Proyek Liberalisme: Depolitisasi Gerakan Keagamaan

1k
VIEWS

Baca Juga:

Islamic Movement
ilustrasi gambar: Asif Hassan–AFP

Proyek liberalisme berhasil memenjarakan agama dalam isu-isu pertentangan identitas ketimbang mengajak umat ke dalam perdebatan yang lebih riil, yaitu soal kemiskinan dan ketimpangan pembangunan. Para ulama maupun rohaniawan  menjadi terpenjara dan tidak bisa bersuara ketika terjadi arogansi kekuasaan dan kapital karena liberalisme akan menuduh mereka sebagai gerakan radikal, konservatif, anti modernis, anti HAM, anti pembangunan, teroris, ataupun pro fundamentalis. Pembusukan politik yang dilakukan kaum liberal tersebut di Indonesia telah memarjinalisasi peran agama dan justru menyibukan umat dengan urusan-urusan akhirat an sich dan terpisah dari realita sosial politik. Umat dijerumuskan dalam isu-isu pluralisme, multikulturalisme, ataupun isu-isu proyek identitas lainnya. Alhasil bukan terjadi sebuah harmonisasi antar umat beragama tetapi masing-masing identitas justru mengalami radikalisme “ke dalam” dan antagonisme “ke luar”. Kian isu identitas ditonjolkan malah kian kuat pula pertentangan antar identitas (konflik horizontalnya). Liberalisme sosial yang dibayangkan oleh demokrasi justru cenderung menjadi pemicu konflik antar umat beragama di Indonesia.

Hal senada pernah diungkap oleh Gery Van Klinken (2009) dalam bukunya, Perang Kota, yang melihat anomali demokrasi di Indonesia. Awalnya Klinken membayangkan bahwa demokrasi bisa menjadi sarana akomodasi bagi solusi konflik agama maupun konflik etnis bagi Indonesia. Tapi temuan Klinken justru mengejutkan dirinya, demokrasi justru lebih membuka ruang konflik antar identitas di Indonesia. Klinken tidak berarti berasumsi bahwa demokrasi adalah sebuah ancaman bagi Indonesia, tapi justru mempertanyakan mengapa demokrasi di Indonesia justru mengandung dan memicu konflik antar identitas agama maupun etnis di Indonesia. Klinken melihat bahwasannya konflik antar identitas agama maupun etnis di Indonesia hanya merupakan lapisan luar dari konflik sesungguhnya. Korporatisme birokrasi dan bangunan politik liberal yang dibangun oleh negara justru memecah masyarakat dalam situasi konflik horizontal.

Refleksi atas tulisan Klinken tersebut, penulis percaya bahwa perbedaan identitas kultural yang selama ini dianggap oleh kaum liberal sebagai pemicu akar konflik horizontal di Indonesia terkubur kebenarannya oleh tesis Klinken tersebut. Tentu saja, Klinken tidak akan menyarakan proyek-proyek multikulturalisme atau pluralisme sebagai solusi konflik horizontal di Indonesia, tetapi Klinken lebih menyarankan sebuah upaya pemerataan pembangunan. Selain itu, Klinken juga percaya bahwa isu identitas menjadi komoditas politik bagi para elit lokal untuk mendapatkan dukungan suara dalam pemilu maupun pilkada.

Agama yang selama ini dicurigai sebagai problem masalah, juga dibantah oleh Konte Palmer (1998) dalam Dilemmas of Political Development yang mengatakan bahwa gerakan keagamaan di negara-negara dunia ketiga justru menjadi modal kekuatan perlawanan ketidakadilan pembangunan. Palmer menunjukan dua kasus Islam Fundamentalis di Timur Tengah dan Teologi Pembebasan di Amerika Latin sebagai bukti bahwa peran gerakan keagamaan sangat kuat dalam melakukan reformasi sosial dan perlawanan ketidakadilan. Fenomena tersebut adalah respon terhadap realitas sosial dan pengharapan spiritual akibat himpitan kemiskinan  dan macetnya peran negara dalam menyelesaikan problem sosial. Kedua gerakan tersebut tidak hadir secara trasendental saja, tapi ideologi transendetal ditransformasikan menjadi spirit sosial politik dalam menghadapi realitas sosial dan kemiskinan yang menghimpit masyarakat. Antara Islam Fundamentalis dan Teologi Pembebasan memang memiliki perbedaan mendasar dalam orientasi filosofinya, tetapi menurut Palmer lebih banyak persamaan dalam merespon dunia material dan moralnya.

Proyek liberalisasi/modernisasi akan selalu menghadang gerakan keagaman dalam melakukan peran yang lebih dalam revolusi sosial maupun perlawanan ketidakadilan. Samuel Huntington (1965) dalam Political Development and Decay memaparkan ciri khas proyek liberalisasi/modernisasi yaitu institusionalisasi sosial. Modernisasi bergerak dengan mencoba menginstusionalisasikan masyarakat dalam kerangka Weberian. Masyarakat yang rasional, impersonal, dan sekuler adalah cita-cita proyek liberal. Tipikal masyarakat yang seperti itu tentu saja akan memarginalkan agama dari ranah politik. Depolitisasi agama menjadi sebuah agenda politik dari proyek liberal. Agama dan politik dianggap sebagai entitas yang terpisah bahwa agama adalah dunia transendental, dan politik adalah dunia profan. Masyarakat sekuler adalah cita-cita dari pembangunan politik liberal. Masyarakat sekuler-lah yang diyakini oleh kaum liberal sebagai masyarakat yang bisa menerima ide-ide demokrasi. Negara demokrasi total akan tercipta jika masyarakatnya sudah lepas dari agama karena agama menjadi penghambat prinsip “equality” dalam demokrasi. Kata Huntington, demokrasi butuh homogenitas identitas politik, jika terlalu banyak identitas politik maka itu ancaman bagi demokrasi liberal. Oleh sebab itu, penyatuan beragam identitas politik dalam wadah pluralisme adalah tujuan sebenarnya dari proyek demokrasi politik kaum liberal. Menghaluskan perbedaan identitas dengan slogan persamaan dan kesetaraan adalah wacana yang dimainkan oleh kaum liberal agar terjadi homogenisasi sosial. Negara modern menjadi sarana bagi kaum liberal untuk memuluskan agenda-agenda politiknya dengan mengkampanyekan slogan-slogan pluralisme ketimbang slogan ketimpangan kelas. Demokrasi yang berbasis pluralisme yang bias kelas akan selalu bertentangan demokrasi yang sensitif perbedaan kelas.

Selanjutnya, logika negara modern dengan nalar Weberiannya akan kontradiktif jika masyarakatnya irrasional, personal, dan agamis. Negara modern akan stabil politiknya jika masyarakat sipilnya juga sama-sama menggunakan nalar Weberian, yaitu masyarakat sipil yang rasional, sekuler, dan impersonal. Pertumbuhan gerakan keagamaan dianggap akan mengganggu stabilitas negara modern karena untuk membangun social order dibutuhkan aturan-aturan yang rasional dan sekuler. Kekhawatiran negara modern akan bangkitnya gerakan-gerakan keagamaan ini juga berdasarkan atas dasar nalar kapital, nalar industri, nalar birokrasi, dan nalar keamanan. Sebagaimana Anthony Giddens katakan, negara modern butuh 4 (empat) pilar agar bisa eksis yaitu pasar, regulasi, birokrasi/pengawasan, dan keamanan. Melalui keempat pilar ini agama akan disingkirkan dari negara modern. Berikut ditunjukan bagaimana keempat pilar negara modern tersebut hendak memarginalkan peran gerakan keagamaan.

Pertama, gerakan keagamaan sebagai ancaman pasar. Jika agama menguat dalam ranah kapital, maka agama akan menghambat laju penetrasi kapital ke masyarakat. Teologi pembebasan yang dipimpin oleh Gustavo Gutiérrez di Amerika Latin, menjadi salah satu contoh perlawanan gerakan sosial keagamanan atas penetrasi kapital di masyarakat yang mengakibatkan kemiskinan massal. Di Indonesia, Syarikat Islam yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto juga melakukan perlawanan terhadap pabrik-pabrik kolonial Hindia Belanda. Gerakan keagamaan yang solid dan progresif seperti teologi pembebasan-nya Guetiérrez maupun Syarikat Islam-nya HOS Cokroaminoto tentu saja menjadi ancaman bagi pasar. Tetapi tanpa ada gerakan seperti keduanya, pasar juga akan melakukan penindasan terhadap rakyat miskin (kasus: Teologi Pembebasan) dan kaum buruh (kasus: Syarikat Islam). Progesivitas yang melekat dalam gerakan keagamaan menjadi ancaman serius bagi pasar, sehingga pasar akan mencoba memarginalkan agama dari ranah kapital dengan cara memodernkan corak produksinya yaitu pasar yang rasional dan bebas nilai. Kedua corak tersebut merupakan ciri khas ekonomi liberal, yang tidak memungkinkan nilai-nilai atau ajaran agama melekat dalam corak produksi kapital. Ekonomi liberal yang bebas nilai pada hakikatnya ingin melepaskan peran agama dalam sektor kapital.

Kedua, gerakan keagamaan sebagai ancaman keamanan. Agama saat ini disubyekkan sebagai enemy of the state. Kian radikal pemahaman agama kita, kian disubyekkan sebagai subjek yang membahayakan keamanan negara. Proyek terorisme global dan nasional adalah contoh bagaimana agama disubyekkan oleh negara modern sebagai ancaman keamanan. Demi kestabilan politik, gerakan agama dijadikan proyek keamanan oleh negara modern. Keamanan di mata negara modern tidaklah ditujukan untuk keamanan penduduk tetapi untuk keamanan kapital demi stabilnya pasar. Umat beragama selaku penduduk bukan prioritas yang harus dilindungi keamanannya oleh negara, tetapi justru menjadi sasaran moncong senjata aparat keamanan negara. Kemudian, untuk memberangus agama, negara tidak hanya menggunakan hardsecurity tetapi juga softsecurity. Hardsecurity yaitu dengan penangkapan, penahanan, penyiksaan, penembakan, penculikan, pemenjaraan, ataupun pembunuhan para aktivis keagamaan. Sedangkan akhir-akhir ini juga memadukan keduanya, bentuk softsecurity yaitu program deradikalisasi agama adalah sebuah strategi agar para ulama tidak lagi bersuara lantang menentang ketidakadilan dan kezaliman kekuasaan. Umat pun juga takut dan memilih diam ketika hendak menyuarakan tuntutan keadilan ataupun kezaliman karena takut dicap sebagai teroris.

Ketiga, gerakan keagamaan sebagai ancaman regulasi. Logika legal formalistik yang dipakai negara modern dalam menciptakan social order pada dasarnya adalah logika bagaimana menyingkirkan agama sebagai etika sosial. Regulasi dan beragam pertaruran yang dibuat negara menjadi kewajiban mutlak bagi warga negara untuk menaatinya. Sifat dari regulasi negara modern adalah Weberian, yaitu rasional, impersonal, sekuler, dan represif. Sebagai teks social order, regulasi pada dasarnya diciptakan oleh negara modern untuk memuluskan kerja-kerja kapitalisme. Regulasi-regulasi dibuat dalam rangka untuk menciptakan tatanan sosial yang mendukung operasinya kapitalisme di ranah negara maupun masyarakat sipil. Regulasi-regulasi yang dibuat oleh negara seolah-olah sebagai aturan ikatan formal atas moral masyarakat, tetapi kenyataannya justru jauh dari nilai moralitas dan sangat impersonal. Etika sosial yang berbasis ajaran agama tentu saja menjadi ancaman bagi regulasi negara karena tidak bisa menjawab masalah masyarakat yang mengalami degradasi moral. Regulasi negara modern hanya bisa menjawab persoalan-persoalan yang bersifat empirik dan positivis. Dia tidak bisa menjawab sisi dalam sanubari manusia sehingga gerakan keagamaan menjadi sangat strategis perannya dalam menggantikan negara modern dalam hal pencerahan moralitas masyarakat. Akibatnya negara merasa lemah karena aturan yang dia buat cenderung diabaikan oleh masyarakat. Etika sosial keagamaan yang dikampanyekan oleh gerakan keagamaan dari masjid ke masjid ataupun dari gereja ke gereja menjadi ancaman riil bagi negara, tatkala aturan legal formalnya tidak dipatuhi oleh rakyat, dan rakyat lebih percaya pada etika sosial yang diajarkan oleh gerakan keagamaan. Legitimasi negara akan runtuh ketika rakyat lebih cenderung percaya pada gerakan keagamaan ketimbang pada aturan negara. Atas dasar itu depolitisasi gerakan keagamaan menjadi salah satu tujuan dari negara modern agar regulasi negara tidak kehilangan legitimasinya.

Keempat, gerakan keagamaan sebagai ancaman birokrasi/pengawasan. UU Terorisme yang hampir ada di setiap negara dunia ketiga, baik negara yang muslim maupun non muslim merupakan sebuah bukti bahwasanya negara masih perlu melakukan pengawasan terhadap gerakan keagamaan. Atas dasar UU Terorisme tersebut negara merasa mendapatkan legalitas dan legitimasi dalam melakukan pengawasan dalam setiap aktivitas keagamaan. Birokrasi yang dibuat oleh negara modern juga akan menerapkan kebijakan administratif yang sangat sekuler, impersonal, dan rasional. Birokrasi dengan karakter seperti itu tentu saja bertentangan dengan masyarakat dunia ketiga yang masih religius, personal, dan irrasional. Proyek good governance yang digelontorkan oleh imperium finansial global alih-alih ingin memberantas korupsi di Indonesia, dan yang ada malah korupsi tambah banyak. Korupsi yang dilakukan birokrasi di Indonesia tidak bisa diberantas dengan pendekatan modernis seperti itu, tetapi harus melibatkan masyarakat sipil sebagai agen kontrol sosial dan moral. Gerakan keagamaan sangat lantang menyuarakan hal itu sehingga birokrasi yang korup sangat khawatir jika masukan-masukan mereka dipakai. Misalnya saja, ada wacana hukuman mati bagi para koruptor yang pernah diusulkan oleh salah satu gerakan keagamaan di Indonesia.

Melalui keempat pilar negara modern tersebut gerakan keagamaan akan disingkirkan secara sistematis. Rasionalitas yang dibangun adalah gerakan keagamaan tidak cocok dengan gerakan modernisasi. Modernisasi butuh sesuatu yang rasional, sekuler, dan rasional di segala bidang. Modernisasi butuh sesuatu yang publik dan tidak butuh sesuatu yang privat. Modernisasi/liberalisasi menuntut agama harus didomestifikasikan dan diceraikan dari ranah publik. Modernisasi akan lancar jika nalar masyarakatnya juga bekerja dengan nalar sekuler dan rasional. Gerakan keagamaan dianggap sebagai gerakan tradisional karena sarat dengan sesuatu yang tidak rasional dan moralis. Hal ini menjebak beragam organisasi gerakan keagamaan di Indonesia untuk memodernisasi organisasinya. Tapi sebenarnya mereka terjebak dalam nalar modernisasi yang ingin terjadi institusionalisasi sosial bukan gerakan sosial. Jika gerakan agama bukan lagi sebuah gerakan sosial, dan lebih sibuk memodernisasi lembaga dan isu-isunya maka disitulah proyek liberalisme berhasil mendepolitisasi gerakan keagamaan.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.