Victor Yeimo dan Tumbuhnya Generasi Papua Baru

3.1k
VIEWS

Hai kolonial Indonesia, tubuh saya boleh kau matikan, tetapi jiwa dan semangat saya akan tetap abadi dalam sejarah perjuangan bangsa Papua sepanjang masa.

Kutipan menghujam tersebut adalah reaksi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dalam peringatan meninggalnya Martinus Yohame, Ketua KNPB Sorong Raya yang ditemukan jasadnya pukul 07.00 WIT pada selasa, 26 Agustus 2014. Yohame diketahui dibunuh dengan diam-diam. Jasadnya ditemukan sedang mengapung di pesisir Pulau Nana, tidak jauh dari Kawasan Pulau Dom Distrik Sorong, Kota Sorong, Papua Barat. Saat ditemukan, jasad Martinus dalam keadaan terikat erat di dalam karung.

Dari tragedi ke tragedi menimpa generasi muda aktivis Papua yang “dihilangkan” oleh aparat keamanan. Dua tahun sebelumnya, pada 14 Juni 2012, suatu pagi pukul 09.30 WIT di Permunas III Waena Jayapura, beberapa orang bersenjata yang merupakan anggota polisi keluar dari mobil datang menembak Mako Tabuni, Ketua I KNPB ketika itu. Mako tersungkur dan dibawa ke rumah sakit namun tidak tertolong. Mako pun menghembuskan nafas terakhirnya.[1]

Kini, Victor Frederik Yeimo, juru bicara internasional KNPB dan juga Petisi Rakyat Papua (PRP) ditangkap Satgas Nemangkawi pada 9 Mei 2021 pukul 19.15 WIT di sebuah kios di Tanah Hitam, Distrik Abepura, Kota Jayapura. Victor telah terdaftar sebagai buron berdasarkan daftar pencarian orang Nomor: DPO/22/IX/RES.1.24/2019/Ditreskrimum bertanggal 9 September 2019. Victor dianggap sebagai penyebab kerusuhan di Papua saat berorasi pada 19 Agustus 2019 di halaman Kantor Gubernur Papua, dua tahun silam.[2] Victor Yeimo dituduh telah melakukan tindak pidana makar atas dasar orasi dan partisipasinya dalam demonstrasi damai anti-rasisme di Jayapura tersebut. Akibat tuduhan tersebut, Victor Yeimo menghadapi ancaman penjara seumur hidup semata-mata karena ia telah mengungkapkan aspirasi politiknya secara damai. Semenjak ditangkap, Victor telah ditahan dalam tahanan isolasi (solitary confinement) dan pihak keluarga maupun pengacaranya mengalami kesulitan untuk dapat menemuinya. [3]

Victor Yeimo didakwa melanggar Pasal 106 KUHP tentang makar dan Pasal 110 KUHP tentang pemufakatan makar. Pihak berwenang Indonesia telah menggunakan hukum pidana, terutama Pasal 106 dan 110 KUHP, untuk mengadili puluhan aktivis politik damai pro-kemerdekaan di Papua yang secara sah menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai. Menurut data Amnesty International Indonesia, per-Desember 2020 setidaknya 77 orang telah dipenjara berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP, dan per Juli 2021 setidaknya 13 tahanan politik Papua telah dipenjara di bawah pasal yang sama tentang makar. [4]

Pembungkaman ekspresi dan kemerdekaan berpendapat adalah watak rezim otoritarian Indonesia yang menyejarah hingga kini. Dalam konteks Papua, hal tersebut ditambah dengan sikap diskriminatif, rasis, dan stigma separatis serta teroris yang sudah mendarah daging dalam alam berpikir bawah sadar kekuasaan dan apparatus-nya. Intimidasi, kekerasan, bahkan penghilangan gerakan kaum muda Papua dalam menyuarakan aspirasi dan sikap politiknya bagai api dalam sekam yang akan terus menghidupkan bara gerakan pembebasan Papua. Penggunaan cara-cara kekerasan yang diskriminatif dalam membendung gerakan kaum muda Papua ini akan semakin meruncingkan konflik dan ingatan penderitaan bagi rakyat Papua.

Saya melihat Victor Yeimo dan gerakan kaum muda Papua dalam berbagai bidang (gerakan politik, perempuan, literasi, sastra, jurnalisme, agama, dan yang lainnya) merepresentasikan tumbuhnya generasi dengan spirit Papua Baru. Ide Papua Baru diterjemahkan sebagai munculnya kesadaran bagi orang Papua untuk menjadi subyek dan memperjuangkan pembebasan bagi bangsanya. Bangunan “Papua Baru” tersebut diisi dengan spirit kesadaran atas penindasan dan penjajahan untuk kemudian menanggapinya dengan perlawanan, sebuah gerakan sosial untuk pembebasan.

Tentu saja ide Papua Baru penuh dengan tantangan. Saya menuliskan esai ini untuk melihat bagaimana dinamika gerakan kaum muda Papua menafsirkan ide Papua Baru tersebut. Victor Yeimo menjadi salah satu representasi gerakan kaum muda yang mengalami teror dan penangkapan akibat menyuarakan aspirasi politiknya.

Esai ini bukan usaha untuk menjadikan Victor Yeimo sebagai patron, tokoh, atau bahkan mengkultuskannya. Saya yakin juga Victor tidak menginginkannya. Esai ini hanya menempatkan Victor sebagai pemantik sekaligus pintu masuk untuk melihat generasi muda Papua baru yang tumbuh di seantero Tanah Papua. Problem pengkultusan dan patron-client yang berlebihan dari generasi sebelumnya menjadi pelajaran berharga bagi gerakan pembebasan kaum muda Papua untuk tidak terjerumus pada jurang yang sama.

Hal lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah membangun gerakan pembebasan kaum muda Papua dengan kolektif, bekerjasama, dan dengan demikian artinya berbagi peran. Berbagai kerja kolektif sangat dibutuhkan untuk memperkuat basis dan pondasi gerakan. Kolektivitas sangat diperlukan untuk memperluas gerakan sekaligus juga pendidikan politik pembebasan itu sendiri. Selain praktik kolektifitas tersebut, yang juga sangat penting adalah membangun dialektika untuk membangun ideologi bersama sebagai pondasi gerakan pembebasan. Hanya dengan demikianlah generasi Papua baru akan tumbuh dan memiliki kesadaran pembebasan itu sendiri.

Seruan pembebasan Victor Yeimo dari Amnesty Indonesia (foto: Tabloid Jubi)

Kesadaran Kolonisasi

Victor Yeimo dalam sebuah esainya yang menggetarkan, Memandang Pembebasan Papua (2015) menyatakan dengan tegas bahwa rakyat Papua sedang dijajah dan kekayaan sumber daya alamnya telah dirampok oleh negara yang bekerjasama dengan jejaring oligarki termasuk di dalamnya adalah para birokrat, elit politik, elit masyarakat, dan pengusaha. Tanah Papua hanya dijadikan sebagai ladang berbagai kepentingan untuk bertemu dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Tidak lebih. Kesadaran akan situasi terjajah itulah yang berulang kali disampaikan Yeimo untuk menggugat diamnya rakyat dan elit Papua yang dikendalikan negara Indonesia. Tentang kesadaran dijajah ini Yeimo (2015) mengungkapkan:

…kita mau tidak mau mesti berangkat dari pengertian bahwa bangsa Papua sedang dijajah. Peliknya persoalan dan jenis kesengsaraan yang menimpa orang Papua, merupakan bentuk dari kolonialisme modern yang kemudian dapat dibahasakan sebagai imperialisme. Dengan begitu, perspektif cara pandang kita menjadi jelas bahwa semua ketimpangan ekonomi, sosial dan politik di West Papua merupakan anak kandung kaum imperialis yang bernama, Indonesia.

Kesadaran bahwa rakyat Papua dijajah harus dibarengi dengan mewaspadai praktik pecah belah (devide et impera) yang dilakukan oleh negara dengan apparatus-nya. Karakteristik yang melandasi politik pecah belah tersebut adalah pendekatan yang militeristik. Yang terjadi kemudian bisa dipastikan bahwa rakyat Papua dengan mudahnya diadu-domba, dipecah-belah, dan “dimatikan” spirit kritis dan pembebasannya. Kenyamanannya dalam ruang-ruang kekuasaan yang diberikan oleh negara bagi sebagai elit Papua menjadi ironi saat rakyat Papua lainnya mengalami penindasan, terror, dan penjajahan dalam hidupnya.

Bagaimana memecah ironi tersebut? Pendidikan yang melahirkan pembebasan menjadi syarat mutlaknya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Yeimo melihat bahwa sekolah-sekolah Indonesia di Papua mengajarkan bahwa menuntut kemerdekaan Papua adalah sesuatu yang illegal dan Indonesia bukanlah penjajah. Jika ada kelompok yang telah mencapai kesadaran politik dalam dirinya untuk menuntut hak sebagai manusia merdeka, maka mereka akan berhadapan dengan senjata. Penyiksaan, penangkapan semena-mena, hingga eksekusi politik kemudian dianggap lumrah. Teror ditebar ke tengah bangsa Papua agar mereka menutup mulut dan tidak bicara soal kemerdekaan (Yeimo, 2015).

Penyumbatan ekspresi pembebasan dengan teror dan kekerasan itulah yang sebenarnya terjadi di Tanah Papua. Akumulasi praktik kekerasan yang berkelidan dengan diskriminasi dan perampasan sumber daya alam Papua adalah penjajahan sesungguhnya. Praktik penjajahan tersebutlah yang oleh Yeimo disebut dengan repressive colonialism, yaitu penjajahan yang mensyaratkan penutupan ruang-ruang kebebasan bereskpresi dan penghancuran yang simultan serta kontinyu terdapat upaya-upaya kemerdekaan yang muncul sebagai aspirasi sosial politik rakyat jajahan.

Lalu, bagaimana cara melawannya? Bagaimana cara yang mesti dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran atas penjajahan yang terjadi terhadap orang Papua?

Satu hal yang sangat penting disadarkan adalah arti penting pemahaman sejarah orang Papua sendiri. Artinya, orang Papua harus memahami sejarah dirinya sebagai sebuah bangsa. Gagasan memahami sejarah diri sendiri itulah yang bisa dilakukan dengan melakukan pendidikan sejarah dan budaya orang Papua untuk menumbuhkan kesadaran dalam menuntut kemerdekaan sebagai bangsa yang bermartabat. Yeimo menegaskan—dengan mengikuti gagasan Frantz Fanon—bahwa tertanam kuatnya kolonialisme justru semakin meninggikan spirit dekolonisasi, sebuah perjuangan melawan penjajahan dan penindasan dari bangsa yang terjajah tersebut. Kontradiksi tersebut kemudian akan meruncing kepada benturan konflik antara dua kepentingan yang berbeda ini. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik yang terjadi terus menerus tersebut adalah dengan menghapuskan penjajahan itu sendiri. Sebab, penjajahan adalah akar dari konflik-konflik tersebut (Yeimo, 2015).

Satu hal yang sangat dikhawatirkan oleh Yeimo adalah ketika bangsanya menerima rangkaian kekerasan dan kolonialisme sebagai sebuah kewajaran. Seolah tidak ada yangsalah dengan semua kekejian tersebut. Pada saat itulah reproduksi kekerasan dan kolonialisme sebenarnya telah merasuk dan mendarah daging, sehingga kritik dan suara perlawanan dianggap tidak berguna dan sia-sia. Yeimo saya kira mengerti betul bagaimana kesadaran palsu untuk tunduk kepada stuktur kekuasaan dan hegemoni negara dan apparatus-nya sudah terjadi di Tanah Papua. Kesadaran palsu yang dimaksudnya adalah ketika rakyat Papua sendiri menyaksikan penindasan tetapi realitas ekonomi-politik membentuk kesadaran bahwa tunduk di bawah penguasa kolonial Indonesia adalah satu-satunya jalan hidup aman, damai, sejahtera, dan terhormat. Bagi Yeimo, sangat tidak wajar jika bangsa yang sedang dijajah diam tanpa melawan.

Yeimo sangat meyakini bahwa perlawanan adalah satu-satunya jalan pembebasan bangsa Papua. Perlawanan baginya adalah rangkaian strategi-taktik yang terarah berdasarkan basis objektif yang dimiliki oleh rakyat di Tanah Papua. Baginya kerangka berpikir revolusioner harus hidup dalam realitas penindasan. Pada momen inilah bangsa Papua membutuhkan kesadaran revolusioner, yaitu budaya melawan sebagai rekayasa sosial baru untuk menciptakan kesadaran melawan penindasan.

Yeimo sangat meyakini bahwa perlawanan adalah bagian dari proses penyadaran. Perlawanan damai dan bermartabat di depan penguasa kolonial Indonesia adalah upaya menyadarkan rakyat dari “bius bisu” kolonial dengan segala kesadaran palsunya. Perlawanan yang sedang berlangsung hingga saat ini di Tanah Papua tidak hanya memberikan proses pendidikan politik terhadap rakyat Papua dan publik secara luas, tetapi juga skenario sosial baru yaitu cara untuk meninggalkan budaya bisu menuju budaya kritis. Inilah totalitas praktik perlawanan nyata yang harus terus dikembangkan oleh rakyat Papua (Yeimo, 2017 dalam Suryawan, 2017: 4-5).

Orasi Victor Yeimo di halaman kantor Gubernur Papua pada 19 Agustus 2019 yang menentang rasisme terhadap orang Papua (foto: suarapapua)

Kerja Intelektual dan Aktivisme
Yeimo bagi saya adalah salah satu penanda penting tumbuhnya kaum muda Papua yang progresif, kritis, sekaligus juga suntuk membaca dan berefleksi tentang arah pergerakan. Kerja aktivisme berpadu dengan kesadaran intelektual melahirkan pemikiran-pemikiran yang fundamental dalam gerakan sosial pembebasan di Tanah Papua. Tentu saja tantangannya pada mentransmisi kesadaran ini secara kolektif kepada seluruh elemen gerakan kaum muda. Inisiatif untuk menggerakkan kerja aktivisme dan intelektual di kalangan gerakan kaum muda Papua ini sangatlah penting.

Baca Juga:

Saya melihat kerja-kerja intelektual Yeimo dan generasi aktivis kaum muda Papua lainnya di Tanah Papua melanjutkan gagasan “Papua Baru” yang sebelumnya diusulkan oleh Pendeta Dr. Benny Giay dalam bukunya, Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran sekitar Emansipasi Orang Papua (2000). Salah satu ide besar Papua Baru adalah menciptakan sebuah kesadaran untuk melawan penjajahan yang dilakukan oleh negara. Dengan demikian, semangatnya adalah menjadikan orang Papua sebagai subyek untuk merumuskan masa depannya. Selama ini yang terjadi adalah masa depan orang Papua selalu ditentukan oleh orang non-Papua. Bagaimana perumusan masa depan tersebut?

Bagi Yeimo perumusan masa depan Papua hanya bisa dilakukan dengan melakukan pergerakan sosial. Gerakan sosial pembebasan di Tanah Papua membutuhkan perjuangan bersama untuk mengerjakan beberapa isu-isu penting. Pertama, pendefinisian kebangsaan. Yeimo melihat pentingnya untuk menulis sejarah perkembangan masyarakat Papua sebagai bagian dari rekonstruksi kebangsaan Papua. Perumusan rekonstruksi kebangsaan Papua ini juga bagian dari spirit pembebasan dari narasi dan konstruksi yang dibuat oleh negara.

Tema kedua yang tidak kalah pentingnya sebagai kelanjutan dari kerja pendefinisian kebangsaan adalah mengkonseptualisasi ideologi. Bagi Yeimo, ideologi harus menjadi basis perjuangan bangsa Papua. Ia merumuskan pertanyaan yang sangat fundamental dari perjuangan pembebasan Papua, apa tawaran kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Papua? Baginya inilah yang bisa dijawab dengan mengkonseptualisasi dan menerjemahkan ideologi bagi bangsa Papua. Kemerdekaan secara politik adalah cita-cita perjuangan kemerdekaan. Yang juga penting dirumuskan adalah apa muatan dari kemerdekaan Papua tersebut yang menjadi landasan gerak dari perjuangan rakyat Papua. Pada titik inilah perumusan ideologi menjadi hal yang mutlak.

Hal ketiga yang juga sangat penting diperjuangkan bersama adalah pengorganisasian. Setelah pendefinisian kebangsaan, kemudian dilanjutkan dengan mengkonseptualisasi ideologi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengorganisasian. Kerja-kerja pengorganisasian adalah bagian mutlak dari membangun kesadaran perlawanan yang terstruktur dalam basis rakyat Papua. Kerja pengorganisasian juga harus melibatkan para intelektual organisatoris yang bergerak membentuk system perlawanan rakyat. Yeimo dengan sangat meyakinkan mengungkapkan:

…struktur penindasan yang terus massif dari waktu ke waktu mesti dihancurkan oleh struktur perlawanan rakyat, dan itu harus dilakukan dalam kesadaran berkumpul dan berorganisasi. Sehingga, ada kepastian bahwa bangsa Papua memiliki kedaulatan penuh di atas leluhurnya. Haruskah kita biarkan kekuasaan colonial berdaulat penuh atas kehancuran kita? Untuk itu, proyek pewadahan terhadap kelas-kelas yang tertindas di berbagai sektor mutlak dilakukan…

Tema keempat yang menjadi agenda besar perjuangan pembebasan Papua berkaitan dengan kapasitas perjuangan. Victor Yeimo mengkritik orang Papua sebagai intelektual dan birokrat yang mengaku diri professional namun telah dididik lalu disedot ke dalam sistem kolonialisme. Mereka ini dalam pandangan Yeimo adalah para gagal pikir, gagal sadar, dan gagal gerak yang justru pragmatis dalam melihat situasi ketertindasan Papua. Kapasitas perjuangan sangat ditentukan pada pendidikan yang mampu menjawab tantangan kontemporer yang dialami oleh rakyat Papua yaitu realitas penindasan dan perlawanan rakyat Papua. Proyek intelektual yang belum selesai dalam meningkatkan kapasitas perjuangan adalah pelibatan kaum muda terdidik Papua untuk memperkuat perjuangan rakyatnya (Yeimo, 2017 dalam Suryawan, 2017: 5-7).

Proyek intelektual dan aktivisme harus bertemu dengan kondisi sosial politik masyarakat yang mengalami “budaya bisu”. Memecah pembisuan itulah yang menjadi tantangan bagi kerja intelektual dan aktivisme dari gerakan kaum muda Papua. Pembisuan dan juga pembungkaman pada rakyat Papua terjadi karena teror kekerasan dan penyingkiran terus-menerus. Oleh sebab itulah sangat diperlukan solidaritas sosial rakyat Papua sendiri. Solidaritas dan ikatan sosial yang telah ada dalam masyarakat Papua dapat dibangun kembali sebagai modal dalam memperjuangkan kebebasan dan keadilan menuju Papua Baru. Perjuangan untuk terlepas dari penderitaan dan kungkungan ideologi pembangunan yang mengekang kebebasan dalam segala bidang kehidupan ini, menjadi perjuangan seluruh orang Papua. Artinya perjuangan ini tidak lagi menjadi kepedulian dan beban segelintir orang.

Solidaritas rakyat Papua sejatinya bisa tumbuh diantaranya disebabkan oleh pertama, pengalaman terus menerus dicap bodoh, belum mampu, pemabuk, bodoh yang dialami selama pemerintah Indonesia berkuasa di Tanah Papua. Kedua, pengalaman diintimidasi untuk membuat pernyataan-pernyataan politik baik lisan maupun tulisan untuk melepaskan ratusan hektar tanah bagi kepentingan pembangunan. Atau juga pernyataan-pernyataan mendukung kepentingan politik penguasa walaupun bertentangan dengan kata hati sendiri, atau kepentingan masyarakat umum. Ketiga, pengalaman didiskriminasi dalam pembagian pekerjaan, promosi pekerjaan, pemberian kesempatan berusaha, kesempatan mendapat pendidikan dan pelayanan kesehatan. Keempat, tindakan pelanggaran hak-hak asasi manusia orang Papua seperti pembunuhan warga masyarakat yang tidak bersalah, penahanan warga masyarakat tanpa pandang bulu, dan terror pada masyarakat Papua yang tidak terhenti hingga hari ini.

Solidaritas itulah yang tertutupi oleh budaya bisu dan keenganan untuk bersuara. Pragmatisme cari selamat sendiri dan mengorbankan orang lain untuk kepentingan sendiri mengakibatkan terpecahnya solidaritas sosial yang telah terbangun karena setidaknya empat pengalaman bersama yang disampaikan di atas. Kita kemudian menyaksikan keengganan menyuarakan situasi ketidakadilan dan kekerasan, kebungkaman untuk menyuarakan aspirasi, dan pragmatisme dan manipulasi. Rakyat Papua akhirnya terpecah. Warga masyarakat yang tadinya loyal terhadap masyarakat akhirnya menyangkal diri dan bekerjasama dengan penguasa untuk menghancurkan masyarakatnya sendiri. Misalnya dengan membuat pernyataan-pernyataan politik (baik lisan maupun tulisan) yang mengatasnamakan masyarakat; menyerahkan tanah bagi keperluan pembangunan atau menjadi kaki tangan penguasa. Keadaan inilah yang menyebabkan masyarakat terpecah-pecah dan terjadi saling mencurigai satu dengan yang lain. Tugas orang Papua ke depan dalam memperjuangkan kepentingan sesama orang Papua ialah membangun kembali solidaritas, persatuan dan kesatuan, yang menjadi salah satu pilar perjuangan menuju Papua Baru (Giay, 2000: 54- 55).

Refleksi
Pada akhirnnya, rentetan represi negara dan apparatus-nya yang melakukan penangkapan terhadap aktivis kaum muda Papua beresiko sangat besar menyemaikan gerakan pembebasan kaum muda Papua. Gerakan kaum muda menjadi salah satu yang dinamis dan terus mengalami transformasi. Inilah salah satu elemen penting dalam memahami Papua kontemporer dalam relasi mereka dengan isu-isu dunia global dan respon mereka terhadap kekerasan negara. Saya melihat gerakan-gerakan pembebasan kaum muda Papua mendapat tantangan untuk memperluas jejaring dan cakupan gerakan mereka ke wilayah-wilayah pendidikan, agama, kelompok-kelompok marginal, perempuan, gerakan kebudayaan, bahkan jurnalisme dan sastra. Hanya dengan demikianlah, pada masa depan gerakan kaum muda Papua ini akan menjadi medium-medium dalam membangun ideologi Papua Baru.

Saya meyakini bahwa tumbuhnya gerakan pembebasan kaum muda Papua tumbuh seiring bertautnya Papua dengan modernitas dan dunia global. Momen inilah yang memungkinkan gerakan pembebasan kaum muda menyemaikan berbagai gagasan perlawanan pasca-kolonial. Gerakan kaum muda Papua ini tumbuh justru di tengah cengkraman dan represi yang keras dari negara. Saya merasakan sekali bagaimana kelompok muda Papua harus membangun diri dan melangkah ke depan dengan berbagai pilihan yang sulit. Meski berbagai upaya rekognisi terus diupayakan oleh negara, struktur kekerasan dan diskriminasi secara kolektif sungguh sangat sulit dilepaskan dari ingatan penderitaan (memoria passionis) yang melekat dan membadan dalam sejarah kehidupan rakyat Papua.

DAFTAR PUSTAKA  

Giay, Benny. (2011). Hidup dan Karya John Rumbiak: Gereja. LSM dan Perjuangan HAM dalam Tahun 1980an di Tanah Papua. Jayapura: Deiyai.

Giay, Benny. (2000). Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran sekitar Emansipasi Orang Papua. Jayapura: Deiyai/Elsham Papua.

Suryawan, I Ngurah. (2017). Suara-Suara yang Dicampakkan: Ontran-Ontran Tak Berkesudahan di Bumi Papua. Yogyakarta: Basa Basi.

Yeimo, Victor. (2017). ”Mu Man Minggil, Jalan Menuju Tanah Leluhur Bangsa Papua” dalam I Ngurah Suryawan, Suara-Suara yang Dicampakkan: Ontran-Ontran Tak Berkesudahan di Bumi Papua. Yogyakarta: Basa Basi.

Yeimo, Victor. (2015). ”Memandang Pembebasan Papua”, Indoprogress, 7 Mei 2015. https://indoprogress.com/2015/05/memandang-pembebasan-papua/ (dikses 23 Agustus 2021).

[1] Untuk mengetahui profil Mako Tabuni, silahkan baca esai yang ditulis oleh jurnalis Benny Mawel: https://suarapapua.com/2016/09/17/jejak-mako-tabuni-lahir-besar-bersama-rakyat-di-jalanan-mati-pun-bersama-rakyat-di-jalanan/ (diakses 25 Agustus 2021).

[2] Lihat https://tirto.id/mereka-yang-menuntut-pembebasan-juru-bicara-knpb-victor-yeimo-gf7A (diakses 31 Agustus 2021).

[3] Lihat https://amnestyindo.nationbuilder.com/petisi_victor_yeimo (diakses 29 Agustus 2021)

[4] Lihat https://www.amnesty.id/bebaskan-victor-yeimo-yang-kondisi-kesehatannya-memburuk/ (diakses 30 Agustus 2021).

Related Posts

Comments 2

  1. Sefnath says:

    Terimakasih, tulisan ini sangat bagus dan menambah pemahaman tentang Papua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.