“Memang khawatir Kak, karena anak kan ditinggal, tapi mau gimana lagi, perlu bantuin suami kerja, buat nambah-nambahin juga,” ujar Ibu Tini.[1]
Ia adalah seorang pemulung yang saya temui ketika penelitian lapangan, yang berjibaku untuk menghidupi diri dan keluarganya. Kisah Ibu Tini adalah satu dari banyak cerita dari pemulung perempuan di Gasong, sebuah komunitas pemulung yang tersembunyi di antara gedung-gedung pencakar langit di Jakarta Selatan. Perempuan-perempuan lain di Gasong juga berbagi kisah yang sama. Tekanan – dan kewajiban – yang berlapis ini tampaknya adalah pengalaman yang jamak bagi para perempuan pekerja ini.
Pemulung perempuan di Gasong tidak memiliki pilihan kecuali bekerja untuk menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di waktu yang bersamaan, mereka juga harus melakukan kerja-kerja domestik seperti mengurus anak, menyiapkan makanan untuk keluarga, dan membersihkan rumah atau tempat tinggal. Kerja-kerja ini dapat disebut sebagai kerja perawatan tak berbayar (unpaid care work, UCW). Jenis kerja seperti ini, yang seringkali dilakukan oleh perempuan kelas pekerja, memiliki peranan penting dalam menopang kehidupan di kota-kota besar seperti Jakarta
Kebanyakan orang memiliki pemahaman yang keliru mengenai kerja perawatan tak berbayar, terjebak oleh bias-bias liberal atau konservatif. Dalam etos liberal,[2] kerja perawatan tak berbayar dilihat hanya sebagai persoalan pilihan dan tanggung jawab individual perempuan, sedangkan asumsi konservatif menganggap kerja perawatan tak berbayar sebagai “tugas alamiah” bagi perempuan.[3]
Tidak hanya itu, kerja perawatan tak berbayar juga seringkali direduksi sebagai persoalan domestik belaka, sebagai urusan pribadi yang tidak dihitung sebagai kerja beneran. Dengan kata lain, kerja perawatan tak berbayar dibuat “tak terlihat” dan, sebagai konsekuensinya, tidak dihargai dan dihitung sebagai kerja berkompensasi dalam ekonomi kapitalis modern. Ironisnya, kerja-kerja perawatan tak berbayar yang dilakukan oleh kebanyakan perempuan dalam konteks rumah tangga atau keluarga menopang proses produksi dan stabilitas ekonomi secara signifikan.
Pandangan-pandangan tersebut, dengan demikian, tidak menjelaskan hakikat dari kerja perawatan tak berbayar dan sentralitasnya. Menurut saya, konsepsi kerja domestik (housework) yang diformulasikan oleh Silvia Federici, seorang intelektual-aktivis Marxis-feminis, amat berguna untuk memahami peranan penting kerja perawatan tak berbayar. Lensa teoretik ini sangat membantu penelitian lapangan saya di Gasong. Federici telah lama mengadvokasi kerja domestik sebagai salah satu bentuk kerja (labor) yang valid dalam kampanye Wage for Housework (Upah untuk Kerja Domestik) yang dimotorinya sejak dekade 1970an.[4] Dia mendefinisikan kerja domestik kurang lebih sebagai segala upaya yang dilakukan manusia untuk memastikan anggota-anggota keluarga mereka terurus dengan baik. Tetapi, tanggungan kerja ini biasanya dibebankan ke perempuan.
Dengan merujuk kepada pengalaman pemulung perempuan di Gasong, saya ingin menunjukkan bahwa kerja perawatan tak berbayar perlu dilihat sebagai bentuk kerja yang absah alih-alih hanya sebagai kerja “informal”.
Kerja-kerja perawatan tak berbayar di antara kaum miskin kota adalah sebuah bentuk kerja yang tinggi tingkat risiko dan kerentanannya, yang seringkali dibebankan kepada perempuan. Kerja-kerja ini juga sering dipandang sebelah mata dalam masyarakat kapitalis modern meskipun memiliki peranan dan kontribusi ekonomi yang signifikan.
Data dari International Labour Organization (ILO) dapat membantu kita untuk memahami sentralitas dari kerja “informal”, sebuah kategori yang juga mencakup kerja perawatan tak berbayar. ILO memperkirakan sekitar dua miliar atau lebih dari 61 persen dari populasi tenaga kerja global menopang penghidupannya dengan bekerja di sektor-sektor ekonomi informal.[5] Rincian per kawasannya adalah sebagai berikut.[6] Di Afrika, 85,8 persen dari angkatan kerja bersifat informal, sedangkan di Asia-Pasifik proporsinya adalah sebesar 68,2 persen dan di Jazirah Arab sekitar 68,6 persen. Kawasan-kawasan lain memiliki proporsi angkatan kerja informal yang lebih rendah, yaitu sekitar 40 persen di Benua Amerika dan 25.1 persen di Eropa dan Asia Tengah.
Berdasarkan data ini, dapat kita lihat bahwa negara-negara berkembang di Selatan memiliki jumlah angkatan kerja informal yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara Utara. Kondisi ini juga berlaku di Indonesia, di mana jumlah pekerja informal lebih banyak dibandingkan pekerja “formal.” Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sampai dengan Agustus 2019, proporsi tenaga kerja informal adalah sekitar 55,72 persen atau 70,49 juta penduduk, sedangkan proporsi tenaga kerja formal adalah sekitar 44,28 persen atau 56,02 juta penduduk.[7]
Banyak sektor ekonomi di Indonesia bergantung kepada kerja-kerja informal seperti pertanian, perikanan, manufaktur, hingga aktivitas kerja dalam ranah rumah tangga. Sayangnya, baik masyarakat maupun negara masih mengabaikan peranan penting dari kerja informal. Buktinya dapat kita lihat dari pandangan umum mengenai pemulung. Di Indonesia, kerja-kerja pemulung untuk memilah dan mendaur ulang sampah dikategorikan sebagai kerja informal, yang tidak mendapatkan payung regulasi yang baik dari pemerintah.
Ini adalah satu hal yang ironis, mengingat bahwa pemulung memiliki peranan penting sebagai pekerja garda terdepan (frontline workers) untuk pengelolaan sampah kota dan proses daur ulangnya, terutama di kota besar seperti Jakarta. Mereka mengumpulkan dan mensortir sampah rumah tangga dan komunitas berbagai daerah hunian, pasar, dan jalanan. Kemudian, para pemulung akan menjual sampah yang telah mereka pilah kepada pengepul yang lebih besar atau mendaur ulang sampah tersebut sendiri.
Pekerjaan memulung, seperti kita tahu, adalah pekerjaan yang berbahaya karena para pemulung menghadapi kondisi kerja di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) tanpa alat pelindung diri yang cukup. Dalam konteks kebijakan yang ada sekarang dan kelalaian struktural, mereka harus bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang dan dengan upah murah, tanpa adanya perlindungan sosial dan layanan kesehatan.
Kembali ke tempat penelitian saya, Gasong. Di Gasong, hampir semua warga berusia dewasa bekerja sebagai pemulung. Oleh karena itu, komunitas ini adalah studi kasus yang pas untuk mempelajari kehidupan para pemulung.

Saya datang ke Gasong sebagai bagian dari agenda riset kolaboratif antara Forum Islam Progresif (FIP) dan tiga organisasi kaum miskin kota di Jakarta: Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), dan Komunitas Ciliwung Balekambang. Salah satu tujuan dari riset ini adalah untuk menganalisis karakteristik dari kerja perawatan tak berbayar yang dilakukan oleh pemulung perempuan di Gasong. Saya menemukan bahwa para pemulung perempuan ini menghadapi berbagai beban kerja domestik di kehidupan sehari-hari.
Pendekatan riset saya menggabungkan sensibilitas etnografis dengan wawancara berbasis dialog. Selama dua bulan (April-Mei 2021), saya melakukan kunjungan lapangan secara rutin ke warga Gasong, mengamati dan berpartisipasi dalam beberapa aktivitas keseharian para pemulung, mewawancarai mereka, dan melakukan dua diskusi kelompok terfokus (focus group discussions, FGD) di Gasong.
Pada awal April 2021, saya mengunjungi Gasong bersama rekan-rekan tim riset saya untuk mengadakan wawancara dan diskusi kelompok pertama dengan komunitas pemulung. Melalui wawancara ini, saya berkenalan dan membangun hubungan kolaboratif (rapport) dengan komunitas pemulung sebagai rekan penelitian di lapangan serta mempelajari kehidupan dan masalah sehari-hari mereka.
Gasong tersembunyi di daerah Menteng Atas, yang merupakan area elit yang dikelilingi oleh gedung tinggi, restoran, dan kafe. Siapa yang mengira bahwa ada komunitas miskin kota di lingkungan elite tersebut?
Ketika saya mengunjungi Gasong, saya agak sulit menemukan lokasinya; saya harus mengelilingi beberapa unit area di pemakaman umum Menteng Pulo. Ternyata, Gasong terletak di dekat unit pemakaman Tionghoa-Kristen. Tak lama kemudian, kami melihat tumpukan sampah di sekitar unit pemakaman tersebut dan itu menandakan bahwa kami telah tiba di Gasong.
Diskusi kelompok selanjutnya dengan komunitas pemulung di Gasong diadakan selama bulan suci Ramadhan (pertengahan April sampai dengan pertengahan Mei 2021). Sesi diskusi dengan kawan-kawan pemulung kali ini berlangsung secara santai dan diwarnai dengan pembicaraan sehari-hari dengan beberapa kelompok pemulung perempuan.
Ketika itu, saya mewawancara sepuluh pemulung perempuan – kebanyakan mereka adalah ibu-ibu. Mayoritas data dan cerita yang saya dapatkan berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun terdapat banyak kesamaan pola. Kami duduk dan berkumpul bersama di salah satu bilik di komunitas tersebut. Saya bertanya mengenai aktivitas sehari-hari mereka dan apa yang biasanya mereka kerjakan sebagai pemulung perempuan di keluarga masing-masing.
Kebanyakan mereka memiliki jawaban yang serupa: biasanya mereka bangun tidur lebih pagi untuk melakukan pekerjaan rumah seperti menyiapkan sarapan, membantu anak-anaknya bersiap-siap ke sekolah. Suami mereka, yang juga bekerja sebagai pemulung, berangkat kerja pagi-pagi sekali. Sedangkan, para pemulung perempuan akan berangkat bekerja setelah mereka sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Para Ibu akan berangkat sekitar pukul 9 pagi dan biasanya jam kerja memulung mereka akan selesai lebih dulu daripada suami-nya. Contohnya, Ibu Surtini, salah satu warga Gasong, akan bekerja sekitar pukul 10 pagi sampai dengan pukul 3 sore pada hari Rabu sampai Sabtu, dan sisa harinya akan dia gunakan untuk fokus mengurus anak-anaknya.
Fenomena atau kejadian ini merupakan manifestasi gagasan Silvia Federici mengenai housework – secara singkat, housework merupakan apa pun yang dilakukan seseorang untuk dapat memastikan keluarganya terawat. Contohnya antara lain membersihkan rumah, menyediakan makanan, mengasuh anak-anak, menjaga orang tua lansia dan seterusnya. Pekerjaan semacam ini bersifat immaterial, tidak terlihat dan tidak berbayar.
Sekali lagi, kita dapat melihat bahwa peranan kerja domestik ini sentral dalam menopang ekonomi kapitalisme modern. Fenomena ini biasa terjadi secara lintas etnis dan kelas sosial. Hal ini pun yang saya temui di sejumlah kolega kelas menengah, teman-teman di sektor akademik, masyarakat sipil, media, dan korporat: bahkan perempuan kelas menengah pun dalam beberapa derajat berjibaku antara karier mereka dan tanggungjawab kepada keluarga.
Sekali lagi, mari kembali ke kasus Gasong. Pekerjaan memulung memang pekerjaan yang sangat sulit bagi laki-laki di Gasong. Sama halnya seperti pemulung perempuan, mereka hanya memiliki pendapatan kecil sehari-harinya, minim jaminan sosial, dan harus bekerja di lingkungan yang berbahaya juga beracun. Tetapi, menurut saya, walaupun pemulung perempuan bekerja sebagai dengan waktu kerja yang lebih pendek, kondisi kerja mereka sebenarnya bisa dibilang lebih sulit karena beberapa alasan.
Pertama, banyak perempuan pemulung di Gasong yang harus melakukan pekerjaan tambahan agar menghasilkan pendapatan lebih untuk membantu penghidupan mereka. Mereka melakukan pekerjaan informal lainnya seperti menjual kopi atau kue tradisional di jalan dan membersihkan pemakaman di sekitar tempat tinggalnya. Dengan melakukan pekerjaan tambahan tersebut, mereka terkadang harus bekerja dengan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan para rekan kerja dan suami mereka, pemulung laki-laki.
Kedua, mereka menghadapi beban berlapis dari pekerjaan rumah alias kerja perawatan tak berbayar yang membuat kondisi mereka semakin rentan. Kondisi kerja pemulung perempuan, sama seperti dengan pemulung laki-laki, sangatlah sulit, tetapi pekerjaan dan kondisi kerja pemulung perempuan kurang dihargai bahkan diakui daripada pemulung laki-laki. Hal ini dikarenakan pekerjaan penting yang dilakukan mereka biasanya ada di dalam rumah yang membuat kerja mereka “tidak terlihat” di mata publik.
Ketiga, banyak perempuan, terlepas dari status sosial-ekonomi mereka, menghadapi tantangan budaya yang berkaitan dengan kerja domestik. Khususnya di Indonesia, di mana kultur patriarki yang masih dominan melihat kerja keperawatan tidak berbayar sebagai “kewajiban” untuk perempuan. Kondisi ini sangat menantang bagi kelas pekerja, khususnya perempuan. Mereka bekerja pagi sampai malam untuk membantu kebutuhan finansial keluarga mereka. Namun di satu sisi, mereka juga diharapkan untuk bisa dapat terus menjaga kehidupan keluarga dengan baik melalui kerja keperawatan tidak berbayar. Seperti yang dijelaskan oleh Federici di dalam bukunya, dalam masyarakat kapitalis, kerja perawatan tak berbayar atau housework tidak hanya sekedar dibebankan ke perempuan, tetapi juga dinaturalisasi atau dibuat seakan-akan menjadi kodrat perempuan. Kondisi ini yang terjadi di Gasong. Para pemulung perempuan mengatakan kepada saya bahwa mereka menikmati kerja-kerja perawatan tak berbayar mereka karena menurut mereka kerja seperti itu adalah adalah “kebiasaan” dan “kewajiban”.

Memulung merupakan pekerjaan yang esensial untuk mendukung manajemen sampah dan kehidupan kota secara luas. Meskipun demikian, kerja memulung ini masih termasuk ke dalam pekerjaan informal. Akibatnya, para pemulung tidak mendapatkan kejelasan mengenai jaminan sosial, tetapi mereka juga tidak bisa hanya mengandalkan bantuan pemerintah. Terlebih lagi, kerja perawatan tak berbayar yang kebanyakan dilakukan oleh perempuan sangat sulit mendapatkan bantuan dari pemerintah atau perhatian dari komunitas.
Pandemi Covid-19 juga mengingatkan kita mengenai sentralitas peran pekerja pemulung perempuan di momen-momen kritis.
Di saat masyarakat yang lain bisa tetap tinggal dan bekerja di rumah, komunitas pekerja pemulung di Gasong tetap melakukan pekerjaan memulung seperti hari-hari biasa. Ditambah, semenjak pandemi, jumlah sampah rumah tangga meningkat secara signifikan.[8] Tentu saja, pekerjaan memulung tersebut menjadi semakin rentan karena tingginya resiko tertular virus atau penyakit. Oleh karenanya, peran mereka menjadi sangat krusial selama pandemi ini.
Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita Gasong ini? Menurut saya, narasi dari Gasong mengingatkan kita bahwa kita harus melihat isu pembangunan kota dan perempuan dari perspektif kelas pekerja. Di Indonesia, kemajuan dalam memetakan dan menyelesaikan masalah kerja perawatan tak berbayar ini sangat lamban. Tetapi, bukan berarti tidak ada perubahan positif sama sekali. Banyak inisiasi yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut seperti melakukan riset-riset dan kampanye mengenai kerja perawatan tak berbayar dalam diskursus kebijakan publik, menyebarluaskan kesadaran di masyarakat bahwa:
Kerja keperawatan bukanlah sebuah “kewajiban” untuk perempuan, tetapi merupakan keterampilan dalam hidup untuk banyak orang (termasuk laki-laki), dan mendorong upaya kolektivisasi/sosialisasi kerja keperawatan.
Di Gasong sendiri, beberapa Ibu sudah melakukan inisiatif untuk membangun dan mempromosikan pendidikan anak-anak yang berbasis komunitas. Para Ibu di komunitas tersebut juga secara informal bergantian merawat, menjaga dan menyediakan makanan untuk anak-anak di sekitar ketika Ibu-Ibu dari anak tersebut pergi memulung. Beberapa komunitas dan koperasi pemulung, seperti di Surabaya (Indonesia) dan Belo Horizonte (Brazil), juga melakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas kolektif anggotanya dan mengorganisir penghidupan mereka dengan tingkat kesuksesan yang berbeda-beda.[9] Di tengah-tengah absennya kebijakan negara untuk melindungi hak-hak pekerja informal, eksperimen tersebut memberikan secercah harapan. Potret ini juga merupakan pengingat untuk organisasi dan pegiat gerakan sosial di Indonesia untuk terus meningkatkan upaya kolektif dalam kolektivisasi kerja keperawatan.
Mungkin inilah saatnya bagi kita untuk menunjukan solidaritas kepada pahlawan tanpa tanda jasa ini, menyoroti peran penting mereka dan menghargai kerja mereka. Saya sendiri akan memulainya dengan tetap memelihara perkawanan dengan para warga di Gasong.[]
P.s.: Riset kolaboratif ini diinisiasi oleh FIP dan tiga organisasi kaum miskin kota di Jakarta. Saya berterima kasih kepada FIP dan kawan-kawan pemulung di Gasong atas bantuannya selama penelitian saya. Artikel ini, yang diterjemahkan oleh saya dan Iqra Anugrah, adalah terjemahan dan versi yang lebih elaboratif dari artikel bertajuk “Jakarta’s Waste Picker Women and Their Unpaid Care Work” yang diterbitkan di Standplaats Wereld.
Catatan kaki:
[1] Nama ini adalah pseudonim.
[2] Salah satu kritik terhadap pandangan feminis liberal tentang kerja pereempuan dapat dibaca di artikel ini, Julie Bindel, “Liberal feminism has failed women,” Aljazeera, November 16, 2020,
[3] Untuk membaca penjelasan mengenai pandangan konservatif tentang fitrah perempuan, lihat Michelle Nickerson, “Women, Gender, and Conservatism in Twentieh-Century America,” in The Oxford Handbook of American Women’s and Gender History, eds. Ellen Hartigan-O’Connor and Lisa G. Materson (New York: Oxford University Press, 2018), DOI: 10.1093/oxfordhb/9780190222628.013.12.
[4] Silvia Federici, Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle (Oakland: PM Press, 2012).
[5] International Labour Organization, “More than 60 per cent of the World’s Employed Population are in the Informal Economy.” April 30, 2018 . https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_627189/lang–en/index.htm.
[6] Ibid.
[7] Farida Susanty and Markus Makur, “70 Million Informal Workers Most Vurnerable During Pandemic,” The Jakarta Post, April 3, 2020,
[8] Fauziah Mursid and Ratna Puspita, “KLHK: Sampah Rumah Tangga Meningkat 36 Persen Saat Pandemi”, Republika, February 15, 2021,
[9] Freek Colombijn and Martina Morbidini, “Pros and cons of the formation of waste-pickers’ cooperatives: a comparison between Brazil and Indonesia,” Decision 44 (2017): 91-101