Pemilu 2019 dan Politik Identitas Berbasis Agama Nasrani di NTT

1.5k
VIEWS

Baca Juga:

Menjelang pemilu 2019, politik identitas berbasis agama sedang marak terjadi di Indonesia. Namun, sejauh ini pemberitaan dan pembahasan tentang politik identitas berbasis agama masih selalu merujuk pada Jawa –terutama Jakarta dan akhir-akhir ini Yogyakarata–dan Islam. Padahal, politik identitas bisa terjadi di mana saja yang melibatkan agama apa saja di Indonesia. Di NTT, walaupun beberapa pihak melihat politik identitas berbasis agama, terutama agama nasrani (Katolik dan Protestan), tidak atau belum terjadi,  faktanya, politik identitas berbasis agama nasrani ini sebenarnya ada dan sedang marak bertumbuh, terutama sejak persoalan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di pemilihan gubernur Jakarta 2017. Dalam rangka pemilu 2019, politik identitas berbasis agama nasrani di NTT ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak, terutama para politisi, untuk meraup kepentingan ekonomi dan politiknya.

Namun, pasca pemenjaraan Ahok di Jakarta, masyarakat nasrani di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) –seperti di pulau Timor dan Flores– tidak mengungkapkan politik identitas agama mereka secara terang benderang di ruang publik seperti yang biasa terjadi di Jawa, misalnya di Jakarta dengan gerakan 212. Pada tanggal 8 April 2019, dalam kampanye Jokowi di Kupang, misalnya, saya tidak melihat tanda-tanda politik identitas agama di panggung kampanye politik Jokowi. Para pembicara di kampanye politik Jokowi ini lebih banyak berkomentar tentang proyek-proyek infrastruktur Jokowi dan kepribadiannya sebagai orang sederhana tanpa menyebutkan kutipan apa pun dari Kitab Suci agama nasrani. Demikian pula ketika menyambut Sandiaga Uno di NTT pada Februari 2019. Meskipun masyarakat Flores umumnya tidak senang dengan politik identitas agama Islam selama pemilihan gubernur Jakarta 2017, mereka tidak mengungkapkannya dengan kata-kata dan sikap di ruang publik ketika menyambut Sandiaga Uno di Flores. Mereka malah menyambut Sandiaga Uno dengan tarian penyambutan tamu istimewah. Secara sepintas, kita dapat melihat bahwa Sandiaga Uno diterima dengan sangat baik oleh masyarakat bermayoritas Katolik di Flores. Kenyataan seperti ini –dalam kampanye Jokowi di Kupang dan penyambutan Sandiaga Uni di Flores– telah membuat banyak orang salah kaprah memahami watak sebenarnya dari politik identitas agama nasrani di NTT. Karena itu, mereka sering menyebut NTT sebagai Nusa Tinggi Tolerasi. Pada tahun 2018, misalnya, dari total 94 kota yang disurvei oleh Setara Institut, Kupang, NTT, terpilih sebagai salah satu dari 10 kota paling toleran di Indonesia.

Berdasarkan pengamatan saya, ketika melakukan penelitian tentang politik identitas agama nasrani di NTT, pada awalnya, saya menemukan kesulitan untuk mengungkapkan politik identitas agama nasrani di NTT. Selain orang-orang nasrani NTT tidak ingin menunjukkan politik identitas agama nasrani mereka di ruang publik, orang-orang NTT, terutama responden yang belum pernah saya temui sebelumnya, tidak secara bebas berbicara tentang politik identitas agama nasrani selama wawancara. Tampaknya mereka ragu dan skeptis untuk membicarakan masalah ini dengan orang asing. Namun, ketika saya berbicara dengan orang-orang yang saya kenal, terutama teman, kerabat, aktivis dan akademisi, mereka lebih jujur ​​dalam mengungkapkan watak sejati dari politik identitas agama nasrani di NTT. Berdasarkan penelitian saya, politik identitas agama berkembang cukup signifikan di NTT, terutama setelah pemilihan gubernur Jakarta 2017.

Tetapi, pertanyaannya, bagaimana pemilihan gubernur Jakarta 2017 mempengaruhi politik identitas di NTT?

Kasus Ahok –yang dipenjara karena tuduhan penistaan ​​selama musim kampanye untuk pemilihan gubernur Jakarta 2017– telah memicu politik identitas agama nasrani di NTT menjelang pemilihan umum 2019. Selama kasus Ahok diproses di pengadilan, masyarakat nasrani di NTT benar-benar mengikuti berita Ahok melalui televisi nasional. Orang-orang nasrani di NTT percaya bahwa Ahok dikriminalisasi atas tindakan yang tidak dilakukannya. Dengan berkaca pada persoalan yang dihadapi Ahok, orang-orang nasrani di NTT takut jika mereka memilih Prabowo di pemilu 2019, yang tampaknya dekat dengan gerakan politik Islam yang tidak toleran di Indonesia. Ketika Valens Valens Daki-Soo, politisi senior dari PDIP yang akan bertarung untuk kursi DPR RI, berkampanye di Soa di bulan Januari 2018, seorang bapak mengungkapkan keprihatinannya pada politik identitas berbasis agama Islam yang ditontonnya di televisi sebagai berikut: “[k]ami hanya nonton di televisi, ada kelompok yang mau membahayakan NKRI dan Pancasila. Kami minta kalau pak Valens duduk di DPR RI tolong jaga NKRI agar tetap bersatu.” Selain itu, seorang responden di Flores mengatakan kepada saya demikian:

“Saya awalnya tidak keberatan Jokowi atau Probowo menjadi presiden Indonesia. Baik Jokowi maupun Prabowo memiliki kapasitas untuk memimpin negara ini. Namun, ketika saya membayangkan wajah Habib Rizieq, Fadli Zon dan Fahri Hamzah, yang telah mengirim Ahok ke penjara, berdiri di sebelah Prabowo pada hari pelantikannya sebagai presiden Indonesia, saya akan segera memutuskan untuk memilih Jokowi pada 17 April 2019 nanti.”

Persoalan yang dihadapi Ahok di Jakarta juga berdampak pada pilihan politik institusi pendidikan berbasis agama di NTT. Pada 25-26 Februari 2019, misalnya, kandidat wakil presiden Sandiaga Uno, pasangan calon Prabowo dalam pemilihan presiden 2019 dan lawan politik Ahok dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017, mengunjungi Flores. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK Ledalero), Maumere, Flores, salah satu perguruan tinggi Katolik terkemuka di Flores yang mendidik calon pastor Katolik, menolak proposal Sandiaga Uno untuk mengunjungi kampusnya. Menurut Otto Gusti Mandung, kepala STFK Ledalero, institusi pendidikan tinggi (kampus), termasuk kampus STFK Ledalero, harus bebas dari kampanye politik apa pun. Penolakan ini, bagaimanapun, menuai kontroversi. Sebab, pada 26 Januari 2019, STFK Ledalero menyambut Johnny G. Plate, seorang politisi Katolik senior dari Nasdem, yang memuji proyek infrastruktur Jokowi dalam kuliah umum. Satu bulan setelah menolak proposal Sandiaga Uno, pada tanggal 23 Maret 2019, STFK Ledalero kembali menyambut Ignasius Jonan, seorang birokrat senior Katolik nasional dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang juga memberikan kuliah umum tentang prestasinya di bawah pemerintahan Jokowi.

Namun, kelompok minoritas dari institusi pendidikan berbasis agama, seperti Universitas Muhammadiyah, cenderung tidak berani mengungkapkan fakta politik identitas berbasis agama nasrani di NTT. Beberapa akademisi, seperti Ahmad Atang, seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Kupang, menolak untuk mengakui bahwa politik identitas ada dan berkembang di NTT, terutama setelah kemenangan Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi  dalam pemilihan gubernur NTT 2018. Ketika diwawancarai, Sayyidati Hajar, seorang dosen di Universitas Muhammadiya di Kupang, mengatakan kepada saya demikian:

“Tidak ada politik identitas agama nasrani di NTT. Di Universitas saya, satu-satunya Universitas Islam di Kupang, 75% dari mahasiswa kami adalah orang nasrani. Selain itu, dalam hubungan saya dengan masyarakat non-Muslim di Kupang, saya merasa tidak diperlakukan berbeda. Sebagai Muslim, saya diterima dengan baik di Kupang. Dengan demikian, tidak ada politik identitas agama nasrani yang mendiskreditkan umat Islam di NTT.”

Namun, berdasarkan penelitian saya, efek politik identitas agama yang bersumber dari pemenjaraan Ahok di Jakarta memiliki pengaruh terhadap pemilihan gubernur 2018 dan mungkin akan berdampak pada pemilu 2019 nanti. Sebab, setelah Ahok dipenjara, masyarakat menyalakan lilin di beberapa kota di NTT sebagai tanda empati dengan Ahok, saudara mereka yang beragama nasrani yang telah dikriminalisasi dan dipenjara terlepas dari kontribusinya untuk pembangunan Jakarta. Setelah Ahok dipenjara, di antara simpatisan Ahok di Kupang, biasanya terdengar bahwa orang-orang nasrani berkata dalam nada bisik-bisik: “kami tunggu Gerindra dan PAN dalam pemilihan umum mendatang untuk melampiaskan balas dendam kami.”

Balas dendam masyarakat nasrani NTT ini sejatinya sudah menuai korban pertamanya. Pada pemilihan gubernur NTT 2018, sebelum pemilihan, Esthon Foenay dan pasangannya Chris Rotok (Esthon-Chris) diunggulkan untuk menang dalam pemilihan nanti berdasarkan survei dari LSI pada awal Februari 2018. Namun, setelah itu, pasangan Esthon-Chris dirumorkan (di-hoax-kan) sebagai pasangan pendukung khalifah Islam Indonesia yang telah memenjarakan Ahok karena mereka adalah bagian dari Gerindra dan PAN. Akibatnya, Esthon-Chris –yang sebelumnya unggul menurut survei LSI– kalah telak dalam pemilihan gubernur 2018. Sialnya, Esthon-Chris kalah di kampung halaman Esthon sendiri di Kupang. Esthon-Chris juga kalah di Belu yang merupakan kantong suara bagi Gerindra dan Prabowo di NTT. Sebaliknya, pasangan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nai Soi (Victory-Joss) memanfaatkan fenomena Ahok untuk meraup dukungan elektoral. Pada salah satu kampanye di Lapangan Sitarda Lasiana Kupang, pasangan Victory-Joss sengaja menghadirkan adik Ahok, Vivi Leti Purnama, yang saat itu membacakan surat dari Ahok untuk Yoseph Nai Soi. Alhasil, Victory-Joss akhirnya menang di pemilihan gubernur NTT 2018.

Eksploitasi politik identitas agama nasrani oleh para politisi hari ini sedang marak terjadi NTT. Namun, berdasarkan temuan saya di Flores dan Kupang, sebagian besar eksploitasi politik identitas agama tidak terjadi di tempat-tempat umum seperti selama kampanye besar seperti kampanye Jokowi dan Sandiaga Uno di NTT. Biasanya, hal itu terjadi dalam kampanye kecil tanpa kehadiran pers.

Noya Letuna, seorang dosen di Undana Kupang, menegaskan bahwa “politik identitas agama adalah fakta politik biasa di NTT, tetapi telah diciptakan oleh orang-orang tertentu untuk keuntungan politik di NTT, terutama para politisi pragmatis.” Misalnya, Valens Daki-Soo, seorang politisi senior PDIP yang sedang bertarung untuk kursi DPR RI, dalam dua orasi politiknya di Mataloko (12/4/2019) dan Boawae (13/4/2019) baru-baru ini, tampak menggarap politik identitas religius nasrani bertolak dari politik identitas agama yang terjadi di Jakarta. Selain itu, pada bulan Februari 2018, Andreas Hugo Parera, politisi senior PDIP yang akan bertarung untuk DPR RI, di Lego, sebuah desa kecil di Flores, dalam orasi politiknya, mengatakan kepada hadirin sebagai berikut:

“Kita harus memilih di pemilu 2019 nanti. Jangan menjadi golput. Anda tahu, dalam semua survei untuk pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017, Ahok selalu menang. Kami semua kala itu percaya bahwa Ahok akan memenangkan pemilihan gubernur Jakarta 2017. Namun Ahok kemudian kalah dalam pemilihan tersebut. Hal ini terjadi karena para pendukung Ahok tidak memberikan suara dalam pemilihan gubernur Jakarta itu. Melihat pada hasil survei sebelum pemilihan, mereka berpikir Ahok akan menang tanpa dukungan suara mereka. Karena itu, mereka pergi berlibur ke Bali dan Singapura. Kita perlu belajar dari kasus Ahok untuk pemilihan umum 2019. Terlebih lagi, hari ini, ada sebuah gerakan –gerakan yang telah membawa Ahok ke penjara– untuk mengganti presiden. Tidak hanya gerakan ini ingin mengganti presiden, tetapi mereka juga ingin mengubah prinsip dasar bangsa kita, Pancasila. Orang-orang yang mendukung gerakan ini melihat Jokowi sebagai penghambat agenda mereka untuk mengubah dan mengganti Pancasila. Mereka sangat marah ketika Jokowi membubarkan HTI. Mereka ingin mendirikan negara kekhalifahan Muslim di Indonesia. Karena itu, tolong jangan menjadi golput di pemilu 2019 nanti.”

Selain “dipromosikan” oleh para politisi, politik identitas agama di NTT juga dipengaruhi oleh orang-orang yang tinggal dan bekerja di (dan biasanya pergi ke) Jakarta. Salah satu responden saya di Boawae, Flores, mengatakan kepada saya bahwa ia sering mendapat telepon dari kerabatnya yang bekerja sebagai pegawai negeri di DKI Jakarta. Kerabatnya mengatakan bahwa “untuk calon parlemen nasional, pilih saja kandidat beragama nasrani. Jangan memilih agama yang lain. Kami di Jakata sudah mengalami hal buruk sejauh ini.” Di Mbay, Flores, seorang pegawai negeri mengatakan kepada saya bahwa kepala dinasnya yang sering pergi ke Jakarta memintanya dan kerabatnya tidak memilih kandidat beragama lain, kecuali kandidat beragama nasrani.

Menyadari bahwa kelompok minoritas dan gerakan politik Islam yang tidak toleran di Jakarta telah mempengaruhi konstituen mereka di NTT, beberapa kandidat Muslim dengan langkah strategis mencari aliansi dengan mayoritas orang nasrani di NTT. Mereka menyadari bahwa politisi nasional yang pernah tinggal dan bekerja di Jakarta telah memanfaatkan gerakan politik Islam yang tidak toleran untuk mendapatkan dukungan pemilih di NTT. Para politisi Muslim itu mendekati para pemimpin agama nasrani untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka tidak seperti sesama Muslim yang tidak toleran di Jakarta. Seorang politisi Muslim, Anwar Pua Geno –yang adalah Ketua DPRD NTT dari partai Golkar dan sedang bersaing untuk kursi DPR RI di daerah pemilihan di Flores dalam pemilihan umum 2019– melakukan hal ini dengan kerap kali menghadiri upacara dan kegiatan agama nasrani di Flores. Strategi yang dilakukan oleh Anwar Pua Geno ini cukup berhasil. Sebab, berdasarkan data di lapangan, saya menemukan banyak juga masyarakat Flores yang beragama nasrani yang berniat akan memilihnya di pemilu 2019 nanti.

Dengan penjelesan ini, saya ingin menegaskan bahwa sejatinya politik identitas berbasis agama yang selama ini terjadi di Jawa, terutama Jakarta, juga sedang terjadi di NTT. Hanya saja, harus diakui bahwa ekspresi politik identitas agama nasrani di NTT pasca pemenjaraan Ahok tidak atau belum dilakukan secara keras dan terang benderang di ruang publik seperti yang terjadi di Jawa sejauh ini. Sebaliknya, politik identitas berbasis agama nasrani di NTT pasca pemenjaraan Ahok masih terjadi dalam bentuk yang halus, bisik-bisik dan sembunyi-sembunyi. Data-data yang saya temukan di lapangan ini menunjukkan bahwa politik identitas berbasis agama yang menggulingkan Ahok di pemilihan gubernur Jakarta di tahun 2017 memiliki efek signifikan bagi tumbuh dan berkembangnya politik identitas berbasis agama nasrani di NTT. Dengan demikian, klaim bahwa di NTT tidak ada politik identitas berbasis agama (nasrani) perlu dievalusasi kembali.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.