Salah satu kecenderungan paradigmatik dalam melihat perempuan muslim di media dan isu gender arus utama adalah ‘agensi berbasis identitas’ yang dipisahkan dari sejarah kolonialisme dan perkembangan kapitalisme. Perempuan muslim hanya dirayakan agensinya jika mereka dianggap berhadapan atau berjuang melawan sesama kaum muslim itu sendiri: entah itu para lelaki muslim yang patriarkis, ulama misoginis, atau rezim-rezim yang berkuasa di negara muslim seperti Taliban. Sementara itu, agensi perempuan muslim melawan Islamofobia di Perancis, berbaris di garda depan revolusi Sudan, atau memimpin gerakan dalam menuntut keadilan di berbagai lini tampak tak terlalu ditengok. Apapun yang dianggap Islam dan Muslim seolah harus dibenturkan untuk menjadikan perempuan muslim ‘heroik’.
Artikel ini dibagi ke dalam tiga bagian berseri. Bagian 1 membahas tentang hijabofobia dalam konteks kapitalisme rasial. Bagian 2 menelaah kasus pelarangan hijab oleh Uni Eropa dan bagian 3 menelaah kasus bangkitnya Taliban pada tahun 2021 lalu. Tujuan tulisan ini adalah untuk melakukan kritik terhadap feminisme liberal dan menggambarkan bagaimana media dan feminisme arus utama gagal melihat masalah perjuangan perempuan yang mendasar dalam jerat struktur yang menyejarah. Penutup di Bagian 3 juga akan mengidentifikasi tugas feminisme Islam ke depan.
“If we want to destroy the structure of Algerian society, its capacity for resistance, we must first of all conquer the women; we must go and find them behind the veil where they hide themselves and in the houses where the men keep them out of sight.”
[“Jika kita ingin menghancurkan struktur masyarakat Aljazair, kemampuan perlawanan mereka, pertama-tama kita harus menaklukkan kaum perempuannya; kita harus mencari dan menemukan mereka di balik hijab tempat mereka bersembunyi dan di rumah-rumah dimana kaum lelaki menutupi mereka dari pandangan.”]
Franz Fanon, A Dying Colonialism (1965), dalam merangkum doktrin politik pemerintahan kolonial –
Pertarungan di seputar hijab perempuan muslim memiliki trayektori panjang. Hingga kini, pelembagaan ketakutan terhadap Islam hingga ke institusi negara dan regional membuat perempuan muslim di Eropa menjadi korban paling rentan. Pada tanggal 15 Juli 2021, Pengadilan Kehakiman Uni Eropa/The Court of Justice of the European Union (CJEU) mengeluarkan keputusan yang menjadi peneguhan legitimasi praktik diskriminasi terhadap para perempuan muslim pekerja. Atas nama netralitas di ruang publik, CJEU memperbolehkan perusahaan untuk melarang pekerja mengenakan atribut keagamaan dan memecat mereka jika tak taat pada aturan perusahaan. Keputusan yang mengulang keputusan tahun 2017 lalu ini adalah bukti konkret bagaimana kapitalisme yang beroperasi dalam aspek rasial menciptakan penindasan struktural yang dialami oleh mayoritas kelas proletariat muslim dan menjadi alat hegemoni identitas. Ini adalah hasil persekongkolan kelompok sayap kanan, neoliberal, dan feminis kulit putih di Eropa, yang ironisnya, dalam beberapa aspek melibatkan kaum Islam ‘liberal’.
Penindasan struktural ini dilakukan melalui upaya pelembagaan hijabofobia—yang dilihat secara taken for granted sebagai permasalahan horizontal dan identitas—hingga ke institusi negara dan regional. Pelembagaan ini beroperasi salah satunya dengan menekan dan mengontrol perempuan muslim di Eropa melalui politik hijab—kami memakai kata “hijab” untuk mewakili segala bentuk penutup kepala dan wajah Islami seperti kerudung, cadar, burqa, niqab dan segala variasinya sebagai satu kesatuan material di mana perempuan muslim dirasialisasi. Politik hijab berfungsi sebagai sarana untuk mengimplementasikan suatu sistem politik tertentu dengan menentukan sejauh mana hijab dapat dikenakan dalam sistem politik tersebut (Wingo, 2003: 50). Tujuan dari politik ini tidak lain adalah untuk melayani nilai-nilai politik tertentu yang dalam konteks ini ialah nilai dari bangsa Eropa yang sekuler dan liberal.
Hijabofobia turut menjadi bagian dari mentalitas imperialisme baru, yang ditopang oleh kapitalisme rasial. Di sini konsep kapitalisme rasial masuk sebagai penyokong dari problem penindasan di era modern, yaitu neoliberalisme, rasisme dan problem pengungsi yang berakar dari kolonialisme dan rasisme sebagai bagian inheren dari kapitalisme (Thariq, 2020). Perempuan berhijab adalah representasi paling vulgar dari ketiga kelindan ini: kehadiran mereka di tanah Eropa dirasialisasi karena identik dengan gelombang arus pengungsi non-kulit putih dari wilayah Muslim yang berkecamuk perang dan kemiskinan, sekaligus komoditas paling ‘memikat’ di wilayah-wilayah Muslim seperti Afghanistan untuk dijadikan objek ‘penyelamatan’ oleh kekuasaan imperialisme Amerika Serikat dan Eropa yang diwakili NATO.
Dua persoalan muncul sebagai warisan kolonialisme. Pertama, bagaimana kekuatan imperialisme modern membangun narasi soal ‘menyelamatkan’ perempuan muslim dari terkaman patriarki laki-laki Muslim sebagai justifikasi perang, dan kedua, bagaimana kapitalisme menandai tubuh dan kehadiran perempuan sebagai agensi budaya konsumerisme dan sebagai komoditas itu sendiri. Artikel ini akan menjelaskan bahwa hijabofobia bukanlah peristiwa yang tiba-tiba muncul, tak memiliki sejarah, maupun tak ditopang oleh kondisi material tertentu. Posisi kami ingin menekankan bahwa hijabofobia, sebagai Islamofobia yang tergenderisasi, diproduksi untuk menjustifikasi kolonialisme bangsa Eropa di Afrika dan Asia dan beregenerasi hingga sekarang untuk melayani agenda-agenda liberal, sekuler, dan so-called “feminis”.
Kritik kami terhadap feminisme liberal tidaklah semata pada pengelompokkan feminisme gelombang kedua atau gelombang ketiga. Fokus kami adalah kritik pada berbagai akrobat akademis yang menekankan perspektif dan agenda feminisme pada isu pemberdayaan berbasis identitas dengan bias liberalisme: semangat untuk merangkul segala aspek yang dirujuk sebagai identitas oleh perempuan, mengusung hak asasi yang melebih-lebihkan aspek kebebasan individu, mengesampingkan dimensi spiritualitas dan mengecam patriarki—namun di saat yang sama merangkul patriarki dalam kapitalisme: bertarung tentang siapa yang berhak mengeksploitasi dan menguasai tubuh dan seksualitas perempuan. Feminis liberal berasumsi bahwa hasrat sejati tiap manusia adalah untuk mengejar otonomi dan kebebasan optimal ketika tidak dikekang oleh norma. Asumsi liberal normatif ini membuat norma dan ketaatan terhadap aturan agama dianggap mengekang perempuan dan secara insting perempuan yang ‘tercerahkan’ pasti menginginkan lepas dari kungkungan ini, sehingga gerakan perempuan dalam Islam berbasis kesalehan menempati posisi yang tidak nyaman dalam langgam feminisme (Mahmood, 2005).
Akar Historis Hijabofobia
Istilah “hijabofobia” pertama kali digunakan pada tahun 1994 oleh Montreal Gazette untuk memotret fenomena politik hijab di Prancis dalam editorialnya yang berjudul “Hijabophobia in Quebec”. Manal Hamzeh (2011: 484) mendefinisikan hijabofobia sebagai wacana gender yang tersembunyi di dalam Islamofobia sekaligus wacana seksis nan rasis yang terlibat dalam esensialisasi konstruksi perempuan muslim dan terutama mereka yang terlihat mengenakan hijab. Mengutip Zine (2006), Hamzeh (2011) menekankan bahwa akar dari Islamofobia yang digenderisasi secara historis tumbuh dari representasi orientalis yang menempatkan wanita muslim koloni sebagai individu terbelakang dan tertindas dalam masyarakat muslim yang misoginis.
Praktik kebencian terhadap hijab telah bermula sejak era sebelum kolonialisme berlangsung. Dunia Islam di abad pertengahan yang dilihat sebagai asing dan eksotik oleh para penjelajah, pemikir, dan seniman Eropa kerap ditampilkan secara kontradiktif antara gambar para perempuan yang menggoda dengan berpakaian terbuka di harem atau istana dengan para perempuan bercadar di tepi jalan. Keduanya meresahkan kekuatan kolonial yang hendak merombak tatanan sosial masyarakat jajahan sehingga mereka memperkenalkan berbagai perubahan sistemik dalam aspek pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Aparat representasi ini adalah ‘lensa’ yang melaluinya masyarakat kolonial melihat masyarakat terjajah sekaligus ‘cermin’ yang tidak hanya membentuk citra ‘pribumi’ tetapi juga bagaimana masyarakat kolonial menempatkan citra ini bertentangan dengan persepsi diri tertentu dari masyarakat kolonial serta melakukan normalisasi gender secara implisit dalam masyarakat tersebut (Al-Saji, 2010:883). Bersama dengan hegemoni ekopol, aparat representasi menjadi alat pembentukan dan perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang mensyaratkan dominasi teritorial dan kontrol seksual (Mustafa, 2020: 4).
Konstruksi muslim sebagai asing dan liyan dimulai ketika bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan dunia pada abad ke-15 dengan tiga tujuan ‘suci’: gold, glory, gospel. Penjelajahan tersebut memproduksi sekumpulan literatur yang menggambarkan secara kontras budaya Timur dan Barat terutama soal dikotomi seksualitas perempuan Timur-Barat. Secara spesifik, karya “Seribu Satu Malam” menjadi sumber literatur pokok untuk merepresentasikan dunia Islam di abad pertengahan yang eksotik. Para penjelajah kemudian menguraikan catatan perjalanan mereka dan berusaha membentuk pemahaman definitif terhadap negara-negara koloni dan masyarakatnya (Ahmad, 2001: 47). Publikasi-publikasi ini kemudian dijadikan standar emulasi bagi laki-laki kulit putih untuk menentukan status perempuan kulit putih di abad ke-17 dan 18 (Ahmad, 2001)—yang dipersepsikan sebagai warga kelas dua yang diatur oleh dan untuk melayani laki-laki kulit putih.
Edward William Lane (dalam Ahmad, 2001) merupakan salah satu penulis yang secara spesifik menceritakan perjalanannya menjelajahi dunia muslim di Mesir pada abad ke-19. Mesir, bagi Lane, adalah dunia tempat para perempuan sama sekali tidak memiliki kebebasan. Dalam tulisannya, Lane menceritakan bagaimana para perempuan muslim Mesir begitu tertutup, tidak dapat dilihat—kecuali oleh suaminya—karena penampilannya yang rapat, bahkan hanya dapat berkomunikasi jika disertai kehadiran suaminya. Mereka dikurung di dalam rumah-rumah mereka agar tetap terjaga dan aman. Seolah-olah ‘kesucian’ para perempuan muslim Mesir begitu dijunjung hingga pada batas laki-laki dilarang masuk ke makam beberapa perempuan.
Namun, perempuan muslim Mesir juga digambarkan Lane secara kontras dalam potret kebejatan seksualitas serta pergaulan bebas yang tak dapat Barat bayangkan. Institusi poligami dan harem menjadi simbol bagaimana seksualitas para perempuan muslim yang barbar dikontrol oleh laki-laki muslim. Para laki-laki muslim mengatur dan tekun mempelajari sedemikian rupa cara meningkatkan libido para perempuan miliknya. Meski demikian, pada saat yang sama para laki-laki muslim tidak menggunakan cara ilegal di luar aturan agama dalam memanjakan perasaan mereka. Tentu saja gambaran seksualitas ini bertolak belakang dengan kehidupan Barat di abad pertengahan yang “menjunjung tinggi” monogami dan kesetiaan pada satu pasangan.
Di era tersebut, tulisan-tulisan akan dunia Timur diterima begitu saja oleh publik Eropa tanpa proses verifikasi. Keterbatasan kemampuan perjalanan menghasilkan masyarakat Eropa yang kekurangan pengetahuan akan dunia Timur sehingga mereka tidak akan menantang dokumentasi perjalanan para penulis. Sikap tersebut juga disebabkan oleh lisensi sastra para penulis sehingga mereka ditahbis “otoritatif” meskipun mereka telah melebih-lebihkan cerita-cerita mereka (Ahmad, 2001: 47-48). Untuk itu, tidak heran jika mitos-mitos dunia Timur yang misterius dengan cerita-cerita intrik seksual dan kebejatan moral terus bertahan sebagai lensa bangsa Eropa melihat para perempuan Timur.
Pandangan terhadap dunia Timur yang tidak beradab kemudian menjadi justifikasi bagi bangsa Eropa untuk menduduki tanah mereka dan menaklukkan penduduknya. Pandangan orientalisme digunakan sebagai alat propaganda kaum kolonial untuk menyukseskan kebijakan-kebijakan mereka dan menghegemoni ide perihal peradaban dan modernitas yang disentralkan ke Barat. Secara spesifik, hijab menjadi tanda material dari perbedaan peradaban yang paling mencolok. Perempuan muslim kerap ditampilkan secara kontradiktif antara perempuan bercadar di tepi jalan dan perempuan dengan tubuh terbuka yang menggoda di harem. Potret-potret ini meresahkan kekuatan kolonial dan mendorong mereka untuk membuka hijab para perempuan muslim dengan tujuan ‘civilising the uncivilized’.
Upaya politisasi hijab dalam skema ‘unveiling’ pun terjadi di berbagai wilayah koloni dengan mayoritas muslim. Konsulat Jenderal Inggris di Mesir, Lord Cromer, secara intrinsik memiliki kontribusi besar terhadap ‘modernisasi’ di Mesir. Perundang-undangan yang ditujukan untuk penduduk pribumi ia rancang guna menyesuaikan Mesir dengan sistem ideologi kolonial (Ahmad, 2001: 78). Cromer berusaha menciptakan dunia dengan budaya paralel antara ‘host country’ dan ‘home country’ di Mesir. Ia menggunakan pandangan Victorian dalam melihat gender dan peran laki-laki dan perempuan di masyarakat untuk mengukur level peradaban masyarakat Mesir. Cromer membandingkan antara perempuan muslim di Mesir yang harus bercadar ketika tampil di publik dan perempuan Eropa yang terbuka untuk dilihat; masyarakat Timur yang poligami dan masyarakat Barat yang monogami.
Secara spesifik, Cromer memproyeksikan Islam yang harus bertanggung jawab atas struktur masyarakat Mesir yang terbelakang, penundukan perempuan, dan penurunan status mereka dalam masyarakat. Ajaran-ajaran Islam yang diambil sejak kecil oleh masyarakat Mesir dianggap menghasilkan pengasingan perempuan dan mengakibatkan dampak yang merusak peradaban. Hijab, bagi Cromer, adalah pakaian yang mengeksklusi perempuan Mesir dari masyarakat dan untuk itu perempuan Mesir harus melepas segala penutupnya agar bisa keluar dari dunia yang menundukkan mereka.
Cromer begitu vokal mencanangkan pentingnya Masyarakat Mesir agar berasimilasi dengan semangat peradaban Barat. Ia menolak menjadikan Al-Azhar sebagai standar pendidikan yang harus ditempuh oleh masyarakat Mesir. Ia pun membuka akses pendidikan bagi perempuan Mesir dan mendorong mereka untuk berpendidikan. Namun, di saat yang sama, Cromer juga membatasi pendidikan perempuan dengan tidak mengizinkan mereka terlibat di ruang profesional seperti kedokteran karena pekerjaan tersebut baginya wajib dikerjakan oleh laki-laki.
Apa yang dilakukan Cromer dan bangsa Eropa lain menginspirasi Qasim Amin, seorang intelektual muslim dan seorang hakim di Mesir, dengan mendukung para perempuan Mesir untuk melepas hijab mereka atas nama emansipasi perempuan. Ketaatan pada kebiasaan berhijab dinilai Amin sebagai praktik subordinasi perempuan dalam bingkai agama. Para perempuan Mesir bahkan dituding Amin sebagai individu inferior yang tak melakukan pekerjaan progresif apapun di dalam rumah maupun di luar rumah mereka, berbanding terbalik dengan perempuan bangsa Eropa yang terdidik dan memiliki banyak peran publik (Ahmad, 2001). Namun, meskipun Qasim Amin dan banyak tokoh lain seperti kelompok Egyptian Feminist Union (EFU) begitu mendukung modernisasi di Mesir, mereka tetap saja dianggap tidak sejajar dengan bangsa Eropa dan hanya disebut sebagai “an europeanised Egyptian” (Ahmad, 2001).
Tokoh dan gagasan feminis di era kolonial seperti Qasim Amin dan EFU ini, kata Leila Ahmad (1992), justru “berfungsi secara moral membenarkan serangan terhadap masyarakat pribumi dan mendukung gagasan superioritas Eropa.” Para elit di negara jajahan akhirnya menginternalisasi apa yang orientalis katakan tentang mereka: terbelakang, merendahkan perempuan, dan harus mengikuti resep Barat untuk memperbaikinya (Bullock, 2002:4). Hijab di era kolonial menjadi simbol kuat kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Oleh karenanya, upaya ‘unveiling’ menjadi usaha para elit politik dan kelompok kelas atas untuk ‘mengejar’ peradaban modern bangsa Barat (Bullock, 2002: 4).
Unveiling The Women, Unveiling The Land
Di negara-negara mayoritas Muslim, salah satu proyek utama kolonialisme adalah menyerang patriarki lokal atas ‘kultur’ hijab perempuan. Di sini, konstruksi maskulinitas Eropa menjadi simpul dari penundukkan negara jajahan, di mana penduduk di negara-negara jajahan di Afrika, Amerika dan Asia dianggap sebagai masyarakat patriarkis yang terbelakang, mistis, dan suka takhayul. Hal ini dikarenakan kolonisasi yang dilakukan oleh bangsa Eropa berfungsi tidak hanya melalui hegemoni ekonomi dan politik, tetapi juga melalui alat representasi yang berfungsi menentukan persepsi terhadap yang dijajah (Al-Saji, 2010: 883). Bersama dengan hegemoni ekopol, aparat representasi menjadi alat pembentukan dan perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang mensyaratkan dominasi teritorial dan kontrol seksual (Mustafa, 2020: 4). Konsekuensi logisnya adalah kekuatan kolonial hendak merombak tatanan sosial masyarakat jajahan sehingga mereka memperkenalkan berbagai perubahan sistemik dalam aspek pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Dalam konteks penjajahan Aljazair, seiring tumbuhnya gerakan nasionalis Aljazair pada periode 1930–1935, pemerintah kolonial Prancis mulai menyerang gerakan anti-Perancis dengan mengambil tindakan untuk merusak budaya Aljazair. Misi ‘unveiling Algerian women’ dilancarkan untuk mendukung perampasan sumber daya Aljazair dan penolakan terhadap bangsa dan budaya mereka sendiri. Strategi ini dimaksudkan untuk mengasimilasi orang-orang Aljazair kelas atas dengan premis dasar bahwa jika perempuan dicabut dari budayanya, yang lain akan mengikuti (lih. Fanon, 1967).
Dalam penjajahan Prancis di Aljazair, penampakan perempuan Aljazair menjadi tanda hidup perempuan sebagai tubuh yang ‘tertekan’ secara seksual dan pasif, tersembunyi di balik hijab mereka (Al-Saji, 2010:886). Hijab dinilai sebagai penghalang represif bagi perempuan sehingga tidak terlihat secara fisik dan sebagai subjek (Al-Saji, 2010). Mereka direpresentasikan sebagai tubuh terbungkus yang tidak memiliki tempat di ruang publik dan menjadi objek tatapan laki-laki kolonial yang terbiasa melihat perempuan kolonial tampil terbuka. Masyarakat kolonial bahkan tidak memiliki bayangan bahwa perempuan berhijab mampu mengembalikan pandangan, melihat, atau secara aktif membuat makna dalam kehidupan (Al-Saji, 2010).
Hijab direpresentasikan sebagai bentuk penindasan laki-laki muslim abad pertengahan yang barbar terhadap perempuan di mana penindasan ini berlangsung dalam institusi keluarga muslim (Al-Saji, 2010, Andreassen & Lettinga, 2012: 19). Dalam kata lain, hijab menjadi simbol dari sebuah kehidupan yang tidak memiliki peradaban yang dibangun oleh laki-laki muslim. Hijab dirasialisi sebagai negasi dari identitas kolonial yang bebas, modern, tidak tertindas, atau dibatasi oleh norma-norma gender (Al-Saji, 2010: 889).
Dengan alat representasi tersebut, Perancis pun mendorong dan mendukung organisasi perempuan Aljazair untuk berkembang dan mengampanyekan modernisasi. Para perempuan Aljazair kemudian secara perlahan mulai meyakini bahwa hijab adalah penghalang antara dua komunitas perempuan Aljazair dan Perancis. Mereka pun menginginkan untuk hidup sebagai perempuan Aljazair baru sebagaimana ‘saudara perempuan’ mereka di Prancis. Puncaknya, upacara ‘unveiling’ pun dilakukan secara massal pada Mei 1958 dengan simbol ikonik pembakaran hijab dan long march yang diramaikan dengan orasi-orasi emansipasi perempuan dan teriakan-teriakan “Vive l’Algérie Française” (hidup Aljazair Prancis!). Peristiwa ini kemudian membuat Aljazair terpolarisasi menjadi dua kutub yang saling berseberangan, yaitu kelompok yang mendukung kemerdekaan nasional dari Perancis dan kelompok yang mendukung asimilasi dengan budaya Perancis.
Kehadiran Imigran dan Kemunculan (Kembali) Hijabofobia
Ketika kemerdekaan negara-negara koloni telah dicapai, pandangan kolonial terhadap hijab tidak serta merta turut dikubur bersama dosa kolonialisme bangsa Barat. Ia justru terus menerus diwariskan dan diproduksi (baca: beregenerasi) melalui konstitusi rasialis yang difasilitasi oleh media, kebijakan, dan kerja-kerja ideologis (Ali dan Whitham, 2020). Rasialisasi hijab di Barat kemudian tumbuh menjadi hijabofobia dan politik hijab.
Setelah Perang Dunia II, jutaan imigran yang didominasi laki-laki berasal dari bekas jajahan Eropa (atau dari negara-negara yang masih berada di bawah kekuasaan kolonial) dan dari wilayah Mediterania (misalnya, Italia selatan, Spanyol, Portugal, Yunani, Yugoslavia, Turki, dan bagian dari Maghreb) bermigrasi ke dan melalui benua Eropa untuk memenuhi permintaan tenaga kerja di industri rekonstruksi (Farris 2017: 23). Seiring waktu berjalan, sejumlah imigran laki-laki memutuskan untuk menetap di Eropa utara dan membawa anggota keluarga mereka seperti pasangan, ibu, atau anak perempuan karena khawatir tidak dapat pulang ke negara asal (Farris, 2017: 23).
Para imigran kemudian tumbuh dan hidup di Eropa dengan kondisi ekonomi yang mayoritas miskin, tinggal di daerah pinggiran kota-kota besar, dan berstatus Islam. Media arus utama, partai sayap kanan, dan banyak publik Eropa merespon fenomena ini dengan pandangan yang cukup xenofobik. Mereka melabeli para laki-laki imigran sebagai individu malas, tidak beradab, agresif, terbelakang, tidak ambisius, dan sebagainya (Farris, 2017: 23) dan para perempuan imigran adalah korban utama budaya yang terbelakang dan misoginis mereka. Kebudayaan para imigran dianggap asing dan didapuk sebagai faktor yang mempersulit proses integrasi antara imigran dengan masyarakat Eropa.
Sejak gelombang imigrasi ini, praktik xenofobia, Islamofobia, dan hijabofobia secara signifikan dialami oleh para imigran dan warga negara muslim. Ucapan rasis, kekerasan fisik hingga tindakan diskriminatif di ruang publik menjadi bagian dari cerita keseharian. Pada fase ini, Montreal Gazette menandai praktik hijabofobia di era kontemporer dengan menskorsing tiga perempuan bercadar dari sekolah mereka di Creil (Oise), Prancis, pada tahun 1989. Para perempuan tersebut diskorsing karena mengenakan cadar selama kegiatan belajar dan menimbulkan ketidaknyamanan lingkungan pendidikan yang sekuler. Conseil d’Etat berusaha menyelesaikan masalah ini dengan memberikan syarat bahwa siswa diperbolehkan memakai tanda agama selama pemakaian tersebut berdasarkan kesadaran nurani dan bukan karena dipaksa (red: otonomi determinasi diri atas tubuh). Peristiwa inilah yang menyulut daur ulang politik kolonial dengan hijab sebagai objek dalam skema “burqa and hijab ban“.
Dosa Feminis Liberal dalam Politik Hijab
Kesetaraan gender menjadi salah satu argumen prinsipil dalam politik hijab. Kelompok feminis Eropa gelombang kedua melihat hijab sebagai masalah struktural dalam Islam karena membedakan aturan berpakaian perempuan dari laki-laki dan bentuk diskriminasi gender yang diinternalisasikan (Andreassen & Lettinga, 2012: 19). Orientalisme dan liberalisme Eropa yang menjadi justifikasi kolonialisme kemudian menjadi bagian paradigmatik dari feminisme liberal dengan imajinya tentang ‘Timur’ (atau global South sekarang), yang melihat perempuan muslim (dalam artian masih mengidentifikasikan diri sebagai pengikut ajaran Islam) sebagai bagian dari ketertundukan terhadap patriarki dan agama yang melegitimasi subordinasi perempuan (Choudhury, 2009).
Pemakaian hijab dianggap melegitimasi ide-ide patriarki dalam ajaran Islam yang menuntut perempuan sebagai perawan yang seksualitasnya perlu dibatasi untuk laki-laki (Andreassen & Lettinga, 2012: 20). Mereka mempertanyakan agensi—kapasitas yang dimiliki individu untuk melakukan tindakan—perempuan muslim untuk memilih cara berpakaian dalam Islam yang dinilai tidak mengandung unsur otonomi yang dijunjung oleh masyarakat liberal. Mereka merujuk pada bagaimana negara-negara seperti Iran, Turki, Afghanistan, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya menindas hak-hak perempuan muslim dan oleh karenanya mereka melihat bahwa hijab adalah ancaman umum bagi kebebasan perempuan dan kesetaraan gender sebagai norma universal yang wajib diikuti.
Tindakan tunduk secara sukarela pada norma-norma ketidaksetaraan gender yang menopang tatanan patriarkal ditolak oleh kelompok feminis liberal (Andreassen & Lettinga, 2012: 20). Bahkan kesukarelaan seorang perempuan muslim mengenakan hijab dicitrakan sebagai antifeminis sebagaimana kesukarelaan para perempuan di era 1970-an memilih peran sosial perempuan sebagai ibu dan pengasuh. Para feminis liberal tidak segan mengkritik pejabat publik maupun perempuan lain yang membela hak perempuan muslim untuk mengenakan hijab. Misalnya saja jurnalis Catherine Bennett yang mengkritik istri mantan perdana Menteri Inggris Tony Blair, Cherie Both, saat membela hak seorang siswa perempuan untuk berkerudung selama belajar di sekolah (Andreassen & Lettinga, 2012: 20).
Feminis liberal berasumsi bahwa hasrat sejati tiap manusia adalah untuk mengejar otonomi dan kebebasan optimal ketika tidak dikekang oleh norma. Asumsi liberal normatif ini membuat norma dan ketaatan terhadap aturan agama dianggap mengekang perempuan dan secara insting perempuan yang ‘tercerahkan’ pasti menginginkan lepas dari kungkungan ini, sehingga gerakan perempuan dalam Islam berbasis kesalehan menempati posisi yang tidak nyaman dalam langgam feminisme (Mahmood, 2005). Para feminis liberal menyeru bahwa perempuan muslim hanya akan benar-benar bebas dan setara jika mereka mengontestasikan corak agama mereka yang opresif dengan melawan aturannya (Andreassen & Lettinga, 2012: 18). Agenda pembebasan atas nama emansipasi ini dipraktikkan begitu hitam-putih. Ia hanya dapat diekspresikan dengan mengenakan kerudung atau dengan melepasnya; menjadi religius atau sekuler; memilih tradisi atau perlawanan (El Guindi, 1999:172)
Semangat pembebasan feminis liberal diinstrumentalisasi—Sara Farris (2017) secara spesifik menyebut instrumentalisasi kesetaraan gender yang dilakukan oleh kelompok sayap kanan dan neoliberal ini sebagai femonasionalisme—secara kongruen dengan politik keamanan dan politik identitas dalam pelembagaan hijabofobia di Eropa. Revolusi Iran memperkuat identifikasi yang ada antara Islamisme radikal dan perempuan berhijab. Terlebih lagi, dalam memori Barat, para perempuan bercadar Iran begitu militan mencetak pemberontakan massa yang revolusioner yang disebut oleh Barat sebagai “histeria kolektif dari massa yang fanatik” (Gole, 1997: 20). Barat melihat bahwa tubuh perempuan muslim menjadi simbol irasionalitas yang feminin yang dipolitisasi oleh para Islamis. Konsepsi diri yang religius ini berbeda dari konsepsi diri Barat yang berorientasi pada estetika dan kemauan manusia. Secara paradoks pandangan ini mulai menggeser pandangan tradisional bahwa seorang perempuan muslim merupakan individu yang fatalis, pasif, penurut, dan patuh menjadi individu yang aktif, menuntut, militan, tidak lagi terkurung di rumah, tetapi dengan tetap mengenakan pakaian pramodern (Gole, 1997:83-84).
Puncaknya, tragedi 9/11 menyeret hijab pada asosiasi yang sangat erat dengan kelompok Islamis-fundamentalis. Di bawah bendera “Global War on Terrorism” (GWOT), hijab turut disekuritisasi. Hijab dianggap sebagai ancaman karena menentang rezim pengawasan. Perempuan berhijab secara general digambarkan lebih sulit untuk diamati karena tidak visibel, mayoritas tidak berbicara bahasa lokal, dan beribadah secara terpisah. Oleh karenanya mereka dinilai lebih berbahaya, lebih mungkin untuk diradikalisasi dan lebih sulit untuk dideteksi di mana mereka berada (Edmunds, 2021). Publik Eropa takut hijab menjadi pakaian yang akan dimanfaatkan kelompok fundamentalis untuk melancarkan agenda-agenda politiknya. Institusi dari tingkat lokal hingga regional, pemerintah atau swasta, didesak untuk mengambil batas sejauh mana hijab mendapat rekognisi untuk terlibat dalam kehidupan publik.
Hijabofobia dan Kapitalisme Rasial
Dalam melihat problem hijabofobia, isu kesetaraan gender yang berkutat pada aspek pengakuan hak, perlindungan hak, dan inklusi sosial membatasi hijab itu sendiri menjadi sekadar pilihan dan tindakan pribadi seorang perempuan atau aspek simbolis dari kelompok Islam. Sementara itu, hijabofobia sebagai bagian dari kolonialisme dan imperialisme harus dihadapi dengan melihatnya sebagai “penindasan kapitalisme yang harus dibongkar”. Di negara-negara mayoritas muslim, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, salah satu proyek utama kolonialisme adalah menyerang patriarki lokal atas ‘kultur’ hijab perempuan. Konstruksi maskulinitas Eropa kemudian menjadi simpul dari penundukkan negara jajahan, di mana penduduk di negara-negara jajahan dianggap patriarkis. terbelakang, mistis, dan suka takhayul.
Di India misalnya, kontruksi ideologi nasionalis berakar pada sistem masyarakat patriarki yang meredefinisi kualitas maskulin yang diambil dari kelas borjuis—menyimbolkan kekuatan, dominasi, dan figur ideal untuk pembangunan kebangsaan yang berbasis pada logika elit patriarki Hindu kasta tinggi (Banarjee, 2005; Kushawa, 2010). Nasionalisme yang mengusung maskulinitas pribumi ini tumbuh di tengah kesadaran perempuan dan laki-laki kelas borjuis di banyak negara-negara jajahan. Seiring dengan itu, agenda gerakan perempuan yang dipelopori kaum ningrat dan terdidik pada masa itu juga berfokus pada reformasi pendidikan dan layanan dasar. Kondisi ini berjarak dengan pengalaman perempuan proletar di pabrik dan perkebunan yang tidak memiliki privilise untuk bersekolah dan berinteraksi secara lebih bermartabat dengan pihak kolonial. Alhasil, meski ditemukan aliansi dan kolaborasi gerakan perempuan borjuis dan proletar di masa kemerdekaan untuk melepas dari penjajahan, pasca kelahiran negara-negara baru, nasionalisme menjadi proyek kelas yang utamanya memberi jalan bagi kapitalis domestik (Jayawardena, 1982; Robison, 1986).
Ketika era kolonialisme berakhir, hijabofobia tidak lantas hilang dan bahkan terus direproduksi. Sebagaimana telah dicontohkan sebelumnya, praktik hijabofobia berlanjut ketika Montreal Gazette menskorsing tiga murid perempuannya yang memakai cadar ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Meski Conseil d’Etat pada akhirnya membolehkan pemakaian hijab tersebut, namun, konflik antara hijab dan ruang publik Eropa tidak selesai di sana. Ketegangan tersebut disulut kembali pada tahun 1994 oleh Menteri Pendidikan Prancis, Francois Bayrou. Ia mengeluarkan larangan umum tentang jilbab di sekolah-sekolah dengan menafsirkan bahwa hijab bertentangan dengan laıcite´ (Al-Saji,2010: 879). Kasus inilah yang membawa pada pelembagaan hijabofobia dalam skema politik hijab yang dimulai Prancis pada 15 Maret 2004 melalui undang-undang larangan pemakaian tanda-tanda agama yang mencolok. Sejak saat itu, politik hijab dikonsolidasikan di hampir seluruh wilayah Eropa. Seiring dengan perayaan semangat perang melawan terorisme pasca 9/11, hijab juga mulai diasosiasikan dengan fundamentalisme Islam. Para feminis merujuk pada bagaimana negara-negara seperti Iran, Turki, Afghanistan, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya menindas hak-hak perempuan muslim. Mereka begitu fasih berbicara akar permasalahan perempuan muslim dan bahwa perempuan muslim hanya akan bisa benar-benar bebas dan setara jika mereka menentang sifat opresif dari budaya agama mereka dengan melanggarnya (Andreassen & Lettinga, 2012: 18). Dengan kata lain, sekulerisme dan liberalisme adalah jalan satu-satunya menuju pembebasan yang adil gender.
Pada poin ini, bersamaan dengan status mayoritas perempuan muslim yang datang sebagai imigran ke Eropa dan naiknya isu keamanan pasca GWOT, naiklah politik nasionalisme dan keamanan dalam perdebatan hijab di masyarakat Eropa. Semakin teguhlah penilaian bahwa para perempuan muslim tidak dapat terintegrasi ke dalam masyarakat Barat. Alasan sebenarnya bukanlah karena masyarakat muslim tidak mau, melainkan masyarakat Barat telah dikondisikan sedemikian rupa untuk menolak eksistensi mereka. Mereka dipersulit untuk berintegrasi dan kehadiran mereka dianggap sebagai benalu.
Hijabofobia turut menjadi bagian dari mentalitas imperialisme baru, yang ditopang oleh kapitalisme rasial. Di sini, sekali lagi, konsep kapitalisme rasial muncul sebagai elemen penting dalam penindasan perempuan muslim di era modern, mencakup neoliberalisme, rasisme, dan problem pengungsi yang berakar dari kolonialisme dan rasisme sebagai bagian inheren dari kapitalisme (Thariq, 2020). Perempuan berhijab adalah representasi paling vulgar dari ketiganya: kehadiran mereka di tanah Eropa dirasialisasi karena identik dengan gelombang arus pengungsi non-kulit putih dari wilayah Muslim yang berkecamuk perang dan kemiskinan, sekaligus komoditas paling ‘memikat’ untuk dijadikan objek ‘penyelamatan’ oleh kekuasaan imperialisme Amerika Serikat dan Eropa yang diwakili NATO.
Penutup
Politik hijab kontemporer di Eropa tercipta karena persekongkolan bersama antara feminis liberal, kelompok sayap kanan, dan kelompok neolib. Mereka berusaha untuk membentuk identitas nasional Eropa yang homogen dari warisan-warisan kolonial demi memperkuat keteraturan sistem yang menopang struktur peradaban modern mereka. Peraturan restriktif dikeluarkan untuk memastikan ruang publik dapat tercipta netral—sebuah konsep yang sangat bisa diperdebatkan—dan individu dapat hidup bersama—dalam bingkai sistem politik yang sekuler dan liberal.
Kebijakan ‘hijab ban’ adalah versi modern dari proyek ‘unveiling the veiled’ untuk memaksa perempuan muslim berasimilasi dengan budaya yang ada di masyarakat Eropa. Perbedaannya, jika di era kolonial mereka melakukan politisasi hijab untuk meng-Eropa-kan tanah koloni, kini perempuan muslim yang tinggal di Eropa diberi pilihan sulit untuk dapat bertahan di sana. Perempuan muslim harus memilih antara terlibat ke ruang publik dengan menanggalkan hijab atau ditendang ke ruang domestik jika keras kepala terhadap hijab yang dikenakan. Akibatnya, perempuan muslim yang memutuskan menanggalkan hijab akan dinilai sebagai perempuan yang terbuka, mau berintegrasi, dan telah memeluk ajaran-ajaran emansipatif bangsa Eropa. Sedangkan perempuan muslim yang bersikeras dengan hijabnya dipandang konservatif, memisahkan diri dari masyarakat umum Eropa, serta tunduk pada nilai-nilai patriarki yang sedang diruntuhkan oleh para feminis.
Dari uraian historis ini, kami melihat bahwa persoalan politik hijab bukan hanya perkara kesetaraan gender, otonomi dan agensi, multikulturalisme, atau perdebatan ideologis/teologis belaka. Reduksi politik hijab sebagai problem intoleransi dan kontrol laki-laki atas tubuh perempuan—lagi-lagi dengan menyalahkan patriarki—adalah argumentasi kaca mata kuda yang tidak didasarkan pada fakta empiris bahwa ada peran besar dari kolonialisme dan kelompok feminis liberal dalam melahirkan hijabofobia serta instrumentalisasi prinsip-prinsip feminisme untuk menjustifikasi ‘burqa and hijab ban’ di Eropa.
Politik hijab menunjukkan bahwa, dengan dukungan hegemonik, satu versi feminisme akan diterima begitu saja sebagai versi umum dan dengan mudah mengeliminasi suara-suara perempuan lain yang justru berbicara atas dirinya sendiri. Feminis hegemonik ini berbicara atas konteks perempuan lain sehingga mendorong pada analisis yang ‘single axis’. Akibatnya, upaya-upaya ‘deveiling’ yang telah dilakukan oleh banyak feminis muslim selama beberapa dekade terakhir tidak mendapat tempat dalam pertarungan wacana. Aspek kerentanan perempuan muslim dalam kelindan penindasan seperti keterpurukan ekonomi dan persoalan reproduksi sosial rumah tangga keluarga muslim pun luput diperhitungkan lebih mendalam.
Dua contoh yang paling menonjol saat ini adalah daur ulang kolonialisme soal penindasan perempuan berhijab dalam kasus yang tampak kontradiktif, namun dengan napas yang sama dengan ‘white saviour syndrome’, yaitu aturan soal hijab oleh Uni Eropa dan wacana hak perempuan di bawah Taliban serta tugas feminisme Islam ke depan. Bagian ini akan kami jelaskan di tulisan kami berikutnya. (Bersambung)
Tentang penulis:
Rizki Amalia Affiat adalah Redaktur Islam Bergerak
Ayu Rikza adalah Santri ngampung, mahasiswi HI, dan pegiat di Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) serta Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (For Mujeres)