Catatan ini tentang seorang perempuan perkasa. Mei Hwa namanya. Tanpa nama marga. Kenapa? “Aku tak ingin dikenali siapa pun. Aku tak ingin dikenang siapa pun. Aku sudah mati bagi keluargaku,” ujar dia.
Kenapa? “Aku menghilang, melenyapkan diri dari sejarah keluarga.”
Mei Hwa – yang saya yakin bukan nama sebenarnya — tinggal di sebuah rumah sewa di kawasan padat, di dekat pekuburan terluas di kota ini. Kini, dia berusia 41 tahun. Lajang. Sampai kapan? “Sampai Tuhan memanggilku,” tutur dia. Kenapa?
“Kau senang sekali kata kenapa ya? Kenapa?” sahut dia seraya tersenyum tipis.
Senyum yang manis, teramat manis. Mata sipitnya makin sipit. Ingatan saya melejing pada sosok Ang San Mei. Penjelmaan kekasih Minke-kah dia? Apalagi dalam bayangan saya, tubuhnya pun sekurus dan serapuh gadis dari Tiongkok nun pada awal abad XX itu.
“Kenapa? Itu yang ingin kau ketahui? Cuma itu?” ujar dia nyaris seperti merepet. Nada bicara yang cepat itu membuat saya jadi lebih memperhatikan bibirnya. Bibir tanpa pemerah. Bibir tipis yang manis dengan lekukan sempurna.
“Kenapa memandangku begitu?” tanya dia.
Saya tergeragap. “Begitu gimana?” sahut saya.
“Seperti melamun. Teringat seseorang?” sergah dia. Lagi-lagi dengan senyuman tipis.
“Senyumanmu manis, Mei.”
“Nah, benar kan!”
“Apa? Kenapa? Aku memujimu. Bukan orang lain. Mei Hwa, namamu, berarti bunga yang cantik kan?” sahut saya.
“Terima kasih. Kau tahu, itu nama umum.”
“Bukankah justru karena umum itu menjadi tak gampang dikenali siapa pemiliknya?”
“Ya!”
“Kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa kau menghilang? Kenapa melenyapkan diri dari sejarah keluargamu?”
Mei Hwa terdiam. Saya menunggu jawaban.
***
Belum lama benar saya mengenal Mei Hwa. Kami dikenalkan oleh seorang kawan, pegiat advokasi anak-anak jalanan, yang saya mintai tolong menghubungkan dengan seorang guru pendamping pendidikan anak-anak miskin di kampung nelayan. Kata kawan saya, Mei Hwa mau bertemu tetapi tak mau diliput. Saya iyakan saja syarat itu. Saya toh bisa menulis orang lain. Namun paling tidak hasil pengamatan saya terhadap kegiatan dia bisa memberikan perspektif lebih jelas tentang pendidikan bagi anak-anak miskin. Jadi, kalaupun dia tak mau diekspose, tak masalah.
Begitulah, kami bertemu seusai dia mengajar anak-anak. Syukurlah, dia tak keberatan saya antar pulang. Sore hari, mendung menggelantung, alasan tepat bagi saya untuk memaksa dia membonceng motor.
Selepas magrib kami tiba di rumah yang dia sewa. Cuma sebentar saya duduk. Melihat dia begitu lelah, saya memilih pulang. Namun dia bersedia esok pagi saya jemput dan antar. Dia memperbolehkan pula saya mengikuti dan mengamati dia mengajar anak-anak nelayan.
“Cuma mengikuti dan mengamati. Tidak lebih,” ujar dia.
“Boleh memotret kan?”
“Memotret anak-anak, boleh. Namun kalau Anda mencuri-curi memotret saya, saya tak segan-segan mengusir,” sahut dia. Getas. Tandas.
Baiklah, baik, cuma mengikuti dan mengamati. Lain tidak.
Begitulah perkawanan kami bermula. Ketika tulisan saya tentang pendidikan bagi anak-anak miskin di kawasan kaum nelayan itu keluar, dia berterima kasih. Apalagi tak sehuruf pun saya menyinggung-nyinggung soal dia. Sosok guru lain di kawasan lain pula yang jadi narasumber saya. Pengamatan terhadap aktivitas dia membantu saya memperoleh atmosfer bagi liputan yang lebih mendalam.
Sejak saat itu kami jadi lebih akrab. Paling tidak itulah yang saya rasakan. Kami tak lagi ber-saya dan Anda ketika berbincang. Kami sudah ber-aku dan kau.
Malam ini, entah berapa bulan setelah berkenalan, kami berboncengan menyusuri kawasan Kota Lama. Kami berhenti dan duduk-duduk di bangku beton di tepian polder di depan stasiun. Gerimis tipis, amat tipis, tak mengganggu kami saat duduk dan berbincang.
Tirai gerimis yang lembut berakhir di permukaan air polder. Muncul riak-riak kecil, membentuk lingkaran-lingkaran kecil beririsan. Memendar-mendar, memantulkan cahaya lampu jalanan. Tiba-tiba gerimis menderas. Hujan. Kami bergegas. Saya melajukan motor ke barat, memintas jalan. Hujan makin deras. Sialan, saya lupa bawa mantel. Motor saya hentikan di teritisan sebuah gedung tua, kantor sebuah tabloid wanita. Kami berteduh di bawah gemeretak suara air hujan menerpa atap seng.
Hujan deras dan makin deras. Angin sesekali keras berkesiur. Hawa mendingin begitu cepat. Saya memasang standar tengah, sehingga bisa duduk berdua di atas sadel. Menatap hujan. Tempias dan percikan air ke lantai teritisan mengenai kaki kami. Dingin. Namun saya suka. Ya, saya menyukai hujan. Jika mungkin, sebenarnya saya ingin berhujan-hujan. Merasakan setiap ujung runcing juluran air yang berjatuhan dari langit itu mengenai tubuh, betapa segar! Sensasi itu membuat saya merasa hidup, merasakan benar betapa tubuh ini ada dan nyata.
Namun tentu saja saya tak hendak membiarkan diri larut dalam keinginan konyol itu. Saya tak ingin kedinginan dalam perjalanan mengantar Mei Hwa pulang. Saya tak ingin pulang dengan tubuh menggigil, njedhindhil.
“Dingin, Mei, pakailah jaketku,” ujar saya seraya mencopot jaket dan mengulurkan pada Mei Hwa.
Dia menerima dan mengenakan jaket itu dalam diam. Lalu, kembali menatap juluran air hujan seperti semula. Namun saya tahu, matanya lebih sering menerawang jauh menembus tirai air. Entah apa yang dia lihat, entah apa yang dia bayangkan.
“Mei? Kenapa diam?” tanya saya.
Dia tak menyahut. Namun sejenak dia menoleh, tersenyum tipis. Senyum yang getir. Lalu kembali menatap ke kejauhan sana, menembus tirai hujan.
“Kau menyesal keluar bersamaku?”
“Kalau menyesal, aku akan memintamu mengantar pulang,” sahut dia, pelan, tanpa menoleh.
Saya terdiam. Saya pun menatap air hujan yang bertemperasan; menikmati asosiasi visual yang muncul ketika ujung runcing juluran air itu menyentuh permukaan air yang menggenang di jalan. Lingkaran-lingkaran kecil itu tumpang-tindih saling meniadakan, terus-menerus, tak terputus-putus.
Saya teringat masa kecil, ketika bebas berhujan-hujan, tanpa takut dimarahi, tanpa takut terserang demam. Apalagi kami, saya dan kawan-kawan, hampir setiap hari akrab dengan air bengawan. Setiap hari nyaris seharian kami bermain air, berkecipak, berenang dan menyelam di bengawan. Permainan berakhir saat orang tua kami masing-masing datang silih berganti dan memaksa kami keluar dari air.
Orang-orang menyebut kami anak bengawan.
Saya satu-satunya anak perempuan yang betah berlama-lama berada di bengawan. Seingat saya, acap kali tinggal saya pula yang masih berkecipak air dan berenang dan menyelam di bengawan ketika para bocah lelaki sudah saling kejar, dahulu-mendahului, pulang ke rumah masing-masing pada sore hari. Mungkin karena itulah teman-teman sebaya menjuluki saya putri bengawan. Saya suka julukan itu. Putri bengawan!
Suatu hari seharian hujan amat deras. Seharian itu pula saya tak bisa berkecipak di bengawan. Menjelang sore ada orang berseru-seru, mengatasi suara angin dan hujan. “Ada orang kalap! Ada orang kalap! Ada orang kalap!”
Orang-orang bersemburatan keluar dari rumah masing-masing. Bersicepat menuju tepian bengawan. Saya, seperti juga anak-anak lain, berlari sipat kuping menuju bengawan. Air bengawan meluber. Seperti biasa ketika hujan deras, apalagi berhari-hari, bengawan jadi begitu lebar. Saat-saat seperti itu membuat kami sedih; kami kehilangan kesempatan seharian bermain di bengawan. Maka, ketika terdengar seruan berulang-ulang tentang orang kalap, siapa pun bersicepat tiba di tepian bengawan.
Saya mencari-cari tempat paling tinggi, mengatasi tinggi tubuh yang baru sepaha orang-orang dewasa, untuk melihat apa yang terjadi. Orang-orang berseru ah-oh-ah-oh ketika melihat mayat terhanyut olakan air bengawan. Namun seruan itu menghilang ketika ternyata belasan, ah kata orang puluhan mayat, susul-menyusul, seolah-olah tak habis-habis. Itu bukan orang kalap! Itu bukan orang tenggelam atau terhanyut. Bukan! Itu… ah, entah apa namanya, saat itu saya tak tahu. Saya hanya tahu, semua orang yang berjajar di tepian bengawan sembari melongokkan kepala tinggi-tinggi terdiam. Tak ada suara. Senyap.
Sejak saat itu, para orang tua melarang kami bermain di bengawan. Saya kecewa, saya marah, tetapi tak bisa melawan. Jauh di dasar hati tumbuh kebencian pada bengawan itu. Kenapa ia tetap berada di sana, sementara kegembiraan kami, kegembiraan saya telah terenggut. Bengawan itulah yang telah merenggut kegembiraan kami. Saya makin membenci bengawan itu lantaran terasa benar betapa julukan sebagai putri bengawan telah berubah menjadi ejekan.
“Apa yang kaulamunkan?”
Saya tergeragap. Pertanyaan Mei Hwa seperti membangkitkan saya dari mimpi buruk yang menakutkan. Saya linglung, dan menjublak diam. Ketika menatap Mei Hwa dari samping, wajahnya mengunjukkan kecemasan. Saya terkesan.
“Ya, Mei? Kenapa?”
“Apa yang kaulamunkan? Kau menatap air hujan, tetapi matamu menerawang jauh entah ke mana,” katanya.
“Entahlah, Mei. Hujan ini mengingatkan aku pada pengalaman buruk masa kecil.”
“Seburuk apakah?”
“Dulu, Mei, di kampungku ada ular raksasa bermuka buruk dan bau bacin. Ular itu menelan banyak orang, lalu memuntahkan mereka sebagai bangkai. Aku muak!”
“Pasti menakutkan.”
“Aku membenci bengawan itu, Mei!”
“Sekecil apa kau saat itu?”
“Empat tahunan.”
“Tahun berapa itu?”
“1965.”
Mei Hwa terdiam.
“Berarti sekarang 54 tahun. Kenapa melajang?”
“Aku pernah menikah, Mei. Bubar. Tanpa anak.”
“Maaf.”
“Kau sendiri, Mei, kenapa melajang?”
Mei Hwa terdiam. Aku tak mendesak dan memilih diam pula.
“Aku peziarah abadi. Dari waktu ke waktu, aku berziarah,” ujar Mei Hwa setelah beberapa saat menjublak. Suaranya seperti keluar dari kedalaman rongga dada. Getas, tetapi seperti suluran air hujan itu: dingin, runcing, dan menyakitkan.
“Kenapa, Mei? Siapa yang kauziarahi terus-menerus.”
“Engkong.”
“Kenapa?”
“Saat ular buruk muka dan bau bacin menelan orang-orang di kampungmu dan memuntahkan mereka sebagai bangkai, engkong-ku di Kradenan, Grobogan, dimakan raksasa jahat. Tak ada mayat, tak ada bangkai. Namun bau amis bertahan di udara. Di hutan-hutan, di kampung, di sawah, di ladang, di huma bertebaran kuburan. Siapa mengubur, siapa dikubur, tak jelas. Keluargaku tak tahu kenapa dan di mana Engkong dibunuh dan dikubur. Kata Papi, suatu malam puluhan orang entah dari mana datang dan menggedor-gedor rumah kami. Ketika membuka pintu, Engkong langsung diseret dan diarak, entah ke mana. Sejak saat itu, kata Papi, Engkong tak lagi pulang. Tak ada kabar apa pun dari siapa pun. Keluargaku cerai-berai,” tutur Mei Hwa nyaris datar.
Saya tertunduk. Kelu. “Mei, kuantar kau pulang?”
“Pulang? Ke mana?” sahut dia. Getir. “Engkong tak pernah pulang. Mak sakit. Gering, lalu mati. Papi dan saudara-saudaranya hidup terpencar, dipelihara famili Engkong secara terpisah. Papi, yang saat itu SMA, dibawa ke Jakarta oleh koko Engkong. Dia melanjutkan sekolah sambil jaga toko. Setelah lulus, dia dipinjami modal. Buka toko kecil. Berkembang. Lalu dijodohkan dengan Mami, dan lahirlah aku dan adik-adikku.”
Selama bertutur Mei Hwa tak pernah mengalihkan pandangan mata dari sesuatu, entah apa, di kejauhan sana. Menembus hujan, menembus kepekatan malam. Ketika dia menoleh, saya lihat api memercik dari pupil matanya. Saya terkesiap.
“Mei, kau tak apa-apa?”
Saya turun dari sadel motor, berdiri di depan dia. Mei Hwa menatap saya sekejap, lalu memalingkan muka. Percikan api itu melenyap.
“Aku capek,” katanya. Bukan keluh.
Saya menadahkan telapak tangan ke langit malam. Tinggal rinai gerimis. “Kita jalan ya, Mei?”
Dia mengangguk. Turun dari sadel, dia mengedikkan kepala. Air memercik dari rambutnya. Lembut mengenai wajah saya. Mei Hwa menarik rapat resleting jaket ketika saya menyalakan mesin motor. Sejenak kemudian kami sudah melaju di jalanan kota yang basah. “Ke mana?” pikir saya.
Mei Hwa diam saja ketika saya memilih jalan menuju ke kota atas. Ya, saya memutuskan membawa Mei Hwa ke rumah.
Sampai di rumah saya menjerang air. Dua cangkir kopi segera mengepul di atas meja dapur. Saya menuang sebagian air panas ke ember kecil di kamar mandi kamar tidur. Saya mengambil handuk bersih dari almari, memberikan pada Mei Hwa. “Mei, ayo ke kamar. Seka muka, tubuh, dan rambutmu dengan air hangat agar tak masuk angin,” ujar saya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia menerima handuk, mengiringi saya memasuki kamar, ke kamar mandi. Saya kembali membuka almari, memilih dan mengambil sehelai daster dan mantel tidur dan meletakkan di atas pembaringan.
“Mei, baju pengganti sudah kusiapkan di luar ya,” ujar saya rada keras di depan pintu kamar mandi. Tanpa menunggu jawaban, saya kembali ke almari. Mencopot celana dan baju, berganti celana pendek dan kaus oblong. Saya keluar kamar sambil meraup dan membawa pakaian kotor ke mesin cuci di ruang belakang.
Kini, saya telah duduk nyaman di dapur hangat yang menyatu dengan ruang tamu. Saya meraih secangkir kopi dan menata secangkir lain tepat di seberang. Ah, terlupa. Saya keluarkan sebungkus rokok dari lemari dinding. Kembali duduk, menyulut sebatang, lalu menyeruput kopi hitam dan kental dengan sedikit gula. Namun sampai batang rokok itu habis, Mei Hwa tak keluar-keluar dari kamar. Kenapa?
Saya ke kamar. Mei Hwa duduk di tepi pembaringan. Terlongong. Belum berganti pakaian. Saya dekati dia, meloloskan jaket dari tubuhnya. Menarik kedua tangannya agar berdiri. Dia agak limbung. Kembali saya dudukkan di tepi pembaringan. Lalu saya loloskan kaus atasan dia. Mei Hwa diam saja. Saya membungkuk, membuka resleting celananya, meloloskan celana panjangnya ke ujung kaki. Kakinya, betapa dingin! Saya memakaikan daster dan mantel tidur. Mei Hwa tak beranjak dari tepi pembaringan. Pakaian basah saya ambil, tetapi sebelum membawa ke belakang, saya masuk ke kamar mandi. Air hangat di ember kecil masih tersisa. Saya celupkan handuk dan dengan handuk hangat itulah saya seka kaki Mei Hwa dari betis sampai ke ujung jemari kaki. Dia manda saja. Tak bersuara, tak melihat saya. “Kau kenapa, Mei? Apa yang kaurasakan?” batin saya.
Setelah merebahkan dan menyelimuti Mei Hwa di pembaringan, saya keluar, memasukkan handuk dan pakaian lembap Mei Hwa ke mesin cuci. Kembali ke kamar, saya taruh cangkir kopi Mei Hwa di meja samping pembaringan. Saya duduk di tepi pembaringan, menatap wajah Mei Hwa yang pias.
“Kau sakit, Mei?”
Dia diam saja. Sejenak balas menatap, tetapi kemudian memeramkan mata. Namun saya tahu, dia belum hendak tidur.
“Kenapa, Mei?”
Mei Hwa membuka mata. Dia bangkit dari tidur, menata bantal untuk bersandar. “Kenapa kau bersikap baik padaku, Lel? Tapi kenapa kau menipuku?”
“Apa maksudmu, Mei? Untuk apa aku menipumu? Macam apa pula kau kira aku menipu?”
Saya menaikkan kedua kaki ke pembaringan. Mei Hwa menarik dan menekuk kedua kaki yang terbungkus selimut, sehingga saya bisa duduk bersimpuh lebih rapat tepat di depan dia sambil merengkuh kedua pahanya agar tungkainya merapat ke dada saya.
“Mei, apa maksudmu?” ujar saya, menatap tepat kedua bola matanya.
Mei Hwa melengos. “Kau kaya. Kau tipu aku lewat penampilan,” akhirnya Mei Hwa mau berucap. Pelan, tak merepet seperti biasa.
Saya tersenyum. “Ah, Mei, kau tak tahu sekaya apa aku,” ucap saya sambil mempererat rengkuhan ke kedua pahanya. Lebih rapat ke dada. “Kau tahu, berapa penghasilan wartawan setua aku? Cuma cukup untuk hidup sendiri dan sedikit sisa untuk bersenang-senang. Tapi kesenangan macam apa yang bisa kaubayangkan bakal kulakukan pada umurku sekarang ini, Mei, selain membaca dan menulis?”
Saya mengambil cangkir kopi dan mengulurkan pada Mei Hwa. Dia menyeruput sedikit kopi itu dan meletakkan cangkir di meja. Saya mengubah posisi, bersandar ke dinding kamar di samping Mei Hwa. Ketika melingkarkan tangan ke bahu dia, saya rada menarik tubuhnya sehingga terjatuh ke pelukan saya.
“Mei, rumah ini kusewa dari seorang kawan. Murah. Bahkan semula dia tak mau kubayar. Aku bukan pengemis, kataku. Akhirnya dia mau menerima, meski tak banyak. Hanya asal aku merasa tak dikasihani,” ujar saya sambil merapatkan pelukan. Mei Hwa manda saja.
“Setelah bercerai, Mei, lantaran suamiku menggundik perempuan muda, aku membiayai kuliah keponakan-keponakanku, anak-anak mbakyuku. Aku tak ingin anak-anak itu, tiga orang, Mei, tak beroleh bekal pendidikan seperti mbakyuku yang cuma sampai kelas V sekolah dasar – ya, lantaran bapak kami ditelan ular raksasa!” kata saya.
Sekilas ingatan saya melejing ke peristiwa saat kami – Ibu, saya, dan keempat saudara saya – tergopoh-gopoh seperti maling menyelinap pergi dari rumah kami di Cepu untuk boyongan ke rumah Nenek di Blora dengan hanya berbekal pakaian sekadarnya, setelah muncul kabar Bapak ditelan ular raksasa buruk rupa dan bau bacin, lalu dimuntahkan sebagai bangkai entah di mana. Duh, Gusti, kenapa setiap kali keperihan itu masih terasa! Dan dendam itu, kenapa tak luruh atau menguap dan melenyap?
“Kekayaanku yang tersisa, Mei, tinggal kesediaan menjalani dan menghadapi hidup ini tanpa keluh, tanpa terlarut dalam iba berlebihan pada diri sendiri. Syukur, sedikit bisa bermanfaat bagi orang lain. Cuma sedikit, sesuai dengan kemampuanku yang hanya bisa menulis, Mei. Selebihnya… ya, selebihnya, biarlah jadi urusan Tuhan.”
“Kau percaya Tuhan ada dan mengasihimu?” tanya Mei Hwa sambil tersenyum.
Ah, senyum itu membesarkan hati saya. Itu pertanda, dia memercayai saya.
“Kenapa, Mei? Apakah kau telah kehilangan kepercayaan bahwa Dia memang ada dan mengasihi kita?”
Mei Hwa memerosotkan tubuh. Saya mengikuti. Kami tidur bersisian. Saya memiringkan tubuh, sehingga bisa menatap wajah Mei Hwa.
“Aku acap ragu, Lel. Kalaupun Dia ada, kenapa membiarkan orang berlaku tak senonoh pada orang lain dan menimpakan sakit tak terperi?” ujar Mei Hwa.
Kenapa ucapanmu begitu menyayat dan perih, Mei? “Kenapa, Mei? Apa yang terjadi?”
***
Lel, belasan tahun lalu, aku sudah dua tahun bekerja setelah lulus dari sebuah universitas di Jakarta. Aku sedang menikmati kegembiraan masa muda. Punya penghasilan sendiri dan mampu hidup mandiri, tak lagi merecoki Papi dan Mami.
Aku tinggal di apartemen, tak jauh dari kantor perusahaan tempatku bekerja. Bukan apartemen mewah. Namun justru itulah yang kelak kusesali. Lantaran tingkat pengamanan dan keamanan yang tak ketat, apalagi mayoritas penghuni sesama mata sipit, bencana jadi begitu mudah menghampiri kami. Penyesalan lebih besar, kenapa saat itu aku begitu bebal, tak mau pindah sementara ke rumah Papi dan Mami yang tinggal di kampung.
“Tinggallah lagi bersama kami, Mei,” desak Papi. “Kelak kalau keadaan sudah aman, kau boleh tinggal lagi di apartemen.”
Namun aku ngotot. Sekali aku mengalah dan kembali tinggal bersama mereka, selamanya aku tak bakal pernah bisa mandiri. Begitulah pikiranku saat itu, Lel. Dan, ternyata aku salah!
Saat itu demonstrasi mahasiswa makin masif, membesar, dan menggelombang tak tertangkal lagi. Tuntutan mereka pun makin jelas: jenderal besar itu harus turun dari puncak kekuasaan. Aku senang. Diam-diam, sepulang kerja aku acap membeli minuman dan membagikan pada mahasiswa yang kupapasi di jalanan. Kalau saat itu masih mahasiswa, aku pasti bergabung, berdemonstrasi bersama mereka.
Keadaan makin genting. Di beberapa titik kota terjadi kerusuhan, pembakaran, penjarahan. Namun tak berpikir bagiku untuk mengungsi, memenuhi permintaan Papi dan Mami. Apalagi sejak tanggal belasan Mei 1998, perusahaan meliburkan karyawan. “Demi keselamatan,” kata manajer. Tentu aku senang. Aku jadi punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri. Aku mengurung diri di apartemen, memuaskan kegemaran membaca.
Begitulah, Lel. Sehari-hari aku cuma membaca dan membaca. Sesekali saja nonton televisi, mengikuti berita soal perkembangan keadaan di luar sana. Hari itu, hari terkutuk itu, aku sedang merampungkan sebuah novel. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan. Lalu, tiba-tiba, pintu apartemenku jebol, runtuh ke lantai, berdebum keras. Aku sangat terkejut. Belum sempat aku menyadari keadaan, beberapa lelaki seperti hantu begitu saja sudah berada di ruangan apartemenku. Mereka mengepungku dari segenap penjuru, dan….
Aku tersadar dengan tubuh remuk, Lel. Ruangan apartemenku berantakan. Segala apa terjungkir balik. Tak ada barang berharga tersisa. Dan, Lel! Aku pingsan begitu menyadari tubuhku telanjang bulat dan dari pangkal paha mengalir darah. Darah membasah di lantai.
Aku tak tahu siapa membawaku ke rumah sakit. Begitu tersadar di ranjang rumah sakit, yang kuinginkan cuma kematian, Lel. Namun aku tak mati.
Setiap orang yang menjenguk ke kamar perawatan bersikap baik padaku. Namun aku ketakutan setiap kali ada lelaki, entah siapa, mungkin dokter, memasuki kamar perawatanku. Setiap kali berteriak ketakutan, sesaat kemudian aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Mungkin hilang kesadaran.
Aku tak tahu berapa lama di rumah sakit. Begitu merasa sehat dan kuat berjalan, aku menyelinap pergi. Tempat pertama yang kudatangi adalah bank. Untung, manajer bank itu mempermudah prosedur, sehingga aku bisa menguras tabunganku dari kotak deposit. Tak terpikir kembali ke apartemen atau rumah Papi dan Mami. Tak ada lagi yang mengharuskan aku bertahan di Jakarta, Lel. Tak ada.
Begitulah, Lel. Aku menuju ke Semarang dan tinggal di kota ini, sampai sekarang. Cuma satu pertimbanganku. Aku tak mau mati, entah untuk kali keberapa. Apa pun yang kelak bakal terjadi, aku tak mau mati karena kematian tak menyelesaikan masalah. Aku ingin tetap hidup, dan entah dengan cara bagaimana: kelak aku mesti membalas semua perlakuan yang pernah kualami.
Semarang jadi tujuanku, karena di kota ini tak ada siapa pun yang mengenal dan kukenal. Tak ada saudara, tak ada kawan. Aku merasa bakal bisa hidup justru tanpa dikenal siapa pun. Apalagi kota ini melewati guncangan politik tanpa kerusuhan, tanpa pembakaran, tanpa penjarahan. Itulah yang aku tahu, Lel. Karena itu, aku berharap di kota ini bisa melenyapkan diri. Tetap hidup, tetapi tak dikenal siapa pun. Jadilah aku Mei Hwa seperti sekarang.
Aku njujug ke gereja. Aku ceritakan apa yang terjadi. Gereja mencarikan tempat bagiku untuk bisa tinggal dan mengabdikan diri bagi kerja kemanusiaan. Dan, kau masih bertanya apakah aku sudah kehilangan kepercayaan dan keyakinan soal Tuhan atau tidak!
Jujur, Lel, aku tak lagi peduli Tuhan ada atau tidak. Aku cuma tahu: aku harus tetap hidup agar kelak bisa melampiaskan dendam. Tak lebih, tak kurang.
Namun setiap kali rasa sakit itu muncul, dan dendam itu terbangkitkan, aku kehilangan kemampuan bahkan sekadar untuk tetap berdiri. Ya, aku tak mampu menyangga tubuhku. Jadi bagaimana aku bisa melunaskan dendamku? Apalagi aku tak pernah bisa menjawab pertanyaan yang menggerumiti benak: pada siapa aku harus mendendam, pada siapa pula aku mesti membalas dendam? Tentu pada siapa pun yang telah menjamah dan menghancurkan tubuh dan hidupku. Namun siapa, Lel!?
Aku tak pernah bisa menjawab pertanyaan itu. Tak ada siapa pun bisa kutanya. Kalaupun ada orang di gereja, misalnya, bisa menjawab, pasti tak bakal mau menjawab. Dia pasti mengingatkan aku untuk memberikan pengampunan. Namun pada siapa pula pengampunan itu mesti kutujukan?
Aku tak mau mati, Lel. Aku pun tak mau jadi gila. Karena itulah, aku menerjunkan diri sepenuhnya untuk belajar bersama anak-anak miskin di kampung miskin. Bersama anak-anak miskin itu aku merasa aman dan nyaman. Di sanalah, bersama dan di tengah kehangatan dan kepolosan mereka, aku beroleh suaka. Mereka tak pernah bertanya siapa aku, dari mana aku, untuk apa aku datang dan hidup bersama mereka. Tak pernah. Berbelas tahun sudah begitulah aku, Mei Hwa, hidup. Aku ingin, jika kelak mati, Lel, biarlah aku mati di tengah atau saat bersama anak-anak itu.
***
Mei Hwa mengisahkan sepenggal perjalanan hidupnya itu sampai menjelang terang tanah. Tanpa tangis, tanpa air mata. Kini, dia tertidur dalam pelukan saya. Dengarlah, betapa halus dengkurnya.
Saya menatap lekat wajah Mei Hwa yang terlelap, sembari terus menyusut air mata. Saya tak ingin air mata saya membasahi wajah Mei Hwa dan membangunkan dia. Sambil mendremimilkan kidung pujian, saya mempererat pelukan.
Patemon, 2 Januari 2015: 04.46
Catatan
Njedhindhil: basah kuyup dan kedinginan.
Kalap: mati terhanyut.
Lari sipat kuping: berlari secepat-cepatnya, lari terbirit-birit.
Engkong: kakek.
Mak: nenek.
Koko: kakak.
Njujug: langsung menuju.