“Mereka secara kritis disituasikan untuk memainkan peran-peran penting dalam menentukan pengetahuan apa, gagasan apa, pandangan-pandangan dunia yang bagaimana yang mendapatkan dukungan, dan di mana kemudian dimasukkan ke dalam wacana umum masyarakat.”
[Edward H. Berman]
Begitu banyak sambutan dari kalangan intelektual atas terbitnya buku Ahmet T. Kuru berjudul Islam, Otoritarianisme dan Keterbelakangan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (2020). Kuru adalah seorang dosen Ilmu Politik di San Diego University, Amerika Serikat. Sejumlah diskusi dan ulasan berbahasa Indonesia digelar: satu wawancara khusus oleh Tirto.id dan tiga ulasan di Republika.co.id, Kumparan.com, dan Islamsantun.org. Hampir semua memujinya sebagai karya yang menarik dan mampu memberi catatan empiris untuk refleksi dunia Islam.
Sayangnya, tak satu pun yang menguliknya secara lebih kritis meski argumen pokok Kuru jelas ingin mengeliminasi pandangan bahwa ambrolnya dunia Islam diakibatkan oleh pengalaman empiris kolonialisme. Kuru tak percaya itu dan membangun argumennya untuk mengeliminasi kenyataan itu. Tak ada pula yang keberatan atas argumen-argumen Kuru yang sejauh saya lihat lebih bertendensi liberalis sekuler dan menentang Islam politik, menyederhanakan pengalaman komunisme di dunia Islam sebagai bentuk “pemerintahan otoriter” semata.
Tak sepenuhnya keliru memang, tapi jelas, hal itu menunjukkan secara simtomatik bahwa Kuru, melalui bukunya ini, mendorong suatu model pembacaan liberalisme dan seluruh nilai-nilainya terhadap dunia Islam dan, dengan itu juga, menyingkirkan alternatif-alternatif model pembacaan yang lain. Karenanya, saya ingin sekali memulai pertanyaan:
“Mengapa setiap pemikiran mengenai dunia Islam yang berdasar argumen liberalis semacam itu lebih mudah diterima daripada, misalnya Samir Amin, pemikir Islam lainnya yang berhaluan marxis?”
Ulasan Samir Amin mengenai Arab Spring[1], misalnya, yang dilihat sebagai pukulan terakhir atas sosialisme Arab tak pernah digubris di dunia Islam, khususnya yang saya amati di Indonesia. Padahal argumen-argumennya saya kira tak kalah mendasar dan kuatnya. Yang mereka percaya malah sekedar adanya “demokratisasi”, sebagai lawan otoritarianisme, di belakang fenomena yang disebut Arab Spring itu.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana liberalisme dan janji-janjinya masih begitu dipercayai oleh dunia Islam. Sementara secara sebaliknya, komunisme begitu dibenci, sebagaimana akan saya tunjukkan jejaknya di dalam bagian berikut ini.
Melanjutkan Tradisi Liberal
Tulisan Ahmet Kuru ini sesungguhnya tidaklah khas dalam studi Islam kecuali pada argumen-argumennya yang merujuk dan sekaligus mengkombinasikan hasil-hasil survei kontemporer terhadap kondisi dunia Islam yang dilakukan lembaga-lembaga seperti Freedom House, United Nations Development Programme (UNDP) atau Bank Dunia dan beberapa rujukan yang lain. Juga tentu saja, Kuru mengambil bahan bacaan dari sejarah klasik yang amat kaya. Selain dua hal ini, ia sebenarnya hanya mengulang-ulang argumen para sarjana liberalis yang menganggap dunia Islam akan menjadi lebih baik dengan menganut ekonomi kapitalisme.
Dunia Islam, sejak berakhirnya Perang Dunia II, memang menjadi arena pertarungan gagasan dan kuasa antara blok komunis yang dipimpin Uni Soviet dan blok kapitalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat (Perang Dingin). Meski panggungnya tidak hanya di wilayah-wilayah dunia Islam, tapi dunia Islam adalah salah satu wilayah yang paling luas terlibat sekaligus terdampak.
Pengamatan tentang dunia Islam sebagai panggung pertaruhan supremasi, baik secara militer maupun gagasan strategis, oleh kedua blok di atas, dilakukan oleh Eugene Rogan dan Tamim Ansary dalam karya monumentalnya masing-masing, yakni Dari Puncak Khilafah: Sejarah Arab Islam Sejak Kejayaan Dinasti Utsmaniah (2018)[2] dan Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia versi Islam (2015)[3]. Di dunia Islam sendiri, mereka yang mendukung blok komunis disebut progresif dan mereka yang mendukung blok sekutu disebut reaksioner. Beberapa negara yang cenderung kepada sekutu Amerika Serikat di dunia Arab di antaranya adalah Arab Saudi, Pakistan, Iran (sebelum revolusi Islam), negara-negara kaya minyak di teluk, Turki, dan Afganistan (di era Taliban awal).
Blok komunis di dunia Islam pada tahun 50-an bisa dibilang cukup luas, mencakup Mesir, Libya di Afrika, Suriah, Irak dan Lebanon, Afganistan (sebelum era mujahiddin/Taliban), Indonesia, dan tentu saja negara-negara Asia Tengah yang memang sudah jelas terhimpun dalam lima belas republik yang bergabung ke dalam Uni Soviet. Tentu saja ini tanpa menyebutkan negara-negara baru di dunia Islam meraih kemerdekaannya dengan menggunakan perangkat-perangkat marxisme atau komunisme dalam perjuangan mereka, dengan secara langsung tergabung ke dalam Komunis Internasional atau tergabung ke dalam partai-partai berhaluan komunis atau marxis. Begitu juga pengaruh luas gagasan anti-imperialisme yang berasal dari gerakan komunis ke dalam jantung gerakan Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok.
Kedua blok ini terus berseteru sebelum Uni Soviet benar-benar runtuh pada tahun 1991. Bahkan pada tahun 1989, saat Soviet sudah mengalami krisis parah, ketika rezim para ‘mujahid’ Saudi Arabia dan Pakistan, yang dibiayai Amerika Serikat[4], melawan pemerintahan komunis Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDPA) di Afganistan, Soviet masih membantu. Khusus untuk Afganistan, para intelektual liberal dan Islamis mempercayai jika jihad yang dilakukan di Afganistan itu adalah murni karena kekuatan spiritualitas Islam. Padahal jelas sekali agen-agen CIA terlibat baik secara teknis maupun dukungan pendanaan dan senjata kepada mereka yang diklaim ‘mujahidin’.[5] Para mujahid bentukan Amerika ini merekrut dan melatih milisi di Pakistan lalu memasukkannya ke sejumlah front di Afganistan dengan “semangat jihad” melawan komunis ateis, seperti propaganda Amerika Serikat di banyak tempat untuk melawan komunisme.
Para Intelektual Islam Anti-Komunis
Sebagaimana Kuru, para intelektual Islam dari berbagai tempat banyak yang berpandangan demikian. Beberapa di antaranya saya kemukakan pandangannya di bagian ini sebagai penguat argumen.
Ziauddin Sardar mungkin merupakan salah satu intelektual yang tenar di dunia Islam dan bisa dianggap sebagai intelektual Islam anti-komunis. Dia dikenal sebagai futurolog yang mendorong gagasan Islam yang autentik, yang kemajuannya tidak dipengaruhi Barat, baik dari dunia pertama maupun dunia kedua. Meski demikian, Islamnya yang autentik itu, yang menekankan “pembatasan konsumsi dan redistribusi sumber daya secara merata” tidak pernah jelas rujukan historis dan konseptualnya. Di dunia Islam modern semacam apa dan di wilayah mana itu mungkin terjadi? Dalam apologianya soal sistem sosial, ilmu pengetahuan dan sistem ekonomi Islami yang dibayangkannya enam dekade lalu, pemikirannya sesungguhnya menyimpan penerimaan atas imperialisme. Dalam sebuah bukunya yang diterbitkan pada akhir tahun 60-an, Ziauddin menjelaskan tentang pentingnya dunia Islam keluar dari pengaruh Barat. Seperti ditulisnya:
“Akibat utama dari otoritas barat itu adalah perkembangan sains dan teknologi di negara-negara Islam hanyalah demi kepentingan Barat. Kesempatan ini dimanfaatkan terutama sekali oleh pengusaha-pengusaha Barat dalam beberapa komoditi seperti minyak di Iran dan Arab, karet, timah dan berbagai sumber penting lainnya di Malaysia dan Indonesia. Dalam konteks eksploitasi ini mungkin sekali keuntungan dan sekaligus malapetaka yang paling besar adalah akibat dari penyerangan militer yang besar-besaran terhadap negara-negara muslim merdeka di Asia Tengah dalam tahun-tahun 1920-an dan 1930-an oleh Rusia dan Cina Komunis. Lagipula kedua negara ini jauh lebih imperialistis daripada negara imperialis manapun dengan mencaplok negara-negara yang dikalahkannya.”[6]
Cara ia menyembunyikan eksploitasi kolonial dan imperialisme Eropa Barat yang berlangsung berberapa abad tak disebutkan sebagai sebuah kejahatan luar biasa sementara Soviet di tahun 1920-an sampai 1930-an disebutkan sebagai ‘malapetaka paling besar’. Saya mencoba mencari-cari dari bacaan saya yang terbatas tentang peristiwa penaklukan militer di tahun itu tapi saya tidak menemukannya. Setahu saya pemerintahan komunis di bawah Stalin berlangsung antara tahun 1927 sampai tahun 1953. Di era-era tersebut memang terdapat kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahannya. Dan juga perlu dicatat bahwa komentar Sardar tersebut bersumber dari seorang birokrat Inggris di India yang menulis Soviet Empire bernama Sir Olaf Caroe[7].
Caroe pernah menjabat gubernur di India yang saat itu dijajah imperialis Inggris yang kepentingannya rusak setelah aliansi tridente antara Prancis, Inggris, dan Rusia pecah akibat Revolusi Oktober dan membuat Rusia menarik diri dari perang lalu membentuk pemerintahan Soviet. Pemerintahan Soviet ini didirikan di antaranya oleh 6 republik sosialis berpenduduk Islam yang disebut Sardar justru diserang oleh Rusia. Bagaimana bisa sebuah negara republik merdeka, dalam satu kesatuan republik sosialis federasi Soviet, menginvasi satu sama lain? Suatu kontradiksi inter minus dan menunjukkan kedangkalan pemahaman Sardar atas Soviet dan bagaimana republik anti-imperialis itu dibentuk.
Meski terlihat tidak memihak kepada kolonialisme dan selanjutnya kapitalisme global, Sardar seperti menerima atau meminjam istilah Wijaya Herlambang, ‘mewajarkan’ kenyataan imperialisme kapitalis dengan hanya menawarkan paradigma Islam yang mengambang sejak tahun 1980-an.
Ia menyebutnya “sains Islam”, yakni cara melihat dunia bahwa di antara barat dan Islam, atau antara kapitalisme (yang disebutnya Barat) dan Komunisme (yang juga disebutnya Barat), terdapat sistem pengetahuan dan pembangunan dunia Islam yang lebih baik. Tapi bagaimana itu mewujud hingga kini tak pernah bisa dijelaskan dan dirujuk. Jika memeriksa beberapa negara dengan etos progresif dan Islamis, yang paling bisa dirujuk saat ini adalah Iran pasca revolusi 1979. Tetapi ini jelas sekali sebagai sebuah spirit revolusi anti-imperialis yang tidak hanya diwarnai nilai-nilai Islam semata tapi juga berkawin mawin dengan gagasan marxis seperti dikemukakan oleh Ali Syariati dan juga pemikir lainnya.
Pemikiran Sardar, sebagaimana bisa dilihat dalam karyanya yang lebih baru, menunjukkan dimensi pengetahuan lamanya yang lebih condong kepada kapitalisme kolonial atau pewarisnya dalam bentuk kapitalisme global, telah berubah kepada solusi-solusi yang lebih menyadari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kapitalisme kolonial dan rezim pelanjutnya tersebut bagi dunia secara umum dan dunia Islam secara khusus. Tapi jejak anti-komunisnya jelas sekali terlihat dalam argumen-argumen yang dikemukakan dalam bukunya yang belum lama ini terbit: Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Metode Pemecahan Masalah (2005). Dalam buku itu, Sardar menekankan hanya spiritualitas Islam yang murni saja yang bisa mengalahkan kekuatan super power dunia seperti dalam kasus Afganistan tahun 1979-1989.
“Kesuksesan kelompok mujahidin di Afganistan menunjukkan bahwa dorongan religius murni dapat mengalahkan negara super power dunia”[8], jelasnya. Sebuah penjelasan yang tidak hati-hati. Padahal perang mujahidin melawan komunisme di Afganistan jelas merupakan ‘proyek jihad’ Amerika Serikat dengan gelontoran biaya sangat besar dan bukan sekedar dorongan religius murni. Apa dana Amerika Serikat, Inggris dan Arab Saudi ke kamp-kamp pelatihan para mujahiddin itu disebut murni dorongan religius?[9]
Cara pandang Islamis seperti ini juga dikembangkan oleh Ali A. Allawi dalam bukunya yang merupakan best seller di beberapa negara dan dipuji sebagai ‘world original thinker’ oleh majalah terkemuka Inggris, Prospect Magazine. Dalam buku yang berjudul Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan dan Keruntuhan Total (2015) itu, ia mengajukan istilah ‘spritualitas Islam’, yaitu proyeksi atas sebuah sistem Islami untuk kebangkitan dan kemajuan Islam yang akan mewarnai perubahan-perubahan masa depan Islam. Spiritualitas ini merupakan spirit moral yang mendorong kepada asketisme sufistik dan ia bela mati-matian dari serangan epistemologi rasionalis di Barat. Seperti dikemukakannya:
“Dalam pandangan para rasionalis, ilmu tasawuf merupakan sistem pemikiran palsu berdasarkan tahayul, halusinasi, penciptaan mitologi dan keadaan serta pengalaman yang kebenarannya belum terbukti, yang mendekati keadaan gila. Para modernis menganggap dalam cerita-cerita rakyat Islam terdapat bentuk indoktrinasi primitif massal yang sangat buruk dan bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa islam selaras dengan dunia modern.”[10]
Sebagaimana disadarinya juga, sufisme yang ia ajukan memang seperti yang banyak dikritik, yang akan “menggerus keabsahan dan relevansi tarekat-tarekat sufi tradisional—walaupun tidak pada sufisme sebagai pemantul dimensi-dimensi batiniah Islam.”[11] Di sini bayangan Islam yang dikemukakan Allawi sebagai solusi abstrak menemui kemiripan dengan Sardar yang mengusulkan suatu spiritualias Islam atau sains Islam yang tidak dipengaruhi barat.
Cara pandang liberalis dan sekaligus anti-komunis, yang merupakan hasil dari operasi-operasi berbagai kelompok di CIA untuk kepentingan blok kapitalis, adalah reproduksi gagasan semacam Sardar dan Allawi serta intelektual-intelektual sejenis lainnya.
Di Indonesia, pemikir seperti Nurcholis Madjid misalnya, dalam tulisannya di tahun 80-an menunjukkan cara yang kurang lebih sama dalam melihat gagasan progresif seperti marxisme dan leninisme. Ia menganggap keduanya sebagai bahaya sekuler dan ateis. Di samping itu, Nurcholis Majid begitu membela gagasan liberalis yang dipraktikkan di negara Eropa Barat atau Amerika Serikat.[12]
Intelektual Islam lain yang lebih ekspresif dalam memberikan gambaran buruk mengenai Uni Soviet dan komunisme adalah Akbar S. Ahmed, seorang antropolog kelahiran Pakistan yang menjadi profesor tamu di Princeton University dan Harvard University Amerika Serikat. Secara serampangan ia menulis, “bagaimana Rusia mengendalikan wilayah yang sangat jauh ini—jawabannya terkandung dalam dua kata: kekuatan brutal”[13]. Begitu mengerikan dan tak faktual! Pengamatan Akbar yang hanya sekadar berjalan-jalan berkeliling singkat atas dunia Islam dan kemudian menuliskannya dalam sebuah buku amatan antropologis berjudul Living Islam Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornoway (1997) adalah amatan sambil lalu yang lebih cocok disebut sebagai catatan perjalanan. Secara buru-buru dan sembrono ia menyimpulkan ganasnya rezim Soviet terhadap wilayah-wilayah Asia Tengah. Tetapi dalam paragraf-paragraf selanjutnya, yang ia klaim sebagai fakta penguat tentang kekuatan brutal itu, tak satup un menunjukkan kebrutalan Soviet. Justru sebaliknya, fakta-fakta tersebut malah menampilkan kebrutalan kekaisaran Rusia yang justru ditumbangkan oleh Revolusi Oktober.
Refleksi Dunia Islam Anti–Komunis di Indonesia
Sebagai akhiran dari artikel ini, saya ingin menyampaikan bagaimana alur kerja-kerja intelektual di dunia kebudayaan itu yang, menurut bahasa Berman, telah ‘disituasikan’ agar memberi angin segar bagi liberalisme dan mendeligitimasi komunisme seperti dalam kasus dunia Islam di Indonesia. Proses ini disebut Wijaya Herlambang, seorang akademisi jebolan University of Quensland dan penerima Post-Graduate Award (2006-2009) yang meneliti isu kekerasan budaya pasca 1965, sebagai ‘kekerasan budaya’. Penelitiannya ini berjudul Cultural Violence: Its Practice and Challenge in Indonesia (2011) dan diterjemahkan ke dalam buku berbahasa Indonesia berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013).
Wijaya menyampaikan, kebencian terhadap komunisme di Indonesia bukanlah sesuatu yang alamiah. Namun sesuatu yang diproduksi oleh agen-agen kebudayaan liberal dan anti-komunis melalui produk-produk kebudayaan berupa film, serial televisi, lagu, dan buku-buku.
Siapakah yang disebut agen-agen kebudayaan liberal dan pengusung anti-komunis itu? Wijaya menyebutkan nama-nama penting seperti Goenawan Mohamad, Muhtar Lubis atau Taufiq Ismail. Juga murid-murid dari tokoh ini, seperti Ulil Absar Abdallah, Lutfhie Asyaukani, dan yang lainnya. Mereka ini berkumpul di dalam lembaga-lembaga seperti Jaringan Islam Liberal, Yayasan Obor, Freedom Institut, dan Komunitas Utan Kayu.[14]
Tokoh-tokoh intelektual dan kebudayaan inilah yang melegitimasi ide liberalisme dan sentimen anti-komunisme di Indonesia. Sesuai dengan kepentingan Amerika Serikat, CIA membentuk lembaga bernama Congress for Cultural Freedom (CCF). Dalam lembaga inilah disusun suatu kerangka kerja kebudayaan dan intelektual bagi politik liberalisme dan anti-komunisme. Tokoh penting CCF yang sekaligus juga agen CIA, Ivan Kats, melakukan surat-menyurat dan bertemu langsung dalam sejumlah kesempatan dengan Goenawan Mohamad dan merencanakan kerja-kerja intelektual dan kebudayaan anti-komunisme. Dia bekerja sebagaimana digambarkan Martin Suryajaya, yakni “membuat wajar kapitalisme”[15] sehingga kekerasan di belakang eksploitasi kapital itu diterima sebagai sesuatu yang wajar dan ‘sunnatullah’. (Atau dalam bahasa Wijaya Herlambang: “mewajarkan kekerasan pasca 65”).
Kekerasan terhadap PKI dan simpatisannya pasca 1965 dan kekerasan kebudayaan lanjutannya di Indonesia, yang hingga kini terus dirayakan setiap bulan September, bertemu dengan semakin banyaknya sarjana Islam jebolan Barat yang mempercayai liberalisme sebagai suatu pandangan dunia yang tepat untuk Indonesia, juga untuk dunia Islam. Di saat yang sama mereka menebar kebencian terhadap komunisme sehingga membuat dunia intelektual dan akademik kita tercemar oleh proyek kebebasan palsu CIA melalui CCF yang membawa kepentingan politik dan kebudayaan Amerika Serikat. Suatu pemikiran yang menyebar luas dan kuat karena ‘disituasikan’.
Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, wacana liberalis dan anti-komunis ini dikembangkan. Dunia akademik kita memainkan peran yang cukup sentral dalam perkembangan wacana itu.
Karena itulah wacana yang berkembang di ruang publik kita sampai sekarang masih seperti ini: “pembantaian 600.000 sampai 2 juta orang pasca 1965 dianggap sebagai kewajaran”; “liberalisme adalah jalan terbaik”; “pemberangusan serikat pekerja adalah hal biasa”; “pengupahan dan perbudakan di bawah kapitalisme adalah sesuatu yang pantas saja”; “kolonialisme oleh barat lebih beradab dari bahaya Cina/Soviet komunis”. Wacana-wacana semacam itu begitu mudah diterima dan bahkan telah terinternalisasi menjadi sebagai semacam kepercayaan yang membatin. Dan kepercayaan ini juga nampaknya tercermin pada penerimaan—dan juga apresiasi—atas tafsir liberal dunia Islam yang disampaikan Kuru.
Keyakinan dan pengetahuan ini menyebar di kampus-kampus. Para akademisi, dosen, dan mahasiswa adalah induk semangnya. Juga di kalangan intelektual Islam seperti telah disebutkan di atas. Mereka begitu memusuhi komunisme dan memuja-muja Amerika Serikat dan kroninya yang mengisap darah mereka: sejak kolonialisme sampai neoliberalisme kini! Wallahu a’lam bi sawab.
Catatan Kaki:
[1] Samir Amin, The Reawakening of The Arab World Challenge and Change in the Aftermath of The Arab Spring (New York: Monthly Review Press, 2012), hal. 6.
[2] Eugene Rogan, Dari Puncak Khilafah: Sejarah Arab-Islam Sejak Kejayaan khilafah Utsmaniah (Jakarta: Serambi, 2017).
[3] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta: Serambi, 2018).
[4] John Pilger, Sejarah Afganistan yang Ditutupi (September 2021). Dalam operasi yang disebutnya “tindakan rahasia”, Amerikat Serikat dengan menggelontorkan uang senilai 500 juta USD. Operasi ini ditujukan untuk membantu membentuk mujahidin di Afganistan. “Gary”, seorang agen CIA, membawa uang kontan 100.000 USD dan memberikan 10juta USD pada kesempatan berikutnya. (http://ic-mes.org/politics/john-pilger-sejarah-afganistan-yang-ditutupi/)
[5] Nino Oktorino, Afganistan 1979-1989 Tentara Komunis Soviet VS Mujahiddin (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2020), hal. 1-7.
[6] Ziauddin Sardar, Teknologi dan Pembangunan Dunia Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1989), hal. 3.
[7] Ibid.
[8] Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Pemecahan Masalah (Yogyakarta: Serambi, 2005), hal. 139.
[9] John Pilger, Sejarah Afganistan yang Ditutupi, September 2021.
[10] Ali A Allawi, Krisis Peradaban Islam Antara Kebangkitan dan Keruntuhan Total (Bandung: Mizan, 2015), hal. 420.
[11] Ibid, hal. 421.
[12] Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan yang diterbitkan kembali dalam bundel buku Karya Lengkap Nurcholis Madjid (Jakarta: Nurcholis madjid Society,2019), hal. 169.
[13] Akbar S Ahmed, Living Islam Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornoway (Bandung; Mizan, 1997), hal. 179.
[14] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965 Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (Jakarta: Marjin Kiri, 2013), hal. 16. Lihat juga halaman 245-247 di mana Wijaya menguraikan keterlibatan Jaringan Islam Liberal yang menginduksi dunia Islam Indonesia dengan wacana kebebasan dan demokrasi dengan biaya amat besar dari lembaga donor yang berkantor di Amerika Serikat seperti Asia Foundation. Lembaga ini menyediakan suntikan dana sebesar 150.000 USD/tahun.
[15] Martin Suryajaya, Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965. IndoProgress (https://indoprogress.com/2013/12/goenawan-mohamad-dan-politik-kebudayaan-liberal-pasca-1965/)
Tulisan yg bagus. Sedikit menambahkan, Samir Amin seorang Koptik. Bukan Muslim. Dia dibesarkan oleh tradisi itu dari bapaknya, dan jacobin dari ibunya.
Teruma kasih, Bung. Soal ini biar nanti diklarifikasi oleh penulisnya ya. Redaksi sendiri belum menemukan referensi soal tersebut. Salam
Sepertinya sy tertarik melakukan falsifikasi atas bbrpa argumen tulisan diatas hehe
Tentu kami akan senang jika saudara bisa menuliskannya dalam satu artikel utuh, supaya bisa memantik diskusi lebih jauh. Kami tunggu ya tulisannya. Untuk pengiriman tulisan di Islam Bergerak bisa dicek di: https://islambergerak.com/kirim-tulisan/
aku gak baca cuma nonton wawancara Pontoh. yg aku tangkap Kuru memulainya dari analisa kelas. itu yg bikin beda dari Ismail Alatas yg kebetulan di wawancara Kania di kitaran waktu yg berdekatan dgn wawancara Pontoh. Alatas justru memulai dari identitas, keluar dari Arab yg khusus ke Islam yg umum (terlepas keberpihakannya pd Persia) lalu masuk ke liberalisme dan kapital utk baitul himah. Selain itu, Kuru gak pernah merekomomendasi utk mencontoh kemajuan dari barat, sebab sdh ada contoh dari tradisi Islam sendiri.
cuman aku pikir2 lagi, kalo analisa penulis benar thd karya Kuru, berarti “tradisi Islam” yg dimaksud Kuru sudah diterjemahkan oleh Alatas. Setali tiga uang berarti 2 orang ini.