Dikebirinya Bumi Manusia: Bagaimana Pesan Politik Pram Dihapus dalam Adaptasi Film

3.7k
VIEWS

“Bicara tentang nasionalisme harus melalui pendidikan yang agak lama.” (Minke, Jejak Langkah, 695)

Film Bumi Manusia, yang tayang pada tanggal 15 Agustus 2019, menjadi cukup fenomenal setelah ditonton oleh lebih dari 400 ribu penonton pada minggu pembukaannya. Film ini mendapatkan beberapa tanggapan. Beberapa kritikus memberikan tanggapan dan penilaian positif segi pemainan dan shooting-nya. Ada juga yang mencatat beberapa kelemahan filmnya, seperti sejumlah plot hole dan penggunaa bahasa yang tidak tepat. Akan tetapi, rupanya masih belum ada yang mengulas secara serius perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap alur cerita dalam proses pemindahan Bumi Manusia dari novel ke layar lebar. Dan pada kenyataanya, adaptasi ini berdampak besar terhadap pesan moral dan politik, seperti yang akan penulis uraikan lebih lanjut.

Kalau dipikir-pikir, novel dan film ini juga mendapatkan nasib yang berbeda. Kalau Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang mantan anggota Lekra yang dijadikan tapol selama puluhan tahun, karya-karyanya dibakar oleh TNI dan diberedel oleh Orde Baru. Sementara film Bumi Manusia, adaptasi bagian awal tetralogi tersebut, disambut secara luas sebagai karya yang menjunjung tinggi semangat nasionalisme dan tidak menyinggung perasaan politik yang dominan.

Apa yang seharusnya diubah dari karya seorang sosialis radikal sehingga bisa sesuai dengan ideologi neoliberal yang dominan saat ini? Walaupun termasuk sangat telat, tulisan ini memberikan analisis yang membandingkan pesan politik dari novel asli dan adaptasi film. Secara garis besar, adaptasi film ini menghilangkan nuansa dan perkembangan karakter dalam tokoh Minke, menyingkirkan peran tokoh-tokoh perempuan, dan mengubah pesan politik Pram tentang hegemoni kolonialisme dan cara melawannya.

 

Kisah Kebangkitan Nasional Dirusak Sindrom Fahri

Masalah paling mendasar dari adaptasi film ini adalah penyederhanan besar secara politik yang menghilangkan perkembangan dalam diri tokoh Minke. Bumi Manusia seharusnya menunjukkan bahwa kita semua gampang dibius oleh penguasa dengan dibuat takjub dengan kehebatannya atau kemajuannya.

Dalam versi novelnya, Pram menegaskan bahwa kesadaran untuk melawan kezaliman adalah proses dan perjuangan yang panjang dan pahit, yang harus senantiasa dibangun dengan bersikap terbuka terhadap kritik atas ideologi dominan yang sudah begitu berakar dalam otak kita sendiri.

Di bagian awal, kita dipertemukan dengan seorang tokoh Minke yang sangat mengagumi Eropa sebagai peradaban yang paling maju, bukan hanya dalam teknologi tapi juga budaya. Walaupun dia kesal dengan cara pribumi diperlakukan sebagai kelas ketiga, dia tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Barat dalam pemikiran dan impiannya.

Novel yang pertama dari tetralogi ini hanya menggambarkan bagian awal dari proses kesadaran Minke terhadap kemunafikan Barat dan kekerasan kolonialisme. Ini awal dari kebangkitan nasional. Pram sengaja mengambil tokoh Minke (Tirto Adhi Soerjo) karena ialah yang berasal dari kalangan bangsawan yang diberi privilege oleh pemerintah kolonial, tapi saat dewasa kelak akan menjadi tokoh perjuangan dengan mendirikan organisasi dan harian pribumi yang pertama. Hanya nanti pada buku ketiganya (Jejak Langkah) Minke akan mulai berpikir secara nasionalis (tentang bangsa Hindia, tidak terbatas pada daerah).

Adaptasi film memangkas proses kesadaran Minke dengan menampilkan seolah dia sudah mantap dalam pemikiran nasionalisme sedari awal. Ini terlihat sekali dalam adegan pelantikan ayah Minke sebagai Bupati, di mana Minke diminta menjadi penerjemah Belanda-Jawa. Dalam versi Pram, Minke menjalankan tugas tersebut dengan setia dan mendapat pujian atas bahasa Belandanya yang lancar. Lain ceritanya di film. Di versi film, setelah ayah Minke selesai berpidato, Minke berdiri dan menyampaikan pesan dalam bahasa Belanda yang sama sekali berbeda. Ia memberontak dan berapi-api dalam pidato nasionalis:

“Sejak Majapahit berdiri, negeri ini disatukan dalam sumpah yang ambisius. Meski pada akhirnya runtuh. Tapi semangat Majapahit itu menjadi api bagi masyarakat Hindia hingga hari ini. Peradaban kami adalah peradaban dengan kebijakannya sendiri. Melebihi sumber alam yang luar biasa yang merayu bangsa-bangsa lain. Hakikatnya, harkat dan martabat kami sedari awal sudahlah tinggi.”

Semangat nasionalis Minke versi film ini menghilangkan perkembangan utama yang dialami oleh tokoh Minke versi novel. Dalam film, kita tidak menyaksikan proses di mana Minke harus mulai meragukan Barat sebagai teladan universal, karena dia sejak semula sudah menjadi semacam Sukarno kecil.

Sepertinya Minke-versi-layar ini ketularan Sindrom Fahri, di mana tokoh utama dalam film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo harus sempurna sekali. Sama seperti Fahri dalam Ayat-ayat Cinta (2008) yang tidak pernah salah tapi sering dizalimi, Minke dari awal film sudah menjadi pahlawan yang mendapat simpati dan dukungan para pemirsa.

 

Relasi Kelas yang Dihapus

Sindrom Fahri ini juga muncul dalam hubungan tokoh-tokoh utama (yang semua dari kalangan atas) dengan rakyat. Versi film memperlihatkan relasi produksi antara para buruh perusahaan Nyai Ontosoroh dan majikannya (yaitu Annelies) begitu halus seakan-akan ingin menghapus kenyataan bahwa mereka adalah proletar dan keluarga Nyai itu pemodal.

Anak-anak di desa menyambut Annelies dengan gembira dan cium tangan dalam satu adegan film: “kapan kita belajar lagi?” Ini jauh berbeda dengan novel, di mana Minke heran bahwa Annelies yang begitu lembut juga bisa tegas sebagai majikan dan pandai memerintah, bukan guru yang baik hati. Minke juga selalu sopan sekali ke semua buruh, sedangkan di novel dia bersikap seperti orang “terpelajar” dan bangsawan, dan tetap mempertahankan penggunaan ngoko atau kromo dengan para pelayan. Sama seperti Fahri yang baik sekali kepada semua perempuan-perempuan tertindas di Kairo.

Pada salah satu adegan Annelies juga bilang ke Minke: “Mama juga membuat ladang ini seolah-olah milik mereka. Mereka bebas menentukan kapan bekerja dan kapan libur.” Penambahan ini (yang tidak ada dalam karya Pram) tidak lain dari upaya untuk membuat relasi buruh-majikan terlihat adil tanpa eksploitasi. Seolah ada kerukunan antar-kelas—sebuah utopia kapitalis.

Cuplikan ketika Annelis dan Minke berkunjung di desa

Dalam novel, Pram memang tidak menempatkan relasi produksi sebagai persoalan utama, dan Annelies dan Nyai tidak digambarkan sebagai tokoh jahat. Tapi Pram tidak terjerumus ke dalam dikotomi penjahat/pahlawan yang selalu dianut Hanung Bramantyo. Paling tidak, Pram (sebagai mantan anggota Lekra dan penggerak “sastra untuk rakyat”) tetap memperlihatkan semua dinamika dan hirarki dalam relasi kapitalis.

Penghapusan relasi kelas membuat versi film ini mengagungkan kapitalisme pribumi, seakan-akan kalau masalah utama dalam film (kolonialisme) sudah diatasi, Indonesia akan makmur dan adil dalam utopia kapitalis seperti terlihat pada perusahaan Nyai. Ataulah kemajuan berikutnya hanya terjangkau dengan pendidikan bagi masyarakat yang diberi oleh para elit yang baik hati (seperti Annelies-versi-film), bukan perlawanan. Alangkah mualnya Pram kalau ia masih hidup.

Baca Juga:

 

Menghilangkan Peran Tokoh-Tokoh Perempuan

Masalah Fahrisasi Minke ini juga penting karena dalam novel, perkembangan dalam kesadaran Minke hanya dicapai dengan bantuan (dan gugatan) dari tokoh-tokoh lain dalam cerita ini: terutama Nyai dan Bunda. Kedua perempuan ini lah yang sebenarnya (dalam novel) menegur Minke soal kebarat-baratannya dan mendorongnya untuk bersikap lebih kritis terhadap peradaban Eropa.

Dalam novel, Bunda (ibunya Minke) selalu protes bahwa anaknya kehilangan Jawanya, seolah ia benci leluhurnya dan ingin menjadi orang Eropa tulen. Pada adegan novel saat persiapan pernikahan, Bunda menceramahi Minke dengan tegas:

“Kau menulis Belanda, Gus, karena kau sudah tak mau jadi Jawa lagi. Kau menulis untuk orang Belanda. Mengapa kau indahkan benar mereka? Mereka juga minum dan makan dari bumi Jawa. Kau sendiri tidak makan dan minum dari bumi Belanda. Coba, mengapa kau indahkan benar mereka?” (hal. 347)

Ceramah ini berlanjut untuk cukup lama sampai Bunda juga menuduh anaknya “terlalu percaya pada segala yang serba Belanda” (hal. 349-50). Minke sendiri berkali-kali minta maaf, tapi ia tetap tidak menuruti kemauan Bundanya. Tuntutan untuk menulis dalam bahasa pribumi juga tetap ditolak oleh Minke dalam novel berikutnya (Anak Semua Bangsa) meskipun akhirnya ia mendirikan harian dalam bahasa Melayu dalam novel yang ketiga (Jejak Langkah).

Nyai Ontosoroh yang pesimis dan kritis, hasil dari pengalaman yang pahit diperbudak oleh orang Eropa dan di bawah hukum Eropa, juga sering berusaha untuk meluruskan sikap Minke. Peran Nyai Ontosoroh terhadap Minke yang menonjol terlihat dalam  Anak Semua Bangsa melalui tegurannya, seperti:

“Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi: yang kolonial, dia selalu iblis.” (hal. 83)

“Dengan ilmu-pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, and manusia keji akan semakin keji.” (hal. 90)

Pram selalu memperlihatkan betapa teguran-teguran seperti ini mengganggu batin Minke, dan lama-lama memaksanya untuk memikir ulang sikap dan pemikiran politiknya. Pesan Nyai untuk ambil saja ilmu dan teknologi Barat tanpa membesar-besarkan peradaban dan budayanya adalah sikap yang lama-lama juga diambil oleh Minke. Dalam Jejak Langkah, Minke akhirnya mendirikan organisasi modern (dalam gaya Barat) demi tujuan untuk melawan dominasi kolonial. Perjuangan ini juga karena pengaruh dari istrinya yang kedua, Mei, yang merupakan penggerak nasionalis Tionghoa.

Perkembangan ini lah—dari pengagum Barat yang hanya menulis dalam bahasa Belanda ke tokoh nasionalis yang menulis dan berorganisasi untuk rakyat—yang justru menjadi unsur paling utama dalam alur cerita seluruh Tetralogi Buru ini. Dan dalam versi Pram, perkembangan ini bukan berasal dari kesadaran Minke sendiri, tapi dari dorongan dari tokoh-tokoh lain yang sudah mengerti dengan betul apa yang belum ia sadari.

Menempatkan Minke sebagai sebagai pahlawan dari semua, sebagaimana dalam versi film, dengan demikian menghilangkan kekuatan utama dari karya Pram. Ini bukan saja membuat ceritanya kurang menarik, tapi juga menyingkirkan peran penting perempuan pada pusat sejarah kebangkitan nasional. Max Lane, penerjemah Tetralogi Buru ke dalam bahasa Inggris, saat diwawancarai sebelum tayang pertama seperti mengantisipasi penyingikiran peran perempuan ini dengan menegaskan bahwa adaptasi ini seharusnya merupakan “sebuah film di mana para perempuan memotori kemajuan dan perkembangan karakter yang positif, dan di mana para lelaki tampil bodoh atau mungkin seperti Minke yang rela untuk sadar bahwa ia tidak tahu apa-apa dan harus tetap belajar.”

 

Misogini yang Dimasukkan

Film ini bukan saja meremehkan peranan kedua perampuan ini dalam perkembangan Minke, tapi juga menggambarkan perempuan lain dengan sangat misoginis.

Dalam adaptasi film, karakter Maiko (pelacur Jepang) digambarkan sebagai sosok yang jahat, yang sengaja menulari Herman Mellema dengan sipilis. Sedangkan di novel, Pram memberikan karakter ini latar belakang yang menceritakan bagaimana ia diperjualbelikan sehingga bisa sampai di Surabaya dan akhirnya kena sipilis, tapi terlalu takut ketahuan untuk bilang pada majikannya (Ah Tjong).

Cuplikan Meiko saat bersaksi di pengadilan Hindia Belanda

Maiko-versi-film tertawa terbahak-bahak dengan nada jahat saat melihat Herman Mellema mati, dan nanti di pengadilan ia mengaku telah membunuhnya dengan bangga. Padahal di novel hanya Ah Tjong sendiri yang melakukannya.

Ini semua bentuk dari dehumanisasi PSK sebagai “wanita tuna susila.” Film ini menggambarkan Maiko sebagai orang biadab yang menikmati kejahatan. Ini sisi lain dari Sindrom Fahri dalam film-film Hanung Bramantyo: tokoh utama dijadikan sempurna sekali, sedangkan tokoh-tokoh lain diperankan sebagai sosok yang seutuhnya jahat.

 

Kekuasaan Kolonial: Dominasi atau Hegemoni?

Kekuatan novel Pram ada di kemampuannya untuk menggambarkan kekuatan kolonial dalam bentuk yang melebihi sekadar dominasi militer. Minke, sebagai subjek kolonial yang mengagumi penjajahnya, menjadi contoh yang biak dari kekuatan hegemoni.

Dalam pemikiran Antonio Gramsci, hegemoni adalah bentuk dominasi secara kebudayaan dan ideologis atas sebuah masyarakat oleh penguasa sehingga ideologi dan budaya tersebut mengakar sebagai norma yang diterima oleh masyarakat tersebut. Hegemoni ditandai internalisasi nilai.

Konsep hegemoni ini penting karena bisa menjelaskan kenapa kaum penguasa bisa mempertahankan kekuasaannya atas masyarakat yang seharusnya jauh lebih kuat (kalau diukur dari jumlahnya). Penguasa yang minoritas (baik kelas pemodal maupun pemerintah kolonial) bisa bertahan berkuasa sebagian karena yang ditindasnya turut dibius oleh ideologi kaum tersebut. Keadaan hegemoni seperti ini digambarkan oleh Pram dalam sikap elit pribumi seperti Minke yang terpesona dengan Barat.

Juga penting dicatat bahwa penggambaran Pram atas kolonialisme tidak berdarah-darah. Hampir tidak pernah ada kekerasan fisik yang muncul sebagai alat pertahanan kekuasaannya. Yang terpapar dengan jelas adalah supremasi hukum kolonial yang rasis, yang mengaku paling rasional dan berdasarkan ilmu dan sains. Dalam novel, Annelies direbut dari Nyai dan Minke tanpa adanya penumpahan darah setetespun.

Dalam film, kekuasaan Belanda terlihat hanya berdasarkan kekerasan dan represi atas pemberontakan pribumi. Nuansa hegemoni kolonial seperti digambarkan Pram digantikan dengan kekerasan kolonial yang berdarah-darah. Dalam adegan akhir film saat massa berunjuk rasa di depan rumah Nyai, ada seorang pendemo (dengan pakaian haji) ditembak mati oleh tentara kolonial secara kejam. Padahal dalam novel, pasukan yang dikirim ke rumah Nyai itu dimarahi oleh atasannya hanya karena sesekali meledakkan senjata api ke udara.

Mungkin Hanung Bramantyo merasa bahwa pemerintah kolonial, sebagai unsur jahat dalam film ini, akan lebih seru kalau digambarkan penuh dengan kekerasan secara tersurat. Tapi ini justru menghilangkan pesan Pram bahwa perlawanan itu mulai dari kesadaran atas bentuk-bentuk kekerasan yang tersirat (bukan hanya yang jelas dan berdarah-darah), dan bahwa kesadaran tersebut adalah sebuah perjuangan yang tidak pernah selesai.

Edward Said dalam karya monumentalnya Orientalisme merujuk kepada Gramsci dalam menggarisbawahi bahwa upaya untuk “mengenal diri” adalah proses penyadaran yang susah dan menuntut kita untuk selalu kritis pada asumsi-asumsi dalam ideologi penguasa yang hegemonik, yang sudah kita terima sebagai kewajaran. Said lalu menyebut Orientalisme sebagai bagian dari upaya untuk “menyelidiki Jejak dalam diri saya sendiri, sebagai subjek ‘Oriental,’ [Jejak] yang berasal dari peradaban [Eropa] yang pengaruhnya telah begitu besar dalam kehidupan semua orang-orang Timur.”

Fadi Bardawil, seorang antropolog asli Lebanon, menafsirkan kutipan tersebut dengan mengibaratkan sastra dan kajian poskolonial dengan psikoterapi. Sama seperti psikoanalisis menggali dan membongkar masalah dari masa lalu yang tetap menghantui masa sekarang seseorang, kajian poskolonial membongkar asumsi-asumsi hegemoni Barat yang masih saja hidup dalam pemikiran masyarakat poskolonial.

Begitulah tugas besar yang dilakukan Pram dalam Tetralogi Buru: menunjukkan proses pembongkaran hegemoni yang dimulai dari kesadaran yang pelan-pelan tumbuh dalam tokoh Minke melalui banyak pengalaman dan pergaulan dengan bermacam-macam orang. Hal tersebut sejak awal dilakukan oleh Pram di dalam novel Bumi Manusia ketika Minke mulai mempertanyakan supremasi Barat yang selama ini ia kagumi.

***

Almarhum Pramoedya Ananta Toer sudah tidak bisa menanggapi dan mengkritisi adaptasi film dari novelnya sendiri. Tapi mustahil untuk saya bayangkan bahwa Pram—sebagai sastrawan sekaligus pemikir kiri—akan menerima perubahan-perubahan besar ini yang menghapus pesan politik utama yang disampaikannya.

Related Posts

Comments 1

  1. Bermasalah klaim ini: “Ada juga yang mencatat beberapa kelemahan filmnya, seperti sejumlah plot hole dan penggunaa bahasa yang tidak tepat. Akan tetapi, rupanya masih belum ada yang mengulas secara serius perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap alur cerita dalam proses pemindahan Bumi Manusia dari novel ke layar lebar.”

    Pertama, emangnya “perubahan-perubahan… terhadap alur cerita” itu bukan “plot hole”?! Apa “plot” itu kalok gitu? Kedua, kalok penggunaan bahasa aja gak tepat, gimana lagi dengan hal-hal lainnya?! Justru kedua jenis perubahan inilah yang membuat adaptasi film tersebut buruk!

    Hal terakhir, kenapa tulisan di atas gak pernah sekalipun membicarakan kritik novel atas kebudayaan priayi Jawa? Kritik atas kebudayaan priayi Jawa adalah motif utama dalam novel-novel Pram termasuk Tetralogi Pulau Buru. Kolaborasi antara elite priayi dengan kekuasaan kolonial Belanda lebih penting dibicarakan ketimbang mengada-ada tentang relasi kelas sosial dalam masyarakat feodal. Emang ada “kelas sosial” dalam masyarakat feodal kayak masyarakat Jawa pra-kemerdekaan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.