Upah Minimum, Produktivitas Siapa, dan Nikmat Manalagi yang Hendak Kau Dustakan?!

154
VIEWS
Tolak-RPP-Pengupahan-13-10-2015-57
sumber: www.aktual.com

Pada 15 Oktober 2015, serikat-serikat buruh berdemonstrasi di pusat-pusat pemerintahan menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan. Di antara alasan penolakannya, karena perumusan RPP Pengupahan tanpa melibatkan dan menyerap aspirasi serikat buruh. Lebih jauh dikatakan bahwa RPP Pengupahan akan membuat upah buruh diombang-ambing oleh mekanisme pasar.

Melalui RPP Pengupahan, pemerintah memperkenalkan formula kenaikan upah minimum. Formula baru upah minimum dirangkum dalam kata, PAS. Pasti naik, Adil bagi buruh dan pengusaha, dan Sederhana dalam menghitung dan melaksanakannya. Bagi pemerintah, RPP Pengupahan dipastikan memberikan kepastian bagi semua pihak.

Seperti diutarakan oleh beberapa aktivis serikat buruh, RPP Pengupahan merupakan salah satu amanat dari Pasal 97 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. [1] Selama ini, RPP Pengupahan tidak berhasil dirumuskan karena selalu berhadapan dengan protes serikat buruh.

RPP Pengupahan, terutama berkenaan dengan upah minimum berangkat dari dua pengandaian. Pertama, sejak kenaikan upah minimum 2013 yang mencapai 40 persen di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi, beberapa kalangan menilai bahwa upah minimum sudah lepas kendali. Padahal  tahun sebelumnya, kenaikan upah minimum di kisaran 10 persen. Kenaikan upah minimum tidak terprediksi, padahal pada 1969 hingga 2000, upah minimum naik dua tahun sekali, tanpa protes buruh. Kenaikan upah minimum yang tidak terprediksi membuat rencana keuangan perusahaan amburadul dan menyalahi kerangka keuangan perusahaan didasarkan pada perencanaan yang matang.

Selain itu, protes terhadap upah minimum berkaitan dengan besaran kenaikannya. Jika kenaikan upah minimum terlalu tinggi marjin keuntungan perusahaan semakin rendah. Lebih dari sekadar kata menguntungkan atau tidak menguntungkan, tapi marjin keuntungannya rendah. Marjin keuntungan adalah ungkapan bahwa keuntungan hari ini harus lebih besar dari hari kemarin. Jika marjin keuntungan terlalu kecil investor mesti mencari wilayah yang marjin keuntungan yang lebih besar.

Kedua, proses perumusan kenaikan upah minimum selalu diikuti dengan tekanan massa buruh. Beberapa kejadian fenomenal yang berkaitan dengan upah minium dapat diperlihatkan dengan demonstrasi menolak gugatan SK UMP DKI Jakarta pada awal 2002, pemogokan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung pada 2010, blokade jalan Tol-Jakarta Cikampek pada 2012, dan blokade jalan tol Ciujung Serang Banten pada 2013, dan lain sebagainya.

Sebagai bagian dari kebijakan negara, mestinya upah minimum dirumuskan oleh pertimbangan yang rasional, ilmiah dan dilakukan oleh lembaga yang representatif serta dijauhkan dari kepentingan politik praktis untuk mendulang suara. Kenaikan upah minimum tidak boleh didasarkan pada tekanan massa, tapi kepentingan semua unsur, yang disebut dengan stakeholders.

Di media massa, pesan orang-orang terpelajar, serta tajuk rencana dan opini di media massa cukup jelas: serikat buruh harus memaksimalkan dialog agar tidak memanfaatkan jalanan demi kenaikan upah minimum. Namun, seperti diperhatikan dalam kasus penetapan UMP DKI Jakarta 2002 dan UMK Bekasi 2012, Apindo memilih walk out dari sarana hubungan hubungan industrial tanpa menghormati dialog dan hasil rapat pengupahan.

 ***

Menurut John Ingleson, gagasan upah minimum telah disuarakan oleh serikat-serikat buruh di Indonesia sejak 1920-an hingga 1930-an. Tuntutan serikat buruh bukan tanpa dasar. Saat itu, Gubernur Jenderal Van Limburg Strium mengumumkan “Janji November” pada 1918. “Janji November” adalah salah satu respons untuk mengendalikan peningkatan demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah. Tahun berikutnya, Gubernur Jenderal membentuk komisi untuk menyelidiki kemungkinan ditetapkannya upah minimum di Pulau Jawa.

Komisi tersebut mengeluarkan dua laporan yang berbeda. Laporan pertama menyarankan perhitungan upah minimum berdasarkan perbedaan jenis kelamin, umur, dan kondisi perekonomian. Laporan kedua menyarankan dasar perhitungan upah minimum berdasarkan kebutuhan dasar keluarga. Inti dari dua laporan tersebut menyatakan agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan tentang upah minimum.

Upah minimum pernah di beberapa kota pada 1930-an, ketika orang-orang Indonesia menduduki kursi mayoritas di dewan-dewan kota. Namun, sebagai sebuah kebijakan negara, upah minimum bahkan laporan komisi penyelidikan tidak pernah diakui. Gubernur Jenderal Hindia Belanda tidak bersedia menerapkan kebijakan upah minimum karena ditolak keras oleh para pengusaha perkebunan, investor industri gula, asosiasi pengusaha serta para pejabat Eropa di Hindia Belanda.

Saat itu, ada tiga alasan penolakan kebijakan upah minimum. Pertama, kondisi perekonomian Indonesia tidak siap jika menggunakan pengupahan berdasarkan upah minimum. Kedua, jika upah minimum dilegalkan para investor akan hengkang dari Indonesia. Ketiga, buruh Indonesia tidak produktif dan akan bermalas-malasan, jika mendapatkan upah minimum. (Ingleson, 2015: 51-52)

Namun, jauh sebelum adanya penolakan upah minimum di atas, para pejabat Eropa di Hindia Belanda memiliki penilaian buruk terhadap buruh-buruh Indonesia. Pada 1883, Gubernur Jenderal J. van den Bosch mengatakan, jika orang-orang Indonesia mendapatkan upah yang lebih tinggi, akan bekerja lebih sedikit daripada yang diperintahkan (Ingleson, 2015: 24).

Pandangan tersebut terus menerus direproduksi dalam sejumlah media massa para pengusaha dan laporan resmi pemerintah. Pandangan merendahkan buruh Indonesia direproduksi dan dikembangkan, jika buruh-buruh Indonesia mendapatkan kenaikan upah maka uangnya akan dihambur-hamburkan. Salah satu laporan resmi pemerintah pada 1920 menyebutkan,

“Bahkan dalam situasi kemiskinan yang paling dalam, peningkatan tak seimbang dalam pendapatan akan dibelanjakan bukan untuk kebutuhan makan dan tempat tinggal dan sebagainya, tetapi akan berujung pada membolos, mabuk-mabukan, perjudian, foya-foya lainnya.” (dalam Ingleson, 2015: 49. Penekanan dari penulis)  

***

Lebih dari seabad pandangan J. van den Bosch mengenai mentalitas foya-foya buruh Indonesia dan hampir seabad penolakan terhadap pelaksanaan upah minimum, suara minus menolak kenaikan upah minimum direproduksi dibangku sekolahan, dalam laporan penelitian, oleh para pengusaha dan pejabat Indonesia.

Salah satu penelitian yang mendukung ketidaknaikan upah dilakukan oleh SMERU, pada 2001. Penelitian bertajuk, “Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia” tersebut mendapat dari dari USAID. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan ekonometrik dan wawancara dengan 200 orang di Jabodetabek dan Bandung. Kesimpulan penelitian tersebut menyebutkan, kenaikan upah minimum merugikan buruh di level operator dan semakin mempersempit lapangan kerja.

“… Hasil studi ini menunjukkan bahwa upah minimum telah menguntungkan sebagian pekerja tetapi merugikan sebagian lainnya. … Pekerja kerah putih jelas merasakan manfaat besar dari penegakan kebijakan upah minimum. Namun, mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat meningkatnya upah minimum adalah mereka yang dirugikan oleh kebijakan upah minimum.”

Baca Juga:

Penelitian tersebut memberikan gambaran statistik, setiap sepuluh persen kenaikan upah minimum akan mengurangi satu persen kesempatan kerja. Pada akhirnya, hasil penelitian menyarankan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan secara otomatis mendorong kenaikan upah minimum dan perluasan kesempatan kerja. Dengan kata lain, undang dan permudahlah investasi di Indonesia agar upah naik dan pekerjaan bertambah.

Alasan penolakan upah minimum dilontarkan secara berulang-ulang oleh juru bicara para pengusaha. Seperti kutipan di bawah ini:

Liputan media massa harian Tempo (Rabu, 07 November 2012) menyebutkan, para pengusaha tidak mampu menaikan upah karena modal pengusaha tergerus biaya infrastruktur, logistik, bunga bank, dan pungutan liar di daerah.

“Buruh kita banyak menuntut, tapi tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas,” kata Sofyan Wanandi dilansir cnnindonesia.com (02/05/2015).

Ada dua tekanan alasan yang menonjol untuk menolak kenaikan upah minimum, yakni periode sebelum 2012 dan periode setelahnya. Sebelum 2012, melalui juru bicaranya, Apindo mengeluh tidak mampu menaikan upah minimum karena persoalan infrastruktur yang buruk dan pungutan liar.

Sejak 2012, ketika pemerintah berkomitmen membangun infrastruktur dalam Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yakni ketika jalan tol, pelabuhan, pergudangan diperbaiki, serta kawasan industri terus menerus dibuka dan diperluas, Apindo mengeluh kembali. Kenaikan upah minimum terlalu tinggi, tidak terprediksi dan selalu diikuti demonstrasi. Nanti, jika demonstrasi dan kenaikan upah mampu dikendalikan, entah alasan apalagi yang hendak diutarakan.

Di media sosial, ketika serikat buruh demonstrasi dan menuntut kenaikan upah, komentar netizen lebih pedes. Buruh dianggap sebagai pihak yang tidak tahu terima kasih, tidak tahu diri, pembuat onar dan bodoh.

kaskus
Gambar: Diskusi mengenai kenaikan upah minimum di http://kaskus.co.id/

Di bangku-bangku sekolah, suara minus terhadap buruh dibahasakan dengan, etos kerja yang rendah, tidak memiliki keterampilan, pendidikan seadanya dan budaya yang konsumtif.

Teori-teori demikian, terus menerus dipelajari dan dihafal di luar kepala.  Bagaimana jika kebanyakan orang Indonesia, berangkat ke pasar pukul 3 pagi dan baru bisa istirahat sekitar jam 2 siang? Bagaimana, jika buruh-buruh Indonesia sudah bersiap kerja di jam 3 pagi, dan 10 orang buruh di satu line produksi dalam semenit dapat menghasilkan 200 pasang sepatu? Bagaimana, jika terdapat cerita yang mengungkapkan, buruh-buruh Indonesia bekerja lebih dari 8 jam kerja sehari, jika telat masuk kerja barang semenit akan dikenai hukuman yang tidak masuk akal? Fakta-fakta tersebut harus dikembalikan pada teori awal: buruh Indonesia tidak produktif, pemalas, dan jika punya uang akan foya-foya.

Produktivitas buruh adalah istilah yang diperlakukan sewenang-wenang untuk menuduh buruh pemalas. Pada 19 Januari 2012, saat blokade jalan tol Jakarta-Cikampek, jumlah keuntungan yang hilang di PT Mulia Industrindo Cikarang sebanyak Rp 7 miliar. Pada mogok nasional 3 Oktober 2012 keuntungan di perusahaan-perusahaan di Kabupaten Bekasi menguapkan sekitar Rp 3 triliun. Blokade jalan tol maupun mogok nasional tersebut berlangsung siang hari. Karena mesin pabrik beroperasi 24 jam, diperkirakan jumlah keuntungan tersebut lebih dari yang disebutkan. Karena mesin-mesin dan bahan baku tidak digerakan oleh jin dan dedemit, mestinya muncul kesadaran bahwa pabrik-pabrik dapat menghasilkan jutaan keuntungan karena hasil kerja buruh.

***

Para pengagum Soeharto mesti mengetahui hal ini. Konsep perlindungan buruh mulai dijungkirbalikkan ketika Soeharto berkuasa. Karena terlalu banyak konsep perlindungan buruh yang dipatahkan, kita bisa melihat salah satu kebijakan pengupahan. Pada 1956, tripartit nasional dan ahli gizi merumuskan perhitungan upah minimum berdasarkan kebutuhan lajang hingga keluarga anak tiga. Jumlah komponennya sebanyak 38. Pada 1995 Soeharto mengubah dasar perhitungan upah minimum hanya sekadar lajang dengan 43 komponen. Sebutan perubahan kebutuhan buruh disebut disebut dengan perubahan dari KFM (Kebutuh Fisik Minimum) menjadi KHM (Kebutuhan Kidup Minimum). Perlu ditegaskan, yang paling mengerikan dari perubahan tersebut bukan soal jumlah dan kualitas komponen, tapi dari perhitungan buruh berkeluarga menjadi lajang. Buruh dianggap sebagai entitas tunggal. Kebijakan upah minimum diterapkan lebih dari sepuluh tahun sejak modal asing dibiarkan merajalela pada 1969. Saya tidak sanggup menyebut perubahan tersebut terlalu kebarat-baratan, karena Soeharto dan para pendukungnya menyebut diri sebagai pihak yang paling Indonesia.

***

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia minimum diartikan diartikan dengan; paling sedikit, paling kecil, sekurang-kurangnya, atau sedikit-dikitnya. Upah dalam peraturan perundangan diartikan dengan imbalan atas suatu pekerjaan yang dinyatakan dalam bentuk uang. Berarti, orang yang telah bekerja akan mendapatkan imbalan minimal atau sekurang-kurangnya sekian uang, yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam hubungan kerja demikian, imbalan kerja tidak cukup dengan ucapan terima kasih.

Ada tiga aktivitas buruh. Datang ke tempat kerja, melakukan pekerjaan, dan menghasilkan pekerjaan. Karena pabrik bukan ruang ICU atau UGD (Unit Gawat Darurat) Rumah Sakit, buruh mesti datang ke pabrik dalam keadaan segar bugar, bekerja dengan gesit, dan menghasilkan barang yang berkualitas.

Dengan pengertian di atas, peraturan perundangan memberi indikasi, hak upah timbul karena ikatan dan putusnya hubungan kerja dan buruh menerima upah setelah melakukan pekerjaan. Kembali pada tiga aktivitas yang di atas. Upah minimum, bahkan upah total yang diterima bulanan, mingguan, atau harian, mencerminkan pembayaran yang mana: karena telah bekerja, karena menghasilkan pekerjaan, karena menghasilkan pekerjaan yang berkualitas, atau sekadar membayar buruh datang ke pabrik dalam keadaan sehat? Karena upah minimum bukan sekadar angka, kiranya pembahasan upah minimum dapat diletakan dalam problem tersebut.

Tulisan ini mesti diakhiri dengan kutipan Sam Ratu Langie, salah satu anggota Volksraad, , “… Ia (Pasal 161 bis) melarang buruh menggunakan menggunakan senjata mogok dengan alasan mengganggu ekonomi. … Cukup jelas bagi saya bahwa menurut undang-undang Hindia, pihak majikan yang mengganggu tatanan ekonomi dengan menutup kegiatan produksi mereka dan merumahkan para pekerja tidak pernah dapat dihukum. (Ingleson, 2015: 55)

Penulis adalah pegiat di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Bogor

Catatan:

[1] Sekjen OPSI: Material RPP Pengupahan Mempunyai Masalah. http://infopublik.id/read/132758/sekjen-opsi-material-rpp-pengupahan-mempunyai-masalah-.html

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.