Walaupun umat Islam[1]memiliki kekuatan dan posisi yang diperhitungkan dalam kehidupan berbangsa hari ini, misalnya dengan pengakuan pemerintah terhadap peran kaum santri baru-baru ini atau terhadap peran ormas-ormas Islam (NU dan Muhammadiyah) dalam membangun kehidupan beragama yang moderat, umat Islam belum menjadi penentu dan pelopor atas peran-peran kebangsaan yang bersifat terobosan dan memiliki jangkauan panjang ke depan. Di tengah gelapnya situasi berbangsa, umat Islam turut menjadi trouble factor yang memperunyam situasi dan kehilangan kendali atas apa yang terjadi—belum berhasil menjadi faktor penentu yang mampu membawa bangsa keluar dari kegelapan dan sengkarut permasalahannya.
Angka kuantitatif yang sering dibangga-banggakan belum menjamin kendali atas kekuatan itu. Meski memiliki potensi yang besar, umat Islam seperti menyerahkan kekuatan yang dimilikinya kepada pihak-pihak yang menempatkannya sebagai subjek yang dapat dikontrol dan dikendalikan sesuai dengan keinginan dan desain pihak-pihak tersebut—suatu kepatuhan secara sengaja (servitude volontaire, meminjam istilah Étienne de la Boétie) terhadap pihak lain yang dianggap lebih berwenang menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sendiri. Ini tercermin dari kegagalan umat Islam menemukan suatu konsensus terhadap berbagai persoalan besar yang menjadi batu sandungan perkembangan kehidupan berbangsa menuju cita-cita yang diinginkan—kesejahteraan, keadilan, dan kebaikan bagi semua (mashlahah ‘ammah).
Dalam persoalan korupsi, misalnya, kita sebagai umat Islam belum menemukan langkah yang benar-benar solutif dan amputatif untuk mengakhiri praktik kotor ini dan menjamin kehidupan berbangsa terbebas seutuhnya dari korupsi. Belum ada konsensus yang bulat untuk memutuskan suatu penyelesaian yang tuntas atas segala tindakan korup yang dilakukan, walaupun kerusakannya terhadap umat nyata di mana-mana. Begitu juga belum ada konsensus di kalangan umat Islam terhadap hegemoni tata politik neoliberal, walaupun bangsa Indonesia jelas-jelas sedang digiring ke arah kehancurannya sendiri oleh sistem neoliberal ini dan umat Islam di Indonesia menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.
Tantangan besar kebangsaan lain juga datang dari kegagalan umat Islam menemukan konsensus bagi penuntasan kekerasan di masa lalu dan menemukan suatu acuan bersama untuk memutus rantai kekerasan, melalui suatu pemikiran yang otentik dari dalam tradisi Islam sendiri. Untuk lebih spesifiknya, kita sebut secara eksplisit: penuntasan kekerasan 1965 dalam rupa politisida (genosida politik) atas para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta anak bangsa yang dituduh terlibat.
Problem yang menggantung dalam benak dan imajinasi kolektif umat Islam atas peristiwa 1965 kira-kira demikian: bagaimana mungkin kita memaafkan kaum komunis yang telah mengkhianati bangsa dengan melakukan kudeta G30S/1965 dan pada 1948 di Madiun telah melukai perasaan umat Islam? Mungkinkah“kita” memafkan “mereka” yang dulu menyakiti “kita”?
Dari pertanyaan itu kita bisa menangkap bahwa ada beberapa hal yang tertanam dalam benak dan imajinasi kolektif umat Islam: 1) pandangan bahwa PKI adalah pengkhianat bangsa dan musuh umat Islam; 2) pandangan bahwa peristiwa G30S/1965 atau “Gestok” merupakan sebentuk upaya kudeta atas bangsa (biasanya ditambahkan dengan interpretasi bahwa ia juga merupakan upaya menggantikan Pancasila dengan “ajaran” komunisme); dan 3) pandangan bahwa apa yang dilakukan oleh PKI terhadap “bangsa” dan “umat Islam” menjadi pembenar perlakuan negara, tentara, dan umat Islam sendiri terhadap orang-orang komunis maupun yang tertuduh pada tahun-tahun sesudahnya.
Ketiga hal tersebut seolah saling mengandaikan dan otomatis saling terkait, meskipun jika kita urai satu per satu akan tampak bahwa pandangan-pandangan tersebut berasal dari asumsi-asumsi yang dapat dipertanyakan keabsahannya dan lebih merupakan suatu mitos yang muncul karena sedemikian kentalnya proses ideologisasi yang tertanam dalam benak dan imajinasi kita sendiri sebagai umat Islam. Khusus yang terakhir bahkan menjadi justifikasi bagi terus berlanjutnya rantai kekerasan itu dan pengawetan rasa dendam masa lalu bagi generasi mendatang.
Anggapan bahwa PKI merupakan pengkhianat bangsa dan musuh umat Islam dapat dites-ulang dengan fakta sejarah, bahwa anggapan ini tidak muncul begitu saja, tetapi muncul dari suatu rentang kesejarahan yang sangat spesifik, yaitu kontestasi antara partai politik Islam dan partai komunis dalam perpolitikan Indonesia pasca-1945, dalam kontestasi ideologis antara kubu-kubu sekular, nasionalis, dan agamis. Perbedaan dalam mempersepsikan kemerdekaan, antara mereka yang berprinsip radikal dan mereka yang berprinsip gradual (bertahap), menciptakan polarisasi politik. Puncaknya, pada Madiun Affair 1948 di mana Pemerintah mengeksklusi kaum komunis dengan menciptakan stigma PKI sebagai pengkhianat bangsa dan “agen negara asing”,[2]suatu narasi baru yang diciptakan oleh Negara yang otomatis mencuci-putih peran kaum komunis dalam pembangunan bangsa (nation building) pada periode-periode sebelumnya.[3]
Anggapan ini tak lagi dapat dipandang remeh atau main-main, karena anggapan ini melahirkan konsekuensi seperti tercermin dari pandangan ketiga yang mengandaikan bahwa perlakuan negara, yang melibatkan umat Islam, terhadap kaum komunis dan yang tertuduh pasca-1965 dapat dibenarkan karena alasan melindungi “bangsa”dari ancaman “musuh bangsa”, tanpa peduli apakah ratusan ribu orang yang terbunuh atau menderita di dalamnya pernah punya kaitan atau tidak dengan Madiun Affairatau Gestok 1965. Politik pembasmian dan pengganyangan “sampai ke akar-akar” itu menjadikan“musuh negara” sebagai dosa warisan yang harus ditanggung turun-temurun, seakan-akan “musuh negara” itu telah menjadi gen yang niscaya melekat pada darah-daging orang yang bersangkutan.
Sebagaimana kita ketahui, Islam tidak mengenal dosa warisan, sehingga penyematan istilah ini kepada para korban 1965 tidak lagi mencerminkan ketaatan umat Islam terhadap ajaran Islam sendiri. Pengaruh apa yang menyetir benak dan imajinasi kolektif umat Islam sehingga terus-menerus percaya seolah dosa warisan itu benar-benar ada? Tiada lain budaya dendam di tengah masyarakat, yang dipupuk dengan budaya patronistik yang kuat (yang muda percaya pada para tetua tanpa sikap kritis).[4] Dalam hal ini, ajaran Islam sebenarnya tengah diabaikan oleh umat Islam sendiri. Ajaran Islam secara sederhana mengajarkan bahwa tidak ada dosa warisan, dan karena itu kesalahan yang dilakukan oleh generasi terdahulu tidak dapat menjadi pembenar perlakuan lalim atas generasi belakangan.[5] Hal ini memberi dasar bagi rekonsiliasi dengan anak-cucu keturunan pengikut/simpatisan PKI dan perlunya menghilangkan sikap diskriminatif terhadap mereka.
Tetapi, bagaimana dengan fakta 1965 sendiri sebagai suatu kenyataan sejarah? Benarkah berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam di sekitar tahun 1965-1966 terhadap kaum komunis maupun yang tertuduh merupakan pembalasan yang “setimpal” dan “masuk akal” terhadap perilaku kaum komunis pada tahun-tahun sebelumnya? Pemahaman umat Islam sendiri terhadap “fakta 1965”, juga Madiun Affair, serta berbagai peristiwa sejarah di tingkat lokal yang sering dijadikan dalih oleh negara maupun pemerintah setempat sebagai bukti berbahayanya kaum komunis terhadap bangsa dan agama, tidak selamanya terang, tetapi kabur, remang-remang, dan sarat syak-wasangka. Tentang “Gestok 1965” sendiri, benarkah merupakan suatu kudeta? Belum definitif. Pemahaman itu sendiri kabur, tetapi telah dijadikan landasan bagi aksi[6] yang kemudian diulang-ulang sehingga melahirkan suatu efek berantai kekerasan dalam skala yang luas. Antara fakta, rumor, dan dugaan bercampur aduk menjadi satu sehingga, dalam suasana penuh kebingungan dan ketakutan, satu komando cukup menjadi pemantik efek domino kekerasan massal yang bersimbah darah.
Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai kepekaan dan kejelian umat Islam pada fakta-fakta empiris sejarah. Mohammed Arkoun menggarisbawahi bahwa kesadaran sejarah (al-wa’y al-tarikihi) masih menjadi barang langka dalam kesadaran umat Islam. Kritik ini dapat ditafsirkan, umat Islam tidak selamanya tertarik menguji wawasan-wawasan sejarahnya dengan data dan fakta-fakta baru (yang disediakan oleh riset-riset ilmu sejarah), tetapi cenderung memperlakukan fakta sejarah masa lampau sebagai hal yang diyakini bahkan diimani, meskipun sudah terbukti kesalahannya. (Padahal fakta sejarah bukan untuk diimani, melainkan untuk dikaji dan diuji.)
Kebelum-mampuan umat Islam secara menyeluruh untuk mengambil“jarak historis” (historical distance) dengan fakta sejarah (meskipun fakta sejarah itu merugikan atau memojokkan umat Islam sendiri) mengakibatkan mudahnya umat Islam menerima bias-bias interpretasi sejarah yang didesakkan oleh pihak yang lebih kuat, tanpa merasa perlu menguji interpretasi itu dengan fakta-fakta lain yang berbeda. Dengan kata lain, tanpa melakukan tabayyun—suatu hal yang diajarkan oleh Islam, khususnya ketika informasi itu disebarkan oleh orang-orang yang fasiq atau memiliki niat mengadu-domba.[7]
Dari versi sejarah yang diketahui mengenai “fakta 1965” sendiri, kita patut bertanya misalnya: berapa di antara kita umat Islam yang mampu memilah di antara versi itu yang merupakan propaganda dan yang faktual an sich? Imaji “kekejaman kaum komunis” di Lubang Buaya, misalnya, jelas merupakan propaganda, karena bukti-bukti visum yang memperlihatkan tidak ada penyiksaan atau mutilasi sebagaimana diberitakan. Tetapi, propaganda ini efektif dan tetap dipercaya sebagai “fakta” sejarah. Bahwa terdapat pembunuhan dan pembantaian para kiai di Madiun 1948 oleh orang-orang komunis merupakan suatu fakta sejarah, tetapi bahwa kaum komunis menjelang Gestok 1965 sedang menyiapkan ladang jagal bagi para ulama dengan menggali parit-parit dan lubang-lubang merupakan suatu propaganda.[8]
Penerimaan atas berbagai versi sejarah yang berbeda, bahkan bertentangan, dengan demikian merupakan prasyarat bagi kepekaan kesadaran sejarah. Namun, hal itu tidak mungkin terjadi tanpa mengambil “jarak historis” atas subjektivitas narasi sejarah sendiri dan tanpa membongkar narasi sejarah yang dominan. Masalahnya,dalam persoalan 1965, seberapa jauh upaya umat Islam menulis ulang sejarah perannya, dengan mengambil jarak atas subjektivitas dirinya dan versi sejarah yang dominan?
Baru sedikit upaya yang dilakukan di kalangan umat Islam sendiri secara mandiri untuk menuliskan sejarahnya, lepas dari tekanan-tekanan “luar” dan murni karena keperluan melihat sejarah masa lalu dalam kerangka simbiotik antara keislaman dankebangsaan. Belum lama ini kita menyaksikan upaya itu pada ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU), dengan menerbitkan “buku putih” yang menjelaskan hubungan antara NU dan PKI dari tahun 1948-1965,[9] namun masih kuatnya nuansa defensif-apologetik dan kurangnya sikap otokritik membuat upaya itu belum maksimal menjadi suatu penulisan ulang sejarah yang berjarakdan kritis.[10]
Hal ini tak lepas dari satu faktor penghambat, yaitu belum tuntasnya de-Orbaisasi dan demiliterisasi di kalangan umat Islam, di mana warisan-warisan Orde Baru beserta segenap perangkat ideologi militeristiknya masih menjadi acuan dalam menentukan sikap-sikap kebangsaan yang diambil. Hal ini dapat dilihat dalam relasi kuasa antara ormas-ormas Islam arus utama dengan militer selama dua periode pemerintahan terakhir, di mana ormas-ormas tersebut tampaknya sedang mengalami reharmonisasi dengan militer secara signifikan.
Kebelum-mampuan umat Islam untuk menuliskan narasi sejarah yang terbebas dari warisan Orde Baru mengakibatkan narasi sejarah yang diterima adalah narasi sejarah yang dominan (official), yaitu narasi sejarah yang disusun oleh militer. Penulisan ulang sejarah yang dilakukan oleh para akademisi dan sejarawan kritis sebagai bentuk perlawanan atas sejarah versi militer belum sepenuhnya diterima, bahkan terus dicurigai, karena narasi-narasi sejarah kritis-alternatif itu dipandang belum cukup meyakinkan dan dipandang memojokkan umat Islam—tak jarang bahkan dianggap sebentuk konspirasi terselubung untuk menghancurkan umat Islam. Dengan demikian, mau tak mau umat Islam harus menuliskan sejarahnya sendiri, tidak dengan sikap ideologis untuk mengedepankan kepentingan identitariannya sebagai umat Islam, tetapi dengan keterbukaan pada narasi sejarah alternatif dan kesadarannya akan nilai-nilai otentik yang digali dari ajaran Islam sendiri. Hanya dalam arti ini, umat Islam dapat mengambil ‘ibrah (i’tibar)[11]dari sejarah dan menjadi umat yang dapat keluar dari lingkaran sejarah yang didiktekan oleh kekuatan-kekuatan yang menghegemoninya.[12]
Untuk menuliskan sejarah yang berjarak, kepekaan sejarah itu mengandaikan suatu kemampuan lain yang perlu diinternalisasi dalam benak dan imajinasi umat Islam, yaitu kemampuan mengadopsi sudut pandang korban, meski dulunya pihak tersebut merupakan musuh (the Enemy-Other) atau distigmakan sebagai musuh—tentu setelah terbangun kesadaran bahwa apa yang kita lakukan terhadapnya telah melewati batas dan kita melakukan otokritik dan koreksi-diri atas pelanggaran batas (israf) yang telah dilakukan. Dalam politisida 1965, meski tanpa pengakuan eksplisit, siapapun yang merasa dirinya Muslim hari ini menyadari bahwa yang dilakukan oleh sebagian umat Islam saat itu terhadap orang-orang komunis maupun tertuduh banyak melewati batas dan tak dapat dijustifikasi, bahkan oleh alasan perang sekalipun (mengingat perang dalam Islam tunduk pada norma-norma yang sangat ketat). Kemampuan untuk menyadari pelanggaran batas ini akan memungkinkan umat Islam untuk mendengar suara-suara korban dan menempatkan diri sebagai subjek yang membuka diri kepada keadilan yang dituntut oleh korban.
Muncul kesan hari-hari ini bahwa proses keadilan yang dituntut oleh korban 1965 kontradiktif dengan perdamaian dan rekonsiliasi. Seakan-akan imperatif keadilan kontradiktif pada dirinya dengan imperatif perdamaian. Hal ini disebabkan oleh penyempitan makna keadilan itu sendiri sebatas pada ganti-rugi (seakan-akan korban terkesan hendak membalas-dendam atau meminta ganti rugi yang memberatkan), atau kesalahkaprahan memahami perdamaian sebagai “rekonsiliasi” semu dan kompromi-kompromi atas kesalahan di masa lalu (termasuk pembelokan fakta-fakta sejarah), sehingga tuntutan keadilan oleh korban dianggap ancaman terhadap perdamaian dan upaya rekonsiliasi yang telah terbangun. Pada kenyataannya tidak. Imperatif perdamaian dan rekonsiliasi harus dibangun di atas imperatif keadilan, betapapun sulitnya pendasaran itu.
Apakah “keadilan” itu? Keadilan tidak dapat didefinisikan kecuali oleh korban, setidaknya keadilan bukanlah suatu kesepakatan pragmatis yang dipaksakan oleh pelaku terhadap korban. Apa yang adil pertama-tama harus dilihat dari sudut pandang korban, yang mengalami langsung penderitaan. Dalam hal ini, keadilan mensyaratkan suatu pengungkapan kebenaran dan kemauan untuk menyimak kebenaran yang dituturkan oleh korban (truth-telling). Keadilan mengandaikan suatu pertemuan antara testimoni (syahadah) korban dan kesaksian pelaku atas kesalahannya (“syahidna ‘ala anfusina” dalam term Al-Qur’an). Pihak ketiga hanyalah saksi atas proses bertemunya kedua pihak tersebut sekaligus menyiapkan prakondisi bagi terciptanya perdamaian dan rekonsiliasi kedua belah pihak, setelah pihak yang bersalah mendapatkan hukuman atau memenuhi tuntutan korbannya dengan sebaik-baiknya.
Pemulihan luka bersama melibatkan proses yang sulit, berbelit-belit, dan berlarut-larut, persis karena tidak mudahnya melewati berbagai tahapan itu. Hal itu berpulang kepada kemampuan umat Islam menempatkan diri sebagai “saksi-saksi” (syuhada’) bagi proses pengungkapan kebenaran di negeri ini, termasuk kesediaan kita sebagai umat Islam untuk berlaku adil sejak dalam pikiran, mengatakan salah terhadap mereka yang bersalah dan mengatakan benar terhadap mereka yang benar.***
Tulisan ini sebelumnya disampaikan dalam “Menimbang Peranan Islam dalam Upaya Pemulihan Luka Bangsa”, kerjasama Paramasophia, IPT (International People’s Tribunal) 1965, dan Universitas Paramadina, Jakarta, 9 November 2015.
Catatan Akhir:
[1] Istilah “umat Islam” digunakan di sini dalam pengertian generik, yaitu siapa saja yang merasa “memiliki” Islam di Indonesia—tanpa rujukan khusus kepada instansi, organisasi atau perseorangan tertentu, dan tanpa mengecualikan sejumlah tokoh Islam yang melakukan hal-hal yangkeluar dari sikap mainstream umat Islam.
[2] Harry A. Poeze, Madiun 1948: PKI Bergerak (Jakarta: KITLV & Obor, 2011), h. 291.
[3] Bagaimana Negara(via pemerintah) merekonstruksi narasi bangsa dengan mempertahankan sebagian elemen kebangsaan dan membuang elemen lain, dengan mengingat yang satu dan melupakan yang lain, dengan melakukan seleksi atas apa yang layak dianggap mewakili bangsa dan yang tidak boleh mewakilinya, lihat Benedict R.O’G. Anderson, Imagined Communities(London: Verso, 2006), khususnya Bab 11.
[4] Tentang hal ini, KH Chasbullah Baidhowi, pengasuh Pondok Pesantren Ihya’ Ulumiddin, memiliki pandangan menarik, bahwa latar belakang politisida 1965 lebih digerakkan oleh para elite politik. “Menurut saya,clash yang terjadi pada waktu itu [1965-1966] juga tidak bersumber dari masyarakatnya, tetapi bersumber dari elite-elite politiknya. Lebih tepatnya, clash tersebut dimotori oleh elite plus militer. Bahkan di daerah-daerah sangat kentara bahwa yang berperan banyak adalah militer. Militer-lah yang berperan aktif menyeret pemuda-pemuda desa, termasuk pemuda-pemuda NU, dalam wilayah konflik fisik dengan PKI”. Wawancara dengan KH Chasbullah Baidhowi, “Luka Sejarah Banyak Karena Konflik Elite”, Majalah Halqah, P3M Jakarta, edisi XII/2000, h. 15.Pada perkembangannya, peran elite-elite politik ini dikukuhkan oleh legitimasi budaya para tokoh agama maupun masyarakat, dan dapat dilihat baru-baru ini dalam wacana antikomunis yang digerakkan oleh sebagian tokoh Islam.
[5] Bdk. KH Afifuddin Muhajir, “Islam Memandang Rekonsiliasi 1965”, website Islam Bergerak, 25 Februari 2015.
[6] Lihat riset awal penulis tentang peran NU di detik-detik Oktober 1965 menanggapi Gestok, dan bagaimana para tokoh NU saat itu mengambil kesimpulan-kesimpulan dari interpretasi yang meragukan atas peristiwa Gestok (akibat dominasi sumber berita dari Angkatan Darat dan RRI yang simpang-siur): Muhammad Al-Fayyadl, “Memahami Kembali Peran NU pada Detik-detik September-Oktober 1965”, website Islam Bergerak, 21 November 2014,dan investigasi awal Aan Anshori sebagai tanggapan tidak langsung atas tulisan tersebut: Aan Anshori, “Melacak Jejak Elit Kaum Sarungan di Akhir September sampai Pertengahan Oktober 1965”, draft tidak diterbitkan, 2015. Kajian-kajian atas peran ormas-ormas Islam dan keagamaan lain akan penting, betapapun kajian-kajian itu tidak dapat sepenuhnya konklusif atau memuaskan semua pihak,untuk melihat keruwetan Gestok dan aksi-reaksi terhadapnya oleh umat beragama.
[7] Perintah untuk ber-tabayyundinyatakan dalam Q.S. al-Hujurat: 6,sedangkan larangan untuk mencampuradukkan berita benar dan berita bohong diungkapkan dalam Q.S. al-Baqarah: 42.
[8] Sebagai contoh, bisa dilihat yang terjadi di Aceh. Yenny Narni, “Ketika Negeri Adat Bersendi Sarak Merasa Terancam”, dalam Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman, dan Restu Gunawan (ed.), Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II (Jakarta: Obor, 2012), h. 28.
[9] Abdul Mun’im DZ, Benturan NU-PKI 1948-1965 (Jakarta: PBNU & Langgar Swadaya, 2013).
[10] Lihat ulasan atas “buku putih” tersebut dalamRoy Murtadho, “NU di Masa 65”, website Islam Bergerak, 27 November 2014.
[11]Istilah ‘ibrah sebagai bentuk pelajaran atas peristiwa sejarah yang telah terjadi merujuk pada QS.Ali ‘Imran: 13 dan atas narasi sejarah masa lalu dalam rupa kisah atau cerita (qishash) merujuk pada QS. Yusuf: 111.
[12]Intuisi tentang perlunya melakukan demiliterisasi secara sungguh-sungguh dapat ditemukan pada Gus Dur, lihat tulisannya, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah” (Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h. 53-67), dan salah satu jalan yang ditawarkannya adalah dengan melakukan “perlawanan kultural”, yaitu pengembangan pranata-pranata nilai yang baru yang digali dari tradisi Islam, budaya lokal, dan inisiatif sipil atas segala keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Kita perlu menambahkan pada pemikiran Gus Dur ini poin penting: penulisan ulang sejarah.
Tentang penulisan sejarah, Nurcholish Madjid, menariknya secara intertekstual, tampak mengisi hal yang didiamkan dan tak disinggung oleh Gus Dur sendiri, dalam tulisannya mengenai perang dan damai dalam Islam, dan otomatis tentang militer: “Jika persoalan sejarah menyangkut pelaku sejarah itu sendiri di satu pihak, dan para pengkaji, pengamat, serta penulis sejarah di lain pihak, maka mudah dibayangkan tentang kemungkinan adanya kesenjangan antara kenyataan dan pengamatan. Kesenjangan itu menghasilkan perekaman atau penulisan sejarah yang secara kritis dan jujur harus diuji dan diuji kembali oleh mereka yang berwenang dari kalangan para ahli. Tidak terkecuali mengenai sejarah berbagai gerakan di Indonesia yang menggunakan sebutan Darul Islam atau sejenisnya. Demikian itulah yang seharusnya, jika dikehendaki penarikan pelajaran secara benar dan tepat dari sejarah bangsa” (Nurcholish Madjid, “Kawasan Damai dan Perang dalam Islam”, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 258). Menarik ditandai bahwa Cak Nur menyinggung tentang Darul Islam sebagai eksamplar dari perang yang dilakukan oleh umat Islam, namun sama sekali tidak menyinggung mengenai politisida 1965 yang juga melibatkan umat Islam.
gak bisa tiba2 umat islam (secara generik) bahkan negara mengakui ada yg salah. pertama2 memang harus instansi/organisasi islam yg berhadapan langsung head to head dgn pki ataupun sayapnya kala itu, menyatakan sikap. entah itu hmi, pii, nu dgn ansornya dll masing2 hrs lbh dulu bersikap. kalau pemain2 kunci ini masih meyakini pembenaran dgn narasi lama, ya jgn harap ada kemajuan.