Judul Buku: Friedrich Engels: Pemikiran dan Kritik
Editor: Dede Mulyanto & Fuad Abdulgani
Penerbit: Ultimus Bandung
Tebal Buku: xii + 204 hlm; 14,5 x 20,5 cm
Tahun Terbit: November, 2020
ISBN: 978-602-8331-65-4
KALI PERTAMA membaca daftar isi buku ini ada hal yang membuat saya mengernyitkan dahi. Hal itu adalah pembahasan mengenai pemikiran, kepribadian, dan kiprah Engels—yang dikaitkan dengan diskursus keislaman oleh salah satu penulis, Dede Mulyanto, yang juga berperan sebagai salah satu editor dalam buku ini, bertajuk Empat Kelumit tentang Engels: Cerita tentang Kumis, Ibunda, Bahasa, dan Islam.
Dalam bab tersebut, tertulis bahwa Engels sempat mempelajari urusan Dunia Timur perihal sejarah (masyarakat), kebudayaan, dan jalur perdagangan-industri di sana. Kegelisahannya terkait dengan studi sejarah-kebudayaan Dunia Timur barangkali membuat publik pembaca cukup tergelitik tatkala melihat tingkah lakunya: merasa kesulitan ketika sedang mempelajari bahasa Arab. Dalam suratnya kepada Marx bertanggal 6 Juni 1853, Engels meluapkan kegelisahannya terkait upayanya itu begini:
“Lantaran sudah terpaku pada urusan Dunia Timur beberapa pekan ke belakang, aku putuskan memanfaatkannya untuk belajar bahasa Farsi[1] sekalian. Kebencian bawaanku ke semua bahasa Semitik[2] membuatku gentar pada bahasa Arab, begitu pula kemustahilan bisa mempelajari (tanpa kehilangan terlalu banyak waktu) bahasa yang sudah begitu mapan ini, yang punya 4000 akar dan menjorok jauh ke 2000-3000 tahun silam. Sebaliknya, bahasa Farsi itu cuma mainan kanak-kanak. Kalau bukan karena abjad Arab terkutuk itu (verfluchten arabischen alphabets), yang di situ ada enam pasang aksara serupa satu sama lain, serta vokal tidak ditulis, aku pasti bisa bereskan tata bahasanya dalam 48 jam saja.” (hlm 194)
Apa tujuan Engels mempelajari bahasa Arab? Engels mempelajari bahasa Arab supaya karibnya (Marx) itu bisa memasok sebanyak mungkin pengetahuan ketika diminta menjelaskan hal-ihwalnya. Hal ini dikarenakan, sewaktu 1850-an Marx dan keluarganya hanya hidup dari honorarium menulis untuk koran dan majalah. Salah satu topik yang sering diminta oleh redaktur koran saat itu ialah hal-ihwal terkait perang Krimea antara Turki-Ustmani dan Rusia. Alhasil, tatkala Marx ingin memahami latar historis dan kultural Turki yang berlatar belakang muslim itu, Marx meminta Engels untuk mencari tahu informasi sebanyak-banyaknya tentang Islam. Dan Engels, menuruti keinginan karibnya itu dengan sepenuh hati.
Dugaan penulis terkait dengan sejarah dan kebudayaan Arab sempat mengatakan bahwa Engels (pernah atau mungkin) membaca teks terjemahan Al-Qur’an, namun dalam bahasa Jerman. Di antara dugaannya itu, beberapa teks terjemahan yang pertama adalah hasil terjemahan yang kali pertama diusulkan oleh Martin Luther (1483-1546) yang terbit 3 tahun sebelum pemimpin gerakan Protestan itu wafat. Sedangkan yang kedua dan ketiga, adalah karya Gustav Flügel yang terbit di Leipzig pada 1834 dan karya Leon Ullman yang terbit pada 1840. Kemungkinan, menurut penulis, salah satu di antara kedua teks terjemahan itu adalah teks yang (pernah) dibaca oleh Engels.
Akan tetapi ,bagaimana kelanjutannya selepas pembacaan teks tersebut? Apa dampak atau respon Engels terhadap teks Al-Qur’an? Dede Mulyanto tidak menelusurinya secara lebih lanjut (lantaran keterbatasan sumber-sumber biografis) dan hanya beranggapan bahwa upaya Engels (saat mempelajari bahasa Arab, terlebih khusus pembacaan teks terjemahan Al-Qur’an) tampaknya hanya berakhir dengan kekecewaan. Namun satu hal, lanjut penulis,bukan berarti Engels berhenti mempelajari sejarah-kebudayaan bangsa Arab.
Berlanjut ke lain hal. Tokoh dalam buku ini memiliki nama lengkap Friedrich Engels, yang juga sama dengan nama ayahnya selaku pemilik perusahaan industri tekstil kaliber (bernama Ermen & Engels) yang cukup besar sewaktu itu di Manchaster, Inggris. Maka, supaya bisa membedakan antara anak dengan ayah, Friedrich Engels lebih dikenal dengan sebutan Engels Junior. Ia lahir di Barmen, Wuppertal, Jerman, pada 28 November 1820. Sedangkan pada 2020 kemarin, telah genap usianya memasuki 200 tahun—dua abad.
Buku ini ditujukan pada publik pembaca selain untuk memperingati hari kelahirannya itu, bertujuan pula untuk merefleksikan gagasan-kiprahnya—yang sepertinya, perlu kita renungkan dan tinjau kembali dengan mengaitkannya pada kondisi terkini. Karena penindasan hari ini, masih dan akan terus terjadi—jika kedua kelas ini, tidak ada yang bersedia “mempensiunkan diri”.
Kemudian mengenai plot dalam buku ini, para penulis mengeksplorasi dan mengelaborasi—mulai dari hal-ihwal tentang Engels, baik itu tentang pemikiran personalnya maupun kolaborasinya dengan karibnya: Karl Marx. Semisal, bab pertama membahas tentang perjalanan hidup dan pemikirannya (selanjutnya ditulis tanpa kata “bab”), kedua mengingatkan pada kita semua bahwa kondisi lingkungan berupa fisik saling berpengaruh terhadap kehidupan manusia secara berkelanjutan, ketiga tentang bahasa-bahasa teologi yang berjubah agama namun digunakan untuk tujuan yang revolusioner, keempat tentang negara dan birokrasi, kelima bagaimana agama damai (Buddhisme) dan kekerasan politik bisa terjadi di Sri Lanka yang dianalisis menggunakan perspektif Engelsian, keenam tentang cinta, perkawinan, dan keluarga yang dalam hal ini juga—berkaitan dengan kajian asal-usul kepemilikan pribadi dalam studi antroploginya Engels, ketujuh tentang kritik yang dilakukan oleh Linda Sudiono terkait teori budaya patriarki, kedelapan tentang hal yang barangkali jarang diketahui oleh publik pembaca jika (belum begitu dalam) menelusuri pemikiran dan kiprah Engels, yakni kemiliteran, dan terakhir atau kesembilan menjadi hal yang saya sendiri menaruh perhatian (lebih) pada bab akhir ini (yang sudah saya paparkan di awal paragraf pengantar)—lantaran pembahasannya “bersentuhan secara tidak langsung dengan diskursus keislaman” (Dunia Timur): hal yang terdengar tabu bagi masyarakat Indonesia.
Mengapa demikian? Karena klaim selama ini, di Indonesia sendiri (bahkan di dunia )nama Engels dan Marx telah didapuk sebagai penggagas utama ideologi komunisme. Dan bagi kebanyakan orang Indonesia, komunisme diketahui bertendensi anti-agama. Maka, bukankah begitu sensitif terdengar di kalangan umat muslim konservatif, terutama umat muslim sewaktu Soeharto berkuasa? Jika membaca judul tulisan tersebut, mungkin bagi mereka hal itu akan bertentangan dengan apa yang mereka terima selama ini dari propaganda yang dilakukan oleh Soeharto bahwa komunisme itu sama dengan anti-agama, anti-Islam dan lain sebagainya.
Hal ini ditambah kiprah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sewaktu itu dicitrakan oleh rezim Orde Baru (Orba) begitu beringas dan sarat dengan stigma negatif. Indoktrinisasinya (terkait bahaya latennya pun) juga masih kita lihat sampai dengan hari ini di berbagai ruang publik; pun kadang kala digaung-gaungkanoleh mereka yang memiliki kepentingan terselubung jelang peringatan G30S PKI. Alhasil, ketika membaca salah satu judul bab (yang dielaborasi Dede Mulyanto) bertajuk Empat Kelumit tentang Engels: Cerita tentang Kumis, Ibunda, Bahasa, dan Islam, saya pun menarik kesimpulan sementara bahwa Dede Mulyanto sepertinya hendak menyingkap tabir gelap selama ini—yang barangkali diangkap sakral atau sarat sentimentalitas bagi kebanyakan orang khususnya mereka yang merasa Engels dan Marx anti-agama. Sehingga, ketika mendengar orang mengucapkan kata “komunisme” di ruang publik—tak bisa dihindari ia akan dicap “antek” atau “simpatisannya PKI”—musuh negara.
Engels dan Diskursus Keagamaan
Masih tentang pembahasan pemikiran, kepribadian, dan kiprah Engels. Pada bagian awal, Dede Mulyanto memulai pembahasannya mengenai perjalanan hidup Engels, yang memilih sikap untuk berada di jalan pedang (meminjam istilah penulis). Dan maksud dari jalan pedang adalah jalan yang penuh dengan rintangan dan marabahaya. Menurut ayah dan ibunya, jalan tersebut sangat bersebrangan dengan impian mereka—jauh panggang dari api (karena keduanya, berharap Engels menjadi seorang pebisnis). Berangkat dari sinilah, saya menganggapnya sebagai hal yang eksentrik. Anti-mainstream.
Engels dilihat oleh Dede Mulyanto sebagai seorang yang supel, berani, dan sangat peduli dengan lingkungan (warga) sekitarnya. Lantaran Engels sering kali melihat kondisi hidup yang sangat memprihatinkan—yang terjadi di kalangan para pekerja,terutama di perusahaan industri tekstil milik ayahnya (Ermen & Engels). Dan hal itu, sampai membuathati nurani Engels tergerak dan menerbitkan Kondisi Kelas Pekerja di Inggris (1845)—sebagai sebuah situasi kehidupan yang sangat jauh dari standar kelayakan pada umumnya. Dalam bukunya itu, Engels menggambarkannya begini:
“… inilah tampakan luar lembah Wuppertal yang secara umum—terlepas dari jalan-jalan Elberfeld yang suram—memberi kesan amat menyenangkan. Tetapi, kota itu telah kehilangan jiwa penghuninya. Tidak ada jejak-jejak kehidupan sehat sentosa seperti keadaan orang-orang di kebanyakan wilayah Jerman. Memang benar, pada pandangan pertama yang tampak sebaliknya, karena setiap malam Anda bisa dengar kelompok-kelompok sekawan yang ceria berjalan bergandengan tangan sembari menyenandungkan lagu-lagu mereka. Tapi, lagu-lagunya itu lagu paling carut rampus (vulgar, obsence) yang keluar dari mulut orang mabuk. Tak pernah kita dengar lagu-lagu rakyat yang populer seantero Jerman dan lagu-lagu yang layak kita kagumi. Semua kedai bir penuh hingga meluap (oleh orang-orang ini), terutama akhir pekan, dan tatkala kedai tutup sekitar pukul sebelas malam, para pemabuk berhamburan dan biasanya tertidur lantaran terlalu mabuk di tepi selokan. Yang paling terdegradasi dari orang-orang ini ialah mereka yang dikenal sebagai karrenbinder (pekerja kasar), suatu golongan yang betul-betul kehilangan moral, tanpa tempat tinggal tetap atau pekerjaan jelas, yang merangkak dari tempat berlindungnya di balik tumpukan jerami, kandang kuda, dan sebagainya. Saat fajar tiba, itu pun jika mereka tidak habiskan malam di tumpukan kotoran ternak atau di tangga depan rumah orang lain.” (hlm 184-185)
Di sini bisa terlihat bahwa pengalamannya yang sering berhadapan langsung dengan kehidupan para pekerja di tempatnya lambat laun membuat Engels memilih sikap banting stir untuk membebaskan merekadari jerat yang membelenggu dan mengikatnya itu.Hal ini ia lakukan ketimbang mengaminkan impian ayah dan ibunya guna meneruskan bisnis keluarganya yang sudah dirintis oleh mereka,sejak zaman kakeknya pada abad ke-18.
Jika melihat bobot, bibit, dan bebetnya. Sebenarnya Engels sudah merasakan“arti kesuksesan” terlebih dahulu. Sedari ia kecil, ia memiliki akses untuk menikmati kekayaan keluarganya. Tetapi, akses atas kekayaaan keluarganya itu tidak ia nikmati seorang diri atau ia gunakan barang ongkang-ongkang kaki saja, seperti kebanyakan anak sugih lainnya. Melainkan, ia gunakan untuk membebaskan para pekerja dan membantu karibnya (Marx); sewaktu karibnya itu tengah berada di titik kemelaratan.
Mungkin publik pembaca akan sependapat dengan saya: bagi mereka yang terlahir dalam kondisi keluarga kaya raya, bukankakah tidak perlu berusaha lebih giat lagi? Sebab, bukankah segenap kebutuhannyasudah terpenuhi sedari dini? Jadi, untuk apa mereka capek-capek dan bersusah-payah? Bahkan membanting tulang lebih remuk lagi? Toh, bukankah warisan keluarganya sedang menunggu waktu untuk segera jatuh ke tangannya?
Namun, sikap dan prinsip hidup Engels terhadap paradigma demikian, malah berbanding terbalik. Ia tidak menggunakan kekayaan keluarganya atau warisan keluarganya untuk menindas atau melanggengkan penindasan. Dan di sinilah kekaguman saya sebagai seorang pembaca. Juga, tatkala membandingkannya dengan anak muda lainnya terhadap kisah hidup Engels.
Engels rela mendedikasikan masa hidupnya demi kemaslahatan hidup orang lain. Terlebih, pada seluruh kelas pekerjadi negaranya sewaktu itu. Bahkan, Engels (dan Marx) sempat mencetuskan impiannya, yang ingin menyatukan seluruh kelas pekerja di dunia guna melenyapkan penindasan yang terus-menerus dilakukan oleh kelas pemodal melalui sistem yang mereka usung dan pertahankan sampai hari ini—kapitalisme. Dari impiannya pula, “terdengar mungkin” menjadi latar belakang keduanya (Engels dan Marx) menggodok salah sekian dari mahakaryanya, bertajuk Manifesto of the Communist Party (1848).
Dalam mengejar impian akhirnya itu, Engels juga mempelajari berbagai literatur (lintas negara) yang berkaitan dengan perdagangan dan industri—terlebih literatur di Dunia Timur (bangsa Arab—Islam) bersamakaribnya. Terkait dengan hasil studinya tentang sejarah bangsa Arab (namun di sinifokus utamanya lebih pada perdagangan-industri di Dunia Timur), menurut pemahaman Engels, ia meyakini bahwa runtuhnya perdagangan Arabia Selatan sebelum dan sesudah kelahiran Nabi Muhammad SAW (selanjutnya disebut Rasulullah), dikarenakan krisis yang terjadi di kota-kota jazirah Arabia dan kegagalan operasi penyerbuan terhadap kota Mekah jelang kelahiran Rasullah. Juga,hal itu merupakan sumber utama meletusnya revolusi Islam di bawah panji Rasullah.Tak lupa, kekacauan politik di negeri Yaman akibat penyerbuan Abisinia, tidak hanya menyebabkan hancurnya irigasi yang merupakan pondasi ekonomi masyarakat Arab sedenter kala itu, tetapi hal ini berpengaruh pula pada jalur perdagangan Asia-Eropa yang menyusuri daratan sebelah utara Laut Mati. Alhasil, saat kota Melkah dianggap sebagai salah satu simpul dari jalur perdagangan lama sewaktu itu, ia sampai mengalami krisis yang berkepanjangan.
Mengenai pertentangan kelas yang juga berbasiskan ekonomi namun berjubah agama. Hal ini tak jauh berbeda dengan hasil kajian Stanley Khu yang menggunakan perspektif Engelsian ketika dirinya melihat konflik keagamaan Buddhis terjadi di Tibet, bertajuk Di Balik Agama: Analisis Engelsian atas Konflik Keagamaan dalam Masyarakat Tibet (Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Marjin Kiri, 2015). Secara ringkas, konflik ini terjadi lantaran Dorje Shugden, dewa pelindung yang dulunya dianggap oleh orang Tibet sebagai pelindung Dharma, telah tergeser posisinya karena keputusan Dalai Lama ke-14. Alhasil, sekelompok pengikut Shugden, sontak mengancam keselamatan Dalai Lama. Kelompok ini juga, mengincar nyawa Thupten Wangyal, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala biara Jangtse, yang juga dicurigai oleh pemerintah India bahwa dirinya adalah dalang di balik terbunuhnya direktur Institut Dialektika Buddhis, Lobsang Gyatso, di Dharamsala, India.
Dan di sinilah, barangkali metode materialisme-historis yang dimaksud oleh Marx dan Engels dianggap perlu. Artinya, bila mengurai kompleksitas benang merah tersebut. Mungkin saja, akibat terpaan literatur keislaman (perdagangan-industri di Dunia Timur) terhadap Engels,yang juga sudah dipelajari olehnya, menjadi latar belakang dirinya bersama karibnya (Marx) kian berkeinginan untuk membebaskan para pekerja dari kungkungan kelas pemodal. Karena, jika melihat berbagai konflik keagamaan yang pernah terjadi, hal itu tak bisa dilepaskan dari basis infrastrukturnya: ekonomi.
Untuk itu, Engels (dan Marx) mendidik para pekerja, menempa mereka dengan hal militan lainnya supaya mereka (segera) sadar akan kondisinya yang sangat memprihatinkan. Mereka dirasa perlu menjungkirbalikan sistem tersebut. Lantas memperbaiki nasib hidupnya secara mandiri dan kolektif. Juga menegaskan, bahwa tak ada lagi eksploitasi manusia atas manusia lainnya. Guna mewujudkan tujuan akhir itu, tentu diperlukan metode yang keduanya usung: materialisme-historis. Dan alat analisis tersebut, seharusnya menjadi sumbangsih bagi kita semua—terlebih bagi umat muslimin di Indonesia. Bukan layaknya mengklaim/mencibir keduanya sebagai tokoh-tokoh yang mengajarkan ajaran yang sesat. Atau bahkan sadisnya—mengklaim tokoh-tokoh yang bertendensi anti-agama.
Padahal, andai saja publik pembaca yang mengklaim hal tersebut ingin menelusuri dan (lebih) memperkaya khasanah akan pemikiran Marx dan Engels. Sewaktu perjuangan kaum ploletar dan komunis berlangsung sekitar abad ke-19, sangatlah mirip dengan bentuk perjuangan agama Kristen primitif. Kaum komunis Perancis dan Jerman, misalnya, mendaku dan dengan lantang mengatakan bahwa “agama Kristen sama halnya dengan komunisme”. Sontak, Engels merespon bahwa ia tak menemukan penjelasan lain selain berpendapat bahwa kaum komunis Perancis dan Jerman tersebut, barangkali kurang memiliki pengetahuan tentang Injil. Bagi Engels sendiri, sampai-sampai ia tidak bersimpati dengan kelompok Etienne Cabet (seorang tokoh komunis Perancis) dan Wilhelm Weitling (seorang pendiri komunisme di Jerman) yang keduanya meyakini bahwa keterkaitan antara Kristen dan prinsip-prinsip komunisme adalah hal yang mutlak.
Apalagi, beberapa masyarakat Indonesia sewaktu Soeharto berkuasa, telah terdeseminasi melalui propaganda politiknya. Hal ini, seharusnya tak perlu dijadikan sebagai perdebatan yang kian melelahkan. Melainkan, dijadikan sebagai bahan refleksi kita bersama,terlebih khususbagi para kelas pekerja (muslim) di Indonesia. Lantaran beberapa waktu lalu, UU Cipta Kerja telah disahkan oleh pemerintah Indonesia.
Kita pun bisa melihat bersama bahwa alat analisis yang sudah dielaborasi oleh Engels dan Marx juga pernah terjadi dan digunakan oleh kombatan-kombatan di Indonesia sewaktu negara ini sedang berada dalam masa-masa terpuruknya. Dan bagaimana hasilnya? Pemerintah kolonial lambat laun merasa ketar-ketir .Bagaimana wacana tersebut berlangsung? Mari kita menarik mundur sejenak.
Wacana Pembebasan di Umat Muslim Indonesia
Semasa Indonesia belum merdeka. Kita melihat tokoh besar yang juga sempat memadukan antara ajaran Islam dengan sosialisme (ideologi yang tujuan akhirnya kurang lebih sama dengan komunisme)bernama Haji Oemar Said Tjokroaminoto (selanjutnya disebut Tjokro).[5] Bagi Tjokro sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Anom Whani Wicaksana dalam H.O.S Tjokroaminoto: Teladan Perjuangan, Kepemimpinan, dan Kesederhanaan (C-Klik Media, 2020) bahwa prinsip dan nilai-nilaidasar sosialisme adalah kemerdekaan, kesamaan, dan persaudaraan. Dan nilai-nilai tersebut, menurut Tjokro sudah dilaksanakan secara konkret pada masa Rasullah SAW dan para sahabatnya masih hidup. Tjokropun sempat berkata: “… bagi kita orang Islam, tidak ada sosialisme atau rupa-rupa isme yang lebih baik, yang lebih elok dan mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam.[6]” (hlm 124)
Artinya, kendati Tjokro tidak sepenuhnya mengaminkan halyang dimaksud olehMarx dan Engels. Lantaran menurutnya, ajaran tersebut menegasikan hal-hal gaib (barangkali, maksudnyaadalah eksistensiTuhan atau agama). Tapi Tjokro sendiri, tetap mengadopsi sebagian pemikiran Marx dan Engels, lantas mengembangkan-memadukannya dengan ajaran Islam itu sendiri. yang ia gunakan pula untuk memobilisasi anggota Sarekat Islam (SI) guna menentang kolonialisme dan kapitalisme, sewaktu para penjajah masih bermukim di Indonesia, dengan tujuan unruk merampas kekayaan alamnya, juga memperlakukan kaum pribumi dengan seenak hati.
Organisasi Sarekat Islam (SI) saat berada di bawah kendali Tjokro, sempat mengalami masa keemasan. Ia memiliki anggota sampai berkisar 2,5 juta dan sewaktu itutak gentar melakukan konfrontasi langsung dengan pemerintah kolonial setempat dan kerap mengadakan rapat-rapat terbuka serta kongres—sebelum organisasi tersebut mengalami konflik internal di tubuhnya: perseteruan sesama anggota Sarekat Islam (SI) yang melahirkan SI Merah dan SI Putih. Dari hal itu pula, menjadi latar belakang (historis) berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Semaoen dan Kawan-kawan.
Terlepas dari pembahasan konflik tersebut. Sarekat Islam (SI), semula adalah organisasi yang memfasilitasi kaum borjuis. Namun berubah haluan sejak Tjokro menjadi pemimpinnya. Awalnya, mereka mengutamakan para pedagang dan pengusaha. Tak lama Tjokro hadir, ia mengubah haluan organisasi tersebut untuk melayani para petani, kaum miskin perkotaan, buruh, dan rakyat jelata lainnya bahkan untuk seluruh Rakyat Indonesia. Di tangannya pula, Sarekat Islam (SI) mengubah konsep orientasinya dari pergerakan di bidang ekonomi menjadi organisasi pergerakan nasional yang orientasinya sosial-politik. Karena, menurut Tjokro sendiri, penguasaan akan akses ekonomi terhadap pihak kolonial tidaklah cukup. Ia juga perlu menempuh cara-cara politik supaya bisa merebut kemerdekaan sepenuhnya.
Dalam surat Dr. GAJ Hazeau, Pejabat Penasihat Kantor Urusan Bumiputra, tanggal 29 September 1916 yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda, Van Limburg Stirum, berkenaan dengan selesainya Kongres I Sarekat Islam (SI), menyimpulkan bahwa: 1) Sarekat Islam (SI) adalah penjelmaan kesadaran rakyat; 2) Pribumi (inlander)[7] tidak suka lagi dipandang sebagai “manusia setengah atau seperempat” tapi menuntut dihormati sebagai “warga negara bebas” di Tanah Air-nya; 3) Kebangkitan Islam itu tampak juga pada gejala lahir, seperti pakaian, cara-cara bercakap, adat istiadat sehari-hari, dan lain sebagainya (hlm 18).
Di sini terbukti bahwa komitmen serta impian Tjokro yang ingin membebaskan Rakyat Indonesia dari cengkraman para penjajah, terlihat dengan sangat jelas. Ia mempertaruhkan jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia. Padahal, sejarah telah menulisnya, bahwa Tjokro adalah seorang anak yang memiliki darah kebangsawanan. Suatu gelar, yang sewaktu itu memiliki sekat dengan rakyat biasa (pribumi). Tetapi, gelar kebangsawanannya itu, tidak ia pergunakan untuk menjalani hidup yang bermewah-mewahan; bodoamat dengan nasib sesama saudaranya; atau dalam bahasa sehari-harinya: “urusan lu bukan urusan gue”. Melainkan, ia merasa rela-ikhlas jika (harus) menjadi warga biasa, tinggal di rumah sederhana, (pernah) mendekam di penjara, menghadapi resiko besar akibat perbuatannya—karena kerap menentangpemerintah kolonial, dan sampai-sampai; rumahnya punia jadikan sebagai kantor pusat Sarekat Islam demi satu hal tadi: pembebasan.
Penutup
Buku initerdiri dari sembilan bab. Masing-masing bab, ditulis oleh penulis yang berlatar belakang berbeda. Halamannya berjumlah 204.Dede Mulyanto dan Fuad Abdulgani diberikan amanah untuk menjadi editornya. Tema-tema yang mereka (para penulis) suguhkan, juga tidak melulu seputar kapitalisme, ekologis, atau sejenis. Tetapi, berhubung buku ini bertepatan dengan peringatan 200 tahun kelahirannya. Maka, para penulis dalam buku ini berupaya menyajikan tema-tema baru yang lebih segar.
Semisal, ketika menyoal agama dan politik (kembali). Terdapat kajian menarik tentang agama damai (Buddhisme) dan kekerasan politik yang terjadi di Sri Lanka dengan menggunakan sudut pandang Engelsian. Yang mana, penulis bab tersebut, Stanley Khu, membahas tentang betapa besarnya pengaruh nilai-nilai spiritual (dalam bahasa sehari-hari, kita mengenalnya dengan sebutan wejangan), yang jika ditanamkan pada seseorang secara tulus, tentu akan memengaruhi keputusannya, sebelumia mengimplementasikan hal tersebut. Jika di pertengahan paragraf (yang sudah saya paparkan sebelumnya) Stanley Khu membahas tentang konflik keagamaan terjadi di Tibet. Kali ini, ia mencoba menggeser letak geografisnya ke negara Sri Lanka dan menganalisis fenomena tersebut—bagaimana kekerasan politik atas nama agama di sana bisa terjadi.
Meskipun buku ini tak lepas dari kritik. Yaknidari Martin Suryajaya (dapat dilihat pada bagian pengantar editor) yang sempat mengategorisasikan buku ini tak lebih dari semacam “klangenan” belaka—sesuatu yang sekadar mengingat-ingat kembali seseorang atau peristiwa dari masa silam. Akan tetapi, bagi saya sendiri sebagai seorang pembaca seyogianya patut kita apresiasi lantaran daya upaya mereka (para penulis tersebut) yang hendak menambah-mengeksplorasi khasanah akan wawasan dan wacana pertarungan kelas yang masih berlangsung sampai hari ini. Dan barangkali, seluruh hasil tinjauan-penelusuran lebih lanjut dalam buku ini bisa mengembangkan taktik dan strategi perjuangan kelas. Terlebih bagi para pekerja, supaya mereka bisa mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan konteks masanya.(*)
__________________________________________________________________________
Catatan Kaki:
[1] Bahasa Farsi atau bahasa Persia adalah bahasa dari rumpun bahasa Indo-Eropa (Jermanik) yang mencakup sebagian besar bahasa-bahasa Eropa. Dituturkan di Iran, Tajikstan, Afganistan, dan Uzbekistan. Jumlah penuturnya berkisar 75 juta orang. Di Iran sendiri, penutur asli bahasa ini mencakup 60 persen penduduknya.
[2]Bahasa Semit merupakan kumpulan bahasa-bahasa yang telah muncul sejak lama. Dan bahasa Arab sendiri, termasuk ke dalam kelompok bahasa Semit atau yang lebih populernya disebut sebagai rumpun bahasa Semit. Sebagian bahasa Semit ada yang masih digunakan oleh jutaan orang lantaran memiliki kekayaan budaya dan sastranya tersendiri. Sementara sebagian lagi telah punah seiring berjalannya waktu. Bernard Comrie, 1998: 24) dalam Melisa Rezi, Semit: Asal Muasal Bahasa Arab (Lughawiyah Vol. 1 No. 2, 2019) mengatakan bahwa semua pengkaji filologi dan linguistik Arab percaya bahwa bahasa Arab berasal dari rumpun bahasa Semit. Malahan, terdapat beberapa pandangan ahli linguistik Arab yang mengatakan kemungkinan bahasa pertama yang dituturkan oleh orang-orang Samiyyah ini juga adalah bahasa Arab Kuno (al-‘arabiyyah al-qadimah). Bahasa Arab juga merupakan satu-satunya bahasa Semit dengan jumlah penutur yang paling banyak melebihi 150 juta orang.
[3]Sebagai catatan tambahan, Yudaisme (atau bangsa Yahudi) merupakan salah satu agama kuno, yang sampai saat ini masih bertahan hidup. Agama ini punya pengaruh yang cukup signifikan terhadap dua agama besar, yang sekarang kita kenal: Kekristenan dan Islam. Mengenai monoteisme kedua agama ini (Islam dan Kristen), sebenarnya berakar di dalam monetisme Yudaisme itu sendiri. Ilim Abdul Halim dalam Agama Yahudi Sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan (Jurnal Agama dan Lintas Budaya No. 1 & 2, 2017) mengatakan bahwa keberadaan agama Yahudi, yakni agama cukup besar di dunia, juga telah diklasifikasikan ke dalam Agama Ibrahim (Ibrahim Religion) bersamaan dengan Kristen dan Islam. Dan agama Yahudi ini sendiri, dalam sejarahnya telah memengaruhi iman (faith) agama Islam dengan monoteisme yang bersumber dari ajaran Abraham (Ibrahim). Artinya, sikap-sikap negatif yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari terhadap Yudaisme itu sendiri, sangatlah tidak berguna. Semisal, dahulu orang Kristen pernah berkembang sikap anti-semitisme (tokoh paling familiar yang kita kenal, adalah Adolf Hitler), sementara kelompok-kelompok Islam radikal, juga pernah mengasosiasikan Yudaisme dengan Zionisme. Alhasil, dengan terus melanggengkan sikap seperti ini, sama dengan “kacang lupa pada kulitnya”—bahwa agama-agama lain, serasa lupa akan akar-akar sejarah dan jati dirinya.
[4]Stanley Khu, Di Balik Agama: Analisis Engelsian atas Konflik Keagamaan dalam Masyarakat Tibet, dalam Dede Mulyanto (ed), Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels (Tanggerang Selatan: Marjin Kiri, 2015), hlm 128-156.
[5] Tjokroaminoto adalah seorang pahlawan nasional. Juga, guru para pendiri bangsa Indonesia: Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo, dan Buya Hamka adalah beberapa muridnya yang pernah menimba ilmu di kediamannya sewaktu itu. Ia lahir pada 16 Agustus 1882, di Bakur, sebuah desa yang terkenal sunyi, namun terkenal dengan penduduknya yang kebanyakan berlatar belakang santri, kecamatan Sawahan, kabupaten Madiun, Jawa Timur. Tjokroaminoto adalah seorang anak dari Kyai Bagus Kesan Besari, seorang Ulama yang memiliki pondok pesantren di Desa Tegal Sari, kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun, Jawa Timur. Ia mendapat gelar Raden Mas lantaran di dalam dirinya mengalir darah ningrat.
[6] Anom Whani Wicaksana, H.O.S Tjokroaminoto: Teladan Perjuangan, Kepemimpinan, dan Kesederhanaan (Yogyakarta: C-Klik Media, 2020), hlm 124.
[7]Inlander adalah sebutan yang mengejek bagi penduduk asli Indonesia yang dilakukan oleh orang Belanda pada masa penjajahan (KBBI).
Kepustakaan
- Mulyanto, Dede (ed). 2015. Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri & Indoprogress.
- Wicaksana, Anom Whani. 2020. O.S Tjokroaminoto: Teladan Perjuangan, Kepemimpinan, dan Kesederhanaan. Yogyakarta: C-Klik Media.
- [1] GK, Tasaro. 2010. Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
- [2] GK, Tasaro. 2011. Muhammad: Para Pengeja Hujan. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
- [3] GK, Tasaro. 2015. Muhammad: Sang Pewaris Hujan. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
- [4] GK, Tasaro. 2016. Muhammad: Generasi Penggema Hujan. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
- Halim, Abdul Ilim. Agama Yahudi Sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan. Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya No. 1 & 2, Maret 2017.
- Rezi, Melisa. Semit: Asal Muasal Bahasa Arab. Lughawiyah, Vol. No. 2, Desember 2019.