Pemenggalan kepala seorang guru sekolah di Prancis, Samuel Paty, baru-baru ini memicu polemik sengit. Insiden tersebut melibatkan seorang pengungsi muda berusia 18 tahun asal Chechnya bernama Abdullah Anzorov. Paty dipenggal karena dianggap telah menghina Islam dengan menunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW karya Charlie Hebdo dalam proses pembelajaran. Usut punya usut, keluarga Anzorov memiliki kedekatan dengan para militan gerakan kanan di Timur Tengah. Sudari tiri Anzorov pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Sementara itu, Anzorov sendiri pun terlibat komunikasi dengan para kombatan sayap kanan di Idlib, Suriah. Menanggapi pemenggalan tersebut presiden Prancis, Emmanuel Macron menyampaikan sebuah pidato pengecaman yang sontak kembali mempertajam sentimen anti-Muslim. Pidato ini kemudian diikuti dengan ancaman Menteri dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin untuk membubarkan organisasi Islam seperti BarakaCity dan Kolektif Penentang Islamofobia di Prancis (CCIF). Tak lama setelah itu, Chekh-Yasine resmi dibubarkan pada 20 Oktober 2020, yang diikuti BarakaCity pada 28 Oktober 2020
Islamofobia bukanlah fenomena baru di Eropa. Asal-usul Islamofobia dapat ditemui sejak epos sejarah kolonialisme Eropa ke benua non-Eropa. Tercatat, sejarah kolonialisme Eropa kepada wilayah Afrika hingga Sri Lanka telah menjadi salah satu akar penyebab merebaknya Islamofobia. Perwujudan dari Islamofobia selama epos kolonialisme mengambil banyak bentuk, mulai dari representasi, pengekangan berekspresi, stigmatisasi, hingga hubungan produksi. Semua kesatuan peristiwa inilah yang kelak akan mempengaruhi laju perkembangan sistem kapitalisme, dan basis ideologinya, liberalisme.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha memberikan pandangan terkait Islamofobia menggunakan kacamata kapitalisme rasial. Sebagai sebuah konsep, kapitalisme rasial dipopulerkan oleh seorang Marxis berkebangsaan Afro-Amerika, Cedric. J. Robinson. Konsep serupa juga beberapa kali diadopsi oleh pemikir aliran Interseksionalisme seperti Kimberle Crenshaw. Konsep ini akan membantu kita dalam memahami bahwa, alih-alih sebatas suprastruktur. kapitalisme nyatanya secara inheren selalu terbangun atas klasifikasi gender, ras, bahkan agama. Fenomena seperti racialized labour (pembagian pekerja lewat kategori ras) dan gendered labour (pembagian kerja secara gender) merupakan beberapa contohnya. Lewat kacamata kapitalisme rasial, penulis berupaya untuk menemukan titik persimpangan (intersection) antara kolonialisme, kelas, ras, dan agama yang mengkonstitusi Islamofobia hari ini.
Sekilas Kapitalisme Rasial
Sebagai sebuah kerangka kritik dan analisis, kapitalisme rasial pertama kali dipopulerkan oleh Cedric. J. Robinson, seorang pemikir Marxian berketurunan Afro-Amerika. Lahir pada 5 November 1940, Robinson berasal dari latar belakang keluarga kelas pekerja di Oakland Barat. Sejak muda Robinson dikenal sering menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan mempelajari filsafat Yunani, sejarah peradaban dunia, hingga literatur modern. Robinson kemudian mengenyam jenjang pendidikan tinggi di Universitas Kalifornia demi mendalami studi Antropologi. Selama di universitas Robinson acapkali terlibat dalam aktivisme.
Kapitalisme rasial merupakan salah satu konsep Cedric. J. Robinson yang menyita banyak perhatian para pemikir Marxian. Pemikiran Robinson tentang kapitalisme rasial dapat ditemui di opusnya Black Marxism: The Making of Black Radical Tradition (1983). Dalam opus tersebut, Robinson secara mendetail menganalisis keterkaitan erat kapitalisme dan praktik rasialisasi. Tesis tersebut diperoleh Robinson berangkat dari epos sejarah kolonialisme yang menimpa benua non-Eropa, khususnya Afrika. Hal yang melatarbelakangi penulisan buku tersebut ialah minimnya analisis perihal rasisme dan gerakan antikolonial yang merebak di Afrika, entah di kancah intelektual, maupun gerakan rakyat. Marxisme, yang menggaungkan elan emansipatoris pembebasan rakyat pekerja pun masih minim membahas perjuangan antikolonial di luar Eropa. Melihat minimnya pembahasan non-Eropa dalam diskursus Marxian dan gerakan rakyat membuat Robinson berkesimpulan bahwa Marxisme masih berwatak Eurosentris (Robinson, 1983). Ketika Marx membicarakan pembebasan rakyat pekerja, ia masih menggemakannya dengan setengah hati, karena yang sesungguhnya lebih banyak dibicarakan Marx adalah pembebasan rakyat pekerja Eropa.
Kapitalisme rasial secara persis mengulas bagaimana rasisme merupakan sesuatu yang inheren di dalam sistem kapitalisme. Robinson mengkritik formulasi klasik Marxian yang memandang rasisme hanya sebagai sebuah fenomena suprastruktur semata. Robinson berusaha menelisik secara lebih mendasar bagaimana kapitalisme melembagakan rasisme pada segala aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan produksi. Sistem kapitalisme yang dimotori oleh logika untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya selalu bergantung devaluasi/diferensiasi nilai kerja manusia. Dalam pandangan Robinson, devaluasi ini dilakukan melalui praktik rasialisasi pembagian kerja dalam satu hubungan produksi (Robinson, 1983). Bagi Robinson, praktik rasialisasi dalam sistem kapitalisme dapat dilacak asal-usulnya sejak fase feodalisme. Feodalisme Eropa, dalam pandangan Robinson, memang sudah berwatak rasis sejak awal. Oleh karena itu, kapitalisme bukanlah negasi total dari feodalisme, melainkan fase sejarah yang merasionalisasi dan memperluas segala modus opresi yang telah eksis sebelumnya. Bukan kapitalisme yang melahirkan rasisme, melainkan perkembangan peradaban Eropa (Robinson, 1983).
Meski memiliki pengaruh yang besar, gagasan Robinson bukan tanpa kritik. Robinson dikritik karena pembacaan kelirunya telah berujung penolakan terhadap Marx. Padahal, di lain pihak, para intelektual organik seperti Sylvia Winters dan Frantz Fanon telah mengembangkan Marxisme secara kritis dan kontekstual sehingga dapat diaktualisasikan dalam perjuangan antikolonialisme. Klaim Robinson yang memandang Marx tidak berbicara banyak tentang penindasan di luar Eropa telah banyak dibantah oleh para pemikir Marxian asal Afrika seperti Biko Agozino. Agozino menghadirkan sebuah pembacaan tandingan atas tudingan para intelektual Afrika terhadap Marx sebagai Eurosentris. Dalam The Africana paradigm in Capital: the debts of Karl Marx to people of African descent (2014), Agozino berpendapat bahwa pembahasan penindasan rakyat non-Eropa (khususnya Afrika) sangat sentral dalam teks-teks Marx. Rujukan Marx terhadap opresi perbudakan di Afrika dapat ditemui di teks-teks sentral Marx seperti Kapital dan Grundrisse. Misalnya, pada salah satu catatan kaki di Kapital I Marx secara terang-terangan menyebutkan bahwa perbudakan terhadap orang kulit hitam telah mengubah status mereka yang semula sebagai manusia menjadi kapital (Marx 1867, catatan kaki 4, 541). Perbudakan haruslah dipandang sebagai sebuah hubungan sosial, sehingga perubahan status tersebut dapat dipahami. Selain Marx, Engels pun turut membubuhkan catatan kaki di Kapital I edisi pertama bahasa Inggris tentang kekalahan tentara Inggris oleh orang-orang Zulu yang hanya bersenjatakan tongkat dan batu sebagai bentuk perlawanan antikolonial. Bahkan Marx mendedikasikan sebuah Bab khusus dalam Kapital untuk pembahasan terkait opresi non- Eropa. Dalam bagian 31 tentang Asal-Usul Kapitalis Industri, Marx merujuk pada praktik kolonialisme Eropa (Inggris, Spanyol, dan Belanda) kepada benua-benua non-Eropa. Nama-nama wilayah seperti Jawa (Java), kota Malaka (Malacca) dan Sulawesi (Celebes) di benua Asia pun disinggung berikut dengan nama-nama koloni di Afrika. Melihat fakta ini, sulit kiranya berpegang pada klaim dari Robinson terkait Eurosentrisme Marx.
Meski begitu sumbangsih Robinson tetap tidak bisa dikesampingkan. Robinson menghadirkan sebuah analisis antropologis segar yang mampu menjangkau karakter rasis dari kapitalisme, terlebih di era neoliberalisme hari ini yang sangat bertopang pada segregasi hubungan sosial berbasis ras dan gender. Hal yang perlu dilakukan demi menjernihkan kekalutan pemikiran Robinson ialah membuang kekeliruan dikotomis yang dibuat berupa penolakan pemikiran Eropa secara ekstrem sambil, di saat bersamaan, menjaga potensi analisis konsep kapitalisme rasial dalam membongkar struktur opresi hari ini, khususnya di Prancis yang menjadi fokus tulisan ini.
Laicite dalam Pusaran Polemik:
Hal penting yang perlu dicatat dalam sejarah Laicite ialah Revolusi Prancis 1789. Revolusi ini kelak akan melahirkan semangat Liberté, égalité, fraternité, slogan yang mencirikan semangat kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan ala liberalisme. Semangat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya doktrin Laicite, yakni sekularisme yang berusaha memisahkan kedudukan gereja dari pemerintahan. Kemunculan doktrin Laicite juga dibarengi dengan mengemukannya istilah “warganegara” (citizen/citoyan) yang merupakan status dari anggota dari suatu negara. Laicite dipengaruhi oleh arus republikanisme liberal seperti Jean-Jacques Rousseau dan Benjamin Constant. Meski kedua pemikir ini berperan sentral dalam Revolusi Prancis, Constant dan Rousseau terlibat perdebatan yang cukup sengit, utamanya menyoal hubungan agama dan negara. Tensi politik yang panas pasca-revolusi membuat perdebatan kedua pemikir ini juga diwarnai dengan politisasi dari para politisi Prancis yang kala itu seringkali mengutip filosofi dari para pemikir demi melegitimasi posisi politiknya. Uniknya meski kedua pemikir ini kelihatannya terlibat dalam perdebatan seputar agama dan pemerintahan, mereka justru menjadi dua arus pemikiran yang saling melengkapi doktrin Laicite.
Polemik antara Constant dan Rousseau berkaitan dengan salah satu magnum opus Rousseau, Du Contrat Social. Dalam opus tersebut, pada bagian bertajuk ”On Civil Religion” Rousseau mengemukakan bahwa pemerintah (the sovereign) memiliki kewenangan untuk menetapkan sentimen kebersamaan (termasuk agama) untuk dipercaya oleh warganya dengan mengubah kepercayaan mereka pada satu agama tertentu. Constant membaca ungkapan Rousseau tersebut sebagai wujud dari proto-totalitarianisme yang dapat memunculkan kembali benih-benih pengekangan di era pemerintahan gereja. Sebagai balasan, Constant menuliskan sebuah gugatan dalam opusnya, Principles of Politics bahwa “itu berbahaya” dan bahkan “sangat absurd” dan “tidak adil”.
Constant bersikeras bahwa urusan kepercayaan/agama bukanlah urusan dari sebuah otoritas. Constant menegaskan bahwa apa yang baik untuk seseorang, belum tentu berlaku bagi yang lainnya. Kepercayaan atau agama sudah seharusnya menjadi privasi setiap orang dan tak bisa diganggu gugat. Constant merujuk pada pemikiran Stainslas Clemont-Tonnerre seorang royalist moderat sebagai prinsip filsafatnya tentang agama. Constant mengadopsi pemikiran Stainslas untuk menegaskan bahwa agama dan negara adalah dua domain yang terpisah secara utuh.
Tudingan Constant terhadap Rousseau bukan tanpa problem. Klaim Constant bahwa Rousseau merupakan pemikir proto-totalitarianisme atau memiliki kepribadian autoriter berangkat dari pembacaan yang tidak utuh terhadap Rousseau. Constant tidak membaca elaborasi Rousseau secara saksama dan keseluruhan, melainkan hanya mengambil beberapa kutipan tanpa menyertakan konteks. Fakta uniknya, kutip-mengutip pemikiran Rousseau sangat marak dilakukan oleh para politisi Prancis waktu itu. Tercatat nama-nama politisi besar waktu itu seperti Claude Fauchet hingga Maximilien Robespierre banyak menggunakan bahasa Rousseau untuk melegitimasi sikap politik mereka.
Teks penting Rousseau tentang agama ialah Emile, utamanya di bagian terakhir bertajuk “Profession of Faith”. Di bagian inilah Rousseau mengelaborasi konsepsi filsafatnya tentang agama secara keseluruhan, selain pada “On Civil Religion” di Du Contrat Social. Dalam Profession of Faith, Rousseau mengartikulasikan gagasan filosofis melalui seorang figur pastoral asal Savoyard yang berusaha untuk mencari kebenaran akan agamanya. Sang pastor dilukiskan memiliki kepribadian yang rendah hati dan senantiasa mencari keberadaan Tuhan, hingga ia menemukan-Nya dalam dirinya sendiri melalui “inner sentiment”.
Berbeda dari tudingan Constant, Rousseau justru tidak sama sekali berniat mengembalikan supremasi gereja. Agama/kepercayaan sipil yang dicetuskan Rousseau sangat menolak pasivitas penerimaan doktrin keagamaan begitu saja. Sebaliknya, Rousseau menekankan doktrin agama harus diterima secara kritis dan aktif, sehingga senantiasa diuji keabsahannya terlebih dahulu. Konsepsi agama ini pun sepenuhnya privat, dan tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Sang pastor sendiri dalam buku tersebut mengungkapkan bahwa “hormatilah semua agama, dan hiduplah berdampingan secara damai”. Sang pastor sendiri pada akhirnya memilih untuk bertahan dengan kepercayaannya sebagai Kristiani karena ia menemukan kedamaian dan keyakinan di dalannya. Dari kacamata ini, terlihat bahwa, alih-alih saling menegasi perdebatan antara Rousseau dan Constant justru melengkapi satu sama lain.
Laicite sebagai Teknologi Kekuasaan Kolonialisme
Meski berangkat dari semangat yang terdengar sangat emansipatoris, nyatanya slogan liberalisme Revolusi Prancis di atas tidak berlaku bagi para budak di tanah jajahan. Ketika Revolusi Prancis berhasil menumbangkan absolutisme gereja, upaya para revolusioner Prancis tidak menularkan emansipasi tersebut kepada para budak di tanah koloni seperti di Haiti. Kenapa? Karena para budak di tanah jajahan tidak dihitung representasinya dalam kategori “manusia” yang dibangun oleh liberalisme pasca Revolusi Prancis, yakni warga negara. Meski begitu, para budak Haiti yang mendapat kabar Revolusi Prancis dengan cekatan mengapropriasi slogan tersebut sebagai upaya emansipasi. Segera setelah revolusi tersebut, para budak, yang digalang oleh seorang figur jenderal budak revolusioner (yang juga kontroversial), Toussaint Louverture. Pemberontakan para budak perkebunan kemudian meletus pada 1787-1799. Peristiwa yang dikenal sebagai Haitian Revolution. Para budak yang mengikuti pemberontakan kemudian dikenal dengan nama Black Jacobin. Pemberontakan para budak inilah yang menjadi cikal bakal kemerdekaan Haiti.
Kemerdekaan Haiti tidak lantas menghentikan kolonialisme. Selain Haiti, Prancis tercatat masih melakukan kolonisasi terhadap beberapa daerah Afrika Utara seperti Aljazair. Kolonialisme Prancis ke Aljazair memiliki beragam motif, termasuk soal ekonomi dan penyebaran doktrin Kristen-sekular. Lahirnya Laicite di Prancis juga memiliki pengaruh ke tanah jajahan. Ketakutan akan agama, terutama pada Islam mulai menajam dan dikristalisasi.
Di tanah koloni Prancis seperti Aljazair, Laicite tak ubahnya sebuah teknologi kekuasaan (meminjam istilah Foucault) untuk merepresi perjuangan kelas dan perbedaan identitas yang ada. Laicite menjadi basis legitimasi praktik asimilasi paksa kolonial terhadap Muslim/Muslimah di Aljazair agar dapat menyesuaikan dengan kebudayaan dan nilai-nilai Prancis. Salah satu modus kekuasaan yang digunakan untuk membangun klasifikasi di atas ialah melalui kodifikasi hukum yang dirancang berdasarkan doktrin Laicite.
Salah satu tujuan dari pemberlakuan kodifikasi hukum sebagai manifestasi Laicite adalah kolonisasi melalui asimilasi. Praktik asimilasi ini menjadi sentral bagi Prancis demi mereproduksi legitimasinya di tanah jajahan. Etienne Balibar dalam esainya The Nation Form: History and Ideology (1990) mengungkapkan bahwa keberlangsungan suatu kekuasaan (dalam hal ini negara-bangsa) tidak terlepas dari reproduksi subjek yang dikehendaki, yakni warganegara (Balibar, 1990). Berbeda dengan liberalisme, konsep warganegara tidaklah menuduhkan subjek yang setara dan bebas. Sebaliknya, idea warganegara justru mengaburkan ketimpangan material antar gender, kelas dan ras yang ada dengan membungkus dengan suatu abstraksi universal. Dalam praktik kolonialisme Prancis, utamanya sejak 1830-an, konsep warganegara tersegregasi dalam kategori ras, gender dan kelas sosial. Kategori warganegara sendiri bahkan berwatak eksklusioner, karena di saat bersamaan membentuk kategori non-warganegara, atau mereka yang sama sekali dipandang tidak dapat berasimilasi.
Secara material-historis ini dapat dilihat dari beberapa kodifikasi hukum yang dibentuk. Kolonialisme Prancis membentuk klasifikasi melalui kode hukum yang memuat tentang kewarganegaraan. Kala itu, pola kolonialisme Prancis memang menginklusi wilayah koloninya sebagai bagian dari negara. Beberapa yang dikenai kodifikasi hukum tersebut ialah Yahudi pada 1870, dan Muslim pada 1958. Kodifikasi Muslim tersebut dapat dipecah lagi, menjadi Muslim Arab dan Muslim Berber. Selain kodifikasi hukum, para antropolog Prancis pun membangun klasifikasi berdasarkan linguistik, yakni dengan mendiferensiasi penutur bahasa. Kodifikasi ini akhirnya turut membentuk rasisme sistemis terhadap agama.
Kodifikasi hukum kewarganegaraan tersebut beriringan dengan wacana rasisme terhadap agama yang disebarkan. Islam dipandang sebagai agama yang fatalis, terlalu dekat dengan agama, menghalalkan pembunuhan, dan menjadi pangkal kemalasan. Stigmatisasi watak tersebut dipandang sangat bertentangan dengan semangat Laicite Prancis yang memang sekular sehingga menempatkan agama hanya pada urusan privat. Prancis memandang Muslim Berber masih bisa berasimilasi dengan Prancis karena bersedia menerima nilai-nilai sekularisme Prancis. Berbeda dengan Muslim Arab yang memang sudah dipandang tidak lagi mampu berasimilasi karena terlalu dekat dengan agama. Muslim Arab seringkali disebut tidak dapat terasimilasi (unassimiliable) sehingga eksklusi kelompok ini di publik sangat kentara.
Rasisme sistemis melalui kategori warganegara ini pun menjelaskan status para penduduk asli Aljazair dalam hal pembagian kerja. Kolonialisme Prancis membentuk pembagian kerja secara gender dan ras di antara para penduduk asli Aljazair. Para buruh tani dan perkebunan laki-laki bekerja di luar ruang domestik, seperti di perkebunan maupun pertanian. Sementara buruh perempuan harus menanggung beban ganda dengan harus bekerja di luar dan dalam ruang domestik sekaligus. Buruh perempuan seringkali diplot untuk mengerjakan ternak ayam untuk konsumsi dan penjualan, menenun, hingga membuat tembikar. Formasi kerja terbentuk lewat komodifikasi alam dan kerja melalui proses akumulasi lewat perampasan (accumulation by dispossession). Tanah dan sumber penghidupan rakyat Aljazair direbut secara paksa, kemudian mereka yang terlempar dari ruang hidupnya diubah statusnya menjadi pekerja paksa.
Selain pembagian kerja secara gender dan ras di tanah jajahan, para penduduk asli Aljazair pun diperlakukan bak komoditas. Penduduk yang disingkirkan secara sistemis oleh kolonial banyak dijadikan budak dan diperdagangkan dengan sesama bangsa Eropa, atau dimobilisasi lintas laut untuk bekerja di wilayah koloni lain. Tercatat, buruh-buruh di Aljazair juga dipekerjakan di koloni Prancis lainnya seperti Nigeria dan Pantai Gading.
Merunut dari peristiwa sejarah yang telah dijabarkan, terlihat bahwa kolonialisme merupakan salah satu manifestasi karakter rasis dari kapitalisme. Ilustrasi di atas pun menjelaskan bahwa sebagai salah satu bentuk dari kapitalisme, kolonialisme tidak hanya membangun klasifikasi berdasarkan kelas ekonomi. Lebih jauh dari itu, kolonialisme juga merekonfigurasi secara mendasar formasi sosial, gender, ras, hingga agama. Berbeda dengan analisis ekonomi-politik arus utama yang melihat kolonialisme sebagai penaklukan semata, nyatanya kolonialisme merupakan bagian yang integral dalam sejarah kapitalisme. Kolonialisme adalah alasan mengapa arus industrialisasi pertama merebak di Eropa dan tentu saja, menjadi salah satu alasan utama mengapa Islamofobia hadir.
Islamofobia Hari Ini: Neoliberalisme, Rasisme dan Krisis Pengungsi
Penjabaran di atas dapat dijadikan pemandu untuk mencerna fenomena Islamofobia yang eksis di Eropa hari ini, khususnya di Prancis. Apabila beranjak dari pembacaan sebelumnya, Islamofobia yang merebak hari ini merupakan konsekuensi sejarah dari kolonialisme. Kolonialisme yang membentuk konfigurasi kelas, gender, ilmu pengetahuan dan agama telah membentuk corak kesadaran yang ada di masyarakat. Kesadaran tersebut, mengutip Balibar, direproduksi bersamaan dengan subjek warganegara melalui institusi sosial demi mempertahankan status-quo negara bangsa yang lahir dari rahim kolonialisme.
Negara bangsa telah lama menjadi salah satu warisan kolonialisme yang paling menyita perhatian di dunia, terutama di Eropa. Negara-bangsa modern menunjukkan krisis yang semakin akut setiap waktunya. Imajinasi nasionalisme yang menjadi fondasi negara-bangsa modern dibangun lewat pola representasi serupa yang dilakukan kolonialisme. Negara-bangsa bertopang pada representasi biner antara “waganegara” dan “yang-Lian”, antara mereka yang termasuk dalam komunitas nasional dan yang tidak. Pola representasi ini telah memicu menjamurnya gerakan populisme sayap kanan reaksioner di Eropa berbekal narasi nasionalitas yang alergi terhadap pendatang, termasuk yang beragama Islam. Menjamurnya gerakan reaksioner tersebut juga bertemu dengan krisis imperialisme yang semakin akut melalui skema kebijakan pemangkasan anggaran publik, privatisasi, dan skema upah murah.
Pemandangan ini secara konkrit dapat kita temui di Eropa. Dalam beberapa tahun terakhir Eropa sedang dilanda Krisis Pengungsi (Refugee Crisis). Krisis pengungsi ini meningkatkan tensi konflik di perbatasan Eropa yang memicu terjadinya banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia. Belakangan di saat pandemik kita mendengar tensi meninggi di perbatasan Yunani-Turki, kekerasan terhadap migran oleh kalangan Neo-Nazi di Jerman, hingga, tentu saja, Islamofobia di Prancis yang menajam pasca kasus pemenggalan kepala oleh pengungsi muda.
Krisis pengungsi ini tentu tidak muncul begitu saja. Krisis ini hadir karena peperangan yang terus-menerus direproduksi oleh imperialisme di Timur Tengah dalam rangka ekspansi dan monopoli sumber daya, khususnya minyak yang dimulai sejak 1950-1970. Ekspansi tersebut memicu tumbuhnya gerakan perlawanan fundamentalisme Islam sayap kanan di Timur Tengah akibat perampasan tanah dan ketidakpastian ekonomi. Ironisnya, bahkan gerakan perlawanan sayap kanan ini pun diam-diam ditunggangi pula oleh imperialisme. Tercatat, Amerika Serikat menyuntikan dana dan pasokan senjata kepada organisasi militan sayap kanan seperti Ikhwanul Muslimin dan Al-Qaeda.
Siklus produksi-reproduksi ekonomi perang ini akhirnya mengakibatkan banyaknya populasi yang kehilangan tempat tinggal dan merasa terancam. Mereka terdesak oleh situasi untuk mengungsi, termasuk ke Eropa untuk mencari suaka dan penghidupan ekonomi. Banyak dari mereka yang mengungsi pun merupakan simpatisan atau kalangan yang terpapar ideologi reaksioner sayap kanan yang disebutkan tadi.
Kedatangan mereka di Eropa, termasuk Prancis, tentu penuh dengan dinamika. Dalam konteks khusus Prancis, para pengungsi Muslim Timur Tengah sering mendapat diskriminasi secara verbal dan fisik di ruang-ruang publik. Mereka juga sering harus menelan pil pahit dengan beragam wacana populis anti-imigran sayap kanan yang menyebut mereka sebagai para “penjajah” dan “perongrong kedaulatan” karena kedatangan mereka dianggap telah merusak kedaulatan nasional Prancis. Tak jarang, retorika “perang melawan teror” yang ditujukan kepada para Muslim pun harus diterima sebagai kenyataan keseharian mereka. Stigma ini tentu tidak asing, karena sejak kolonialisme, kehadiran Muslim sudah selalu dilekatkan dengan teror dan babaritas. Kerancuan epistemologis lewat generalisasi yang melekatkan Islam dengan barbaritas dan terorisme jelas sangat problematis, karena mengabaikan diferensiasi struktur ideologi dari setiap aliran. Mereka yang sering melancarkan aksi-aksi teror seringkali berasal dari golongan puritan agama yang berusaha menegasi perbedaan.
Bagi para perempuan Muslimah rasisme yang diterima jauh lebih tajam. Akibat Laicite, para Muslimah Prancis dilarang menggunakan cadar di ruang publik yang merupakan bentuk pengekangan kebebasan berekspresi. Muslimah yang tetap menggunakan kerudung dan cadar di Prancis akan sangat rentan dicap sebagai teroris dan pemberontak. Pelarangan penggunaan atribut agama Islam juga dapat dilacak sejak kolonialisme Prancis di Aljazair. Di Aljazair, para Muslimah dilarang menggunakan cadar ataupun kerudung karena bertentangan dengan Laicite.
Islamofobia pun mewujud dalam kebijakan negara. Sejak beberapa tahun terakhir, Prancis terus melakukan deregulasi melalui skema neoliberalisme. Tercatat setelah perlawanan Yellow Vest meletus di 2018, upaya perampingan anggaran, liberalisasi investasi, fleksibilitas tenaga kerja, komersialisasi pendidikan serta krisis perumahan telah secara disproporsional berdampak kepada migran dan pengungsi Muslim, Para pekerja imigran Muslim (terutama perempuan) banyak bekerja di sektor informal/fleksibel bersama para pekerja imigran lainnya yang banyak berasal dari Afrika Utara (Maghreb) dan Italia, sembari harus diupah rendah. Penempatan kerja yang diskriminatif tersebut terjadi karena lamaran lowongan kerja di Prancis memiliki bias ras, gender dan agama. Tak jarang pihak pemberi kerja tidak menggubris lamaran kerja dari para imigran Muslim/Muslimah. Menurut riset Institut Montiagne, para pelamar beragama Katolik lebih diutamakan 30% ketimbang mereka yang berkeyakinan Yahudi, dan lebih timpang lagi dua kali lipat ketika dibandingkan dengan Muslim. Bahkan, ketika diterima untuk wawancara, pemberi kerja sering memberikan pertanyaan yang menyudutkan pihak pelamar kerja dengan mempertanyakan keyakinannya. Konsekuensi logisnya, penempatan kerja mereka diiringi dengan stigma rasisme, dan bahkan dibarengi dengan retorika bahwa mereka (imigiran Muslim/Muslimah) hanyalah “orang-orang yang menumpang hidup” di Prancis.
Rasisme pun kerap terjadi di tempat kerja terhadap Muslimah dengan pelarangan kerudung di tempat kerja yang dilegitimasi oleh hukum. Kerentanan kerja para pekerja melalui pelarangan cadar/kerudung di Prancis berdampak besar bagi perempuan karena mereka juga mengemban tugas reproduksi sosial. Pembagian kerja berbasis gender dan ras kentara terlihat di Prancis karena pekerja imigran Muslimah dibatasi jangkauan kerjanya sebatas pada sektor domestik dan afeksi. Undang-undang tentang pelarangan cadar membatasi mereka untuk bekerja di sektor lain karena untuk bekerja secara publik, pekerja imigran Muslimah harus menanggalkan cadar atau kerudungnya. Oleh karena itu, banyak dari mereka berakhir menjadi ibu rumah tangga (unpaid labour), atau bekerja di sektor afeksi/caring sebagai pengasuh anak agar menghindari diskriminasi karena menggunakan cadar. Pengekangan ruang gerak akibat atribut agama ini juga berdampak pada maraknya pengangguran dari kalangan imigran Muslimah. Populasi perempuan imigran dari Aljazair merupakan pengangguran tertinggi (61%), kemudian Maroko (44%), disusul Turki (39%).
Selain itu, para pekerja migran Muslim/Muslimah pun hanya diberi tempat tinggal di perkampungan kumuh yang, juga berangkat dari cerminan logika rasisme yang menunjukkan kalau Muslim memang merupakan kelompok yang kurang, atau bahkan tidak terepresentasi dalam kewarganegaraaan Prancis. Oleh karena itu, para pekerja Muslim/Muslimah di Prancis seringkali luput dari bantuan perumahan dari pemerintah Prancis. Situasi rasisme ini diperparah dengan harga perumahan yang memang terus melonjak naik di Prancis setelah kebijakan perampingan anggaran publik diberlakukan. Pasar apartemen dan perumahan yang dilempar pada pihak swasta berakibat pada semakin tingginya spekulasi saham sehingga memicu kenaikan harga.
Penutup
Beberapa waktu lalu, menyusul terorisme agama di Prancis, Emmanuel Macron mengklaim bahwa agama Islam sedang dilanda krisis akut. Klaim yang menurut penulis benar-benar menunjukkan sebuah kekeliruan besar. Macron sama sekali mengabaikan perkembangan kancah pemikiran dan gerakan Islam hari ini yang berusaha menggaungkan semangat emansipatoris. Baik di benua Eropa, Asia, maupun Afrika, gerakan Islam yang berorientasi pada perubahan mendasar dari sistem kapitalisme yang eksis hari ini semakin banyak. Para intelektual Islam pun telah kembali merevitalisasi pemikiran-pemikiran Islam demi menanggapi dunia yang sedang dilanda krisis berlapis hari ini. Dari sini, Islam justru sedang perlahan mengalami kemajuan.
Kalau ada yang sedang mengalami krisis, maka jawabannya adalah ideologi liberalisme dan sistem kapitalisme. Kapitalisme telah memperparah kehidupan umat manusia di seluruh penjuru dunia, menjadi penyebab merebaknya rasisme, hingga degradasi ekologi. Jalan keluar secara strategis tentu saja transformasi mendasar dari status quo hari ini. Mempertanyakan secara mendasar dan filosofis setiap manifestasi dari liberalisme berikut kapitalisme adalah keharusan, kalau dunia ini ingin diselamatkan. Wallahualam bishawab.***
Daftar Pustaka
Agozino, B. (2014). The Africana paradigm in Capital: The debts of Karl Marx to people of African descent. Review of African Political Economy, 41(140), 172-184.
Balibar, E., Wallerstein, I. M., & Wallerstein, S. R. I. (1991). Race, nation, class: Ambiguous identities. Verso.
Enayat, H. (2017). Islam and secularism in post-colonial thought: A cartography of Asadian genealogies. Springer.
Lazreg, M. (1990). Gender and politics in Algeria: unraveling the religious paradigm. Signs: Journal of Women in Culture and Society, 15(4), 755-780.
Robinson, Cedric J. (1983). Black Marxism: The Making of Black Radical Tradition. London: Zed.
Rosenblatt, H. (2007). On the Intellectual Sources of Laïcité: Rousseau, Constant, and the Debates about a National Religion. French Politics. Culture & Society, 25(3), 1–18.
Teeple Hopkins, C. (2015). Social reproduction in France: Religious dress laws and laïcité. Women’s Studies International Forum, 48, 154–164.
Valfort, M. A. (2015). Religious discrimination in access to employment: a reality. Policy Paper. Paris: Institut Montaigne.