Soviet Rusia tidak akan menoleransi kebijakan perampokan kolonial zaman dulu, melainkan akan mengusung kebudayan dan peradaban dalam pengertian terbaik dari kata-kata itu. (Vladimir Lenin)
Artikel ini ditulis untuk mengenang era ketika Islam dan marxisme menjadi api kemajuan dan pembebasan dunia Islam yang beriringan jalan dengan solidaritas kepada yang tertindas dan miskin, membela mereka yang dijajah dan melawan mereka yang zalim. Artikel ini menceritakan narasi lain tentang kebangkitan dan pemajuan kembali dunia Islam, yang kira-kira mulai dirintis di awal-awal hingga setidaknya pertengahan atau dua pertiga abad 20 di hampir seluruh wilayah-wilayah berpenduduk muslim yang kelak menjadi negara nasional sendiri-sendiri di sekitar teritori yang ditinggal penjajahnya. Narasi yang sepertinya makin marjinal di tengah dunia yang makin dipandu oleh program-program imperialis dari negara-negara imperialis. Imperialisdalam arti, seperti Benedict Anderson sampaikan, “yang didasarkan pada kapitalisme industrial”[1] yang banyak disandarkan pada kepentingan negara Amerika Serikat dan beberapa negara industrialis di Eropa Barat.
Jika yang kita maksudkan sebagai kebangkitan dunia Islam itu artinya merdeka dari penjajahan, hidup bermartabat secara mandiri dalam menentukan nasibnya sendiri (tidak di bawah negara imperialis) dan menentukan kebijakan-kebijakan nasionalnya sendiri secara sejajar dengan negara-negara imperialis dan kolonialis bekas penjajahnya, baik dengan tendensi nasionalisme ataupun internasionalisme, maka fase kebangkitan itu sebenarnya telah tiba di awal abad lalu. Terutama saat dunia Islam berhimpun di dalam gerakan komunis internasional, hingga berakhir paling tidak di akhir-akhir abad kedua puluh atau awal abad keduapuluh satu ketika banyak negara dengan penduduk mayoritas muslim tumbang kembali oleh pukulan negara imperialis dan dipaksa masuk ke dalam program-program neoliberal baik secara ‘demokratis’ ataupun dengan cara-cara paksaan dengan intervensi militer ataupun tekanan diplomatik. Kasus Irak, Suriah, Libya, Yaman dan Afganistan salah satu dari trajektori intervensi imperialis yang baru saja kita saksikan. Sejumlah negara Islam ini adalah negara dengan partai komunis dan program sosialis yang popular[2].
Dalam tulisan ini, kebangkitan dunia Islam akan diuraikan dalam tiga fase penting, yang tidak harus dibaca sebagai kronik di mana satu fase dengan lainnya terpisah dengan jelas oleh urutan waktu. Pertama, fase awal ketika Uni Soviet dan Komunis Internasional berdiri dan mempengaruhi banyak perjuangan kemerdekaan di negara-negara muslim. Kedua, ketika banyak negara muslim yang dengan menggunakan analisa Marxian baik dengan terhubung langsung dengan komunis internasional atau tidak langsung berhasil meraih kemerdekaan politiknya. Ketiga, ketika negara-negara muslim merdeka menggagas dan mengikuti agenda-agenda internasional perlawanan terhadap imperialisme seperti konferensi Asia Afrika (KAA) yang pertama kali diselenggarakan di kota Bandung Indonesia pada tahun 1955 dan Gerakan Non-Blok yang dilaksanakan di Beograd, Yugoslavia pada tahun 1961.
Marxisme dan Perlawanan Terhadap Imperialisme: Fase Historis Awal
Sejak keberhasilan Gerakan Bolshevik menumbangkan Imperium Rusia dan mengubah Rusia menjadi Soviet, cahaya kebangkitan Islam mulai berpendar. Rapat-rapat Komunis Internasional (Komintern) diikuti oleh banyak sel-sel perjuangan nasional dari banyak bangsa muslim terutama yang disebut Soviet Asia, yang saat ini adalah wilayah-wilayah di Asia Tengah. Wilayah-wilayah berpenduduk muslim di Asia Tengah bahkan merupakan republik-republik awal yang melebur menjadi negara terbesar dunia: Uni Soviet.[3] Meski tak hanya dari wilayah tersebut, sebab sel gerakan pembebasan nasional dan perlawanan terhadap penjajahan melalui komunis internasional, juga diikuti oleh aktivis-aktivis dari Iran, Indonesia atau India, dan beberapa wilayah berpenduduk mayoritas muslim yang ketika itu masih sedang berjuang melawan dan ingin keluar dari eksploitasi dari kekuatan-kekuatan imperialisme Eropa dan belakangan oleh Amerika Serikat.
Kongres Komintern pertama hingga keenam diikuti oleh sejumlah aktivis muslim yang berhaluan marxis, baik yang mengembangkan gagasan mengawinkan marxisme dan Pan Islamisme maupun yang mengembangkan marxisme sekular. Ulasan menarik mengenai periode ini bisa kita baca dalam laporan Vijay Prasad (2020) berjudul Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga. Meski tak mengulas spesifik negara Islam dan aktor-aktor aktivisme dunia Islam dengan komunisme, laporan ini membeberkan fakta-fakta yang bisa memantik diskusi pertautan gerakan Islam dengan gerakan komunis. Satu di antaranya adalah keberadaan nama-nama penting dari kalangan muslim seperti sastrawan dan aktivis gerakan pembebasan nasional dan gerakan komunis yang ikut dalam jaringan Komunis Internasional Mereka adalah bagian dari gerakan internasional menentang imperialisme dan memperjuangkan nasionalisme di dunia muslim.
Catatan lain atas pentingnya periode ketika Komintern memberi pengaruh bangsa-bangsa timur, baik melalui kongres-kongres Komintern maupun kongres bangsa-bangsa timur bisa dilihat dalam karya sejarah Wildan Sena Utama Konferensi Asia Afrika Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Anti Imperialisme (2017).[4]”Diktum Lenin bahwa ‘Kolonialisme adalah bentuk terburuk dan terekstrim dari kapitalisme, tapi juga bentuk terakhirnya’ memukau kaum anti imperialis Asia dan Afrika,” tulis Wildan.
Nama-nama dari dunia Islam yang mengisi kongres-kongres Komintern dan terpengaruh gagasannya bisa membentang dari Asia Selatan hingga Asia Tenggara, dari Arab, Anatolia hingga ke Persia. Dari ujung Afrika hingga ujung timur Asia. Sebut saja beberapa tokoh penting yang juga diberi kesempatan berpidato dalam kongres bangsa-bangsa timur di Baku, Azerbaijan, yakni Naciye Hanim, seorang aktivis feminis komunis dari Turki dan Hanifi Burnasef (Fergana), anggota Zhenotdel, Departemen Urusan Perempuan Partai Komunis Uni Soviet.[5] Tan Malaka, dari Asia Tenggara, juga berpidato dan memberi usulan pada kongres Komintern keempat di Moskow mengenai perlunya mendekatkan gerakan Komunisme dan Pan Islamisme.[6]Berikut daftar beberapa tokoh muslim yang tergabung dalam Komintern atau yang simpati kepada gerakan komunis:
Asal Negara | Nama |
India | Abdul Hafiz Muhammed Barakatullah
Maulana Ubaidillah SIndi Muzaffar Ahmad Abdul Halim Dada Amin Khaidir Khan |
Irak | Haifa Zangana
Naziha Jawdet al-Dalaimi Aminah Rahhal Yusuf Salman Yusuf |
Uzbekistan | Turar Ryskulov
Mirsaid Sultan-Galiev Zeli Vilidi Togan Fatima Kasymova Serafima Liubimova Abdul Rauf Fitrat Fayzulla Khodzayyev Akmal Ikramov Hanifi Burnashev |
Iran | Avetis Sultan Zade |
Turki | Naciye Hanim |
Indonesia | Tan Malaka
DN. Aidit Semaun |
Tabel 1 Aktivis Komunis Muslim dan Asalnya[7]
Nama-nama dan asal para aktivis dari sejumlah daerah luas dari negeri-negeri Islam ini memberi alamat dekatnya dunia islam dengan marxisme atau pun gerakan komunis internasional dalam membangun Kembali dunianya dan mengusir imperialism yang menggenjetnya saat itu hingga tak bisa berkembang.
Negara-Negara Muslim Merdeka
Setelah fase menyebarnya gagasan dan kritik Marxis atas eksploitasi kapitalisme kolonial, dunia koloni seperti menggeliat. Alih-alih mengikuti logika self-determinism seperti dianjurkan Amerika Serikat melalui Liga Bangsa-Bangsa, sebagian besar dunia Islam merdeka di bawah panji-panji gerakan marxis, baik dengan tendensi nasionalis dan tidak terhubung langsung dengan komunis internasional, maupun yang menjadi bagian dari komunis internasional.
Banyak partai-partai atau gerakan perjuangan kemerdekaan di negara jajahan memperjuangkan dengan lantang kemerdekaan. Syarikat Islam dan Partai Komunis Indonesia di Indonesia, bersama gerakan nasionalis lain seperti Partai Nasionalis Indonesia yang berciri nasionalisme marxis, Perhimpunan Indonesia yang juga dijejali dengan tokoh-tokoh yang menggunakan analisa marxis dengan cemerlang untuk menelanjangi praktik eksploitasi kolonial. Mereka semua berjejaring dalam perjuangan dan pada akhirnya, pada tahun 1945 Indonesia mendapatkan kemerdekaan seperti yang mereka cita-citakan. Demikian juga Michel Aflaq dan Salahuddin al-Bitar di Suriah atau Gamal Abdul Nasser yang ikut menumbangkan monarki Mesir piaraan imperialis Inggris dan mendirikan republik Mesir, juga Muammar Khadafi di Libya yang menumbangkan monarki Libya yang didukung oleh imperialis Italia.
Singkatnya, salah satu buah paling penting dari menguatnya wacana anti eksploitasi kolonial dengan analisa marxian dan gerakan komunis adalah merdekanya sejumlah besar negara berpenduduk mayoritas muslim dari penjajahan Eropa, seperti Indonesia (1945) atas Belanda; India (1947), Pakistan (1947), Mesir (1952, Iraq (1932), dan beberapa negara lainnya atas Inggris; Libya (1959) atas Italia, Suriah (1946), Tunisia (1956), Aljazair (1962) Marokko (1955), Sudan (1958), dan Gabon (1960) atas Prancis; Afrika Timur atas Jerman, Kongo Belgia (1960) atas Belgia, dan negara-negara lainnya.
Konferensi Asia Afrika dan GNB: Peran Internasionalis Bangsa-bangsa Muslim Bagi Keadilan dan Tata Dunia Anti Imperialisme
Pada pertengahan abad keduapuluh, selepas perang dunia kedua, seiring dengan makin menguatnya pengaruh dua kutub: Soviet dan Amerika Serikat dalam perang dingin, sebuah konferensi yang merupakan turunan langsung dari gagasan-gagasan anti imperialisme dilaksanakan di Bandung. Sebagaimana dikemukakan oleh para sejarawan dan ahli ilmu sosial, seperti Samir Amin yang menyebutnya sebagai “spirit Bandung”, konferensi ini merupakan gerakan perlawanan global pertama atas imperialism.[8] Konferensi tingkat global ini menghadirkan 29 negara yang baru merdeka dan sedang dalam proses perjuangan kemerdekaan dari negara eropa penjajahnya. Dikenal sebagai Konferensi Asia Afrika (KAA), pertemuan monumental ini menghasilkan keputusan yang dikenal sebagai Dasasila Bandung yang jelas memperlihatkan gagasan egaliter marxian meski tak lagi seturut pengaruh Uni Soviet.
Inisiator pertemuan ini adalah lima tokoh dari negara baru merdeka, Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Bangladesh. Dari lima inisiator ini, dua di antaranya dari negara berpenduduk mayoritas muslim dan tokoh muslim terkemuka di negaranya masing-masing.
Pertemuan global ini juga diikuti oleh 16 negara berpenduduk mayoritas muslim dari keseluruhan 29 negara peserta. Berikut negara-negara peserta KAA berdasarkan penduduk mayoritas wilayah nasionnya:
No | Negara Peserta KAA | Agama Mayoritas Penduduknya |
1 | Afganistan | Islam |
2 | Kamboja | Budha |
3 | China | Konghucu |
4 | Mesir | Islam |
5 | Ethiopia | Islam |
6 | Pantai Emas (Ghana) | Islam |
7 | Iran | Islam |
8 | Irak | Islam |
9 | Jepang | Sinto |
10 | Yordania | Islam |
11 | Laos | Budha |
12 | Lebanon | Islam |
13 | Liberia | Protestan |
14 | Libya | Islam |
15 | Nepal | Budha |
16 | Filipina | Katolik |
17 | Arab Saudi | Islam |
18 | Sudan | Islam |
19 | Suriah | Islam |
20 | Thailand | Budha |
21 | Turki | Islam |
22 | Vietnam Utara | Budha |
23 | Vietnam Selatan | Budha |
24 | Yaman | Islam |
25 | Indonesia | Islam |
26 | Srilanka | Hindu |
27 | Pakistan | Islam |
28 | Burma (Myanmar) | Hindu |
29 | India | Hindu |
Tabel II. Peserta KAA Bandung dan Agama Mayoritas Warganya
Terlepas dari berbagai argumentasi dan perdebatan yang muncul di kalangan negara-negara yang lebih condong ke Uni Soviet atau yang masih menjadi bagian dari negara imperialis, pertemuan ini seperti disebut Samir Amin adalah pukulan global historis atas imperialism global. Juga, jika dikaitkan dengan kebangkitan negara-negara Islam bekas jajahan, gerakan inilah yang jangkauan globalnya terbesar. Suatu lanskap baru dimana dunia Islam disatukan oleh suatu etos anti kapitalisme dan imperialism yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Gerakan global ini banyak ditulis dan disinggung dalam buku-buku dan laporan para peneliti dan intelektual seperti Samir Amin, Hassan Hanafi atau sejarawan Wildan Sena Utama dan sejumlah besar ilmuwan sebagai gerakan yang menentang dominasi negara imperialis dan mengkampanyekan suatu tata kehidupan global baru yang adil dan emansipatif. Cita-cita ideal ini tercermin dari hasil pertemuan ini yang disebut Dasasila Bandung yang di antaranya menghormati hak-hak asasi manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam piagam PBB; menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa; mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar dan kecil, dan sejumlah poin penting lainnya.
Di era ini lahir tokoh-tokoh negarawan muslim yang kalibernya tak pernah ditemukan lagi di negara muslim di era setelahnya. Tokoh politisi dan pemikir seperti Soekarno yang merupakan presiden pertama negara berpenduduk muslim terbesar dunia, Indonesia. Gamal Abdul Nasser, presiden kedua Mesir yang pengaruhnya meluas ke seluruh Arab dan Afrika dan praktik revolusionernya direplikasi di Iraq, Suriah dan Libya. Di Libya, tokoh revolusioner yang mempopulerkan Sosialisme Islam, Muammar Khadafi, adalah seorang Nasseris. Demikian juga Michel Aflak di Suriah, Libanon dan Irak, yang di era-era terakhir hidupnya dia adalah tokoh penting partai Ba’ats Komunis di Irak bersama Saddam Hussein.
Gerakan lanjutan dari KAA Bandung adalah Gerakan Non-Blok yang diperluas hingga ke negara-negara di luar kawasan Asia dan Afrika yang juga mengalami ketidakadilan, penjajahan dan penundukan oleh imperium Eropa. Gerakan ini pertama kali didirikan di Beograd, Yugoslavia pada tahun 1961, yakni enam tahun setelah KAA Bandung. Pada gerakan ini juga, negara-negara muslim secara luas ikut berpartisipasi baik menjadi inisiator, penyelenggara maupun pesertanya.
Jadi ketika kita berdebat soal kemajuan dan kebangkitan Islam, artikel ini ingin menghamparkan periode historis ketika dunia Islam bergegas menuju kebangkitan bersama politik kiri anti imperialism. Melemparkan pertanyaan: apakah periode ini tidak ingin disebut kebangkitan Islam?
Kecuali bahwa kita mengecilkan peran historis besar para tokoh muslim, negara dan bangsa muslim dan gerakannya baik di Komintern dan pembentukan Uni Soviet, sebuah negara internasionalis yang melawan imperialism, KAA maupun gerakan solidaritas lainnya, kita tidak akan melihat ini sebagai fajar baru kebangkitan islam bersama gagasan-gagasan dan gerakan emansipasi marxisme. Wallahu a’lam bissawab.
Daftar Pusaka
[1] Benedict Anderson, Imagined Communities; Reflection on the Origins and Spread of Nationalisme (London: Verso, 2006) hal. 139
[2] Untuk ulasan mengenai pukulan terakhir imperialism atas negara-negara islam yang masih berhaluan Marxist atau komunis bisa dilihat Samir Amin The Reawakening of The Arab World Calengge and Change in the Aftermath of The Arab Spring (New York: Monthly Review Press (2012) Hal. 6
[3] Pada tahun 1922, Dari 15 Republik yang bergabung dalam pembentukan Republik Sosialis Uni Soviet pada tahun 6 di antaranya adalah negara Republik Sosialis Uzbekistan, Republik SOsialis Azerbaijan, Republik Sosialis Turkmenistan, Republik Sosialis Khazakstan, Republik Sosialis Kyrgiztan dan Republik Sosialis Kazakhstan. Republic yang bergabung menjadi Uni Soviet terus bertambah antara tahun 1956 sampai dengan 1991 ketika republik ini bubar.
[4] Tema ini dibahas dalam satu bab mengenai dorongan intelektual atas KAA di Bandung yang juga berasal dari gagasan anti imperialism komintern. Lih. Wildan Sena Utama Konferensi Asia Afrika Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme (Jakarta; Marjin Kiri, 2017) Hal. 20
[5] Vijay Prasad Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga (Jakarta: Marjinkiri, 2020) hal. 93
[6] Fred R von der Mehden Marxism and Early Indonesian Islamic Nationalism (Academy of Political Science: 2019) H. 345
[7] Diolah dari Vijay Prasad, Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga (Jakarta; Marjin Kiri, 2020)
[8] Lih Samir Amin Dunia yang Hendak Kita Wujudkan (Yogyakarta: Resistbook,2010) Hal. 20