COVID-19 hanya salah satu krisis yang kami hadapi. Di masa lalu, kami telah melalui krisis dari krisis keuangan di Asia hingga krisis global. Ini adalah tipe krisis yang telah dihadapi oleh buruh migran dan pengungsi sejak beberapa tahun lalu, bahkan selama beberapa dekade. Saya ingin menekankan realitas buruh migran dari kondisi di lapangan.
Buruh migran dan pengungsi selalu dalam krisis
Menurut PBB saat ini ada 258 juta kaum migran, 164 juta diantaranya adalah buruh migran. Mereka adalah kelompok yang masuk ke dalam jenis pekerjaan yang tidak menetap: pekerja domestik, buruh konstruksi, buruh perkebunan, dan lainnya. Sisanya adalah mereka yang bermigrasi secara permanen atau mereka yang menjadi migran tanpa dokumen di dalam prosesnya. Selain itu, ada 65,3 juta orang yang terusir dari rumah mereka mengungsi ke negara lain, termasuk 21,3 juta pengungsi dengan lebih dari separuhnya berusia di bawah 18 tahun dan 10 juta orang tanpa kewarganegaraan (stateless people). Jumlah mereka yang terusir tanpa status sebenarnya lebih besar, kami menyebutnya pengungsi tanpa kewarganegaraan (stateless refugees). Pendorong dari migrasi paksa semacam ini adalah kondisi pemiskinan dan ketiadaan pekerjaan, perang dan kekerasan, serta bencana dan perubahan iklim.
Jenis pekerjaan yang kami lakukan di negara asing adalah apa yang kita sebut dengan Pekerjaan 3D: dirty, difficult, dangerous (kotor, sulit, berbahaya). Kita tahu kisah-kisah tentang buruh migran yang bekerja di luar negeri tidak menjadi kaum ‘ekspat’. Hanya sangat sedikit orang dari masyarakat kita yang bermigrasi secara sukarela. Mereka yang menjadi CEO, atau di level manajemen, atau pelajar. Namun, ratusan, jutaan dari kami sebenarnya jatuh di bawah kategori migran paksa.
Jika kita kembali kepada sejarah, khususnya dampak dari krisis finansial Asia tahun 2008 ketika menerpa Asia, Indonesia sangat terpukul. Tingkat pengangguran tinggi, perusahaan mem-PHK para buruhnya tanpa upah, mereka yang baru saja lulus sekolah tidak bisa mendapat kerja. Kondisinya sangat kacau balau. Karena hal tersebut maka ada faktor pendorong dimana jutaan laki-laki dan perempuan dari Asia terpaksa bermigrasi di dalam kawasan Asia dan wilayah lain. Krisis finansial Asia adalah salah satu faktor pendorong dalam meningkatnya jumlah migran, dan krisis global 2008 juga mendorong angka migran ini semakin besar. Bahkan PBB juga telah menganjurkan pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran, menyediakan kerja layak dan upah layak.
Kenyataannya, setiap dekade kita menyaksikan angka ini terus meningkat karena apa yang kita punyai saat ini adalah ekonomi yang dibangun atas keuntungan bagi para korporat.
Kita tidak mempunyai ekonomi yang melayani kepentingan rakyat. Jadi kalau kita bertanya, “bagaimana bisa pemerintah kita menciptakan pekerjaan ketika ekonomi kita ditujukan untuk melayani keuntungan para korporasi asing?” Itulah kenapa kita tetap menyaksikan problem pengangguran, keresahan sosial, dan kelaparan.
Kita melihat pemerintah tidak berbuat banyak. Apa yang mereka lakukan adalah terus mengerjakan proyek-proyek pembangunan atas nama pembangunan dan globalisasi, tapi sebenarnya mereka membuat orang-orang tergusur, menaikkan harga, serta merampas tanah dan mata pencaharian orang. Kaum migran dan pengungsi sebenarnya adalah konsekuensi dari aksi-aksi seperti ini.
Krisis keuangan Asia dan global ini tidak hanya mendorong orang untuk bekerja di luar negeri tapi juga bahkan orang yang sudah berada di luar negeri menderita karena kondisi ini. Pertama, kondisi kami semakin memburuk. Kami bekerja terlalu banyak dengan upah yang berkurang – tentu upah mungkin naik tapi ketika kami membeli barang tidak banyak yang bisa kami beli. Hak-hak kami semakin berkurang misalnya dalam hak kewarganegaraan. Contohnya adalah semakin pendeknya masa berlaku visa, serta semakin ketatnya kebijakan imigrasi dan kontrol perbatasan. Sekarang Uni Eropa membayar Pemerintah Turki untuk menempatkan polisi di perbatasan demi menghentikan para pengungsi di perbatasan. Di Asia, Australia membayar Pemerintah Indonesia agar menjadi pengendali perbatasan sehingga para pengungsi yang saat ini terdampar di perbatasan Indonesia tidak akan bisa menaiki kapal ke Australia.
Lebih jauh lagi, ini bukan cuma imigrasi tetapi juga mobilisasi terhadap negara-negara untuk menjadi penjaga dari negara-negara paling maju di dunia. Kasus lainnya adalah meningkatnya angka migran tanpa dokumen, meningkatnya kekerasan oleh otoritas, para pedagang manusia (traffickers) dan bahkan majikan, seiring dengan meningkatnya perdagangan manusia (human trafficking).
Apa nilai kami bagi pemerintah?
Banyak orang bertanya, “bagaimana kami bisa mengubah pemerintah tempat kami bekerja dan bahkan pemerintah kami sendiri untuk menjadi lebih manusiawi? Agar melakukan lebih banyak kewajiban kepada rakyat mereka? ” Karena selama bertahun-tahun kami telah melakukan advokasi tetapi mereka tidak mau mendengarkan kami. Tentu saja, di depan kami mereka berkata bahwa mereka mendengarkan, “Ya kami akan melakukan bagian kami, ya kami akan melakukan kewajiban kami” tetapi pada kenyataannya, setelah pertemuan, negosiasi atau dialog, tidak ada yang benar-benar terjadi.
Ketika kami mencari makna yang lebih dalam lagi tentang apa arti migran bagi negara pengirim, bagi negara kami sendiri? Mengapa mereka bahkan tidak peduli untuk melihat jumlah orang yang meninggal di luar negeri dan dipulangkan ke kampung halaman? Mengapa mereka bahkan tidak peduli melihat rakyat mereka yang disiksa dan dianiaya secara fisik? Mengapa mereka tidak peduli ketika orang-orang mereka diperdagangkan dan mati di laut? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini benar-benar mengganggu kami sebagai migran dan juga sebagai penyintas. Dengan demikian, kami menjadi sadar karena globalisasi ini, sistem ekonomi ini, bagi pemerintah kami sendiri, orang-orang termasuk kami adalah komoditas atau buruh murah – apa pun untuk memperkaya orang kaya. Inilah status kami untuk mereka. Pembangunan berbasis remitansi ini dipromosikan sebagai strategi ekonomi untuk menyembunyikan kebenaran bahwa migrasi adalah produk dari keterbelakangan di bawah sistem ekonomi neoliberal.
Jadi ketika mereka melihat migran, bukan manusia yang mereka lihat, tetapi komoditas yang diekspor, di mana uang itu akan datang ke negara mereka, di mana pejabat korup mendapatkan uang korup mereka. Kami telah menghadapi banyak tantangan bahkan dalam memberi tahu pemerintah kami untuk berbuat lebih banyak bagi rakyat mereka sendiri. Bahkan pendidikan telah dirancang untuk melayani kebutuhan korporasi global. Di Asia, Filipina adalah modelnya. Mereka menciptakan pelayan super, dokter super, perawat super, hanya karena mereka memberi tahu dunia bahwa rakyat Filipina murah dan miskin sehingga Anda dapat mengeksploitasi mereka. Itulah sebabnya kami meminta pertanggungjawaban pemerintah kami ke titik yang hampir mustahil.
Sekarang apakah kami bagi pemerintah penerima? Kami telah melakukan banyak advokasi tetapi bagi mereka kita hanyalah sumber tenaga kerja murah. Kami digunakan sebagai kambing hitam dalam krisis akut yang disebabkan oleh monopoli produksi kapitalis dan globalisasi neoliberal yang menyebabkan diskriminasi, xenofobia, dan ruang demokrasi yang menyempit.
Dampak kesehatan: pengecualian dari perlindungan
Sejak menyebarnya COVID-19, tingkat infeksi dan kematian telah meningkat terutama di antara pekerja garis depan sebagai pekerja kesehatan, pekerja rumah tangga, pengasuh, dan lain-lain. Bahkan ketika pemerintah menyerukan lockdown dan penjarakan sosial (social distancing) kami tetap bekerja. Banyak dari kami mati dalam proses dan hampir tidak ada dari mereka yang menerima kompensasi. Dalam kasus Singapura, mereka tinggal di asrama yang sangat padat atau sempit dan perusahaan tidak peduli jika mereka tidak memiliki fasilitas atau akomodasi kesehatan yang memadai. Begitu banyak dari mereka terinfeksi karena ini.
Kami juga dikecualikan dari mendapat alat perlindungan. Sebagian besar buruh migran di Asia tidak diberikan masker wajah dan pembersih tangan. Banyak dari kami dipaksa untuk membelinya dengan gaji kami sendiri dan itu menciptakan tekanan keuangan lain, karena di luar dugaan kami, kami harus menghabiskan 10-20 persen dari penghasilan kami untuk membeli masker, pembersih tangan dan makanan sehat. Stres psikologis juga ditambah dengan terlalu banyak bekerja. Mayoritas sektor buruh migran di Asia berada dalam perawatan rumah tangga. Pemerintah telah meminta pengusaha dan majikan untuk melarang kami pergi selama liburan. Itu menciptakan stres karena selama dua hingga tiga bulan sekarang kami tidak bisa keluar atas nama penjarakan sosial.
Masalah lain adalah kurangnya layanan kesehatan. Ada beberapa tes COVID-19 tetapi Anda tidak bisa mendapatkannya sebelum membayar. Di Malaysia, mereka akan menggunakan tes gratis untuk menangkap para migran yang tidak memiliki dokumen. Kurangnya informasi bukan hanya karena tidak menjangkau buruh migran secara memadai, tetapi juga karena banyak informasinya dalam bahasa Inggris atau Cina. Orang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, jadi kami adalah pihak yang menerjemahkan, mencetak, dan menyebarkan.
Dampak sosial: menyempitnya ruang demokrasi
ILO memproyeksikan bahwa 250 juta pekerja akan kehilangan pekerjaan mereka di seluruh dunia dan 125 juta dari angka itu berada di Asia Pasifik. Banyak dari mereka berada di pekerjaan bergaji rendah dan keterampilan rendah, yang akan mencakup buruh migran. Ada tujuh sektor yang akan melakukan PHK atau ditutup: garmen, restoran, transportasi, hotel dan pariwisata, konstruksi, perdagangan, dan manufaktur. Sebagian besar buruh migran bekerja di sektor ini. Hal ini menyebabkan kasus PHK dan deportasi umum ditemukan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia dengan banyak dari mereka terpaksa mengambil cuti tak berbayar karena perusahaan atau majikan tidak mau mengambil tanggung jawab.
Banyak pemerintah seperti Amerika Serikat dan Australia tidak ingin memproses visa. Hak-hak kami telah dipotong karena kami dikecualikan dari program bantuan. Pemerintah memberikan uang kepada rakyat mereka tetapi tidak untuk migran dan pengungsi, sementara mereka melakukan tindakan keras dan menangkap kami. Semua ini mencerminkan penyusutan ruang demokrasi. Kita dapat melihat ini di Filipina, Indonesia dan Hong Kong, di mana militerisasi tampak jelas termasuk dalam bentuk pemolisian untuk penjarakan sosial.
Bergerak ke depan
Apa yang telah kami lakukan dalam beberapa bulan terakhir sebagai organisasi akar rumput adalah bahwa kami berusaha menangani kebutuhan mendesak para migran dan pengungsi dengan menerjemahkan dan menyebarluaskan informasi tanpa sokongan dana, mengumpulkan bantuan (masker, makanan, sanitiser), serta upaya membela hak-hak kami seperti memberikan bantuan hukum dan repatriasi yang aman. Namun, pertanyaan utamanya adalah, “bagaimana kehidupan kita di pasca-COVID-19?”
Banyak orang sangat takut. Saat ini sudah ada prediksi bahwa 20 persen dari remitansi kami akan berkurang. Keluarga kami tidak akan menerima cukup uang selama pandemi ini, namun mereka juga sangat terpengaruh oleh COVID-19.
Saat ini ada dukungan yang semakin besar bagi para migran dan komunitas pengungsi di akar rumput untuk berbicara di tingkat nasional, regional dan internasional. Kami sangat menghargai semua pihak, komunitas antaragama, dan LSM yang telah benar-benar menemukan cara untuk mendukung kami berada di garis depan untuk berbicara. Meskipun kami menyadari semakin banyaknya dukungan ini, kita harus ingat bahwa kehadiran dan suara para migran dan pengungsi akar rumput tidak diterima dengan baik oleh pemerintah. Anda dapat melihat bahwa di tingkat nasional, regional dan internasional pemerintah sebisa mungkin tidak berbicara kepada kami. Mereka menemukan cara untuk memutar pembicaraan dan menghasilkan berbagai kebijakan yang tidak benar-benar melibatkan dan bekerja dengan kami dalam hal implementasi dan pemantauan. Ini masih dalam perjuangan. Bahkan, sekarang dengan COVID-19 menyusutnya ruang organisasi masyarakat sipil di berbagai platform telah terbukti sulit.
Apa yang kami yakini dalam Aliansi Migran Internasional adalah bahwa migrasi tidak lagi hanya masalah ekonomi. Ini benar-benar masalah politik. Pemerintah sangat bergantung pada migran untuk tujuan politik dalam mensubsidi ekonomi mereka. Dengan demikian, jelas bahwa mereka berniat untuk menciptakan kondisi ini di antara para migran dan pengungsi. Kami tidak terlalu terkejut ketika pemerintah bahkan tidak melihat kami pada masa COVID-19. Mereka bahkan tidak mau repot-repot bertanya kepada para pengungsi “apa yang Anda butuhkan?” lagi, kami bukan rakyat mereka. Mereka menganggap begitu karena status imigrasi kami, warna kulit kami, etnis kami, dan jenis pekerjaan kami. Mereka meninggalkan kami begitu saja.
Strategi yang perlu kita kembangkan dalam urgensi COVID-19 adalah bagaimana solidaritas antara migran dan pendukung lainnya, terlepas apakah Anda berada di negara penerima, negara transit, atau negara pengirim, baik Anda di komunitas lintas agama, LSM, atau lainnya. Bagi yang ingin membantu menyuarakan, strateginya ada bahkan sebelum COVID-19. Jadilah suara kami di tempat-tempat di mana kami tidak bisa berbicara. Bicaralah dengan kami, tanyakan kepada kami apa yang kami butuhkan, dan beri tahu semua pemerintah dan pembuat kebijakan apa yang kami butuhkan. Seringkali ini bukan tentang siapa yang berbicara, tetapi apa yang Anda katakan. Saya benar-benar menghimbau Anda semua untuk terus mendukung kami karena krisis ini akan sangat sulit ke depan. Para pembela migran dan pengungsi juga berada dalam ancaman sekarang. Di Malaysia, mereka diancam oleh politisi sayap kanan dan komunitas konservatif. Semua orang benar-benar tidak aman sekarang, tetapi solidaritas ada di sana bagi kita untuk saling membantu.
***
Artikel ini dipresentasikan di seri webinar ‘Faith Communities Working with Migrants Amidst COVID Crisis’ yang diselenggarakan oleh Jaringan Antaragama untuk Hak-Hak Migran (INFORM) –Asia Pacific Mission for Migrants pada tanggal 18 Juni 2020. Videonya bisa dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=I6X2o0wpLhw
Artikel ini diterjemahkan oleh Tim Redaksi Islam Bergerak. Versi aslinya bisa ditemukan dalam Rubrik ‘English’.