Agensi yang ditunjukkan Aisyah adalah semata untuk membela apa yang ia percayai sebagai kebenaran nilai Islam, bukan untuk misi melawan patriarki.
Kita perjelas konteksnya disini: keberadaan masyarakat patriarkal telah jauh mendahului kelahiran kapitalisme. Pada kemunculannya di abad ke-7 M di Arab, Islam membangun fondasi masyarakat egaliter dimana tidak ada institusi hirarkis atas kelas maupun gender, di tengah sejarah masyarakat dengan kultur patriarki yang kental. Apa yang ditransformasikan Islam bukanlah upaya penghancuran patriarki, melainkan suatu misi keadilan sosial yang transenden sekaligus material. Bagaimana kita merefleksikan agensi Aisyah di tengah perjuangan aktivis perempuan dalam masyarakat kapitalis hari ini?
Mari kita membuka kisah Aisyah radliyallahu anha dari fase separuh akhir hidupnya: pasca kekalahan telaknya di Perang Unta melawan Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu (36 H/656 M). Setelah ia memobilisasi, mengorganisir dan memimpin pemberontakan terhadap khalifah keempat yang sah tersebut, dan ribuan pasukannya tewas di tangan pasukan Ali, perang pun resmi berakhir. Aisyah tersungkur dari untanya dan ia ditangkap oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar yang saat itu berpihak ke Ali. Saat itu Aisyah berusia 45 tahun – jelas bukan usia prima untuk seorang perempuan bertempur memimpin ribuan laki-laki di padang luas di dekat Basrah. Namun, demi menuntut Ali agar segera memberi keadilan terhadap pelaku kematian Ustman bin Affan radliyallahu anha, Aisyah mampu mengobarkan semangat perlawanan angkat senjata di kalangan massa. Bagaimanapun juga, ia adalah Sang Ibu Kaum Mukmin (Ummul Mukminin), istri Rasulullah SAW yang mashyur.
Ali bin Abi Thalib, selayaknya seorang khalifah dan ksatria, memerintahkan pengawalnya agar mengantar Aisyah ke Mekah. Anaknya, Hasan bin Ali, diperintahkannya untuk ikut mengawal. Masyarakat Mekah tetap menyambutnya dengan penghormatan. Tanpa depresi dan rasa malu oleh kekalahan dan berbagai kritik, Aisyah melanjutkan pengajaran hadith di rumahnya. Setelah kembali ke Mekah dan Madinah, Aisyah kemudian dikawal kembali, atas perintah Ali, untuk diantar ke Basrah, kali ini dengan kawalan saudaranya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar. Di Basrah, Aisyah tetap disambut oleh masyarakat sebagaimana seorang ahli fiqh besar, faqiha. Di sana, ia difasilitasi sebagai tamu oleh Safiyyah binti al-Harith bin Talhah, dimana Aisyah diberi ruang untuk mengajar hadith. Dan berbagai kalangan tetap datang kepada Aisyah untuk menuntut ilmu, baik dari mereka yang menentang atau mendukung Aisyah di dalam perangnya dengan Ali. Bahkan, kedatangan Aisyah kembali ke Basrah menjadi salah satu pendorong dari tumbuhnya kota tersebut sebagai pusat ilmu hadith bagi kaum perempuan setelah Madinah (Nadwi,2007).
Apa yang menyebabkan Aisyah, seorang janda paruh baya tanpa anak, yang telah menjadi aktor dalam salah satu insiden perang sipil paling kontroversial dan traumatis bagi umat Islam, tetap menjadi figur karismatik, berjalan tegak dengan mental baja, melanjutkan misi pengajarannya dan tidak tenggelam dalam penyesalan dan pengucilan diri?
Kunci utama dari agensi Aisyah adalah fikih dan amal, yang diwujudkan dengan semangat kesalehan serta praktik egalitarian dan keadilan secara militan. Fikih dipahami sebagai suatu pemahaman menyeluruh dan pengetahuan yang mendalam tentang aturan-aturan yang bersumber dari teks-teks Islam untuk menjadi panduan relasi antar manusia dan antara manusia dengan Tuhan, sedangkan amal diartikan sebagai wujud dari implementasinya. Fikih yang kuat bukan sebatas perkara soal keahlian di cabang dari larangan dan perintah tertentu, melainkan keterhubungan dan proporsi yang seimbang. Sempitnya pemahaman fikih berkonsekuensi pada penyimpangan amal (Nadwi, 2007). Interpretasi atas ajaran Islam yang diskriminatif terhadap perempuan misalnya, seringkali merupakan wujud dari kesibukan mengatur perkara sebatas perintah atau larangan yang sempit dan parsial, misalnya mempersoalkan kehadiran perempuan di masjid, posisi perempuan sebagai pemberi fatwa, cara berpakaian, dan sejenisnya, tanpa menarik hubungan dengan Islam sebagai sistem hidup yang lebih holistik.
Artikel bagian pertama ini membagi tiga aspek penting agensi Aisyah dalam fikih dan amal, yaitu metodologi keilmuan (intelektualitas), kaderisasi perempuan berbasis pengasuhan (feminitas), dan aksi massa serta perjuangan bersenjatanya (revolusi). Ketiganya akan dijahit ke dalam upaya mereaktualisasi agensi Aisyah di era kontemporer yang akan dibahas di bagian kedua (mendatang).
Apakah Aisyah seorang feminis?
Para feminis Islam banyak menggali kisah Aisyah sebagai upaya me-reklaim tradisi keterlibatan aktif perempuan dalam masyarakat dan keilmuan Islam (lihat misalnya Ahmed 1992, Ali 2006, Badran 2009, Barlas 2019, Mernissi 1991). Karya-karya mereka menginvestigasi, menantang dan memitigasi bias gender dalam penafsiran tentang Islam, termasuk lewat contoh Aisyah, dengan cara memberi uraian dan konteks yang lebih utuh dan akurat tentang pengetahuan Islam yang ada dalam Quran, sunnah dan kesatuan kolaborasi antara laki-laki dan perempuan. Mernissi misalnya, mengusulkan agar studi kritis hadith dalam tradisi klasik dihidupkan kembali dengan juga memasukkan kajian kritis atas para Sahabat Nabi yang dalam tradisi Sunni saat ini diterima sebagai kebenaran yang setara di dalam sakralitas enam kitab hadith utama (kutub as-sittah), meski ada perbedaan pendapat diantara para Sahabat Nabi sendiri mengenai satu perkara. Berdasarkan studi atas kitab klasik Imam Zarkashi tentang metodologi kritik Aisyah terhadap para Sahabat Nabi, Rehman (2019) menarik gagasan Mernissi lebih jauh dalam disertasinya dengan merekonstruksi Aisyah sebagai referensi sah dan tokoh otoritatif yang selama ini dianggap termarjinalkan di tengah dominasi kaum laki-laki dalam tradisi hadith dan fikih.
Meski feminisme sebagai suatu proyek pengetahuan belum muncul pada zaman itu, berbagai kalangan tetap menganggap Aisyah bisa disebut sebagai feminis dikarenakan nilai inspirasi yang diberikannya untuk aktivisme perempuan Muslim saat ini. Lies Marcos Natsir misalnya, melihat bahwa salah satu isu antara mereka yang menerima dan menolak feminisme Islam adalah metodologi dalam mendekati dan menelisik teks-teks keislaman, dan dari situ sejarah menjadi trayektori untuk feminisme Islam:
“Bagi kalangan feminis, terutama yang menekuni kajian hadis dan sejarah Islam di periode awal, melihat Aisyah adalah sebagai teladan yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki dalam menerima amanah sebagai perawi hadis. […] menyebut Aisyah bukan (sumber inspirasi) feminis merupakan sebuah pemahaman yang ahistoris.”
Sebaliknya, mereka yang menolak atribusi Aisyah sebagai feminis menganggap bahwa klaim tersebut problematis. Fakta bahwa Imam Zarkashi menulis buku tentang Aisyah menunjukkan bahwa label feminis tidak diperlukan karena hal tersebut memang merupakan bagian dari tradisi Islam klasik sebagaimana ditulis oleh Bana Fatahillah di situs Hidayatullah:
“…menggunakan buku al-Zarkasyi dengan mengutip sebagiannya sebagai dalil penguat bahwa Aisyah adalah aktifis feminime yang sangat kritis terhadap praktek patriarkis yang dianggap marak pada masanya, itu terlalu parsial. Sangat naïf sekali untuk buku milik ulama sekaliber al-Zarkasyi. Harusnya dari buku itu umat muslim belajar dan bisa meneladani bagaimana istri Nabi yang turut andil dalam ranah intelektual. Itu berarti tak pandang bulu, dalam Islam, laki ataupun perempuan semua berhak andil dan berperan dalam aspek ilmu perngetahuan. Sebab kebenaran tidak pernah berpihak pada jenis kelamin tertentu.”
Lies Marcos Natsir melihat bahwa sejarah sebelum feminisme lahir bisa menjadi preseden bagi inklusi aspek perjuangan perempuan dalam menunjukkan agensinya ke dalam langgam feminisme. Disini ia kemudian menyimpulkan bahwa mereka yang menolak hal tersebut adalah pihak yang berpandangan ahistoris. Sementara itu, Bana Fatahillah mempertimbangkan aspek ontologis dan epistemologis dari feminisme itu sendiri yang punya konsekuensi berbeda dan kontradiktif. Jika kita menengok kembali perjalanan sejarah perkembangan Islam, agensi perempuan Muslim di bidang perkembangan keilmuan Islam dan partisipasi di ruang publik bukanlah untuk mengadvokasi posisi perempuan di tengah kaum laki-laki, melainkan didorong oleh semangat ibadah yang bersifat kolaboratif. Asma Sayeed menuturkannya dalam Women and The Transmission of Religious Knowledge in Islam,
“Untuk memahami tren fluktuasi partisipasi perempuan Muslim dalam Islam awal dan klasik, kita harus menghindari membaca teks-teks tersebut sebagai bentuk misoginis atau sebaliknya, keinginan eksplisit untuk memberdayakan perempuan. […] agensi perempuan yang diekspresikan oleh subversi atas norma patriarki bukanlah tema dalam peningkatan dramatis aktivisme kesalehan perempuan Muslim di era klasik. Sebaliknya, yang dipertaruhkan adalah pelestarian setia warisan [Nabi] Muhammad.” (Sayeed, 2013: 18)
Disini, Sayeed melihat agensi perempuan Muslim di masa awal hingga abad pertengahan berbeda dari Lies Marcos Natsir dan Bana Fatahillah. Ia lebih menekankan pada mileu pada zaman tersebut dimana pewarisan ajaran Islam disokong oleh suatu sistem dan struktur sosial, ekonomi, dan politik yang sama sekali berbeda dari umat Muslim di era modern. Aktifnya penguasa, ulama dan para administrator publik pada waktu itu dalam menghidupkan ilmu keislaman berdampingan dengan tumbuhnya wilayah Islam dengan pusat kota-kota kosmopolitan yang maju seperti Baghdad, Damaskus, Kufah, Basrah, hingga ke wilayah Andalusia, Afrika Utara hingga ke Asia Tengah dan Asia Selatan. Beberapa fase dalam dinasti Islam seperti Umayyah, Abbasiyah dan seterusnya memiliki praktik monarki yang nyaris absolut, diselingi berbagai gejolak aksi massa dan pemberontakan. Namun, apa yang terbaca dari peran perempuan di sektor pengembangan ilmu pengetahuan adalah upaya untuk mempertahankan tradisi rujukan fundamental dalam Islam bahkan ketika di beberapa periode keterlibatan perempuan dalam ruang publik terbatas dan tersegregasi.
Meski begitu, dapat dimaklumi bahwa kisah Aisyah telah membuka pintu intelektual bagi kaum perempuan Muslim modern untuk menganalisis dengan kritis problem diskriminasi dan opresi yang memang terjadi dalam masyarakat Islam itu sendiri, kerap dengan justifikasi atas dalil Islam. Dalam buku Women and Islam, Fatima Mernissi membuka bagian pengantarnya dengan pengalamannya mendengar seorang tukang jualan di toko kelontong menyitir hadith tentang larangan perempuan sebagai pemimpin. Hadith ini begitu populer karena sering dijadikan penolakan keterlibatan perempuan dalam ranah kepemimpinan publik dengan merujuk pada pengalaman kekalahan Aisyah dalam Perang Unta. Mernissi membangun argumennya dalam Women and Islam dari kegelisahan saat mendengar hadith itu dimaknai masyarakat umum. Ia pun melakukan penelusuran sejarah lewat teks-teks keislaman klasik. Fatima Mernissi bisa dibilang sebagai pelopor feminisme Islam, yang melakukan kajian Islam dengan perspektif feminisme dengan cara penggalian sejarah dari sumber-sumber teks Islam itu sendiri. Dalam bab tentang ‘Kitab Misoginis’, misalnya, Fatima menelisik dua periwayat hadith, yaitu Abu Hurairah dan Abu Bakra (bukan Abu Bakar) dilihat dari karakter dan reputasi mereka yang telah diperdebatkan. Hadith yang berbunyi “tidak akan sejahtera suatu bangsa yang menyerahkan urusannya pada perempuan” sering dipakai sebagai himbauan agar perempuan sebaiknya tidak jadi seorang pemimpin. Namun, hadith ini ada konteksnya. Saat itu Nabi Muhammad SAW merujuk pada respon beliau ketika mendengar tentang Raja Persia dibunuh dan pengganti yang ditunjuk adalah anak perempuan raja tersebut. Peristiwa ini didahului oleh ketidakstabilan politik selama beberapa tahun. Saat mendengar kabar tersebut, Nabi Muhammad SAW kemudian merespon dengan hadith tersebut.
Tujuan dari tulisan ini adalah menarik tiga agensi utama dari Aisyah sebagaimana tercatat dalam riwayat klasik, perkembangan sejarah Islam yang mempengaruhi peran perempuan, dan kemudian mencoba menelisik apa yang bisa kita jembatani untuk merespon kehidupan perempuan di tengah sistem kapitalisme yang eksploitatif. Oleh karena itu, inspirasi Aisyah bagi perjuangan kaum perempuan saat ini perlu didudukkan dalam berbagai kompleksitas dan nuansanya. Kini marak gerakan perempuan yang disebut feminisme SJW (social justice warrior), “wokeism”, #MeToo, dan sebagainya yang mengusung protes atas seksisme dan penindasan berbasis gender yang terstruktur, serta berbagai gerakan perempuan tingkat lokal dan global yang mengusung kesadaran soal lapis penindasan berbasis kelas dan interseksional. Belakangan, istilah SJW sering dimaknai secara peyoratif sehingga meluruskan istilah ‘social justice’ atau keadilan sosial khususnya dalam perjuangan politik perempuan Muslim perlu dilakukan dengan kehati-hatian. Yaqeen Institute misalnya, mencoba memaknai keadilan sosial dalam Islam secara otentik, dengan menegaskan bahwa Islam adalah aktivisme keadilan sosial berbasis keimanan dengan amar ma’ruf nahi munkar sebagai ekspresinya.
Di hadapan hingar bingar itu, feminisme Islam sebagai suatu proyek pengetahuan dan advokasi umat tampaknya masih terbata-bata berhadapan dengan berbagai kontradiksi, polemik dan manifestasi gerakan baik di kalangan kaum Muslim sendiri maupun dalam langgam feminisme secara umum. Sebagian besar kajiannya masih terbatas bergumam dibalik tembok kampus-kampus Eropa dan Amerika Serikat, sementara kita saksikan pertarungan sesungguhnya dari feminisme Islam ada di antara masyarakat Muslim itu sendiri yang berada di wilayah-wilayah paskakolonial. Fragmentasi muncul antara berbagai kelompok feminis Islam dalam menyikapi ortodoksi dan tradisi keilmuan Islam di tengah derasnya krisis multidimensi saat ini. Disini, ketiga dimensi agensi dari Aisyah bisa menjembatani jarak antara berbagai ekspresi aktivisme perempuan Muslim kontemporer di hadapan berbagai sekat ideologis dan afiliasi.
Ibu Kaum Mukmin (Ummul Mukminin)
Tiada tokoh perempuan Muslim sepanjang sejarah yang dijunjung tinggi sekaligus diperdebatkan kiprahnya selain Aisyah binti Abu Bakar radliyallahu anha. Aisyah (613 M-678 M) adalah putri dari Abu Bakar, salah satu sahabat Nabi Muhammad yang juga di kemudian hari menjadi khalifah pertama Umat Muslim setelah Nabi Muhammad wafat. Aisyah adalah istri ketiga yang dinikahi Nabi Muhammad, setelah Khadijah dan Sawdah, yang terjadi sebelum beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Aisyah juga dianggap sebagai salah satu ahli fikih dan mufti Islam terbesar sepanjang sejarah, dan termasuk ‘maha guru’ bagi sumber ilmu Islam. Aisyah tinggal bersama Rasulullah SAW sejak usia 9 tahun hingga saat kematian Rasulullah SAW di pangkuannya, yaitu saat Aisyah berusia 18 tahun. Di usia yang masih remaja, belum genap 18 tahun, ia sudah terlibat di Perang Badar dan Perang Uhud melawan kaum Politeis Mekah yang sebelumnya selalu menzalimi Umat Muslim. Aisyah ikut perang sebagai pembawa air minum dan ia harus berlari di tengah pertempuran untuk melakukan tugasnya.
Gelar ‘Ibu Kaum Mukmin’ adalah suatu penghormatan dari kaum Muslim atas dedikasinya mengajari umat Muslim tentang ajaran Islam yang otentik, meski diketahui luas bahwa Aisyah tidak pernah melahirkan anak. Kisah hidup Aisyah penuh dengan gejolak sehingga kemahsyurannya memposisikan sosoknya menjadi sentral dalam perdebatan berbagai aliran dan agenda politik dalam Islam, baik antara Sunni dan Syiah, maupun antar berbagai preferensi para ulama antar mazhab. Hal ini tak hanya dikarenakan Aisyah punya posisi sangat tinggi dalam rujukan sunnah dan hadith Nabi Muhammad, namun juga akibat keputusannya untuk mengangkat senjata melawan Ali bin Abi Thalib lewat apa yang terkenal dengan Perang Unta membuatnya banyak dijadikan dalih bagi penyingkiran perempuan di ranah politik atau kepemimpinan publik. Seiring pula dengan mulai bergesernya agensi aktif perempuan Muslim dan fluktuasinya di sepanjang 1400 tahun kemunculan Islam, ketokohan Aisyah yang sentral dalam periwayatan dan basis pengetahuan Islam turut termarjinalkan, dan seringkali hanya dipuja puji sebagai ibu kaum Muslim karena kesalehan dan posisinya sebagai istri Nabi. Sementara itu, karakter dan kontribusinya sebagai individu tenggelam dalam arus tafsiran ajaran Islam yang lebih bias pada kepentingan laki-laki dan cenderung mendomestikasi peran perempuan.
Sebagai generasi Islam pertama, para istri Nabi dan sahabat berhadapan langsung dengan sumber otentik yaitu Nabi Muhammad SAW. Islam sebagai suatu doktrin, ajaran, dan jalan tauhid adalah agama yang menyatu dalam keseharian melalui praktik kehidupan. Para istri Nabi Muhammad SAW memiliki posisi terhormat untuk belajar langsung dari beliau, dan serta merta menjadi sumber keilmuan. Orang-orang akan datang kepada mereka untuk bertanya, berdiskusi dan konsultasi. Banyak tamu datang untuk berjumpa Nabi atau mereka. Kaum perempuan di masa Nabi Muhammad SAW aktif di ruang publik dan tidak pernah terkungkung di rumah. Tidak ada dalam sejarah Islam selama masa kehidupan Nabi Muhammad SAW dimana para perempuan dipingit atau dikurung di rumah kecuali pada saat mereka melakukan khalwat dalam beribadah. Para istri Nabi aktif berkegiatan dengan menyelenggarakan pengajaran atau dakwah di tempat umum, berkelana, haji, hingga berada di garda depan peperangan. Aisyah adalah contoh yang sangat menonjol.
Intelektualitas: metodologi kritik hadith dan penguasaan berbagai ilmu
Aisyah dikenal dengan kemampuan menyerap ilmu secara cepat. Ia belajar berdasarkan apa yang ia amati, tajam dalam mengingat peristiwa dan tuturan secara detil, kemampuan observasinya melebihi rata-rata orang biasa sehingga ia mampu menggugah publik lewat retorika dan metode pengajaran hadithnya. Imam al-Zuhri (wafat 124 H/742 M) mengatakan, “jika pengetahuan Aisyah ditimbang dengan semua istri Nabi dan perempuan yang lain [pada masanya], maka pengetahuan Aisyah tetap lebih hebat.” (Sayeed, 2013: 27). Imam Zarkashi (745 H/1344 M – jaman Dinasti Mamluk) memujinya, kurang lebih sebagai berikut, “ilmu Aisyah sangat mendalam, luas seperti lautan dan ombaknya – di permukaan maupun kedalamannya. Ia seorang ahli fikih, hadith, tafsir, syariah, tata laku, sejarah Arab, genealogi, syair, dan pengobatan.” Semua ilmu ini ia miliki sejak di usia 18, yang secara resmi khatam di saat Nabi Muhammad SAW wafat.
Mudah untuk beranggapan bahwa posisi intelektual seorang perempuan yang menikahi laki-laki dengan status tinggi bukanlah bentuk agensi yang didapatkan dari usaha sendiri atau capaian individu (achieved status), melainkan karena statusnya sebagai istri (derived status). Namun, dalam konteks komunitas di jaman Nabi Muhammad SAW, kedua status yang dimiliki Aisyah tersebut tidaklah terpisah karena sumber pengetahuan keislaman awal memang di dapat dari komunitas organik yang dibangun oleh Nabi berdasarkan ikatan kekerabatan pada konteks masyarakat Arab saat itu. Perihal intelektual Aisyah yang semata ‘mudah’ didapat karena ikatan pernikahan atau turunan keluarga terhormat, Aisyah mengklarifikasi hal tersebut. Suatu hari Urwa bin az-Zubayr bertanya tentang pengetahuannya di bidang medis, “saya tidak heran dengan ilmu fikih Anda karena fakta bahwa Anda adalah istri Nabi dan putri dari Abu Bakar. Juga ilmu Anda tentang puisi dan syair peperangan bisa didapat karena Abu Bakar. Namun, saya tidak paham, bagaimana Anda bisa menjadi ahli dalam pengobatan juga?” Aisyah menjawab, “saya sering mengamati orang-orang datang dari luar kota untuk menjenguk atau mengobati Rasulullah SAW ketika beliau sakit, dan saya cepat mempelajari bagaimana mereka melakukannya.” Selain itu, ia dipandang oleh para sahabat Nabi lain yang lebih tua sebagai faqiha yang punya pengetahuan mendalam dalam aturan soal waris dan pembagian harta waris (fara’id), suatu ilmu yang rumit dan menunjukkan keahliannya dalam kalkulasi matematika (Sayeed 2013).
Sepeninggalan Nabi Muhammad, tugas Aisyah berikutnya adalah menjalani perannya sebagai seorang ahli fikih, faqiha. Menurut Muhammad Akram Nadwi (2007), meski tidak ada pernyataan formal atau sistematik terhadap studi hadith kritis, Aisyah telah membangun suatu metodologi yang dapat dirangkum dari prinsip yang telah ia praktikkan. Syekh Nadwi membaginya ke dalam enam poin yaitu:
Pertama, memeriksa hadith terhadap al-Qur’an
Kedua, memeriksa hadith terhadap hadith lain yang lebih kuat
Ketiga, memeriksa hadith terhadap sunnah Nabi Muhammad SAW
Keempat, memeriksa hadith terhadap sebab musabab peristiwanya
Kelima, memeriksa hadith terhadap kesulitan dalam menjalankannya
Keenam, memeriksa hadith dari kekeliruan pemahaman atas maknanya
Prinsip | Contoh hadith | Koreksi/kritik Aisyah |
1. Memeriksa hadith terhadap al-Qur’an | Urwah bin al-Zubayr meriwayatkan dari Abdulullah bin Umar bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW berdiri di parit [dimana kaum kafir dikuburkan] perang Badar dan berkata [pada yang mati]: ‘apakah kalian telah temui disana apa yang Tuhan engkau telah janjikan?’ Lalu beliau berkata, ‘mereka mendengar apa yang aku katakan.’” | Ketika hadith ini sampai ke Aisyah, ia mengoreksi: “[bukan begitu] melainkan, Rasulullah SAW bersabda: ‘mereka tahu bahwa apa yang aku katakan adalah benar’.” lalu Aisyah membacakan surat Al-Naml ayat 80: Sungguh, engkau tidak dapat menjadikan orang yang mati dapat mendengar.
(Al-Bukhari, Sahih, Maghazi, bab qatl Abi Jahl) |
2. Memeriksa hadith terhadap hadith lain yang lebih kuat | Ubayd bin Rifa’ah al-Ansari meriwayatkan bahwa Zayd bin Thabit berkata: ‘ketika seseorang berhubungan badan dan tidak ejakulasi, dia hanya perlu mencuci bagian intimnya dan berwudhu seperti wudhu untuk shalat.’ [kemudian terjadi perbedaan pandangan diantara yang hadir di majelis] Umar bin Khattab berkata: ‘Kalian berbeda pendapat, sementara kalian adalah yang terpilih dari mereka yang ikutserta di Perang Badar!’ lalu Ali bin Abu Thalib berkata pada Umar: ‘Kirim seseorang kepada para istri Rasulullah SAW, karena mereka lebih paham.’ | Seorang utusan dari majelis datang ke Aisyah menjelaskan perkaranya. Aisyah menjelaskan: “Ketika bagian yang telah disunat telah melewati bagian lain yang telah disunat, maka mandi menjadi wajib.”
(Al-Tahawi, Sharh Ma’anii al-aathaar, i. 58) Artinya: jika suatu hadith bertentangan dengan hadith lain yang lebih kuat posisinya, maka hadith yang lebih lemah akan ditinggalkan, atau tidak dipraktikkan. |
3. Memeriksa hadith terhadap sunnah Nabi Muhammad SAW | Qasim bin Muhammad meriwayatkan bahwa Aisyah diinformasikan mengenai Abu Hurairah yang berkata, “Shalat seseorang batal jika seorang perempuan melintas di depannya.” | Bantahan Aisyah: “Rasulullah SAW shalat dan kakiku berada di hadapannya, lalu beliau akan menggesernya dan aku akan menariknya kembalinya.”
(Abu Mansur Al-Baghdadi, Istidraak umm al-mu’minin, 99) Hal ini dikarenakan rumah Nabi Muhammad SAW sangat kecil dan harus berhadapan dengan dipan tidur mereka dimana Aisyah akan berbaring |
4. Memeriksa hadith terhadap sebab musabab peristiwanya | Urwah bin Al-Zubayr meriwayatkan bahwa Aisyah mengetahui Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW bersabda: […] Anak yang lahir di luar nikah adalah yang terburuk dari ketiga [ayah, ibu, anak].” | Koreksi dari Aisyah: “Semoga Allah merahmati Abu Hurairah karena dia tidak mendengar utuh. […] hadithnya tidak seperti itu. Seorang yang munafik seringkali menyakiti hati Rasulullah SAW sehingga beliau berkata, ‘siapa yang akan membela aku dari dia?’ seseorang berkata, ‘Ya Rasulullah SAW, selain [yang engkau sebut tadi], dia juga anak yang lahir di luar nikah!’ lalu beliau bersabda, ‘maka dia lebih buruk dari ketiganya, dan Allah berfirman [Al-An’aam:164]: dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
(Al Hakim, al-Mustadrak, ii. 234) |
5. Memeriksa hadith terhadap kesulitan dalam menjalankannya | (1) Ubayd bin Umar meriwayatkan bahwa Aisyah mengetahui bahwa Abdullah bin Amr memerintahkan perempuan, ketika mereka mandi, untuk membuka ikatan rambut mereka. | (1) Kritik Aisyah: “Kenapa tidak dia juga memerintahkan mereka untuk mencukur kepala mereka!” Aisyah mengoreksi dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW memperbolehkan perempuan hanya menyiram rambut mereka tanpa membuka ikatan/kepangan rambut.
(Muslim, sahih, Hayd, bab hukm dafa’ir al-mughtasilah; Ibnu Majah, Sunan, Taharah, bab maa jaa’a fi ghusl al-nisaa’ min al-janabah) |
6. Memeriksa hadith dari kekeliruan pemahaman atas maknanya | Abu Salamah meriwatkan bahwa ketika kematian mendekati Abu Sa’id al-Khudri, ia meminta pakaian baru untuk dikenakan. Ia mengingat ucapan Nabi Muhammad SAW: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘orang yang mati akan dibangkitkan dengan pakaian yang mereka kenakan saat ia mati.’” | Mendengar riwayat itu Aisyah mengoreksi: “Semoga Allah merahmati Abu Sa’id! yang dimaksud oleh Rasulullah SAW adalah [pakaian berupa] tindakan seseorang saat ia mati. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: manusia akan dibangkitkan, tanpa alas kaki, telanjang, tanpa disunat.”
(Abu Dawud, Sunan, Jana’iz, bab yustahabbu min tathiir thiyaab al-mayyit ‘inda l-mawt; Al Zarkashi, al-Ijaabah, 71.) |
Sumber: disarikan dari Muhammad Akram Nadwi, Al Muhaddithah (2007: hlm.240-244)
Dari metodologi tersebut, empat hal yang bisa dipelajari dari Aisyah adalah:
Komparasi sejarah. Aisyah memiliki pengetahuan mendalam tentang kehidupan masyarakat di masa pra-Islam, jahiliyah, sehingga ia bisa melakukan komparasi antara kondisi jahiliyah dan kondisi masyarakat Islam serta apa yang telah ditransformasikan oleh Islam. Ini juga berarti kemampuan untuk melakukan komparasi yang proporsional antara dua era yang kronologis.
Penalaran deduktif dan holistik. Aisyah mampu meriwayatkan dan mengoreksi hadith yang bisa terkesan parsial dan meletakkannya ke bagian yang lebih besar atau utuh dalam perspektif Islam. Melekat dalam penalaran deduktif adalah pandangan Islam sebagai suatu nilai dan horizon yang holistik – artinya satu bagian harus melengkapi dan koheren dengan keutuhan ajaran Islam.
Detil dalam ingatan dan proses verifikasi. Aisyah memiliki kemampuan linguistik dan retorika yang tinggi, selain dari daya ingat yang sangat kuat dan tajam. ia dikenal mampu mengingat dan meriwayatkan hadith secara verbatim karena khawatir bahwa ucapan Nabi Muhammad – Jika dilisankan ulang menggunakan kesan, ekspresi atau pilihan kata yang berbeda oleh periwayatnya – seiring waktu dalam rantai transmisi akan semakin bergeser dari makna sesungguhnya. Oleh karena itu ia juga sangat rigid dalam akurasi dan validitas ketika mengajari hadith.
Penalaran logis. Aisyah dikenal telah mengoreksi berbagai hadith yang keliru dipahami oleh para sahabat karena satu dan lain hal. Dasar koreksi hadith oleh Aisyah ini juga ia lakukan melalui penjelasan dari rasionalitas dan intelektualitasnya, tapi juga caranya menawarkan solusi.
Aisyah merupakan satu contoh yang menunjukkan bahwa peran perempuan Muslim cendikia atau fuqaha dalam meriwayatkan hadith bukanlah sekadar menghafal kata-kata yang disampaikan dari dan mengenai perilaku Nabi Muhammad SAW, melainkan juga kemampuan untuk menganalisa secara rasional, membandingkan, mengambil analogi dan memverifikasinya. Mereka memberikan kedalaman dan konteks terhadap hadith yang mereka riwayatkan.
Feminitas: kaderisasi dan pengajaran berbasis pengasuhan
Salah satu aspek penting lain dari Aisyah adalah dalam kaderisasi atau mendidik para perempuan muda secara khusus sambil mengasuh mereka di rumahnya. Ini adalah pola pengasuhan yang mencerminkan aspek feminitas dengan karakter yang diasosiasikan dengan peran keibuan. Sepeninggalan Nabi Muhammad, Aisyah memiliki banyak anak asuh, para gadis yatim piatu yang ia bina dan rawat di rumahnya. Bahkan Aisyah mengajak para gadis tersebut, yang sudah cukup usia menikah, untuk jalan-jalan ke pasar dan mencari laki-laki untuk dinikahi. Salah satu keputusan Aisyah juga adalah ia tidak membayarkan zakat untuk perhiasan yang ia miliki karena ia simpan sebagai bentuk investasi untuk membiayai masa depan para yatim yang dibawah asuhannya. Ia biasanya akan mengumpulkan sesuatu sampai jumlahnya cukup untuk kemudian didistribusikan atau dijual untuk keperluan umat.
Aktivitas kesalehan Aisyah bukanlah semata pada ilmu dan kualitas ibadahnya, melainkan juga punya posisi yang kuat atas keberpihakan dan terhadap redistribusi kekayaan. Ia hanya menyimpan harta untuk kebutuhan anak-anak asuhnya, dan bersikap keras terhadap dirinya sendiri. Suatu hari Umar bin Khattab yang saat itu menjadi khalifah, mengirimkan utusan untuk memberikan Aisyah sejumlah besar uang emas sebagai tunjangan janda Rasulullah. Aisyah segera memerintahkan untuk langsung mendistribusikan semua uang tersebut kepada rakyat sebelum matahari terbenam. Pesannya hanya satu, “ketika kembali, bawakan saya sesuatu untuk berbuka puasa.”
Ia membuka rumahnya untuk para pencari ilmu datang dan belajar langsung darinya. Aisyah juga mengajar baik laki-laki dan perempuan tanpa terkecuali di mana-mana, termasuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mengajar. Ia sangat rigid dan komit dalam pengajaran. Ia juga menerima tamu dari berbagai wilayah dan konsultasi lewat surat. Salah satu muridnya, Aisyah binti Talha, dilatih untuk menerima para tamu dan membalas limpahan surat yang berdatangan dari berbagai penjuru, termasuk membalas kiriman hadiah dengan hadiah juga. Para murid-muridnya menjadi ahli Islam paling mahsyur. Dua diantara murid perempuannya yang terkenal adalah Aisyah binti Talha dan Amra binti Abdurrahman, yang kelak juga jadi tokoh perempuan besar.
Tercatat ada lebih dari 3000 laki-laki menuntut ilmu dari Aisyah, termasuk mereka yang datang dari berbagai penjuru wilayah. Diantara mereka yang belajar langsung dari Aisyah kelak menjadi bagian dari tujuh fuqaha mahsyur dari Madinah di jaman para tabi’in. Berbagai hadith yang diriwayatkan oleh Aisyah sangat penting dan memberi gambaran penting tentang Islam sebagai agama yang meresap dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia juga sosok yang paling banyak diikuti oleh ahli fikih.
Metodologi Aisyah dalam melakukan kritik hadith bukan sebagai bentuk tendensinya untuk membantah dan berkonflik dengan istri atau para sahabat Nabi yang lain maupun arogansi atas posisinya sebagai istri Nabi. Apa yang dipraktikkan oleh Aisyah tersebut adalah wujud dari ‘etika kepedulian’ atau ethics of care, yaitu bagaimana posisi perempuan di dalam komunitas yang dibangun dari ikatan persaudaraan dan kedekatan kekerabatan diwujudkan dalam upaya penyelesaian masalah di tingkat mikro dan atas dasar jejaring relasi tersebut (Rehman, 2019). Salah satu contohnya adalah respon Aisyah terhadap Abu Sa’id al-Khudri yang menyampaikan hadith, “Rasulullah SAW melarang seorang perempuan bepergian melainkan didampingi oleh seorang mahram-nya.” menurut Amra binti Abdurrahman, mendengar itu ia menyaksikan Aisyah menoleh ke arah para perempuan yang hadir bersamanya lalu berkata, “tidak semua dari kalian memiliki mahram.” gestur Aisyah tersebut secara simbolik menunjukkan bahwa hadith tersebut bukan suatu aturan general dan harus mempertimbangkan kondisi dan dampaknya bagi kehidupan perempuan. Aisyah sendiri dikenal sering melakukan perjalanan tanpa didampingi mahram, termasuk saat ia pergi haji. Larangan tersebut berlaku dalam konteks ketika kondisi alam dan situasi keamanan dianggap terlalu berbahaya untuk keselamatan perempuan. Kemampuan Aisyah untuk melihat isu fikih secara holistik dan kontekstual, terutama mengaitkannya langsung dengan kebutuhan dan pengalaman keseharian kaum perempuan, telah menjadi preseden bagi banyak faqiha dan muhaddithat (perempuan ahli hadith) mahsyut di generasi abad-abad berikutnya melaksanakan pola pengembaraan untuk mencari ilmu dan berdakwah.
Di masa awal masyarakat Islam, semangat untuk menyampaikan ajaran Islam sebagai laku hidup keseharian umat lebih utama ketimbang berbagai perbedaan kesukuan, karakter, persaingan sosial dan aspek-aspek lainnya yang bersifat memecah belah. Peran Aisyah adalah membangun keseimbangan diantara berbagai ketegangan sembari meluruskan berbagai persoalan hadith karena dampaknya yang sangat besar bagi kehidupan umat Muslim termasuk dalam prinsip keadilan. Sikap ini adalah wujud dari “demokratisasi” pengetahuan, dimana penguasaan atas fikih adalah milik umat (publik). Prinsip ini menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada sakramen atau otoritas khusus yang hanya dimiliki individu tertentu yang memonopoli jalan ‘keselamatan’. Penyebaran ilmu menjadi suatu amanat suci.
Revolusi: aksi massa dan perlawanan bersenjata
Di zaman kekhalifahan yang ketiga setelah Nabi Muhammad, yaitu Utsman bin Affan radliyallahu anhu (644-656 M), Aisyah, bersama dengan Abu Dzar (sahabat Nabi yang juga sering dianggap sebagai simbol sosialisme Islam), merupakan salah satu tokoh yang paling kuat mengritik kekhalifan Ustman. Ustman dianggap terlalu lemah ketika berhadapan dengan nepotisme klan keluarganya dari Bani Umayyah yang mulai mengakumulasi harta dan hidup bermegahan sebagai gubernur di beberapa wilayah Islam yang mulai berekspansi pada waktu itu. Masyarakat mulai resah dan marah dengan situasi.
Melihat hal tersebut, Aisyah melakukan protes keras terhadap Ustman dengan berorasi di hadapan massa sambil menggegam beberapa benda peninggalan Nabi Muhammad SAW dan berseru, “begitu cepatnya kalian melupakan sunnah Nabi kalian, sementara – rambut, pakaian dan sandal beliau – belum juga lebur!” oposisi terbuka Aisyah ini akhirnya membuat Ustman marah dan menegurnya, “apa urusan engkau dengan semua ini? Engkau diperintahkan untuk tinggal di rumah!” komentar Ustman tersebut sama dengan Ummu Salamah, salah satu istri Nabi, yang tidak setuju dengan mobilisasi Aisyah dan memilih untuk tetap berada di rumah. Dengan suasana politik yang sudah tegang waktu itu, perdebatan antara Aisyah dan Ustman ini dimenangkan oleh Aisyah. Namun, ucapan Ustman dan Ummu Salamah menjadi salah satu basis polemik tentang kepemimpinan di ruang publik versus prioritas untuk berada di rumah bagi perempuan.
Terlepas dari aksi protes yang berhasil dikobarkan Aisyah, begitu Ustman dibunuh oleh massa yang marah, Aisyah menyuarakan pertentangannya atas pertumpahan darah. Ia menegaskan bahwa ia mengritik keras Ustman namun tidak berarti menghalalkan darahnya. Namun, Aisyah juga kecewa ketika posisi kekhalifahan baru setelah kematian Ustman diganti oleh Ali bin Abi Thalib. Aisyah berharap pengganti Ustman adalah satu diantara dua kandidat kuat lainnya, yaitu Talhah bin Ubayd-Allah, sepupu Aisyah dan Zubayr bin al-Awam, saudara ipar Aisyah. Lebih kecewa lagi adalah, Aisyah merasa bahwa Ali tidak membalas para pelaku pembunuhan Ustman dan justru menerapkan politik tegas terhadap para klan Bani Umayyah yang masih memegang posisi politik di beberapa tempat waktu itu.
Merespon situasi krisis akut dalam umat Islam, Aisyah kembali berorasi di ruang publik, termasuk di mesjid di Mekah, mengobarkan dan memobilisasi perlawanan terhadap Ali. Tindakannya tersebut menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat yang kebingungan oleh berita simpang siur. Zaid bin Suhan misalnya, melakukan kontra-orasi di luar mesjid dengan mengatakan Aisyah sebaiknya berada di rumah saja karena ia menyalahi norma dengan memerintahkan kaum laki-laki untuk bergerak. Namun, Shabth bin Rib’i membela Aisyah dengan membalas, “Engkau membantah Ibu Kaum Mukmin dan Allah akan merampas nyawamu. Ia tidak memberi perintah melainkan apa yang telah diperintahkan oleh Allah yang Maha Tinggi, yaitu untuk meluruhskan apa yang benar diantara orang-orang.” (Ahmed, 1972). Selain itu, Talha dan Zubayr berada di barisan terdepan pendukung Aisyah. Peristiwa pemberontakan itu dikenal dalam sejarah Islam sebagai Perang Unta. Aisyah memimpin sendiri di atas untanya – ada yang bilang 10,000 – pasukan untuk berhadapan dengan para pendukung Ali di Basrah. Perang berlangsung selama kurang lebih 4 hari, dan Aisyah kalah dan kurang lebih 6000 nyawa orang Muslim dari pasukannya tewas, termasuk Talha dan Zubayr.
Dengan tetap penuh penghormatan, pasca perang tersebut, Ali bin Abi Thalib mengirim Aisyah dari Basrah ke Madinah dengan pengawalan ketat, termasuk oleh Hassan bin Ali. Kemudian, Ali memerintahkan Muhammad bin Abu Bakar (saudara tiri Aisyah sekaligus anak angkat Ali yang mendukung Ali) untuk mengawal Aisyah dari Madinah ke Basrah. Di kedua tempat tersebut, Aisyah tetap disambut sebagaimana layaknya seorang faqiha besar. Banyak kalangan – baik pendukung maupun penentangnya, tetap datang untuk menimba ilmu darinya. Kesalahannya tidak membuatnya terpuruk. Ia tidak mengucilkan diri dan justru menunjukkan bahwa ia mampu tetap tegak dan tidak membiarkan kesalahannya tersebut menghentikannya dari menjalani perannya sebagai ‘Ummul Mukminin’.
Kekalahan Aisyah dalam Perang Unta tersebut tidak membuat moralnya merosot. Meski pandangan populer menyatakan bahwa Aisyah adalah pihak yang bersalah karena memberontak terhadap kekuasaan yang sah, menarik untuk menengok aspek eskatologis dari kematian tragis Talha, Zubayr – yang berada di pihak Aisyah – dan (kelak) Ali. Hadith riwayat Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah menyatakan bahwa Talha, Zubayr dan Ali merupakan tiga dari sepuluh laki-laki yang dijanjikan masuk surga, selain dari tiga Khulafa ar-Rasyidin lainnya yaitu Abu Bakar, Umar, dan Ustman.
Aisyah sendiri misalnya, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, pernah menegaskan posisi khusus dirinya dibandingkan dengan perempuan para istri Nabi lainnya, diantaranya adalah ketika Allah SWT menurunkan firman-Nya untuk membenarkan kesucian Aisyah pasca insiden fitnah (dikenal juga sebagai ifk) yang ia alami akibat tertinggal rombongan karavan Nabi Muhammad SAW. Insiden tersebut adalah asal muasal surat An-Nuur ayat 11-20 turun. Ayat-ayat Qur’an lainnya juga kerap datang saat ia dan Nabi Muhammad SAW sedang bersama berdua. Selain itu, petunjuk agar Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah datang dari Jibril.
Mungkin saja dimensi spiritual-eskatologis tersebut membuat para sejarahwan dan ulama Sunni mencoba berhati-hati menjelaskan lebih dalam dari catatan sejarah. Salah satunya adalah kedua kubu sebenarnya sudah mencoba untuk bermediasi dan enggan untuk bertempur satu sama lain. Ali khususnya, mencoba untuk mempertahankan stabilitas umat yang sedang goyah pasca kematian Ustman dan di tengah korupnya para penguasa lokal di bawah klan Muawiyah. Namun, provokasi dari pihak yang terlibat dalam pembunuhan Ustman, ambisi klan Muawiyah untuk berkuasa, serta beberapa insiden lainnya di lapangan, menyebabkan Perang Unta menjadi tak terhindarkan.
Perdebatan antara Aisyah dengan Ustman disoroti oleh Rehman (2019) sebagai cara Ustman dan mereka yang menolak aksi mobilisasi Aisyah untuk mengalihkan argumen pembelaan yang kuat dari pihak Ustman dengan mempertanyakan validitas seorang perempuan istri Nabi untuk mengurusi perkara publik. Jariyah bin Qudamah al-Sa’di, seorang loyalis Ali bin Abu Thalib, berseru pada Aisyah di Perang Unta: “Wahai Ibu Kaum Mukmin, pembunuhan Ustman adalah perkara yang lebih ringan dibanding engkau keluar dari rumah dan berada di unta itu, memperlihatkan diri engkau pada kombatan bersenjata!” Menandai serangan mental dari pihak laki-laki yang menggunakan aspek maskulin dan patriarkal terhadap Aisyah, Rehman (2019: 43) lebih lanjut menganalisis,
“Dalam tahap ini, pembunuhan Ustman yang penuh huru-hara dan ketegangan tidak mengancam norma sosial. Tindakan Aisyah, sebaliknya, mengancam norma sosial, khususnya terhadap komunitas beriman yang masih berupaya membangun moral dan praktik mereka. Dengan melepas ranah privat, internal, domestik dari rumah, dan masuk dengan lancang ke ranah publik/politik, terlebih dengan kekuatan militer, adalah untuk mencabut konstruksi atas tradisi gender dan politik.”
Menelisik analisis Rehman di atas, serta keseluruhan tiga dimensi agensi yang ditampilkan oleh Aisyah, yaitu intelektualitasnya sebagai faqiha, aspek feminitasnya sebagai ibu asuh, mentor dan pengajar, serta militansinya sebagai seorang revolusioner, sangat dipahami kemudian bahwa ada yang menganggap Aisyah adalah seorang feminis dan inspirasi bagi feminis. Aisyah dianggap mampu menantang patriarki dan melawan iklim politik maskulin yang sangat kental dalam kultur Arab. Pandangan ini kemudian mempengaruhi bagaimana para feminis Islam melihat tafsiran Islam ortodoks memiliki bias gender dan bahkan misoginis sehingga mempreteli agensi Aisyah yang sesungguhnya. Sementara itu, Asma Sayeed (2017) menegaskan bahwa semangat peran perempuan dalam transmisi dan aktivitas ummat pada masa itu tidaklah untuk mensubversi patriarki atau membawa misi politis kesetaraan gender sebagaimana yang kita pahami saat ini. Pendapat Sayeed tersebut menyanggah semangat untuk menyematkan ke Aisyah gelar feminis ataupun perjuangan melawan patriarki karena klaim tersebut anakronistik pada konteks masa itu.
Diskusi ini akan kita bahas lebih lanjut di tulisan berikutnya. Pada bagian kedua nanti, tulisan ini mencoba mempelajari signifikansi agensi Aisyah dan dinamika perkembangan masyarakat Muslim dalam kaitannya dengan agensi perempuan, serta kontekstualisasinya di era kapitalisme kontemporer bagi aktivisme perempuan dan keadilan sosial.
Lanjut ke Bagian II di: https://islambergerak.com/2023/09/intelektualitas-feminitas-dan-revolusi-tiga-dimensi-agensi-dari-aisyah-binti-abu-bakar-bagian-ii/
***