Analisis Kelas atas Sejarah Islam dari Jahiliyah ke Abbasiyah (Bagian 2 – tamat)

1.4k
VIEWS

Perang melawan kemurtadan
Setelah penaklukkan Mekah, kemenangan awal pasukan Muslim hanya berumur pendek. Tentara Bizantium mengalahkan tentara Muslim dalam sejumlah pertempuran kecil, mendorong nabi-nabi palsu muncul di sekitar Jazirah Arab. Selain itu, kondisi di garda depan tampak mengkhawatirkan: ketegangan antara kaum Anshar di Madinah dan orang kaya Mekah yang baru masuk Islam selama ini hanya dikendalikan oleh otoritas moral besar Nabi Muhammad SAW yang kesehatannya mulai menurun.

Wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 mengejutkan seluruh jazirah Arab. Para pemimpin suku yang telah masuk Islam sekarang menyangkal Islam, beralih ke nabi-nabi saingan dan mengangkat tentara untuk membagi kekuasaan di wilayah Arab di antara mereka sendiri. Hurub al Ridda atau Perang Kemurtadan, telah dimulai. Butuh bertahun-tahun pertempuran berdarah khususnya bagi tentara Muslim yang dipimpin oleh Khalid bin Walid untuk menegaskan kembali kendali mereka atas Jazirah Arab. Sejauh mana kemurtadan ‘dapat dihukum’ dalam Islam masih menjadi kontroversi. Dalam perang tanpa ampun yang mereka lakukan melawan kaum ‘Murtad’, tentara Muslim tampaknya telah ‘lupa’ tentang ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa seorang Muslim tidak dapat menggunakan batasan dan paksaan untuk membuat orang memeluk ke Islam. Ayat-ayat lain dalam Quran dan Hadits menunjukkan bahwa kemurtadan, yaitu tindakan keluar Islam setelah mengucap syahadah, adalah pelanggaran yang sangat serius.

Agar tidak berkutat pada penjelasan teologis murni, mari kita kembali ke Muruwwah yang berpendapat bahwa perang kemurtadan memiliki muatan sosial yang akut. Para murtaddin (kaum yang Murtad) adalah para pemimpin suku yang telah memeluk Islam ketika Islam tampak di puncak kekuasaannya. Wafatnya Nabi dan kekalahan melawan Bizantium mengingatkan para pemimpin ini tentang apa yang hilang dari mereka: kekayaan mereka terancam oleh zakat dan kekuatan politik atas nama suku yang terancam oleh Tauhid Islam. Selain itu, pemukiman pertanian kuno yang terbiasa dengan keberadaan yang stabil telah menjadi konservatif. Mereka akhirnya memutuskan untuk sama sekali tidak tertarik pada Islam, dan tentu saja tidak ingin mengambil bagian dalam ekspedisi militernya yang jauh yang mengusir mereka dari ladang selama berbulan-bulan.

Salah satu nabi palsu ini adalah Musaylimah, yang telah menulis surat kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyarankan mereka membagi Jazirah Arab di antara suku Quraisy. Musaylimah sendiri berada di Yamama. Nabi Muhammad SAW menjawab bahwa bumi ini milik Allah, bukan milik suku manapun. Monoteisme Musaylimah kurang lebih sama bentuknya dengan Islam – bahkan “Quran”-nya, secara artistik dan budaya, merupakan upaya peniruan dari yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. Namun, alasan sosial Musaylimah pada dasarnya adalah untuk melestarikan struktur sosial kesukuan Arab, sekaligus mengakui Islam sebagai front bagi suku Quraisy yang kuat. Di sisi lain, bagi umat Islam yang sebenarnya, agama mereka bertujuan untuk menyatukan orang-orang Arab dengan cara mengatasi struktur kesukuan kuno itu sendiri, dalam rangka membangun negara yang stabil dalam masyarakat yang secara ekonomi cukup ‘matang’ untuk tugas itu.

Sejarah kejam bagi yang kalah: Musaylimah terbunuh dalam pertempuran selama Hurub al Ridda dan dikenal sebagai “Musaylimah si pembohong”. Yang pasti adalah bahwa dia dan ‘orang-orang murtad’ membangun penghalang bagi sejarah perjuangan Islam. Cukup menggoda untuk mengadopsi gagasan Muruwwah bahwa “menggunakan bahasa modern, kita dapat menyebutnya sebagai elan kontra-revolusioner, karena mereka umumnya menentang aspek-aspek progresif dari Gerakan Islam.” [Muruwwah, Vol I hal. 445]. Kaum Muslim akhirnya mengalahkan saingan mereka, tidak sedikit berkat kendali mereka atas sumber daya Mekkah, tetapi juga karena popularitas Islam di mata kaum miskin dari semua suku di seluruh jazirah Arab. Penaklukan tentara Muslim dari wilayah besar kekaisaran Bizantium dalam dekade berikutnya memproyeksikan Islam ke masyarakat yang lebih maju, akhirnya melahirkan salah satu peradaban manusia yang besar.

Tidak ada ruang di sini untuk mengeksplorasi secara rinci evolusi sejarah ‘dinasti Islam’ multikultural yang, dalam satu atau lain bentuk, meluas ke bagian Asia, Eropa dan Afrika selama lebih dari satu milenium setelah penaklukan awal. Oleh karena itu, saya akan melihat beberapa aspek hubungan antara Islam dan tugas awal dari pembentukan negara (state building), kemudian Islam sebagai medan ideologis perjuangan antara kelas-kelas sosial yang bersaing dan partai-partai politik, sebelum mengeksplorasi beberapa arus teologis dan filosofis yang muncul darinya.

Islam, semangat keagamaan dan pembentukan negara
Sikap tanpa kompromi tentara Muslim selama periode Perang Melawan Kemurtadan terbukti menjadi pengecualian alih-alih sebuah norma. Penaklukan berikutnya atas Damaskus pada tahun 636 dan Alexandria pada tahun 642, merupakan kombinasi antara peperangan dan kesepakatan negosiasi yang mana sebagian besar tidak melibatkan paksaan memeluk islam kepada orang-orang yang “ditaklukkan”.

Tentara Muslim yang kalah jumlah disokong oleh pengalaman kemenangan mereka di Hurub al-Ridda, dan taktik militer mereka yang didasarkan pada divisi bergerak yang mampu melakukan serangan kilat dari padang pasir, menciptakan kemenangan ajaib melawan tentara Bizantium yang terkenal canggih namun tak berdaya tersebut. Kekaisaran Bizantium terseret dalam kemunduran berkepanjangan, mengalami pelemahan konstan secara finansial dan militer akibat perang berkepanjangan melawan Kekaisaran Sassanid. Kekuasaan Konstantinopel atas Levant[1] dan Mesir pun juga telah lama mandek jauh sebelum penaklukan Muslim. Penduduk setempat, terutama Kristen dan Yahudi, tidak punya alasan untuk membela penguasa Bizantium yang represif yang membebani mereka dengan pajak-pajak. Suku-suku Kristen Arab di kawasan Levant seperti Ghassanid bahkan berunjuk rasa di pihak Muslim. Beberapa ahli kontemporer menganggap bahwa kerugian Bizantium sebagai hukuman Tuhan atas dosa-dosa mereka terhadap sesama orang Kristen[2], sementara sejarawan Yahudi menulis “pencipta telah membawa Kerajaan Ismael [yaitu orang-orang Arab] untuk menyelamatkanmu dari kejahatanmu sendiri.[3]” Suku Visigoth yang menaklukan Roma pada awal abad ke-5 tidak berguna sama sekali bagi peradaban yang lebih tinggi dan justru ,meninggalkannya dalam reruntuhan. Kaum Muslim, meskipun berada di atas angin pada saat itu, tidak memiliki niat untuk merusak permata Bizantium yang telah direbut. Dari satu praktik ke praktik lainnya, mereka secara progresif menembus dan mengubah struktur negara yang ada, dan di saat bersamaan sedang beradaptasi dengan eksistensi baru di luar Arabia.

Semangat religius Perang Melawan Kemurtadan telah lama terlupakan, para penguasa Muslim memilih untuk mengadopsi pendekatan damai terhadap warga baru Yahudi dan Kristen. Mereka diberikan kebebasan untuk mempraktikkan iman dan mengatur gereja sendiri, sepanjang mereka membayar pajak jizyah khusus, non-Muslim umumnya menyetujui aturan Muslim tersebut.  Keimamatan Kristen Damaskus, yang sekarang terdiri dari imam lokal, alih-alih oleh utusan Konstantinus seperti sebelumnya, memainkan peranan penting dalam mengamankan persetujuan rakyat.

Khalifah kedua Umar bin Khattab berusaha menyesuaikan hukum-hukum yang diwarisi dari masa Islam di Arab ke dinasti Muslim yang sekarang membentang dari Alexandria ke Damaskus dan Baghdad. Secara praktis, hal ini melibatkan adaptasi, penekanan atau penyingkiran beberapa ajaran Nabi Muhammad SAW yang tidak dapat diganggu gugat, hampir satu dekade setelah beliau wafat. Mengangkat “pragmatisme ke tingkat jenius”, Umar membuka pintu ijtihad, yakni kajian intelektual penafsiran Kitab Suci. Dari titik ini benih filsafat Arab-Islam mulai disemai. Karena itu, kita dapat membagi sejarah awal Islam menjadi tiga periode yang berbeda: muncul “dengan muatan sosial dan doktrin agamanya, sebagai evolusi dari apa yang sudah berkembang jauh sebelum masyarakat pra-Islam”. Periode pertama ini ditandai dengan semangat pengorbanan diri, propaganda dan ketaatan kepada Nabi. Lalu, periode perang saudara berdarah, atau dikenal dengan Hurub al-Ridda, yang diberi selubung religius akut dikarenakan pencapaian historisnya–kesatuan Jazirah Arab–mengatasi ancaman eksistensial. Penaklukan sebagian besar Dinasti Bizantium dan Sassanid membuka fase ketiga yang ditandai dengan interpretasi kreatif atas doktrin Islam dan membuka jalan bagi perkembangan budaya Arab-Islam yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Berlawanan dengan sindiran-sindiran pada umumnya, Islam bukanlah ideologi tetap yang mengawang-awang di atas masyarakat dan cenderung mengatur penganutnya secara membabi buta. Selalu ada rasionalitas sosial di balik tindakan yang diberi justifikasi agama; mengungkap rasionalitas ini bisa jadi lebih atau kurang sulit, karena kita harus menavigasi peta sejarah, sosial dan psikologis di mana manusia aktif membangun praktik mereka. Seperti saat dinasti Muslim terbentuk, Islam berubah menjadi medan ideologis baik bagi penguasa maupun umat. Para penguasa berusaha untuk mengatur, memaksa dan mendapatkan persetujuan atas mereka, sementara umat sering menutupi pemberontakan sosial mereka dengan selubung teologis.

Untuk semua kebijaksanaan dan keadilan Umar (yang dikenal sebagai al-Faruq, Yang Adil), kontradiksi antara kelas dan antar kelompok di dalam masyarakat, tidak dapat langsung diperhalus hanya dengan satu pukulan ijtihad. Sebagaimana para Sahabat  tidak dapat menciptakan masyarakat baru secara tiba-tiba, mereka memanfaatkan kekayaan berlimpah dan pengalaman memerintah dari aristokrasi komersial untuk mencapai tujuan, dan yang terakhir  disebutkan ini, yang dengan keras menolak Islam sebagai ancaman bagi privilese mereka, justru berkuasa atas wilayah yang hari ini dikenal sebagai Suriah, Mesir, Irak, dan Iran. Upeti perang, perluasan perdagangan dan pajak semakin tersentralisasi pada kelompok masyarakat tertentu dan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.

Tidak menunggu waktu lama, rentetan ketegangan sosial tersebut meledak menjadi Fitnah Pertama, perselisihan di antara umat Islam sendiri. Setelah kematian Umar pada tahun 644, orang-orang yang memiliki hak istimewa menggunakan kuasa dan pengaruh mereka untuk memastikan Utsman bin Affan, seorang anggota Sahabat Quraisy kaya raya mengambil kursi Khalifah, alih-alih Ali bin abi Thalib. Ali telah dibesarkan di rumah Nabi Muhammad SAW sejak kecil dan menjadi muslim kedua (setelah isteri Nabi Muhammad SAW, Khadijah) ketika  berusia sepuluh tahun. Loyalitas penuh pada Nabi dan kerendahan hati membuat Ali populer di kalangan rakyat miskin, dan sebagai seorang pejuang pemberani dan orator yang dahsyat[4], ia tentu saja melebihi Utsman. Kekuasaan Utsman pada akhirnya menjadi sasaran penderitaan-penderitaan kaum Muslim yang terus menerus mengirimkan delegasi dari seluruh wilayah dinasti, mengadukan- dalam istilah agama – ketidaksalehan dan ketidakpatutan orang kaya yang kerap memamerkan kekayaan mereka. Apa yang disebut Muruwwah sebagai “revolusi sosial pertama dalam Islam” telah dimulai. Partisan Ali merujuk pada Al-Qur’an dan kutbah Nabi untuk membenarkan apa yang mereka anggap sebagai hak mutlak Ali atas kekhilafahan.

Ali bin Abi Thalib menerima ‘bay’ah’ (sumpah) sebagai khalifah keempat, menyusul kematian Khalifah Ketiga Utsman bin Affan (Sumber: http://teachmiddleeast.lib.uchicago.edu/)

Kepentingan antar kelas yang antagonistik kerap dibelokkan menjadi sekedar  perdebatan teologis antara pendukung Ali dan Utsman, dan bagaimanapun, jika Umar dikenal sebagai laki-laki bangsawan kaya raya, relasi Ali dengan kaum miskin pemberontak terasa lebih bernuansa. Ia membersamai penderitaan mereka dengan tetap berusaha, secara sia-sia,  untuk melindungi kehidupan Utsman ketika Ia dikepung oleh pengunjuk rasa di Madina. Beberapa dari mereka yang berunjuk rasa di bawah panji-panji Ali adalah para pemimpin Anshar yang membenci posisi dominan aristokrasi Mekah lama di negara bagian yang baru dan hanya ingin menuntut distribusi kekayaan. Terlebih lagi, massa yang miskin terfragmentasi antara petani, pengrajin, pedagang kecil dan sebagainya—yang sudah pasti menginginkan kepala Utsman—tidak mampu merumuskan, apalagi memaksakan alternatif mereka terhadap rezim aristokrat. Pembunuhan Utsman membagi Khilafah menjadi dua dengan Ali berkuasa atas Irak dan Muawiyah, seorang pemimpin militer, muncul sebagai favorit aristokrasi Damaskus – dan juga Keimamatan Kristen – untuk mendirikan Kekhalifahan Umayyah. Menang dalam Perang Jamal tetapi putus asa untuk menjaga persatuan umat, Ali setuju untuk berunding dengan Muawiyah. Hal ini mendorong beberapa pendukung radikalnya, yang selanjutnya dikenal sebagai Khawarij, memberontak, menuduh Ali dan Muawiyah murtad dan membunuh Ali di sebuah masjid di Kufah pada tahun 661. Para pengikut dan pendukung Ali inilah yang akhirnya melahirkan Syiah di dalam Islam.

Nasib tragis Ali adalah simbol kontradiksi yang ditemukan dalam tubuh Islam.  Seperti Kekristenan, Islam berusaha menyatukan umatnya di bawah satu entitas ketuhanan dan seperangkat aturan moral bersama. Kedua agama sama-sama mengutuk keserakahan yang berlebihan dan meninggikan orang miskin yang kepadanya dijanjikan ganjaran abadi di akhirat, tetapi tetap membiarkan ketidaksetaraan mencuat di bumi. Kontradiksi terus berlanjut, dan mereka melekat pada klaim utopis untuk membangun harmoni moral dalam masyarakat yang strukturnya sendiri membawa antagonisme material yang tidak dapat diselesaikan.

Fitnah yang meletus segera setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah salah satu dari banyak perjuangan politik yang mengguncang Dinasti Islam di abad-abad berikutnya. Meskipun [pada politik masa itu] Islam tidak dapat memenuhi janjinya tentang umat yang harmonis secara abadi, ia juga tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari masyarakat dan mengawang-awang di atasnya. Sebaliknya, ideologi Islam itu sendiri merupakan arena kontestasi perjuangan antar kelas dan faksi politik dengan spektrumnya masing-masing.

Fat’h: lahirnya Dinasti Islam
Muawiyah, putra Abu Sufyan, lawan lama Nabi Muhammad SAW di Mekah, sekarang memerintah sebuah Dinasti Islam yang terbentang dari Spanyol hingga Afghanistan. Ia mengandalkan tentara yang dimobilisasi di sepanjang garis kesukuan, yang dikobarkan oleh semangat keagamaan dan janji upeti, untuk melanjutkan kampanye  (Pembukaan). Dia mendirikan jajaran Diwan, lembaga negara yang, antara lain, bertugas mendistribusikan kekayaan yang disita di antara para kombatan, sisanya ke Baitul Mal, perbendaharaan umum Islam pertama. Tidak hanya  Arab dan Muslim membentuk minoritas kecil dari orang-orang yang sekarang mereka kuasai  tetapi mereka juga tidak memiliki pengalaman dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola dinasti sebesar itu. Oleh karenanya, pegawai negeri pertama yang menjalankan Baitul Mal, Diwan dan administrasi publik berasal dari kalangan keluarga Zoroaster Kristen dan Persia yang telah membantu menjalankan Kekaisaran Bizantium dan Sassanid selama beberapa generasi.

Para penakluk Muslim tidak menghancurkan struktur birokrasi negara pendahulu, melainkan secara bertahap menyesuaikan diri, karena semangat keagamaan Fat’h membuka jalan bagi pragmatisme pembentukan negara. Para pemimpin dan pejuang militer Arab dihadiahi oleh Diwan dengan sejumlah besar uang dan posisi utama di pemerintahan. Para petani yang menyangka bisa bernapas lega saat tuan feodal mereka melarikan diri di depan tentara Muslim, lantas menyaksikan para pejuang pembebas mereka kembali, kali ini dipersenjatai dengan Iqta’a, sebuah konsesi pertanian pajak yang diberikan dari Diwan Damaskus. Petani merasa dipaksa dan diperas untuk membiayai negara dan gaya hidup perkotaan mewah pemegang Iqta’ah, tetapi tidak banyak yang akan mengalir kembali dari kota ke pedesaan: wabah lama Bizantium telah kembali dengan wajah Islami.[5]

Revolusi Abbasiyah
Para petani tidak mengetahui hal ini tetapi mereka memiliki alasan untuk tetap berharap. Kekuatan suku yang menghasilkan Fat’h awal dan mengukir Dinasti Islam sekarang telah memudar, dikarenakan para pemimpin militer sekarang lebih memilih eksistensi damai sebagai tuan tanah atau petani pajak, sementara yang lain menemukan kembali nilai-nilai perdagangan. Bersama dengan bagian dari aristokrasi Persia kuno dan Keimamatan Kristen Damaskus, mereka membentuk basis sosial dinasti Umayyah; namun basis ini terbukti terlalu sempit untuk dapat dipertahankan dalam menghadapi transformasi struktural yang mempengaruhi imperium baru. Kota-kota berkembang dan menjadi pusat beragam hasrat; segala macam “bid’ah agama” yang dilarang di bawah Bizantium, seperti sekte Kristen yang tak terhitung banyaknya, orang-orang Yahudi dan Manichean, sekarang bisa beribadah dan berkhotbah secara terbuka. Akan tetapi, orang non-Arab yang masuk Islam memiliki status yang lebih rendah daripada Muslim “asli”. Mereka dikenal sebagai Mawali, atau “partisan setia” dari suku Arab. Di antara mereka ditemukan mantan budak dan pengrajin, tetapi juga pegawai negeri dan pedagang kaya.

Kaum Syiah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, populer di kalangan kaum miskin kota, termasuk kebanyakan Mawali. Landasan tesis Syiah adalah keyakinan mutlak  tentang Hak Ali atas Kekhilafahan (dan juga keturunan-keturunannya), tetapi terlepas dari perspektif sempit yang mereka tawarkan secara teoritis, sebuah keputusan sulit telah diambil: selanjutnya dan sampai kematiannya. Antagonisme-antagonisme sosial dan politik Bani Umayyah akan mengambil bentuk teologis dari sebuah perjuangan atas hak kekhalifahan. “Seorang budak Ethiopia sekalipun!” bisa terpilih menjadi Khalifah, seru Khawarij yang provokatif, yang akan terus mengobarkan pemberontakan bersenjata melawan penguasa Muslim selama berabad-abad yang akan datang.

Mu’tazilah adalah kelompok orang yang sama sekali berbeda. Mereka termasuk di antara Ulama Islam pertama, atau “ilmuwan”, yang bermakna bahwa mereka belajar teologi, membangun Ijtihad Umar untuk menawarkan interpretasi filosofis Islam. Berawal dari visi Tauhid yang canggih, Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah tidak hanya unik, tetapi juga entitas yang paling murni dan abstrak. Allah tidak dapat terurai, tidak mengenal waktu, ruang atau kausalitas material. Akibatnya – dan inilah titik inovasinya – Allah tidak campur tangan secara langsung di dunia material kecuali melalui wahyu-Nya, membiarkan manusia untuk menafsirkannya dan bertindak atas mereka. Bersandar seutuhnya pada apa yang mereka anggap sebagai dasar-dasar ortodoksi Muslim, Mu’tazilah bagaimanapun juga mengakui peran sentral dalam penilaian dan rasionalitas manusia: “Mereka berkomitmen pada nalar seperti halnya Islam. Akal adalah hakim tertinggi, bahkan ketika sampai pada ketepatan Surat Al-Qur’an. Akal adalah sumber kemanusiaan, dasar di mana kebebasan manusia memilih bersandar.”[6] Mu’tazilah adalah aliran teologis dan filosofis meluas yang memiliki tidak banyak perhatian terhadap agitasi politik langsung. Namun, kemunculan mereka di Basra, sebuah pemukiman Arab tempat para pengrajin dan pekerja pertanian miskin Mawali berkumpul, menunjukkan bahwa basis sosial mereka berbeda dari ulama yang lebih tradisionalis yang mendukung Umayyah.[7] Khutbah publik mereka cukup populer, dan penekanan yang mereka berikan pada kebebasan manusia untuk memilih dapat ditafsirkan melawan Umayyah yang umumnya berargumen bahwa kehendak Allah telah memberi mereka Khilafah: “[…] perdebatan doktrinal terlihat tidak hanya untuk melemahkan keyakinan agama, tetapi juga mengancam tatanan sosial; dan bahkan Mu’tazilah seperti Al-Jahiz setuju bahwa orang-orang biasa (‘amma) mengambil kepentingan yang berlebihan dan berbahaya dalam perselisihan semacam itu.”[8]

Konteks perubahan sosial, ekonomi dan ideologi inilah yang dieksploitasi secara berturut-turut oleh propaganda dan organisasi Abbasiyah, yang akhirnya menggulingkan Umayyah pada tahun 750, sekitar 90 tahun setelah mereka berkuasa.[9] Seperti banyak pemberontakan sebelum dan sesudah mereka, Abbasiyah bangkit atas nama pemurnian ajaran asli Islam dan Nabi; namun proyek mereka pada dasarnya merupakan upaya untuk memecahkan kontradiksi baru di negara Islam. Mereka mengagitasi orang-orang Mawali, menjanjikan diakhirinya diskriminasi terhadap non-Arab, dan kesetaraan perlakuan sejati di antara anggota Umat Muslim. Mereka memobilisasi tentara di bagian Timur Khilafah, di antara penduduk Persia, terutama melalui mantan budak yang dikenal sebagai Abu Muslim. Kaum Syi’ah, yang memimpin sejumlah pemberontakan melawan Umayyah, adalah sekutu alami Bani Abbasiyah, terutama karena Bani Abbasiyah tetap menyamarkan minat mereka pada posisi Khalifah.

Baca Juga:

Periode Abbasiyah: Zaman Keemasan dan Pemberontakan
Setelah berkuasa penuh, Abbasiyah mendirikan dinasti baru dan membersihkan pendukung radikal mereka, terutama yang mengkhianati dan membunuh Abu Muslim. Namun revolusi mereka menyiratkan lebih dari sekadar tukar guling kekuasaan. Negara mulai mengambil bentuk lebih matang yang mencerminkan transformasi sosial dan ekonomi yang telah berkembang di bawah Umayyah: “Sebelumnya dinasti dijalankan oleh aristokrasi militer Arab yang eksklusif, yang asal-usulnya terletak pada perang dan penaklukan untuk upeti. Di bawah Abbasiyah, Islam menjadi agama yang benar-benar universal di mana orang-orang beriman baik Arab dan non-Arab diperlakukan setara dan di mana asal etnis tidaklah penting dan sentral – meskipun masih ada yang kaya dan miskin.”[10]

Periode Fat’h dan pasukan sukunya telah lama berlalu dan pasukan kosmopolitan baru telah didirikan oleh Abbasiyah untuk melindungi perbatasan. Mereka membangun ibu kota baru yang megah, Baghdad, di sepanjang sungai Tigris. Ini segera menjadi titik fokus dari perkembangan perdagangan dan budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya, berlangsung selama abad ke-9 dan ke-10 dan dikenal sebagai “Era Keemasan”. Abbasiyah berdagang dengan Byzantium, Eropa Timur, Afrika Timur, India, Cina dan Indonesia; dan di banyak tempat tersebut mendirikan konter perdagangan permanen dan menjalin relasi diplomatik.[11] Sistem perbankan dan kredit yang canggih juga muncul, sangat membantu perdagangan jarak jauh[12] dan umumnya mencerminkan lembaga-lembaga negara yang rumit. Mereka berinvestasi dalam infrastruktur pertanian, membuka lahan baru dan berusaha untuk memperkenalkan reformasi pada sistem perpajakan pedesaan, terutama dengan merampas mantan pemegang Iqta’a Umayyah yang telah mengeksploitasi kaum tani secara besar-besaran. Hasil pertanian yang berkembang dapat memberi makan para pengrajin kecil dan pedagang kecil yang merupakan massa kelas menengah perkotaan, serta banyak penyair, filsuf, dan Ulama yang disponsori oleh Abbasiyah dan para pedagang kaya.[13]

Suasana pengajaran di dalam Bayt Al-Hikma, salah satu tonggak pencapaian intelektual terbesar di masa Dinasti Abbashid, yang diabadikan oleh lukisan Illuminasi dari era Turki Usmani (sumber: bbc.com)

Kehadiran perdagangan dan saudagar dalam tulisan para ulama dan filosof (kedua kelompok yang sering bersinggungan di bawah  Abbasiyah awal) mencerminkan peran sentral yang mereka mainkan dalam kehidupan perkotaan dan pengaruh mereka yang semakin besar terhadap para penguasa. Namun zaman keemasan Abbasiyah juga merupakan zaman pemberontakan di provinsi dan pedesaan. Beberapa kekuatan sosial yang diandalkan Abbasiyah untuk mendapatkan kekuasaan justru sekarang berbalik melawan mereka. Di Asia Kecil, mereka menghadapi pemberontakan militer selama beberapa dekade; kaum revolusioner yang mendaku sebagai keturunan Abu Muslim dan bahkan Ali sendiri. “Proto-sosialis di bawah kerudung Persia”[14], mereka berusaha untuk mengusir bangsawan Arab dan Persia, melarang Iqta’a dan mendistribusikan tanah kepada petani miskin. Lebih dekat ke Baghdad, Revolusi Zanj melibatkan ribuan budak Afrika yang dipekerjakan di rawa-rawa di sekitar Basra. Mereka bangkit di bawah kepemimpinan seorang Mahdi yang mengaku sebagai keturunan Ali dan, meskipun sebagian besar tidak bisa berbahasa Arab, mereka menyerukan semangat emansipatoris Islam awal. Kebrutalan mereka mencerminkan perlakuan tuan-tuan mereka sebelumnya. Butuh beberapa kampanye Abbasiyah untuk akhirnya menaklukkan mereka menjelang akhir abad ke-9.

Arus balik lebih luas yang menentang Abbasiyah adalah Qarmatians, sebuah cabang dari Syiah Ismailiyah yang bertitik fokus pada aspek egalitarian Islam. Mereka memimpin serangkaian revolusi dan mendirikan pusat-pusat kekuatan politik di pedesaan Irak, di Arab Saudi Timur dan di Bahrain. Mereka berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip mereka, bahkan hingga melarang kepemilikan pribadi di bagian-bagian tertentu dari pedesaan Irak, sebelum dengan cepat ditundukkan secara militer. Rekan-rekan Bahrain mereka lebih berhasil, membangun apa yang sekarang kita sebut negara kesejahteraan di luar otoritas Khalifah di mana mereka meluncurkan serangan berani dan mematikan terhadap pusat-pusat (kekuasaan) Abbasiyah, termasuk Mekah itu sendiri.

Meskipun pemberontakan ini sering kali merupakan tindakan bersenjata dipimpin oleh orang-orang ambisius yang mengklaim – terlepas benar atau salah – sebagai keturunan Ali, “di balik pengagungan agama selalu ada kepentingan duniawi yang sangat nyata”.[15] Memang, pemberontakan tidak dapat bertahan selama beberapa dekade karena mereka melakukan tanpa dukungan dari sebagian besar penduduk lokal. Dukungan ini datang dari kaum tani, baik yang diperbudak maupun bebas tetapi ditindas di bawah rezim pajak.

Kebencian kaum tani adalah konsekuensi normal dari cara produksi yang berlaku di bawah Abbasiyah. Setiap masyarakat kelas bergantung pada eksploitasi mayoritas oleh minoritas. Sebagian besar di bawah Abbasiyah adalah petani, dan apa yang disebut Marx sebagai suprastruktur (pengadilan, negara dan lembaga-lembaganya, pusat-pusat agama dan budaya) pada akhirnya dibiayai oleh surplus yang diambil dari kaum tani. Sederhananya, petani harus mampu berproduksi untuk memberi makan diri mereka sendiri dan menyokong kota-kota. Hal ini pada akhirnya tidak hanya memantik revolusi tetapi juga menciptakan kehancuran di pedesaan.

Aliran filosofis besar pertama yang muncul selama periode Umayyah, dan kemudian berkembang di bawah Abbasiyah adalah Mu’tazilah, dengan keyakinan bahwa kejahatan di dunia bukanlah kehendak Allah SWT—karena Dia tidak mengenal kejahatan—melainkan hasil dari perbuatan manusia. Ini menimbulkan masalah bagi ortodoksi agama dan konservatif politik, yang khawatir bahwa penyimpangan seperti itu akan menyebabkan beberapa orang mempertanyakan legitimasi agama para penguasa Abbasiyah, yang gaya hidup mewahnya pada akhirnya bergantung pada ekstraksi nilai lebih dari pedesaan. Terlepas dari Mu’tazilah sendiri yang tidak melangkah melampaui abstraksi filosofis, para penguasa Abbasiyah memang menghadapi pemberontakan provinsi yang berlarut-larut sepanjang masa pemerintahan mereka. Ketika dinasti semakin meluas dan berkembang di bawah dinasti Abbasiyah, “bentrokan nilai-nilai yang tercipta sebagai konsekuensi dari perubahan cepat dalam masyarakat, menyebabkan berkembangnya pencarian intelektual. Belum ada interpretasi ortodoks tunggal atasIslam ataupun rivalitas di antara mazhab-mazhab pemikiran. Kelas bawah di kota-kota tertarik pada berbagai ajaran Syiah — pandangan yang berulang kali menyebabkan upaya pemberontakan melawan kekaisaran. Sementara itu penyair, cendekiawan, dan filsuf membanjiri Baghdad [ibukota Abbasiyah], berharap mendapatkan perlindungan dari beberapa punggawa kaya, tuan tanah atau pedagang.[16]” Penafsiran ortodoks tunggal atas Islam, dengan demikian, masih menjadi pertanyaan hari ini.*

Artikel ini diolah dari presentasi yang disampaikan pada acara Marxist Festival.  

Catatan Redaksi: Tulisan ini dikirim langsung oleh Jad Bouharoun dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Redaksi Islam Bergerak. Untuk membaca bagian 1 silakan klik tautan ini

Catatan Akhir:

[1] Levant atau juga dikenal sebagai Syam merupakan wilayah yang hari ini meliputi teritori dari Israel, Yordania, Lebanon, Syiria (cat. redaksi).

[2] Robert G Hoyland, In God’s Path: The Arab Conquests and the Creation of an Islamic Empire, Oxford press, 2014

[3] Chris Harman, A People’s History of the World, p.126

[4] Some of his speeches are collected under the title ‘Nahj al Balagha’ – ‘The Way of Rhetoric’, a classic of Arabic literature

[5] Abdulaziz Al-Douri, Muqaddimah fi al-Tarikh al-Iqtissadi al-Arabi, 2007, hal.32 dan 12

[6] Husain Muruwwa, al-Nazaat al madiyya fi al-falsafah al- ‘arabiyya al-islamiyya, Vol 2, hal. 373

[7] Muruwwa, Vol 2, hal.310

[8] M Q Zaman, Religion and Politics Under the Early Abbasids, 1997 hal.63

[9] Al-Douri, hal.43

[10] Harman, hal.129

[11] Al-Douri, hal.55

[12] “it was possible to draw a cheque in Baghdad and cash it in Morocco” Harman, hal.130

[13] Harman, p.130

[14] Al-Douri, hal.60

[15] Engels, The peasant wars in Germany

[16] Harman, hal.130

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.