karena itu, tulisan ini hendak menengok kembali hubungan Islam dan komunisme di Indonesia untuk melihat kompleksitas perjalanan sejarah keduanya dalam periode pra dan pasca-kemerdekaan negara ini. Kiranya saat menaikkan bendera merah putih, kita teringat bahwa sejarah bangsa ini melawan penjajahan adalah juga sejarah melawan imperialisme-kapitalisme, dan peran gagasan serta tokoh kiri merupakan bagian yang tak terpisah di dalamnya. Jafar Suryomenggolo dalam pengantar untuk Kiri Asia Tenggara (2021) dengan tepat menyatakan, “...karena penelitian historis terhadap kelompok kiri tak pelak silang-menyilang dengan persoalan-persoalan identitas nasional dan perubahan sosial-politik […] Dari tulisan-tulisan [kiri] ini kita dapat melihat bagaimana sejarah bangsa-bangsa Asia Tenggara dibentuk, dikonstruksi dan dibayangkan oleh orang-orang yang menyumbang pemikiran progresif bagi perubahan sosial dan pembebasan politik di Asia Tenggara.”
Dalam pidatonya pada Kongres Keempat Komunis Internasional tahun 1922, Tan Malaka, pendiri Partai Komunis Indonesia, mengumumkan, “Ketika saya berdiri di hadapan Tuhan, saya seorang Muslim, tetapi ketika saya berdiri di hadapan manusia, saya bukan seorang Muslim [Komunis]” (Malaka, 1922). Tan Malaka (1897-1949) adalah simbol dan warisan sejarah yang menonjol dari perpaduan yang rumit antara Islam dan Marxisme di Indonesia. Idenya tentang konvergensi komunisme dan Pan-Islamisme menggemakan Bolshevik Muslim lainnya seperti Mirsaid Sultan-Galiev (1892-1940) dari Tatar yang juga mensintesis Islam dan Marxisme sebagai alat revolusioner melawan kolonialisme (Hamzic, 2015). Pernyataan Tan Malaka merangkum kontestasi, dinamika dan rekonsiliasi perjuangan bangsa dan kemerdekaan Indonesia pada masa itu.
Fase konvergensi antara Islam dan komunisme di Indonesia kurang mendapat perhatian dalam literatur dan referensi arus utama kiri dibandingkan dengan yang ada di Timur Tengah, meskipun signifikan dalam hal jumlah, potensi, dan dinamika regional. Karya klasik tentang Islam dan Komunisme/Marxisme oleh Rodinson (1981) dan Harman (1994), misalnya, berfokus pada negara-negara di Timur Tengah, sebagian dapat dipahami sebagai wilayah yang terkonsentrasi dengan ikatan historis kolonialisme Inggris dan Prancis serta perjuangan anti-imperialisme dan kedekatan geografis dengan bekas penjajah mereka. Alasan lain, berbeda dengan Timur Tengah, Indonesia mengalami pemusnahan yang hampir menyeluruh terhadap warisan kiri, sehingga menyisakan ruang kosong dalam catatan sejarah resmi pada fase penting perjuangan kemerdekaan Indonesia (1915-1945) dan awal sebagai negara-bangsa.
Artikel ini bertujuan untuk membahas sejarah Islam dan komunisme Indonesia yang hilang pada periode 1915 hingga 1940-an yang mengaitkan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme dengan konsep ‘jihad’ Islam dan lebih jauh hubungannya dengan Komintern. Relevansinya dengan konteks Indonesia kontemporer juga dianalisis. Artikel ini mengupas gagasan umum dan dinamika rekonsiliasi antara Islam dan gerakan komunis di Indonesia (‘Islam komunis’) dari awal gerakan melawan kolonialisme Belanda pada tahun 1915, perjuangan kemerdekaan nasional diikuti dengan munculnya partai komunis, perdebatan dengan Komintern dan dampak Stalinisme dari tahun 1930-an dan seterusnya. Dengan ‘Islam komunis’ atau ‘komunis Muslim’, saya merujuk mereka yang pada fase dalam sejarah Indonesia pada tahun 1915-1920-an yang menyatakan diri sebagai Muslim yang setia dan secara aktif terlibat dalam gagasan Marxisme-komunisme. Mereka mewakili para anggota, pemimpin atau yang berafiliasi kuat dengan Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti yang saya telusuri lebih lanjut dalam artikel ini. Ini juga membahas bagaimana warisan membentuk hubungannya yang rumit dengan negara hingga saat ini.
Islam dan komunisme seringkali dianggap sebagai wilayah keyakinan dan ideologi yang terpisah atau bahkan saling bertentangan. Molyneux (2008) menunjuk pada pandangan penting Marx tentang agama baik sebagai ekspresi penderitaan dan protes terhadapnya yang tertanam dalam konteks sejarah di mana telah banyak gerakan progresif, radikal dan revolusioner dengan bentuk keagamaan yang dipimpin oleh orang-orang beragama. Pengakuan ini sering diabaikan oleh banyak orang yang memilih untuk mengutip kritik Marx terhadap agama sebagai ‘candu masyarakat’ sementara mengeluarkan kata-kata di luar konteksnya. Di dunia Muslim, termasuk di Timur Tengah, muncul gerakan-gerakan dengan konvergensi Islam dan Marxisme sebagai konsep dan praktik revolusioner (Rodinson, 1981).
Crouch (2006) dalam The Bolsheviks and Islam memberikan gambaran sejarah tentang hubungan timbal balik antara Bolshevik dan Muslim di Asia Tengah di bawah Uni Soviet, termasuk bagaimana orang-orang dari agama lain seperti Kristen dan Yudaisme berbagi gagasan yang sama tentang ‘perang suci melawan imperialisme’. untuk mendukung kaum Bolshevik bersama dengan serangan balik oleh kaum Islamis sayap kanan sesudahnya. Pengaruh Marxisme dan komunisme telah mendorong para aktivis dan intelektual Muslim pada masa transisi akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh.
Dasar pemberontakan yang adil
Di Indonesia, konvergensi Islam dan komunisme merupakan pendorong bagi perkembangan nasionalisme. Tan Malaka adalah orang pertama yang memperkenalkan konsep ‘Republik Indonesia’ untuk menyebut jajahan Hindia Belanda dalam karyanya Naar de Republiek Indonesia (1925) – dua dekade sebelum kemerdekaan Indonesia – sebagai bagian dari tujuan partai komunis sebelum kelompok nasionalis lain di nusantara mengusung konsep tersebut.
Gagasan Tan Malaka tentang Pan-Islamisme dan komunisme internasional telah memperoleh pengaruh luas selama perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada awal tahun 1911, Sarekat Islam (Persatuan Islam) didirikan. Itu segera menjadi organisasi massa terbesar di bawah kolonial Hindia Belanda, yang Tan Malaka juga bersentuhan dengannya. Organisasi ini telah dipengaruhi oleh Marxisme sejak tahun-tahun awalnya. Sneevliet, seorang komunis Belanda, melakukan perjalanan ke Indonesia pada periode itu dan pada tahun 1914 mendirikan Indies Social Democratic Association atau ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging)—kelompok cikal bakal partai komunis—untuk mendidik dan menggerakkan berbagai aktivis buruh dan intelektual pribumi tentang Marxisme dan solidaritas internasional melawan imperialisme sebagai kapitalisme, termasuk di kalangan Sarekat Islam.
Pemimpin utama Sarekat Islam dan simbol persatuan adalah Tjokroaminoto, seorang bangsawan berpendidikan yang mendukung sosialisme dan menerima ide-ide komunis tetapi seringkali dengan sikap yang agak ambigu. Selain populer dan sangat dihormati di kalangan massa, Tjokroaminoto juga pernah menjadi wakil di Voolksraad, atau parlemen Belanda di Indonesia. Posisi ini membuatnya akomodatif terhadap kebijakan Belanda tetapi pada saat yang sama bertujuan untuk menjaga hubungan dan persatuan yang harmonis di dalam Sarekat Islam. Meskipun ada ketegangan internal di antara para pemimpin mengenai proporsi antara peran Islam sebagai agen kemajuan dan pendekatan Marxis terhadap revolusi proletariat sebagai aksi, ada sentimen bersama untuk mengelola ketegangan di bawah pemerintahan kolonial sebagai musuh bersama. Tokoh mereka yang paling menonjol dan kuat memandang bahwa menjadi seorang marxis-muslim adalah sikap untuk melawan kolonialisme, imperialisme, dan memulai visi nasionalisme.
Setelah memperoleh keanggotaan massa dan daya tarik hanya dalam beberapa tahun, pada tahun 1916 Sarekat Islam mengadakan kongres nasional pertamanya. Setahun kemudian, semangat revolusioner organisasi menemukan nyalanya setelah Revolusi Bolshevik 1917. Dalam Kongres Nasional Sarekat Islam Pusat Kedua pada bulan Oktober 1917, mereka menerbitkan platform mereka di sebuah surat kabar yang mengumumkan posisi mereka melawan pemerintahan kolonial sebagai bagian dari ‘kapitalisme berdosa’ (Van Niel, 1970: 135). Pada tahun 1919, pada Kongres Nasional Keempat, konsep organisasi buruh sentral yang revolusioner dimunculkan dengan tiga prinsip: perjuangan kelas, aksi politik menuju tujuan sosial demokratik, dan usaha kooperatif (ibid.: 152). Landasan dasar Sarekat Islam ditetapkan dalam Musyawarah Nasional Kedua pada bulan Oktober 1917 dan diterbitkan dalam Neratja:
Central Sarekat Islam menolak hak orang atau sekelompok orang untuk memerintah orang atau kelompok orang lain. Mengingat fakta bahwa mayoritas penduduk pribumi hidup dalam kondisi hidup yang menyedihkan, C.S.I akan terus menentang setiap dominasi kapitalisme yang berdosa. Untuk menjalankan hak-hak sipil dengan benar, C.S.I menganggap perkembangan moral dan intelektual sebagai suatu keharusan. Untuk perkembangan ini kami menganggap agama sebagai sarana terbaik. Dengan menghormati semua agama lain, […] C.S.I menganggap Islam sebagai agama yang paling cocok untuk pengembangan moral masyarakat. (dikutip dari Van Niel, 1970: 135).
Catatan Van Niel tentang periode itu kurang simpatik, ditunjukkan melalui ekspresi bahasanya terhadap unsur-unsur sosialis revolusioner marxis dalam salah satu bab bukunya yang berjudul ‘Rampant Radicalism, 1914-1920’ (1970), dibandingkan dengan pendekatan yang berbeda oleh Hongxuan Lin dalam Sickle as Crescent: Islam and Communism in the Netherlands East Indies, 1915-1927 (2018). Van Niel menyoroti penggunaan ‘kapitalisme berdosa’ dalam platform SI mengacu pada ekstraksi kolonial nusantara dan berpendapat bahwa bahwa ada kapitalisme non-dosa sebagai bentuk kompromi mereka terhadap Kebijakan Etis Belanda. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa perbedaan ini tidak pernah akhirnya ditarik (hal.136), dan menunjukkan bahwa mereka bukan marxis dalam arti bahwa mereka tidak menentang kapitalisme tetapi menambahkan, “Karena mereka bukan marxis yang baik tidak berarti mereka borjuis.” (hal.137). Van Niel juga menggambarkan perilaku anggota Sarekat Islam sayap kiri seperti Semaoen dan Darsono sebagai ‘agresif’ (hal.130-an-140-an). Namun, Van Niel memberikan penjelasan ekstensif tentang ketegangan di dalam Sarekat Islam pada ideologinya.
Sidel (2017) mencatat bahwa di sekitar Revolusi Rusia, kepulauan Indonesia memiliki prospek paling cerah dari kekuatan gabungan Komunisme dan Islam di mana antara 1918-21 pengorganisir buruh sayap kiri dan cendekiawan-aktivis Muslim yang saleh berhasil mendirikan gerakan massa terbesar di Asia Tenggara. Pada tahun 1920-an, gagasan yang menonjol adalah untuk melampaui dunia solidaritas proletar yang diwakili oleh rasa kebangsaan dan komunitas Islam secara keseluruhan atau ummah, disertai dengan pembentukan ‘Kelompok Studi Sosial Marxis’ dan berbagai serikat pekerja (Lin, 2018). Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan pada tahun 1920 sebagai partai politik pertama di Nusantara. Dekade ini telah terbukti menjadi salah satu momen paling sukses dari konvergensi antara Islam dan komunisme yang mampu menghubungkan massa dan pekerja yang terpinggirkan dengan berbagai alat perlawanan. Surat kabar seperti Medan Moeslimin dan Islam Bergerak didirikan dengan menggabungkan perspektif fleksibel pendekatan berbasis kelas dan keluhan kaum Muslimin yang tertindas. Salah satu artikel di Medan Moeslimin yang diterbitkan pada tahun 1925 dengan jelas menegaskan, “Muslim harus bergerak di jalan komunis” dengan menunjukkan fakta bahwa hanya komunis yang berdiri teguh dan eksplisit dalam perjuangannya melawan kolonialisme, kapitalisme, dan penindasan penduduk asli di bawah kekuasaan kolonial (Bakri, 2015: 273).
Tokoh sentral dalam dua surat kabar ini adalah Haji Misbach, seorang komunis yang gigih, aktivis sosial politik, dan seorang tokoh Muslim yang saleh. Misbach adalah anggota Sarekat Islam dan PKI, dan salah satu tokoh utama gerakan itu. Dia menyerukan bahwa itu adalah bagian dari jihad, atau perang suci, di mana Islam dan komunisme melawan penindasan, kapitalisme dan memperjuangkan keadilan untuk semua dengan membidik masyarakat tanpa kelas (Lin, 2018: 326). Pada tahun 1925, Misbach menulis ‘Islamisme dan Komunisme’ untuk Medan Moeslimin saat diasingkan ke Manokwari di Papua Barat oleh kolonial Belanda. Artikel tersebut merupakan pembenarannya tentang perlunya seorang Muslim sejati menjadi komunis sebagai jalan keselamatan dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an tentang memperjuangkan keadilan dan memerangi penindasan. Baik Medan Moeslimin maupun Islam Bergerak merupakan alat untuk menggerakkan nilai ini sebagaimana tercermin dalam pernyataan mereka bahwa “jalan jihad adalah melalui komunisme” dan bahwa revolusi melawan kapitalisme dan pemerintahannya sesuai dengan Islam (Bakri, 2015: 274).
Seiring waktu, ketegangan dalam Sarekat Islam antara pihak revolusioner Marxis dan pihak yang lebih konformis mengarah pada pembagian apa yang disebut Sarekat Islam ‘putih’ dan ‘merah’. Perpecahan juga berasal dari latar belakang lintas kelas dari anggota terkemuka. Sarekat Islam didirikan oleh sekelompok kecil Muslim borjuis kecil, berpendidikan dan bangsawan, yang kemudian menarik kelas pedagang perkotaan dan aktivis lain yang lebih radikal dari serikat pekerja ke lingkaran inti mereka. Para pemimpin ‘kelompok merah’ menuduh ‘kelompok putih’ sebagai konformis terhadap kebijakan Belanda karena melayani kepentingan kelas mereka untuk mengamankan tanah dan hak istimewa sosial, sementara ‘kelompok putih’ merasa tidak nyaman dengan pendekatan agitasi dan revolusioner dari rekan-rekan mereka.
Kaum ‘merah’ sebagai bagian dari PKI akhirnya berpisah dari Sarekat Islam dan terus mendapatkan dukungan besar-besaran. Bersamaan dengan itu, sejak periode itu dan seterusnya, Indonesia telah menyaksikan beberapa pemberontakan massal melawan pendudukan Belanda dan Jepang oleh gerakan petani dan pekerja di banyak bagian nusantara, dengan para pemimpin komunitas Muslim sering berada di garis depan (Benda, 1955; Mortimer, 1984; Williams 1990). Pemberontakan berpusat pada perjuangan melawan pajak yang berat, pengucilan dari kekuasaan lokal dan kondisi kehidupan yang melarat, dan kehadiran Sarekat Islam dan PKI telah memberikan alat teoretis dan pembenaran moral yang kuat untuk melawan dan mampu memobilisasi massa pemberontakan bersenjata.
Dalam kajiannya tentang pemberontakan komunis Indonesia di dua wilayah pada tahun 1926-1927 di Banten dan Sumatera Barat, Benda (1955) mencatat bagaimana transformasi kapitalisme di wilayah tersebut akibat pemulihan krisis pasca-Perang Dunia I di Hindia Belanda telah menciptakan antagonisme sosial yang mengancam adat tradisional lama yang ada. Ancaman ini mendorong banyak feodal lokal dan aristokrat untuk bersekutu dengan massa yang kecewa. Konvergensi Islam dan nasionalisme di bawah Marxisme menonjol pada fase-fase penting jalan menuju kemerdekaan Indonesia. Terlepas dari ideologi populer yang mendasari gerakan massa, keberhasilan komunisme dalam beberapa pergolakan sejarah selama tahun 1920-an di Nusantara tidak sepenuhnya didasarkan pada meresapnya ideologis ke dalam kesadaran rakyat untuk memberontak, tetapi pada pemahaman tentang karakter dan potensi revolusioner yang diwujudkan dalam dua cara: pertama, kemampuan yang kuat untuk beragitasi dalam krisis yang ada untuk memobilisasi pemberontakan melawan penjajah asing kafir dan kedua, dengan membawa harapan kebebasan dan kebebasan yang tidak spesifik untuk masa depan (Benda, 1955: 149-150). Mereka memiliki kemampuan untuk memahami dan berperan aktif dalam menanggapi konteks sosial, ekonomi dan politik yang berkontribusi pada transformasi masyarakat dan berhubungan langsung dengan pengalaman massa.
Sementara gerakan itu jelas memiliki sejumlah pemimpin intelektual militan yang terlibat dengan massa, itu memang merupakan gabungan kompleks dari konteks sosial-politik global, regional, dan lokal yang menyediakan bahan-bahan yang kuat. Dalam konteks global, krisis Eropa pasca Perang Dunia I memberikan pukulan telak bagi Belanda, seiring dengan diperkenalkannya reformasi moral sebagai kebijakan kolonial baru yang dikenal dengan ‘Ethical Politics‘ di Jawa (1901-1926) dan Bolshevik. Revolusi di Rusia semuanya membawa implikasi khusus bagi orang-orang di kepulauan Indonesia. Di tingkat lokal, Pemberontakan Banten 1926 adalah kasus kuat pemberontakan komunis Muslim selama era kolonial. Itu adalah konvergensi pemegang kekuasaan pedesaan yang terdiri dari aliansi multikelas elit lokal, pemimpin agama, bangsawan yang direbut, bandit dan petani bahwa keterasingan bersama budaya dan kondisi material memungkinkan mereka untuk melakukan tiga pemberontakan besar tahun 1818, 1926 dan 1945 (Williams, 1990).
Salah seorang tokoh PKI dan anggota Sarekat Islam yang turun ke Banten untuk mempersiapkan pemberontakan 1926 adalah Aliarcham. Ia adalah anak dari seorang tokoh muslim di desanya di Jawa Timur dan memiliki latar belakang pendidikan Islam yang kuat. Setelah kunjungannya ke Banten pada tahun 1925 pada usia 24 tahun, ia segera ditahan dan diasingkan oleh kolonial Belanda, di mana buletin kolonial Bataviaas Nieuwsblad menulis, seperti dikutip:
Aliarcham adalah pemimpin utama komunis Indonesia. Dia adalah tonggaknya. Dia sangat berkomitmen pada disiplin Internasionale Ketiga di Moskow. Dia mencoba dengan kekuatan bersenjata untuk menggulingkan pemerintah Hindia Belanda dan menggulingkan borjuasi internasional dan mendirikan Republik Soviet Internasional. Di Indonesia, ia bertujuan untuk membangun politik Soviet-Indonesia. (Perhimpunan Dokumentasi Indonesia, 1964: 20)
Militansi dan mobilitas semacam ini lazim di kalangan para pemimpin komunis Muslim. Dalam dimensi lokal, mereka memiliki kemampuan untuk menangkap kondisi material dan karakter budaya dari konteks lokal dan melakukan berbagai taktik, termasuk membangun aliansi luas berbagai segmen dalam masyarakat dan menyusun strategi dalam momentum politik. Faktor lain yang menarik juga adalah kepercayaan tradisional dan agama-budaya massa tentang juru selamat dan utusan untuk memimpin perjuangan melawan penderitaan mereka. Tjokroaminto, pemimpin utama Sarekat Islam, populer dalam mistifikasi ini. Bagi banyak orang di daerah pedesaan, Sarekat Islam dan PKI, dengan kekuatan dan pemberontakan mereka, memperjuangkan kondisi kehidupan mereka yang tertindas di bawah kekuasaan asing. Dalam dimensi internasional, kaum komunis Muslim Indonesia di bawah PKI dapat dilacak tidak hanya dengan bergabung ke Komintern, tetapi juga melalui manuver mereka melintasi kawasan Asia Tenggara. Pada 1920-an-1930-an, para pemimpin PKI seperti Darsono, Semaoen, Alimin dan khususnya Tan Malaka secara aktif berkeliling semenanjung Malaya (sekarang Malaysia dan Singapura) dan Filipina untuk menginspirasi pendirian Partai Komunis Malaya dan Partai Komunis Malaya (Kheng, 1992). PKI juga tetap berpengaruh terhadap Partai Komunis Filipina (CPP) hingga pemusnahan PKI pada tahun 1965 (Guillermo, 2018).
Jihad berbasis kelas untuk melawan imperialisme
Konsepsi kapitalisme dalam bentuk globalnya pada masa penjajahan Belanda diwujudkan dalam berbagai pemberontakan terhadap pemerintah kolonial di Indonesia sebagai representasi dari ekspansi kapitalis dari benua Eropa. Pemberontakan komunis Muslim melawan ini telah menempatkan perang suci melawan imperialisme dan kapitalisme sebagai inti perlawanan. Dari era imperialisme Eropa pada penguasa kolonial lama abad ke-19 dan awal abad ke-20 hingga abad ke-20 pasca perang global 11 September melawan teror politisi kontemporer dan media arus utama di Utara global, istilah ‘jihad’ telah mengalami berbagai demonisasi dan permusuhan. Jihad telah digambarkan sebagai konsep murni kekerasan, irasional dan dimonopoli oleh ‘ekstremis’. Jihad, dalam lintasan sejarahnya, sebenarnya merupakan manifestasi spiritual dan material yang kuat dari perlawanan, yang memiliki “berbagai makna, konteks dan kemungkinan sejarah di mana Muslim dan non-Muslim sama-sama menyebarkan gagasan perang suci” (Gedacht, 2015). Berbagai upaya pemerintah kolonial seperti dalam kasus Asia Tenggara pada paruh pertama abad kedua puluh telah dilaksanakan untuk menjinakkan segala kemungkinan ‘jihad’ dengan menghasilkan apa yang disebut ‘Muslim yang baik’ untuk menentang perlawanan kekerasan, tetapi secara paradoks bertemu dengan perlawanan lokal dan telah mendorong rekonfigurasi identitas Muslim dan menghormati kesyahidan (ibid.).
Kehadiran komunis Belanda seperti Sneevliet dengan organisasinya ISDV di Indonesia dan Revolusi Bolshevik memberikan kepercayaan kepada komunis Indonesia untuk mengejar pendekatan Marxis sebagai teori utama dan menciptakan momentum revolusioner. Sementara itu, kaum Muslim memandang ‘jihad’ dalam Islam sebagai pembenaran teologis untuk perjuangan fisik melawan ‘kafir’ atau ‘penindas’ baik dari aspek material maupun immaterial. Untuk aspek material, ‘jihad melawan kapitalisme’ identik dengan perjuangan melawan penindas dan perampas asing. Adalah fakta objektif eksploitasi sumber daya material oleh pemerintah kolonial untuk membangun kekayaan dan imperialisme Eropa dengan mengorbankan nyawa dan penderitaan orang-orang di belahan dunia Selatan. Untuk aspek immaterial, ‘jihad’ berarti pencarian suci pemurnian jiwa karena orang yang berkomitmen untuk melakukannya akan mengorbankan kepentingannya sendiri sebagai tindakan iman. Dua dimensi ini, bagi kaum komunis Muslim, tidak dapat dipisahkan. Seseorang yang berjuang melawan kapitalisme-kolonial atas nama jihad berarti meyakini bahwa menjadi religius bukan hanya soal perjuangan individual, tetapi juga memiliki rasa solidaritas dengan dan membela yang tertindas terhadap sistem yang mengusung akumulasi dan ketamakan materi.
Secara khusus, keberpihakan ini membenarkan konvergensi Islam dan komunisme untuk pemberontakan berdasarkan konsep dan kerangka analisis Marxisme dan ajaran Islam. Pertama, penolakan kapitalisme. Sementara Marx menekankan sistem kapitalisme sebagai cara produksi yang mengeksploitasi orang untuk nilai lebih untuk mendapatkan keuntungan, Islam juga menolak gagasan riba dan eksploitasi pekerja mengenai hak dan upah mereka. Kedua, penggunaan perjuangan bersenjata untuk melawan penindasan. Teori revolusioner Marxisme adalah pusat gagasan kontradiksi dalam kapitalisme sebagai proses pembangunan manusia melalui perjuangan kelas (Marx, 1978 [1848], 1847, 1859), sementara Islam mengajarkan jihad sebagai perjuangan fisik dan non-fisik melawan penindasan. Secara historis dan transenden ini juga terkait dengan konsep hijrah (‘berpindah’ atau ‘berubah’), yaitu transformasi spiritual yang dapat merangkum pergeseran mental, fisik, dan geografis sebagai proses jihad. Ketiga, keduanya bertujuan untuk masyarakat tanpa kelas. Perbedaan suku, agama, ras, dan sebagainya menjadi tidak penting karena elemen ketidakadilan dalam penindasan adalah tentang hirarki antarkelas yang berbasis bukan pada perbedaan primordial seperti warna kulit atau jenis kelamin, melainkan pada perbedaan antara si kaya yang menindas dan si miskin yang terus dimiskinkan secara struktural. Sementara sosialisme dalam hal distribusi yang adil dan masyarakat yang adil telah secara luas dianggap sesuai dengan ajaran agama-agama Ibrahim (Yahudi, Kristen, dan Islam), para pendukung konvergensi Islam dan komunisme meyakini lebih jauh bahwa masyarakat tanpa kelas adalah wujud yang juga hendak dicapai dalam keadilan Islam. Keempat, imperialisme adalah perwakilan penjajah non-Muslim dari benua Eropa yang datang dan merenggut ruang hidup, hak hidup, dan sumber kehidupan rakyat. Imperialisme membangun sistem stratifikasi sosial yang berbasis rasisme dan secara sistematis dan kejam mencoba meruntuhkan, melemahkan atau mengkoptasi lembaga-lembaga serta budaya yang menjadi fondasi perlawanan rakyat dan menopang masyarakat Muslim. Jihad terhadap kekuatan menindas seperti ini juga mendapat legitimasinya secara agama.
Konvergensi empat hal ini membentuk komunisme Islam yang berpusat di pulau Jawa, khususnya di wilayah Banten, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat, sebagaimana dikemukakan oleh Bakri (2015: 277) dalam enam karakter: pertama, Islam sebagai basis perjuangan; kedua, interpretasi Islam yang progresif secara ekonomi politik; ketiga, sikap anti-kapitalisme yang radikal dan tanpa kompromi; keempat, komitmen dalam advokasi sosial; kelima, tidak terpaku pada formalisme Islam; keenam, mengembangkan prinsip ‘sama rasa sama rata’ (sama rasa sama rata). Keenam hal ini memberikan konsep teologis yang kuat dan kerangka perlawanan selama masa kolonial di abad kesembilan belas dan kedua puluh.
Pada persilangan ideologi ini terletak kondisi material kelas pekerja. Berbeda dengan negara-negara industri Eropa, pemahaman kelas dalam masyarakat kepulauan dan agraris seperti Indonesia pada periode abad ke-19 dan 20 terdiri dari sejumlah kecil pekerja pabrik dan perkotaan yang miskin, dan mayoritas adalah pekerja perkebunan, petani dan pekerja miskin. petani. Pada tahun 1870-an, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan reforma agraria liberal untuk menggantikan sistem tanam paksa dan jalan untuk mempercepat transisi ke kapitalisme dibuka sebagai perusahaan swasta yang mampu mengembangkan berbagai pabrik untuk pasar global. Ini telah menciptakan pergeseran dramatis ke kegiatan pertanian non-tradisional dan penciptaan tenaga kerja upahan (Hadiz, 1997: 41). Pada tahun 1920-an, cara produksi yang didasarkan pada ekonomi perkebunan korporasi ini telah menciptakan kekuatan ekonomi di daerah pedesaan, meningkatkan hutang dan tidak memiliki tanah, di mana petani tanpa tanah, kuli, petani miskin atau semi-proletar merupakan 65% dari populasi pedesaan di Jawa dan 51% di Sumatera Barat. Hal ini terjadi ketika perkebunan perusahaan mendominasi produksi tanaman komersial, sehingga tidak mengarah pada proletarisasi massa pedesaan dalam skala besar (Robison, 1986: 16).
Pada saat komunis Muslim memperoleh kekuasaannya melawan pemerintah kolonial, kelas dalam masyarakat non-kapitalis ada bersama dengan mode dominasi dan stratifikasi lainnya di mana klaim kelas dominan atas kekayaan masyarakat sering bergantung pada rasionalitas non-ekonomi dan dijamin dengan cara non-ekonomi (Young, 1994). Dalam studinya tentang pemberontakan anti-pajak tahun 1908 oleh petani Muslim di Sumatera Barat, Young mencatat bahwa hubungan kapitalisasi dan dominasi dipaksakan dengan kegigihan institusi dan kerangka budaya pribumi (ibid.: 37). Dia mengidentifikasi kelas sebagai “hubungan dominasi tertentu, hubungan yang dipertahankan terutama, meskipun tidak eksklusif, oleh mekanisme kontrol dan apropriasi surplus sosial” (hal.36) kategori yang mengidentifikasi kelompok “dalam masyarakat yang dibentuk oleh tempat mereka dalam reproduksi sistematis hubungan-hubungan sosial, dan dengan peran yang mereka mainkan dalam pengendalian dan perampasan surplus-surplus sosial” (ibid.). Rasionalitas non-ekonomi dari kerangka budaya menjelaskan gambaran keselamatan di bawah kolonialisme dan feodalisme oleh kaum tani dan perampasan massa di pedesaan terhadap Sarekat Islam dan PKI karena mereka menderita akibat perampasan surplus sosial oleh pemerintah kolonial.
Pencitraan ini pada saat itu bersamaan dengan kekuatan sosial yang bersaing di Indonesia. Konvergensi Sarekat Islam dan PKI di tengah berbagai perselisihan internal terutama untuk kepentingan bersama dalam memenangkan massa. Di sini keduanya sampai batas tertentu sepakat tentang pentingnya merangkul serikat buruh pada waktu itu yang tidak hanya memiliki jumlah yang signifikan tetapi juga memiliki gerakan terorganisir yang paling signifikan untuk perjuangan anti-kolonial, termasuk mendukung berbagai pemogokan buruh. Beberapa pemogokan massal yang lazim terjadi antara lain di pabrik gula pada tahun 1919 dan 1920, pegadaian pada tahun 1922, sektor kereta api pada tahun 1923, dan pabrik mesin pada tahun 1925 (Ingleson, 2014). Beberapa tokoh kuat Sarekat Islam dan PKI memiliki posisi kepemimpinan di serikat pekerja. Selain tokoh Sarekat Islam dan PKI yang terkenal seperti Semaun yang merupakan tokoh Serikat Pekerja Kereta dan Trem, contoh lain adalah Surjopranoto, aktivis Sarekat Islam yang mengorganisir serikat pekerja kilang gula setelah Perang Dunia I, dan Suroso, ketua SI cabang Probolinggo pada tahun 1914. Pada masa yang bergejolak itu Suroso menjadi ketua cabang Serikat Pabrik Gula. Dia tetap menjadi tokoh terkenal di serikat buruh sampai akhir tahun 1930-an. Ingleson mencatat bahwa banyak orang seperti Suroso pada waktu itu yang mendedikasikan hidupnya untuk serikat pekerja (Ingleson, ibid.). Hadji Misbach yang merupakan anggota SI dan PKI sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Persatuan Buruh dan Tani Surakarta (Bakri, 2015).
Dalam perkembangan yang masih terbatas dari ekspansi kapitalis dalam bentuk urbanisasi dan industrialisasi yang mengarah pada transformasi sosial, serta konteks krisis internasional setelah Perang Dunia I, sebagian tokoh perjuangan kemerdekaan mulai mengadaptasi ide-ide Marxis dan sosialis untuk mengembangkan strategi aksi politik mereka berdasarkan kondisi material mereka (Hadiz, 1997: 43). Fayyadl (2018) menyoroti apa yang diyakini sebagai bagian dari ‘tindakan Islam materialis’, yaitu, “tindakan yang berangkat dari kondisi sosial yang konkret, digerakkan oleh ketidaksesuaian, kesenjangan, dan kontradiksi antara ‘apa yang harus ‘ dan ‘apa yang ada’, peka terhadap pergeseran dan perubahan fakta-fakta material yang melingkupi kondisi-kondisi sosial tersebut, mendorong untuk secara revolusioner mengubah kondisi-kondisi sosial tersebut dengan mengekstraksi sumber-sumber dari ajaran Islam”. Ini adalah pergeseran dari bentuk Islam idealis ke interpretasi materialis, analisis dan perubahan dari konsumsi dan distribusi ke ruang produksi – sebuah lokus di mana eksploitasi proletariat dan nilai-nilai lebih untuk kapitalis diciptakan. Penafsiran materialis membuka metode kritis terhadap teks dan sejarah Islam yang sudah ada tentang perjuangan melawan penindasan. Alih-alih doktrin pelarian agama, ia memberikan pemahaman dan analisis objektif yang menghubungkan krisis dan masalah nyata di antara umat Islam dengan elemen sosial, politik, dan ekonomi yang lebih luas. Rasa kebersamaan dan solidaritas inilah yang mendefinisikan ummat dan penghargaan terhadap kehidupan manusia tanpa memandang agamanya.
Secara analitik, konsep kelas yang didasarkan pada relasi eksploitasi dan dominasi merupakan tarikan radikal menuju Islam materialis. Kekhasan sejarah yang diperjuangkan kaum komunis Muslim di bawah PKI dan Sarekat Islam antara tahun 1915 hingga 1920-an membenarkan relevansi perjuangan proletariat yang tidak terlepas dari semangat internasional ummat di Asia, Afrika, dan Timur Tengah melawan kapitalisme-imperialisme pada saat itu. Itu juga mengakui perlunya solidaritas di luar dunia Muslim, sifat komunis Muslim di mana dehumanisasi yang parah terjadi tepat di depan mata mereka dan tanpa pandang bulu terjadi di seluruh dunia Selatan terlepas dari perbedaan agama dan etnis, di bawah bendera membangun masyarakat yang bebas dari ekspropriator kapitalis.
Hal ini membawa konsekuensi yang berkontribusi pada perubahan orientasi PKI. Solidaritas kelas proletariat internasional berarti bahwa kaum komunis Muslim Indonesia tidak hanya harus menghadapi kolonial Belanda tetapi juga kelas kapitalis domestik mereka sendiri. Sejak awal, ketegangan antara komunis dan bangsawan lokal (tuan feodal, priyayi) dan pejabat pemerintah sudah terjadi, tetapi mereka mampu mengelola ketegangan karena musuh bersama yang diwakili oleh kolonial Belanda. Ini semua berubah setelah pemberontakan pada tahun 1926 dan penaklukan PKI ke Moskow. Hampir tiga dekade kemudian, Aidit menyebut fase PKI ini sebagai ‘Dua Puluh Tahun Bawah Tanah dan Front Anti-Fasis (1926-1945)’.
[Bersambung ke Bagian II]