”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas \ kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4).
— UUD 45 Pasal 33
Indonesia hari ini bisa didefinisikan melalui beberapa variabel; tambang batu bara, konsesi lahan perkebunan sawit, kebakaran hutan, konflik agraria dan produksi sampah jutaan ton dalam setahun.
Sampai hari ini, Indonesia masih menggantungkan produksi listrik pada PLTU. Di tahun 2018 saja, jumlah konsumsi listrik di Indonesia mencapai 1.064 KWh (kilo watt per hour) per kapita. Jumlah melonjak naik dari jumlah konsumsi listrik di tahun 2014 yang hanya mencapai 878 KWh per kapita. Ada kenaikan 50 sampai 100 KWh per kapita tiap tahunnya.[1] Di tahun 2019, menurut data PLN, jumlah konsumsi listrik nasional mencapai 118.52 TWh.[2] Dari total kapasitas 58.519 MW yang diproduksi PLN di 6 bulan pertama tahun 2019, 61% mengandalkan batu bara sebagai bahan mentahnya.[3] Artinya, PLTU masih menjadi penyuplai terbesar konsumsi listrik di Indonesia.
Penggunaan batubara dalam produksi listrik nasional selain menghasilkan emisi yang berbahaya bagi tubuh manusia membutuhkan konsesi-konsesi lahan pertambangan batubara dalam skala besar yang melahirkan pelbagai dampak, di antaranya konflik pemilik lahan dan korban tenggelam di lubang tambang yang tidak direhabilitasi maupun dampak globalnya karena hutan-hutan diratakan. Menurut data yang dilansir CNN, di Kalimantan Timur, calon ibukota Indonesia, ada setidaknya lima perusahaan yang menguasai konsesi lahan pertambangan. Belum lagi lahan-lahan yang dimiliki oleh per-seorangan ataupun koorporasi kecil lain. Kalau ditotal, untuk wilayah Kaltim saja, konsesi lahan tambang batu bara diperkirakan mencapai 700 sampai 800 hektar. Kita belum menghitung luas lahan di wilayah lain.
Tak hanya lahan tambang batu bara, konsesi lahan perkebunan sawit juga menyumbang beberapa persoalan. Salah satu yang paling parah adalah perebutan lahan dengan masyarakat lokal yang berakhir pada konflik berkepanjangan sejak beberapa tahun terakhir. Beberapa hutan adat juga menjadi sasarannya. Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria, sejak 2014 sampai 2018, dari sejumlah konflik agraria di Indonesia di tahun 2018, 60% nya disebabkan oleh konflik lahan perkebunan sawit.
Kemunculan konflik agraria dalam konteks perkebunan sawit tidak bisa terlepas dari konsesi kepemilikan yang mayoritas dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Dari total 14.3 juta hektar luas perkebunan sawit di Indonesia, 54% nya atau 7.7 juta hektar dimiliki oleh perusahaan swasta. Tak sedikit dari luasan perkebunan tersebut mulanya adalah hutan basah dan ladang gambut. Meskipun jumlahnya turun di tahun 2017, luas tutupan hutan hampir selalu berkurang tiap tahunnya menjadi perkebunan sawit baru.
Perkebunan sawit telah membuat spesies asli yang awalnya mendiami hutan-hutan di Kalimantan seperti gajah dan orangutan terancam. Emisi yang dihasilkan oleh kelapa sawit juga mempercepat efek rumah kaca dan mempengaruhi iklim. Belum lagi pengusiran masyarakat adat yang selama ratusan tahun mengelola hutan basah menjadi rumah dan sumber kehidupan lokal.
Selain persoalan tambang batubara dan perkebunan sawit, Indonesia juga menghadapi problem besar lain, yakni sampah. Secara global, produksi sampah Indonesia hanya kalah dari Cina yang memproduksi 3.5 jutan ton sampah tiap tahunnya. 1.3 juta ton sampah yang dihasilkan Indonesia setiap tahunnya memenuhi selokan, sungai, danau bahkan laut kita. Satu di antara sekian banyak faktor yang membunuh habitat laut dan menyumbang faktor terbesar bagi kerusakan alam semesta.
Belum lagi Indonesia, dalam beberapa kasus, menjadi salah satu penerima ekspor sampah plastik dari negara-negara di Amerika, Eropa dan Jepang. Juni 2019, Menteri Susi mendukung gerakan untuk mengembalikan 5 kontrainer sampah ke negeri asalnya, Amerika Serikat. Meskipun begitu, ratusan ton lainnya tetap saja lolos masuk ke Indonesia, diselundupkan dan diproses menjadi bahan bakar.
Richard C. Paddock, dalam sebuah laporannya di New York Times, baru-baru ini melakukan investigasi bagaimana kemudian sampah-sampah plastik yang datang dari Amerika Serikat masuk ke sebuah pabrik pengolahan plastik di Jawa Timur bersamaan dengan kertas bekas lain yang kondimen utamanya adalah plastik. Kertas-kertas ini kemudian didistribusikan ke berbagai wilayah, sebagian di antaranya menjadi bahan bakar untuk proses pengolahan tahu di Desa Tropodo Kabupaten Mojokerto. Keberadaan dan penggunaan sampah-sampah di desa tersebut, disebutkan dalam liputan Paddock, menyebabkan tahu yang diproduksi dan juga telur-telur yang berasal dari wilayah yang sama tercemar beberapa racun kimiawi berbahaya, salah satunya Dioxin.
Merespon degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, sebagaimana diuraikan beberapa di atas, belakangan muncul semacam trend gerakan go green. Sayangnya, apa yang kita bayangkan mengenai gerakan kembali ke alam nyatanya adalah wujud lain dari proses komodifikasi yang digerakkan oleh kepentingan kapital. Menggunakan barang yang organik, alat kecantikan organik atau yang organik-organik lainnya, nyatanya tak lebih dari hanya sekedar gaya hidup yang dijadikan bahan pameran, mempertegas status sosial dan tak jarang memang berdaya jual mahal. Dengan kata lain, kembali ke alam, sebagaimana misalnya yang ditawarkan oleh konsep Ekonomi Hijau, tak menyelesaikan masalah alam semesta itu sendiri.
Teknologi canggih, kelangkaan barang dan mahalnya ongkos pengolahan adalah beberapa faktor yang menjadikan “produk hijau” hanya bisa dinikmati kalangan konglomerat. Alih-alih menyelesaikan problem ekologi yang dampaknya paling dirasakan oleh masyarakat adat dan masyarakat pedesaan yang mengandalkan hutan, konsep Ekonomi Hijau justru semakin mempertajam dan menambah variasi problem ekologi itu sendiri.[4] Ketika produk hijau mahal, maka mayoritas manusia tidak lagi punya pilihan kecuali tetap menggunakan produk murah meskipun merusak alam. Pemanfaatkan sumber energi terbarukan seperti matahari dan angin meniscayakan beberapa alat yang harganya tak mampu dijangkau dan jauh lebih mahal dari sumber listrik PLN yang diproses dari batu bara. Dengan kata lain, Ekonomi Hijau mengabaikan satu asas kemanfaatan yang bisa dirasakan oleh manusia secara kolektif dengan memaksimalkan sumber-sumber daya yang ada dan mereka temukan setiap harinya.
Pada titik ini Gunter Pauli[5] lalu datang menawarkan sebuah revisi bernama Ekonomi Biru. Visi utamanya adalah mengembalikan harmonisasi antara manusia, alam dan ekonomi. Maka ada beberapa asas dari Ekonomi Biru yang hendak melengkapi semangat “ramah lingkungan” yang sebelumnya sudah diajukan Ekonomi Hijau.
Selain ramah lingkungan, Ekonomi biru berangkat dari potensi sumber daya lokal sekaligus gerakan pemanfaatkan residu dari hewan dan manusia. Apa yang hendak dikembalikan adalah proses naturalisasi yang terjadi secara harmonis antara manusia dan alam semesta. Manusia mengambil bahan dari alam, manusia menghasilkan residu, residu kembali menjadi humus, humus menjadi bahan yang direproduksi alam menjadi bahan menumbuhkan bahan makanan. Selain bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, residu nyatanya bisa diubah menjadi gas metana yang dimanfaatkan untuk bahan bakar.[6]
Asas kunci dari Ekonomi Biru lainnya adalah sistem pengelolaan dan pemanfaatannya. Karena yang hendak dimaksimalkan adalah sumber daya yang kita punya dan dekat dengan kita, maka proses pengelolaan berikut orientasi kemanfaatan harus dikembalikan kepada kepentingan kolektif masyarakat lokal. Selain murah, efisien dan terjangkau, model re-harmoniasi alam dan manusia semacam ini, lambat laun akan menggerakkan ekonomi lokal. Visi semacam ini mengidealkan konsep sekaligus model ekonomi yang memberikan ruang bagi masyarakat lokal untuk menikmati suatu produk tanpa mengorbankan nasib warga lokal tempat asal bahan baku produk itu diambil. Ringkasnya, yang “hijau” tidak perlu mahal dan menyengsarakan orang lain.[7]
Ada beberapa poin yang bisa disimpulkan dari problem berdasarkan fakta-fakta di atas berikut tawaran yang diajukan Gunter Pauli sebelumnya. 1) soal problem privatisasi dan konsep tata kelola atas sumber daya alam yang berasas kemanfaatan kolektif, 2) produk dan energi ramah lingkungan yang dimanfaatkan dari “apa yang kita punya” dan 3) mengembalikan siklus produksi-reproduksi antara manusia dan alam sekaligus mengajukan tawaran untuk hidup tidak berlebihan dan zero waste.
Dari ketiga kerangka persoalan inilah, hadis-hadis Nabi akan diajukan sebagai pendasaran teo-ekologis atas gerakan berikut kesadaran untuk kembali lagi menghargai alam semesta. Dengan kata lain, saya hendak mengajukan sebuah konsep bernama “Teologi Biru”.
Prinsip Penguasaan, Tata Kelola dan Pemberdayaan Sumber Daya Alam
Saya akan memulai diskusi kali ini dengan menghaturkan sepatah sabda Kanjeng Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Abdullah bin Abbas. Qala Rasulullah SAW:
المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلأ و النار وثمنه حرام.8
Dalam bab yang sama, Imam Ibn Majah mencantumkan hadis lainnya dengan pola redaksi yang tidak diriwayatkan oleh kitab-kitab matn hadis lainnya. Hadis ini diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah. berikut bunyi redaksi hadisnya, qala Rasulullah SAW:
ثلاث لايمنعن الماء و الكلأ و النار.9
Secara umum, dilihat dari ketersebarannya, baik secara lafadz (terutama redaksi hadis pertama) maupun secara makna, hadis ini bias digolongkan dalam hadis yang banyak dikonsumsi masyarakat. Namun, jumlah periwayatan semacam itu masih belum mencukupi untuk membangun argumentasi sebuah hadis bisa diterima dan diamalkan. Sebelum benar-benar menelaah pesan atau maksud hadis tersebut, ada baiknya jika kita sisir terlebih dahulu kualitas para perawi pembawa hadis tersebut secara ringkas.
Riwayat Ibn Majah sebagaimana yang tercantum di atas merupakan hadis daif. Di dalam az-Zawa’id-nya, Ibn Majah menekankan sendiri kedaifan hadis tersebut. Sanad redaksi hadis dengan tambahan “wa tsamanuhu haram” dinilai daif karena keberadaan seorang rawi bernama Abdullah bin Kharrasy. Kritikus jarh wat ta’dil seperti Abu Zur’ah dan al-Bukhari menegaskan lemahnya kredibilitas Abdullah bin Kharrasy (Imam al-Bukhari menyebutnya “munkar al-hadis”), bahkan Muhammad bin ‘Ammar al-Mushily menggolongkan kedaifannya dalam status “al-kaddzab” (para pendusta ulung).
Sedangkan riwayat hadis tanpa redaksi “wa tsamanuhu haram” dinilai sebagai hadis sahih. Seluruh periwayatan hadis ini bersumber kepada seorang tabi’in bernama Abu Khidasy dan seorang sahabat Nabi yang tidak disebutkan namanya. Kemajhulan rawi sahabat sama sekali tidak berpengaruh pada kualitas kesahihan hadis karena dua hal; 1) seluruh sahabat Nabi tidak akan pernah berbohong dalam melakukan periwayatan dan 2) riwayat hadis tersebut tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih sahih. Selain itu, seluruh periwayat hadis tersebut menurut az-Zaila’i diisi oleh rawi-rawi yang tsiqah.[10] Berbeda dengan redaksi hadis yang pertama, secara silsilah periwayatan redaksional hadis versi ini lebih bisa diterima.
Versi redaksi hadis ketiga juga merupakan hadis sahih. Fu’ad Abdul Baqi dalam tahqiqan-nya terhadap Sunan Ibn Majah mengatakan bahwasanya seluruh perawi dalam periwayatan hadis ini tsiqah. Muhammad bin Abdullah bin Yazid; guru Ibn Majah sekaligus perawi hadis ini di-tsiqahkan oleh an-Nasa’i dan Ibn Abi Hatim. Sisanya; Sufyan as-Tsauri, Abu az-Zinad, al-A’raj dan Abu Hurairah merupakan daftar perawi yang kredibilitas periwayatannya tidak diragukan lagi di kalangan ulama hadis.[11]
Secara umum, hadis ini adalah hadis sahih yang banyak diriwayatkan. Otentisitasnya sebagai sebuah sabda Nabi dapat dipertanggungjawabkan dan telah dikoreksi oleh para ulama hadis di setiap generasi. Status ini kemudian melahirkan konsekuensi bahwa hadis di atas dapat dijadikan sumber hukum dan sangat layak untuk diamalkan. Relevansinya terhadap tema penjagaan dan aturan main pengelolaan sumber alam akan kita mulai di paragraf-paragraf berikutnya.
Terjemah bebas dari hadis di atas adalah: “Kaum Muslimin bersekutu dalam tiga hal: air, rerumputan dan api.” Ringkasnya sabda Kanjeng Nabi Muhammad SAW ini diiringi oleh keluasan makna serta maksud yang dikandungnya. Kemungkinan-kemungkinan aturan, baik itu berupa hukum formal, etika sosial ataupun ekonomi kemasyarakatan bisa ditangkar dari sabda tersebut. Namun, untuk mengamankan diskusi kali ini dari “birahi interpretasi” ada beberapa penjelasan (syarh) singkat yang telah dilontarkan para ulama terkait makna [dasar] hadis di atas yang penting untuk disimak terlebih dahulu;
“Persekutuan kaum muslim” bermakna tidak diperbolehkannya memonopoli tiga hal tersebut dalam hal penggunaan dan pemanfaatan; 1) air yang mengalir sebagaimana yang telah ada tanpa diusahakan, seperti sungai, danau, laut, sumber mata air dan pos-pos alam lainnya. Adapun air yang mengucur karena usaha perseorangan atau berada dalam wadah kepemilikan tertentu, maka pemanfaatannya secara kolektif harus melalui ijin pihak pemilik yang terkait. 2) Rerumputan yang tumbuh di tanah mati tanpa pemilik (mawat al-ardl) yang bebas digunakan untuk menggembala. Beda halnya dengan rerumputan yang tumbuh di atas tanah milik seseorang, maka pemanfaatannya harus melalui ijin pemilik tanah. 3) Api yang berkobar. Tidak berhak bagi seseorang untuk mencegah orang lain memanfaatkan nyala api sebagai sarana penerangan atau menghangatkan diri.[12]
Air sebagai poros kehidupan sudah sejatinya dikelola dan digunakan bersama-sama, tanpa ada kepemilikan prioritas di antara satu orang dengan lainnya. Sumber mata air pegunungan, sungai, danau dan laut adalah ruang kolektif di mana seluruh masyarakat menggantungkan hidupnya. Sabda kanjeng Nabi bahwa manusia harus bersekutu dalam tiga hal yang paling krusial dalam kehidupan –salah satunya air- merupakan persekutuan yang bermain pada level pemanfaatan, pengelolaan sekaligus pemberdayaan.
Hal yang patut digaris bawahi dalam memahami hadis ini adalah istilah-istilah sensitif yang cenderung menarik pemahaman hadis dalam ruang legalisasi kerja kapitalisme-imprealistik. Istilah-istilah syarah seperti “usaha perseorangan”, “kepemilikan”, “pemilik tanah” dan “ijin kelola” secara tidak langsung memiliki kemungkinan untuk menjadikan hadis ini sebagai legitimasi bagi kerja monopoli pos-pos sumber alam seperti air, tanah dan tambang. Oleh karena itu, beberapa istilah yang ada harus kembali dijelaskan guna menebang pemahaman yang lahir dan didorong oleh “hasrat menguasai”; satu kecenderungan umum yang secara alamiah dimiliki oleh seorang manusia.
Sahib ‘Aun al-Ma’bud menjelaskan, “adapun air yang mengucur karena usaha perseorangan atau berada dalam wadah kepemilikan tertentu, maka pemanfaatannya secara kolektif harus melalui ijin pihak pemilik yang terkait”. Air yang mengucur atau muncul karena usaha perseorangan dicontohkan oleh syarih dengan air sumur dan air tandan. Air-air ini jelas tidak boleh digunakan seenaknya secara umum tanpa ada persetujuan dari orang yang mengusahakannya. Atau air yang telah diambil dari sungai, danau dan sumber mata air, lalu diletakkan dalam wadah tertentu. Kepemilikan air ini mutlak dan tentu tidak bisa digunakan tanpa ijin.
Dari dua batasan tersebut, kepemilikan air yanjg dimaksud oleh syarih dan terkandung dalam hadis ini sama sekali tidak berhubungan atau membicarakan “alat produksi”. Kepemilikan air dalam syarah tersebut dibatasi pada usaha yang telah dilakukan seseorang untuk memunculkan air, baik dengan menggali tanah atau menusuk-melubangi tandan. Seseorang pergi ke sungai atau danau, mengambil satu ember-dua ember air untuk kebutuhannya di hari itu; air dalam ember terbatasi kepemilikannya karena ia diusahakan. Setiap air yang didapat melalui usaha, harus dibayar dengan ijin terkait pemanfaatannya secara kolektif.
Namun tidak semua pos tentu dimiliki bersama. Ada beberapa mekanisme satu sumber daya, seperti tanah misalnya, dikuasai oleh perorangan. Salah upaya yang nantinya juga menjadi argumentasi kepemilikan dan hak pengelolaan adalah membuat sebuah lahan mati kembali produktif. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ قَالَ عُرْوَةُ قَضَى بِهِ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي خِلَافَتِهِ.13
Dalam hadis tersebut, prinsip kepemilikan tanah atau lahan, pada dasarnya terletak pada pengelolaan dan upaya untuk menjadikan sebuah lahan produktif dengan syarat lahan tersebut memang tidak ada yang memiliki sebelumnya (ardl mawat). Tata kelola lahan yang memiliki orientasi produktifitas lahan sejatinya adalah kata kunci yang melampaui hak kepemilikan tanah. Sebagaimana hadis berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.14
Dalam hadis ini terlihat bagaimana Nabi, melalui opsi yang beliau berikan kepada para pemilik lahan, menganjurkan untuk menggarap lahan dan tidak membiarkannya begitu saja. Andaikan ia tidak mampu mengelola lahan tersebut, maka hendaknya lahan itu diserahkan kepada saudaranya (orang lain), baik dengan sistem bagi hasil atau mekanisme kerjasama lain dengan syarat salah satu di antara kedua belah pihak tidak merasa dirugikan.
Tapi yang penting diperhatikan, meskipun kekuasaan lahan bisa dimiliki oleh perseorangan, namun asas kemanfaatan kolektif harus tetap menjadi orientasi utama dan tujuan prioritas. Baik dalam level pemanfaatan produk maupun level mekanisme pengelolaan yang melibatkan orang lain atau pekerja. Produktifitas lahan yang tidak disertai oleh kesadaran untuk bermanfaat, minimal bagi orang yang ada di sekitar lahan dan orang yang terlibat kerja di lahan tersebut, akan melahirkan satu bentuk kapitalisasi yang berujung pada upaya-upaya untuk memperkaya diri, merebut lahan, mendzalimi pekerja dan lain sebagainya.
Sebagaimana sebuah riwayat:
عن جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال من أحيا أرضاً ميتة فله أجر، وما أكلت العافية (كل طالب رزق آدمياً كان أو غيره) منها فهو له صدقة. 15
Kata shadaqah dalam hadis di atas adalah basis bagi Teologi Biru yang melegitimasi asas kemanfaatan kolektif sebagaimana yang dikehendaki dalam setiap pengelolaan lahan. Kata Nabi, mereka yang menghidupkan tanah mati, membuatnya jadi produktif, lalu menjadi tempat untuk mencari makan, baik manusia maupun hewan, maka ia akan bernilai sedekah. Tapi tentu saja hadis ini tidak bisa dipahami begitu-begitu saja dalam konteks pertanian hari ini misalnya. Tidak mungkin juga kita membiarkan orang lain mengambil padi di sawah yang sejak awal kita tanami melalui modal dan perencanaan. Nilai yang harus dipahami dari hadis ini adalah konsep kepemilikan berikut pengelolaan lahan harus diarahkan untuk kepentingan masyarakat lokal dan tidak boleh melanggar aturan yang mendatangkan kerugian bagi banyak orang.
Namun bisa saja kita misalnya mengamalkan hadis tersebut apa adanya dengan cara menanami tanah kita pohon-pohonan berbuah yang buahnya bisa diambil oleh orang lain dan hewan. Tanaman atau pohon yang sedari awal memang ditanam bukan untuk menghasilkan uang, namun ditujukan agar tanah tidak tersia-siakan dan dibiarkan dalam keadaan gersang begitu saja. Sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ.16
Hadis ini menggambarkan mekanisme pertama tata kelola lahan dan upaya mereproduksi tanah. Dalam hadis riwayat Abu Hurairah sebelumnya Nabi bersabda, kalau punya tanah, digarap. Kalau engga, kasih ke saudara kamu untuk digarap. Nah, mengelola tanah secara individu bisa saja dengan cara yang sangat sederhana seperti menanaminya dengan berbagai macam tumbuhan yang berbuah.
Mekanisme pertama ini sejatinya adalah proses memberikan hak tanah itu sendiri. Allah SWT telah menciptakan tanah dan menjadikannya sebagai lahan bagi manusia untuk mendapatkan rejeki. Maka menyia-nyiakan tanah sama saja dengan menyia-nyiakan rejeki Allah SWT. Sebaliknya, dengan menggarap tanah, seseorang sejatinya tengah mengembalikan fungsi tanah itu sendiri sebagai penyedia bahan sandang, pangan maupun papan bagi manusia.
Sebagaimana yang tercantum dalam sebuah riwayat, tanah atau bumi adalah merupakan tempat berdiamnya rejeki;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَــالَ رَسُوْلُ اللهِ إِلْتِمَسُوْا الرِّزْقَ مِنْ خَبَايًا الأَرْضِ.17
Dari saking geregetnya Nabi untuk menganjurkan ummatnya menggarap lahannya, sampai-sampai beliau bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَلَّا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا[18].
Meskipun kiamat datang, kalau di tanganmu ada benih, jangan berdiri sampai kamu berhasil menanamnya ke dalam tanah. Anjuran semacam ini tidak mungkin muncul kalau tidak ada motivasi yang kuat dan potensi makro di balik produktifitas lahan. Dengan kata lain, Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul tidak hanya memperhatikan hal-hal yang berbau akidah saja. Dari mana manusia akan makan kalau mereka tidak bercocok tanam? Ternak bisa habis, tapi tanah tidak akan pernah hilang selama dunia ini belum musnah.
Mekanisme kedua yang bisa dipilih untuk mengelola lahan adalah dengan melibatkan orang lain. Melibatkan orang lain di sini bisa saja karena seseorang tidak punya waktu untuk mengurus lahannya, atau lahannya terlalu luas untuk dikelola sendiri atau alasan-alasan lain yang membuatnya butuh memperkerjakan orang lain. Nabi sendiri pernah menyerahkan sebuah lahan di Khaibar kepada penduduk Yahudi Khaibar untuk dikelola.
عَنِ ابْنِ عًمَرَ أَنَّ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلُ خَيْبَرَ بِشَطر مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْ زَرْعٍ . 19
Kala proses menundukkan Khaibar, Nabi Muhammad dan pasukannya tidak menghancurkan lahan-lahan produktif yang sebelumnya digarap penduduk Yahudi Khaibar. Pasca peperangan kebun-kebun dan lahan-lahan tersebut bahkan diserahkan kembali ke pengelola aslinya namun dengan sistem bagi hasil. Setengah untuk Nabi sebagai penguasa baru Khaibar, dan setengah bagi penduduk Khaibar yang mengelola tanah tersebut.
Sistem kerja dan bagi hasil semacam ini banyak dilakukan juga oleh para sahabat. Terutama mereka yang banyak mendapatkan ghanimah berupa tanah yang cukup luas. Adapun sistem bagi hasilnya tidak selalu 1:2, namun relatif tergentung kesepakatan di antara kedua belah pihak. Seperti kesaksian Sahabat Jabir bin Abdillah di bawah ini:
حَدِيْثُ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ رضى الله عنهما قَالَ كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُوْلُ اَرَضِيْنَ فَقَالُوْا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ فَقَالَ النَّبِىُّ مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْ لِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.20
Dalam riwayat yang lain memang banyak sekali hadis yang berisi data mengenai prinsip-prinsip dalam kerjasama, termasuk pengelolaan lahan. Visi pertama yang harus dijadikan landasan normatif dalam setiap bentuk kerjasama adalah kesetaraan status sosial. Mereka yang bekerja dengan kta harus selalu diposisikan sebagai mitra kerja, bukan budak atau pesuruh. Visi kedua adalah memanusiakan pekerja. Ini terkait misalnya dengan beban kerja, waktu kerja dan upah yang didapatkannya.
Muncul perdebatan di kalangan para ulama terkait sistem kerjasama yang dikehendaki oleh Nabi. Dalam hadis sebelumnya, apa yang selama ini dilakukan oleh para sahabat dengan menyewakan lahannya ternyata “dilarang oleh Nabi”. Sistem bagi hasil pun, entah itu muzara’ah ataupun mukhabarah, dengan demikian, juga dilarang, baik dalam bentuk hasil panen dan lain sebagainya. Apa yang dilakukan oleh Nabi dalam konteks Khaibar dinilai banyak ulama sebagai praktek musaqah. Dan musaqah hukumnya mubah.
Pelarangan Nabi atas sistem sewa dan bagi hasil sejatinya adalah upaya untuk menutup semaksimal mungkin kemungkinan-kemungkinan munculnya ketimpangan antara si pemilik lahan dan si pengelola lahan. Jika tanah tersebut disewakan dan seluruh proses pengelolaan dari mempersiapkan tanah, menanam bibit, memberi pupuk hingga memanen dikerjakan oleh satu pihak saja, sedangkan si pemilik lahan hanya duduk menerima uang sewa, maka akan muncul ketimpangan antara upah yang didapat dengan beban kerja yang dilakukan. Dalam mekanisme musaqah, upah dibayarkan atas kerja yang dilakukan untuk mengaliri lahan dengan air. Jadi jelas. Kerjanya apa, upahnya berapa.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa konsep musyarakah sejatinya bertumpu pada beban kerja. Upah harus dibayar bukan berdasarkan waktu, tapi produktifitas kerja yang berhasil dihasilkan oleh para pekerja. Konsep ini tentu saja bertolakbelakang dengan mekanisme di pabrik-pabrik atau perusahan outsourcing yang menjadikan waktu kerja sebagai ukuran pengupahan kerja, bukan produktifitas kerja.
Sistem pengupahan yang didasarkan pada produktifitas kerja akan sangat tampak secara simbolik dalam hadis berikut ini:
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. 21
Nabi bersabda, berikanlah upah kepada para pekerja sebelum keringatnya kering. Keringat pekerja muncul bukan karena waktu, tapi karena gerak. Gerak adalah proses atau asas produktifitas itu sendiri. Maka, dalam hadis lain Nabi memberikan sebuah peringatan yang melegitimasi penerapan sistem pengupahan semacam ini:
ﺛَﻼَﺛَﺔٌ ﺃَﻧَﺎ ﺧَﺼْﻤُﻬُﻢْ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺭَﺟُﻞٌ ﺃَﻋْﻄَﻰ ﺑِﻲ ﺛُﻢَّ ﻏَﺪَﺭَ ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺑَﺎﻉَ ﺣُﺮًّﺍ ﻓَﺄَﻛَﻞَ ﺛَﻤَﻨَﻪُ ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺍﺳْﺘَﺄْﺟَﺮَ ﺃَﺟِﻴﺮًﺍ ﻓَﺎﺳْﺘَﻮْﻓَﻰ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻂِ ﺃَﺟْﺮَﻩ.22
Mendzalimi pekerja dengan tidak mengupahnya sesuai dengan produktifitas kerja sama saja dengan tidak mengupah pekerja itu sendiri. Dan kelak, pihak-pihak semacam inilah yang akan dimusuhi dan jauh dari pertolongan Allah SWT di hari kiamat. Lafadz “ana khasmuhum” juga bisa dimaknai hilang keberkahan dan keridoan dari Allah SWT. Mengapa hilang? Karena sistem pengupahan yang diterapkan melanggarkan prinsip-prinsip kemanusiaan, lebih jauh lagi, melanggar prinsip kemanfaatan kolektif.
Setelah mekanisme pengelolaan lahan secara internal sudah ditunaikan, maka prinsip berikutnya yang tak kalah penting terkait sistem eksternal kepemilikan tanah adalah larangan untuk merebut, merampas dan mengubah batas tanah. Puluhan hadis bisa kita temukan terkait dengan prinsip ini, antara lain:
عَنْ أَبِي ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ يَعْلَى بْنَ مُرَّةَ الثَّقَفِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَخَذَ أَرْضًا بِغَيْرِ حَقٍّ كُلِّفَ أَنْ يَحْمِلَ تُرَابَهَا إِلَى الْمَحْشَرِ. 23
Dari seluruh versi redaksi hadis ini, ada dua frase kausalistik yang digunakan; 1) “siapa yang mengambil tanah” sebagai sebabnya dan 2) “akan dikalungi dengan tanah (dalam riwayat lain, tanah dari tujuh lapis bumi) kelas di hari kiamat” sebagai akibatnya. Sebagai argumentasi teologis, tentu saja hadis ini cukup untuk menyatakan level dosa dan kemaksiatan yang ada di balik segenap usaha dan upaya penyerobotan, perebutan, pemaksaan dan pemindahan batas tanah. Tak susah untuk menyadari, bahwa mengambil apa yang bukan hak kita, ada perbuatan tercela. Namun memang manusia seringkali lupa dan lebih mendahulukan kerakusannya.
Dalam kasus tata kelola pertanahan di Indonesia misalnya, kepemilikan tanah dan lahan bisa ditandai setidaknya oleh dua hal; sertifikat dan sistem pengelolaan kolektif yang telah berjalan lama di sebuah wilayah. Yang pertama adalah hasil jual beli atau proses administrasi pemindahan kepemilikan lainnya, sedangkan yang kedua adalah proses historis yang menunjukkan situs kepemilikan kultural, atau minimal hak kelola sebuah masyarakat adat di sebuah wilayah. Maka siapapun, koorporasi, termasuk negara, harus betul-betul menjamin hak-hak kepemilikan berikut kerja-kerja pengelolaan bagi keduanya. Negara dan koorporasi tidak boleh mengeruk, menyerobot, membakar atau memaksa masyarakat adat untuk memberikan hutan adatnya, atau memaksa mereka menanaminya dengan jenis tanaman komoditi yang tidak menyediakan kebutuhan primer mereka.
Di sini dalih “kepentingan nasional” pun bisa digugat kala ia didefinisikan dengan sangat sempit hanya pada penguatan sektor perekonomian melalui penanaman tumbuh-tumbuhan komoditi. Ketika negara sebagai sebuah lembaga yang menjamin satu sistem tata kelola diarahkan justru pada hal-hal yang melanggar asas kemanfaatan kolektif dan primer semacam itu, maka situs-situs seperti masyarakat adat atau masyarakat lokal lebih bisa dilegitimasi sebagai lembaga sosial yang berhak memiliki, mengelola, merawat dan memberdayakan sebidang lahan berdasarkan kebutuhan lokalnya.
Dalam kasus semacam ini, Nabi pernah memberikan sebidang tambang kepada seorang sahabat bernama Bilal bin al-Haris al-Muzani;
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْطَعَ بِلَالَ بْنَ الْحَارِثِ الْمُزَنِيَّ مَعَادِنَ الْقَبَلِيَّةِ جَلْسِيَّهَا وَغَوْرِيَّهَا وَقَالَ غَيْرُهُ جَلْسَهَا وَغَوْرَهَا وَحَيْثُ يَصْلُحُ الزَّرْعُ مِنْ قُدْسٍ وَلَمْ يُعْطِهِ حَقَّ مُسْلِمٍ وَكَتَبَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَا مَا أَعْطَى مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ بِلَالَ بْنَ الْحَارِثِ الْمُزَنِيَّ أَعْطَاهُ مَعَادِنَ الْقَبَلِيَّةِ جَلْسِيَّهَا وَغَوْرِيَّهَا وَقَالَ غَيْرُهُ جَلْسَهَا وَغَوْرَهَا وَحَيْثُ يَصْلُحُ الزَّرْعُ مِنْ قُدْسٍ وَلَمْ يُعْطِهِ حَقَّ مُسْلِمٍ قَالَ أَبُو أُوَيْسٍ وَحَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ زَيْدٍ مَوْلَى بَنِي الدِّيْلِ بْنِ بَكْرِ بْنِ كِنَانَةَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مِثْلَهُ. 24
Ternyata, sebidang tanah tambang yang diberikan Nabi tidak digarap oleh Bilal. Di masa kepemimpinan Umar, Bilal ditegur untuk menggarap lahannya agar menunai kemanfaatan bagi banyak orang. Kalau dia tidak mampu, alangkah lebih baik diberikan kepada orang lain. Sebagaimana yang kita temukan dalam riwayat berikut ini:
عَنِ بِلاَلِ بنِ الْحارِثِ أَنَ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم أَخَذَ مِنَ المَعَادِنِ القَبَلِيَةِ الصَدَقَةَ وَأَنَهُ أَقطَعَ بِلاَلَ بنَ الْحارِثِ العَقِيقَ أَجْمعَ فَلَمَا كَانَ عُمَرُ رَضِىَ الله عَنهُ قَالَ لِبِلاَل إِنَ رَسُولَ اللَّه صلى الله عليه وسلم لَم يقطِعكَ لِتَحجُرَهُ عَنِ النَاسِ لَم يقطِعكَ إِلَّا لِتَعمَلَ قَالَ فَأَقطَعَ عُمَرُ بنُ الخَطَابِ لِلنَاسِ العَقِيقَ.25
Namun, sebagaimana yang saya jelaskan sebelumnya, jika suatu sumber daya menyimpan potensi ekonomi yang akan lebih bermanfaat ketika ia dipegang negara, maka hal itu tidak boleh diberikan kepada perseorangan maupun swasta. Lagi-lagi, negara mengelola sumber daya alam tersebut dengan visi kepentingan nasional, baik dari aspek ekonomi, kehidupan masyarakat dan aspek keterjagaan situs-situs alam di wilayah-wilayah lokal tempat sumber daya tersebut berada.
Hadis berikut menunjukkan sedikit banyak mengenai problem tersebut;
عَنْ شُمَيْرٍ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ ابْنِ عَبْدِ الْمَدَانِ عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ قَالَ وَسَأَلَهُ عَمَّا يُحْمَى مِنَ الأَرَاكِ قَالَ مَا لَمْ تَنَلْهُ خِفَافٌ وَقَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ أَخْفَافُ الْإِبِلِ حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الْمَخْزُومِيُّ مَا لَمْ تَنَلْهُ أَخْفَافُ الْإِبِلِ يَعْنِي أَنَّ الْإِبِلَ تَأْكُلُ مُنْتَهَى رُءُوسِهَا وَيُحْمَى مَا فَوْقَهُ.26
Jadi suatu hari, Rasulullah memberikan selahan tanah yang digunakan untuk tambang garam kepada Sahabat Abyadh bin Hammal. Setelah prosesi serah terima selesai, datang seseorang menemui Nabi dan bertanya “tahukan engkau apa yang dikandung tanah yang kau berikan kepada Abyadh?” “di bawah tanah itu terdapat sumber mata air yang melimpah.” Mengetahui penjelasan sahabatnya, Rasul langsung memerintahkan “ambil lagi lahan itu dari Abyadh!”
Yang penting dicatat di sini adalah, ada perbedaan mendasar antara sumber daya terbarukan yang sangat primer dan substansial, dengan sumber daya fosil yang tak terbarukan dan sekunder. Yang dimaksud primer adalah sumber-sumber yang menentukan keberlangsungan hidup semua orang, utamanya mereka yang tinggal di lingkungan lokasi sumber daya alam ditemukan. Dalam hadis Abyadh sebelumnya, potensi air tanah di bawa sebidang tambang garam menjadi alasan Rasul untuk mengambil kembali lahan tersebut. Manusia bisa hidup tanpa garam, tapi tidak dengan tanpa air.
Maka logika untuk mendefinisikan sumber daya alam dan hak pengelolaan kolektif harus diarahkan pada hal-hal semacam ini. Kala sebuah wilayah adat memiliki sebidang hutan yang ditumbuhi oleh makanan pokok dan sumber mata airnya, maka ia tidak boleh dihanguskan hanya demi kandungan mineral semacam emas dan perak yang ada di dalam tanahnya. Alasannya sederhana, manusia lebih membutuhkan air dan sumber makanan pokok dibandingkan benda-benda atributial yang realitanya tak semua orang pakai.
Apa yang dilakukan oleh Nabi adalah upaya untuk mendeprivatisasi sumber-sumber daya alam yang memiliki jangkauan kemanfaatan kolektif dan pimer seperti sumber mata air. Sumber ini tidak boleh dimiliki oleh perorangan, tidak boleh diprivatisasi, dikuasai negara untuk dijual kepada rakyatnya apalagi dikuasai swasta dan asing atau dikuasai dalam dalih pengerukan kandungan mineral yang lebih dianggap lebih berharga [sebagai komoditas]. Sumber mata air adalah sumber kehidupan manusia. Ketika berbicara air, maka kita harus kembali kepada hadis pertama yang diangkat dalam perbincangan kali ini.
Inilah asas pertama mengenai skema kepemilikan, prinsip tata kelola, penjagaan dan pemberdayaan sumber daya alam sebagaimana yang secara substansial juga hendak ditawarkan oleh Ekonomi Biru.
Catatan akhir:
[1] Baca selengkapnya di https://finance.detik.com/energi/d-4399323/konsumsi-listrik-nasional-naik-jadi-1064-kwh-per-kapita. Diakses 16 November 2019.
[2] Selengkapnya dalam https://www.pln.co.id/media/siaran-pers/2019/09/pln-berhasil-cetak-laba-bersih-rp-735-t-pada-semester-tahun-2019. Diakses 16 November 2019.
[3] Meskipun memang PLN juga tengah mengembangkan, namun dalam gerak yang sangat lambat, sumber-sumber Energi Baru-Terbaharukan [EBT] https://www.cnbcindonesia.com/news/20190923114710-4-101382/dari-58-ribu-mw-61-pembangkit-listrik-ri-masih-batu-bara. Diakses 16 November 2019.
[4] Tak hanya itu, dalam beberapa kasus, produk yang diklaim “hijau” nyatanya juga merusak alam. Seperti produk kosmetik “hijau” yang bahan bakunya diambil dari kelapa sawit. Koorporasi kelapa sawit sendiri menjadi sumber permasalahan akibat konsesi lahan yang menggundulkan hutan-hutan basah – beberapa milik adat – di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Beberapa kasus kebakaran hutan yang terjadi baru-baru ini ditengarai berasal dari koorporasi kelapa sawit yang ingin memangkas biaya maupun jalur birokrasi untuk memperluas lahan konsesi perkebunan kelapa sawit. Lih : https://nasional.kompas.com/read/2019/09/18/09532771/bnpb-80-persen-lahan-terbakar-berubah-jadi-lahan-perkebunan. Diakses 16 November 2019.
[5] Tawaran Gunter Pauli sejatinya sudah diajukan sebagai kerangka konseptual untuk meneken kebijakan soal format perekonomian dan gerakan peduli lingkungan sejak 2012. Sekelumit mengenai Gunter Pauli dan tawarannya mengenai Ekonomi Biru bisa dibaca dalam https://www.gunterpauli.com/the-blue-economy.html. Diakses 16 November 2018.
[6] Seperti yang dilakukan Henry Dengi di Sumba. Dia memanfaatkan makanan-makanan sisa yang didaapatkannya di rumah-rumah dan restoran untuk menjadi campuran makanan babi. Makanan tersebut dicerna dan menghasilkan kotoran yang langsung disalurkan ke lubang reaktor untuk menghasilkan gas metana bahan bakar kompor. Ampasnya pun tidak terbuang. Dengan diolah bersama kencing seluruh anggota keluarga, ampas kotoran dijadikan pupuk cair organik yang bisa digunakan untuk tanaman. Lihat dokumentasi Watchdoc tersebut melalui https://www.youtube.com/watch?v=DJfLBG12cMI.
[7] Prinsip-prinsip dalam Ekonomi Biru bisa dibaca melalui laman https://www.theblueeconomy.org/principles.html. Diakses 16 November 2019.
[8] Sunan Ibn Majah 16/2472. Selain tercantum dalam Sunan Ibn Majah, hadis ini juga terdapat dalam kitab as-Sunan as-Sughra/2165 dan as-Sunan al-Kubra/12177; keduanya ditulis oleh al-Baihaki, Sunan Abu Daud 3479, al-Mu’jam al-Kabir/11105 karya at-Thabrani, Musnad Ahmad bin Hanbal/23551 dan Mushannaf Ibn Abi Syaibah/23194. Seluruh hadis yang tercantum dalam kitab-kitab tersebut menggunakan redaksi “al-muslimun syuraka’ fi tsalast”, meskipun beberapa di antaranya tidak mencantumkan redaksi “wa tsamanuhu haram”; salah satunya riwayat yang terdapat dalam Sunan Abu Daud.
[9] Sunan Ibn Majah 16/2473.
[10] Jamaluddin bin Yusuf az-Zaila’i, Nasb ar-Rayah li Ahadisi al-Hidayah (Beirut: Dar al-Qiblah li as-Tsaqafah al-Islamiyah, 1418 H./1997 M.), jil. 4, h. 294.
[11] Abdullah bin Yazid al-Qazwainy, Sunan Ibn Majah, tahqiq: Fu’ad Abdul Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), jil. 2, h. 829.
[12] Seluruh terjemahan adalah tanggung jawab penulis. Lihat: Muhammad Syams al-Haq al-‘Adzim Abad, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah cet. II, tt), jil. 9, h. 268.
[13] Sahih al-Bukhari (Mesir: Darus Sya’ab, 1987), jil. 3, h. 139
[14] Sahih al-Bukhari, jil. 3, h. 141. Hadis dengan redaksi versi ini cukup masyhur yang tercantum di banyak kitab matan hadis. Selain dalam Sahih al-Bukhari, hadis ini juga ditemukan dalam Sahih Muslim/4013, Sunan Ibn Majah/2452 dan Musnad Ahmad bin Hanbal/14855.
[15] Abu Ya’la al-Mushili al-Tamimi, Musnad Abu Ya’la (Damaskus: Darul Ma’mun lit Turast, 1984), no. 1805, jil. 3, h. 339. Hadis ini juga terdapat dalam Sahih Ibn Hibban/5203.
[16] Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Darul Jayl, tt), no. 4055, jil. 5, h 28. Selain dalam Sahih Muslim, hadis ini juga terdapat dalam Sunan Kubra/12086, Sahih al-Bukhari/2320, Musnad Ahmad bin Hanbal/13389 dan lain sebagainya.
[17] Abu Bakar al-Bayhaqi, Syu’abul Iman (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1410), no. 1178, jil. 2, h. 87. Dalam versi al-Bayhaqi, redaksi yang digunakan adalah “uthlubur rizqa…”
[18] Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, al-Adabul Mufrad (Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyah, 1989), no. 479, jil 1, h. 168. Hadis ini juga terdapat dalam Musnad al-Bazzar/7408 namun tanpa potongan kedua sebagaimana redaksi al-Bukhari di atas.
[19] Hadis ini berada dalam Sahih Muslim/4044, Sunan Ibn Majah/2467, Sunan ad-Daruquthni/151, Musnad Ahmad bin Hanbal/4663, dan Sunan Abu Dawud/3410.
[20] Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah (Beirut: Darul Fikr, tt), no. 2451, jil. 2, h. 819. Selain itu, hadis tersebut juga adalah di dalam Sahih Ibn Hibban/5189 dan Sahih al-Bukhari/2632.
[21] Sunan Ibn Majah/2443.
[22] Sahih al-Bukhari/2227.
[23] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Beirut: Alamil Kutub, 1998), jil. 4, h. 172. Musnad Ahmad memuat seluruh versi redaksi hadis ini, yang secara terpisah juga ada dalam kitab-kitab matan hadis yang lain. Hadis dengan redaksi “man akhadza minal ardl” terdapat dalam Sahih al-Bukhari/2454 dan Sahih Ibn Hibban/5162. Hadis dengan redaksi “man dzalama minal ardl” terdapat dalam al-Sunan al-Sughra/2107, Sunan ad-Darimi/2606, Sahih al-Bukhari/2452 dan Sahih Ibn Hibban/5163. Hadis dengan redaksi “man dzalama qida syibrin minal ardl” terdapat dalam Sahih al-Bukhari/2453 dan Sahih Muslim/1612.
[24] Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud (Beirut: Darul Kitab al-Ilmiyyah, tt), no. 3063, jil. 3, h. 138. Hadis ini juga ada di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal/2785.
[25] Sunan Abu Dawud/3064.
[26] Sunan Abu Dawud/3066.
‘Hijau’ dalam artikel disini sebenernya hanya salah satu ideologi ‘hijau’ dan yang dimaksud disini menurut saya adalah Eko-Kapitalisme, Kapitalisme yang (pura-puranya) peduli lingkungan alias kapitalisme dengan stempel organik