
Perubahan iklim (climate change) merupakan tantangan serius peradaban dunia hari ini .Fenomena ini diindikasikan oleh peningkatan temperatur dunia akibat produksi dan konsentrasi sejumlah gas kimiawi secara terus-menerus. Berdasarkan laporan World Meteorological Organization (WMO), terjadi peningkatan konsentrasi CO2 pada tahun 2018 sebesar 407.8 ppm, dibanding tahun sebelumnya yakni sebesar 405.5 ppm. Selain CO2, gas Metana dan Nitrous Oksida pun mengalami peningkatan konsentrasi. Konsentrasi gas Metana bersumber 40% dari sumber alami, dan 60% dari aktivitas manusia. Konsentrasi gas-gas kimiiawi tersebut meningkat sejak rentang sebelum era industrial (pre-industrial age), masing-masing 147% (CO2), 259% (Metana), dan 123% (Nitrous Oksida). Fenomena tersebut tentu berdampak pada meningkatnya temperatur dunia hari ini yang mencapai 0.99 ± 0.13°C dari era sebelum industrial.
Ancaman krisis perubahan iklim ini lantas menjadi perhatian bersama dunia. Dalam skala internasional, pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change atau yang sering disingkat Paris Agreement menjadi wujud konkret perhatian negara-negara dunia terhadap perubahan iklim. Paris Agreement pada intinya berisi komitmen negara-negara tergabung untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1.5°C di atas suhu masa pra-industrial. Beberapa wujud komitmen tersebut berupa penurunan gas emisi, pencegahan deforestasi dan pengerusakan lingkungan, serta biodiesel 30% dan minyak nabati 60%.
Fenomena lain yang menyeruak ialah figur aktivis Greta Thunberg. Gadis 16 tahun yang baru saja dinobatkan majalah Time sebagai Person of The Year ini memulai kiprah aktivismenya pada Agustus 2018 lalu saat ia mogok sekolah demi terlibat dalam aksi tuntutan kepada parlemen Swedia atas masalah perubahan iklim. Eskalasi berikutnya ialah aksi reguler setiap Jumat bertajuk “Friday for Future” yang juga diikuti oleh pelajar-pelajar. Greta kemudian turut terlibat aksi dan pada lebih dari 30 negara, seperti Brazil, India, dan Amerika Serikat. Selama malang-melintang Greta juga pernah berpidato Konferensi PBB menyoal perubahan iklim. Pada tahun 2019, Greta juga terlibat dalam “Global Climate Strike” pada tanggal 20-27 September 2019 yang berlangsung di 150 negara.
Dua fenomena di atas jelas belum sepenuhnya mengilustrasikan krisis perubahan iklim. Peningkatan suhu dan respons dunia terhadapnya jelas memiliki penyebab sistemis. Penyebab sistemis tersebut bisa diidentifikasi melalui gelagat beringas industri-industri transnasional hari ini. Liberalisasi sistem perekonomian dunia melalui proyek globalisasi-neoliberal telah semakin membuka ruang bagi perusahaan transnasional (TNC) ataupun multinasional (MNC) untuk melakukan praktik pengerukan Sumber Daya Alam (SDA). Pada tahun 2019, Nestle dikabarkan akan meningkatkan produksi air minum mereka sampai 1.1 m galon dari mata air Ginnie, Florida. Rencana Nestle ini didasarkan atas semakin tingginya permintaan air minum untuk publik. Rencana Nestle telah memicu kemarahan para aktivis dan pemerhati lingkungan yang kemudian mempertanyakan tanggung jawab dari otoritas terkait. Kemarahan mereka bukan tanpa alasan, mengingat mata air Ginnie merupakan sumber air dan rumah bagi sebelas spesies lokal kura-kura.
Kasus lain yang menjadi sorotan ialah maraknya deforestasi hutan. Presiden sayap kanan Brazil, Jair Bolsonaro, ditenggarai menjadi pihak yang bertanggungjawab atas deforestasi hutan Amazon. Bolsonaro dianggap telah melegitimasi berbagai macam kekerasan di daerah Amazon seperti pembunuhan masyarakat adat, pembabakan liar, hingga kebakaran hutan. Banyak kalangan menilai semua kekerasan tersebut terjadi karena kedekatan Bolsonaro dengan perusahaan-perusahaan. Bolsonaro dinilai telah membuka keran investasi besar-besaran yang membenarkan praktik-praktik ekstraktif di Brazil.
Sementara itu, masih santer diberitakan bencana banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya. Banjir tersebut dikabarkan telah menewaskan sekitar 67 korban jiwa di wilayah Jabodetabek. Penyebab kematian merentang dari hipotermia, tenggelam dan terkena longsor. Selain korban jiwa, banjir juga telah merenggut kediaman penduduk, sehingga harus dievakuasi ke tempat tinggal sementara. Banjir di Jakarta pun turut mengganggu aktivitas publik, mengingat PLN terpaksa melakukan pemadaman di beberapa wilayah demi keselematan penduduk. Penyebab banjir tersebut ditenggarai oleh terjadinya kerusakan lingkungan, khususnya di hulu sungai Ciberang yang menjadi pusat dari beberapa sungai, dan meningkatnya intensitas hujan akibat perubahan iklim.
Beberapa peristiwa di atas mengantarkan penulis pada sebuah pertanyaan, apakah jurnalisme memiliki peran dalam menghadapi situasi perubahan iklim? Pertanyaan ini menyeruak dibenak penulis menyusul munculnya beberpa modifikasi baru di dunia jurnalistik.
Arus globalisasi dunia telah memungkinkan munculnya fenomena teknopolitik (technopolitics), yang hari ini ternyata mulai diadopsi dalam dunia aktivisme, tak terkecuali aktivisme lingkungan. Secara singkat, teknopolitik adalah optimalisasi peran teknologi, big data ataupun piranti lunak dalam merealisasikan suatu kegiatan politik, baik itu kampanye, advokasi, maupun mobilisasi. Dalam konteks aktivisme lingkungan, berdirinya InfoAmazonia pada tahun 2012 merupakan salah satu manifestasi teknopolitik di Amerika Latin. InfoAmazonia yang membawa platfom geojurnalisme merupakan bentuk respons atas krisis ekologi dan marjinalisasi masyarakat adat di Amazon. Dalam praktiknya, InfoAmazonia memadukan narasi dan data-data geografis dalam presentasi beritanya. Selain InfoAmazonia, berberapa kegiatan aktivisme yang telah menggunakan teknopolitik sebagai metode di Amerika Latin adalah kampanye anti komodifikasi ilmu pengetahuan #CompartirNoEsDelito (Kolombia, 2014) dan gerakan pelajar menolak pemangkasan anggaran pendidikan #OcupaEscola (Brazil, 2015).

Terinspirasi dari kemunculan platform geojurnalisme, dalam kesempatan kali ini penulis hendak menghadirkan kemungkinan peran jurnalisme dalam menghadapi krisis perubahan iklim. Secara umum, tesis yang diajukan oleh penulis dalam tulisan ini ialah urgensi untuk mengadopsi platform geojurnalisme dalam gerakan sosial di Indonesia. Dengan mengangkat contoh Brazil dan Indonesia (InfoAmazonia dan Ekuatorial) sebagai role model, penulis hendak menyampaikan secara implisit bahwa geojurnalisme yang memadukan konten narasi dan data-data geografis mampu memberikan kontribusi pengetahuan bagi publik terkait dengan penyebab geografis dan struktural ekonomi-politik terkait dengan krisis ekologi yang eksis hari ini dan masa mendatang, sehingga perlu didorong pengaplikasiannya di Indonesia.
Sekilas Tentang Teknopolitik
Seperti yang sudah disinggung dalam sub-bahasan sebelumnya, teknopolitik merupakan optimalisasi peran teknologi, big data¸ ataupun piranti lunak dalam merealisasikan tujuan politik tertentu. Praktik-praktik optimalisasi teknologi ini memiliki beragam jenis bentuk, seperti advokasi, kampanye, hingga mobilisasi. Praktik teknopolitik yang sangat mengandalkan optimalisasi teknologi tentu muncul dari kesadaran bahwa teknologi memungkinkan aktor politik untuk melampaui sekat spasialitas geografi, sehingga memungkinkan terjalinnya hubungan yang cair dan desentral. Secara lebih mendetail, teknopolitik terejawantahkan dalam serangkaian kompleks praktik. Salah satu yang praktik yang paling familiar adalah pembangunan jejaring sirkulasi informasi dan data antar satu aktor dengan aktor politik lainnya. Keterjaringan yang padu menjadi hal sangat krusial, mengingat teknopolitik sangat mengedepankan partisipasi proaktif dari setiap aktor yang terlibat.
Selain pembangunan jejaring, teknopolitik terbukti mampu menjadi metode pengorganisasian dan mobilisasi. Ilustrasi yang paling segar tentu saja pemanfaatan smartphone sebagai sarana menjalin koordinasi dan komunikasi pada protes di Hong Kong di tahun 2019 ini. Dalam aksi menolak hukum ekstradisi tersebut, massa protes secara proaktif dan desentral mengorganisasikan diri melalui smartphone dengan cara saling bertukar informasi dan merundingkan keputusan terkait kondisi, taktik lapangan hingga menentukan jalur evakuasi. Pertukaran informasi dan koordinasi dilakukan melalui aplikasi Telegram. Selain aplikasi, kegiatan konsolidasi untuk menentukan gerakan selanjutnya juga dilakukan melalui LIHKG.com, forum online sejenis reddit lokal yang dikembangkan di Hong Kong.
Metode yang dipakai di Hong Kong ini jelas bukan yang pertama, mengingat metode protes Hong Kong tersebut juga terinspirasi dari peristiwa Arab Spring. Revolusi Arab Spring mulai meletup sejak tahun 2010 hingga pertengahan 2011 di Tunisia, yang menuntut diturunkannya Zine al-Abidine Ben Ali sebagai akibat dari buruknya kondisi ekonomi dan maraknya korupsi. Di Mesir, gelombang aksi massa serupa terjadi menuntut diturunkannya Husni Mubarak. Segera setelah dua rezim tersebut berhasil diturunkan, gelombang aksi massa meletup di negara-negara Timur Tengah lain seperti Aljazair, Yaman, Yordania, Suriah, Bahrain, dan Libya. Merebaknya gelombang aksi massa tersebut ternyata tidak terlepas dari peran pemuda Timur Tengah yang semakin melek teknologi. Pemenfataan blog sebagai sarana propaganda dan simbol perlawanan terbukti ampuh dalam mendistribusikan wacana. Blog mampu ditransformasikan menjadi ’ruang publik´ alternatif untuk berdiskusi, berdebat, kritik-autokritik dan edukasi ideologi, ketika ruang publik sehari-hari berada dibawah kontrol rezim otoritarianisme.
Selain contoh di atas, teknopolitik juga mencakup ragam praktik lainnya. Pada ranah jurnalistik, praktik teknopolitik dapat meliputi pengolahan data, pembangunan narasi, hingga distribusi informasi. Dalam konteks aktivisme jurnalis, terlebih dalam era media digital seperti hari ini, proses-proses tersebut sangat bergantung pada peran teknologi dalam mengolah fakta untuk menjadi data yang akan dirangkai dalam narasi untuk didiseminasikan ke aktor politik lain ataupun publik. Praktik ini tentunya juga sangat dipengaruhi oleh keberpihakan politik sang aktor yang akan menentukan output produk jurnalistiknya.
Geojurnalisme: Advokasi dan Upaya Menjawab Krisis Perubahan Iklim
Sebelum beranjak menuju pembahasan geojurnalisme, perlu terlebih dahulu dibahas keterkaitan antara jurnalisme dan geografi. Dalam praktiknya, jurnalistik tidak bisa terlepas dari suatu pengetahuan geografis. Kemampuan seorang jurnalis dalam menarasikan suatu peristiwa sangat ditopang oleh kecermatannya merangkai fakta-fakta geografis dalam suatu bingkai tertentu, seperti nama lokasi, letak, kondisi lingkungan, ataupun konteks sosio-kulturalnya. Fakta-fakta ini sangat membantu kerja-kerja seorang jurnalis untuk menyematkan suatu stereotipe atau pemaknaan tertentu pada tempat tersebut.
Dalam konteks yang lebih struktural, pembingkaian suatu spasialitas geografi tidak bisa terlepas dari posisi ideologis jurnalis ataupun media. Ini berarti bahwa penyematan suatu identifikasi maupun stereotipe tertentu memiliki kecenderungan melegitimasi suatu pihak tertentu, entah itu pemerintah atapun kaum-kaum marjinal dalam masyarakat. David Harvey mempresentasikan fungsi politis-ideologis pengetahuan geografis (geographical knowledge) dalam konteks media sebagai sarana untuk memobilisasi opini dan tindakan publik. Harvey memandang bahwa pengetahuan geografis yang dihadirkan suatu media lebih bersifat estetis dan emotif, dibanding objektif dan faktual. Narasi geografis suatu media, baik secara visual, audio, maupun tertulis, selalu dibalut dengan impresi-impresi yang dapat mengonstruksi opini publik. Ini dicontohkan dalam penyematan stereotipe seperti eksotis ataupun romantis pada suatu tempat tertentu.
Kiranya, kesadaran potensi jurnalisme untuk memobilisasi opini dan tindakan publik melalui fungsi-politis geografi inilah yang akhirnya mengilhami berdirinya InfoAmazonia. Media yang resmi didirikan pada tahun 2012 dalam perhelatan United Nations’ Conference on Sustainable Deevelopment di Rio de Janeiro, Brazil ini secara gamblang berkomitmen dalam advokasi dengan mengusung platform geojurnalisme. InfoAmazonia muncul sebagai respons atas krisis ekologis dan marjinalisasi masyarakat adat di wilayah Amazon yang disebabkan oleh maraknya praktik ekstraktivisme seperti pembabakan liar dan penambangan oleh korporasi. InfoAmazonia menyadari bahwa dengan mengidentifikasi situasi geografi di Amazon, akan lebih mudah untuk melacak konteks ekonomi-politik dan jalinan relasi kuasa antar aktor yang eksis.
Geojurnalisme adalah platform hasil dari pembauran antara praktik jurnalisme dan geografi. Dalam praktiknya, InfoAmazonia memadukan antara data-data geografis berupa peta digital dan narasi pemberitaan khas jurnalistik. Terdapat beberapa jenis data geografis yang berusaha dipresentasikan merentang dari foto satelit, peta dan grafik. Dalam proses pemerolehan data, aplikasi seperti Google Earth dan MapBox sangat dioptimalkan fungsinya. Aplikasi-aplikasi tersebutlah juga lah yang membuat InfoAmazonia sukses merumuskan 30 data georeferensi siap pakai untuk dikembangkan menjadi peta interaktif sampai hari ini. Optimalisasi data geografis digital ini jelas berpijak dari pendirian InfoAmazonia bahwa peta adalah “bahasa baru” yang dapat merepresentasikan pengetahuan seputar proses politik, peristiwa, tempat, hingga lokus relasi kuasa. Visualisasi peta yang dihadirkan oleh InfoAmazonia memberikan keterangan mengenai wilayah lindung dan wilayah masyarakat adat melalui fitur lokasi. Demi aktualitas berita, para jurnalis dan kontributor dituntut untuk terus memproduksi peta digital secara berkala. Melalui metode ini, InfoAmazonia sukses menghadirkan analisis terkait keterhubungan antar aktor politik tertentu (koporasi, pemerintah, penambang liar, pembabak hutan, dll) dengan krisis ekologi di wilayah Amazon secara berkala seperti kondisi air, deforestasi, hingga persekusi ataupun tindakan kekerasan terhadap masyarakat adat setempat.
Fakta lain yang perlu disoroti adalah dimensi advokatif dan partisipatoris dari InfoAmazonia. Berpijak pada komitmennya mengadvokasi masyarakat Amazon, InfoAmazonia membuka diri pada keterlibatan beragam aktor politik dalam praktik aktivismenya. Elemen-elemen seperti masyarakat adat setempat, LSM, hingga aktivis lingkungan. Selain aktor-aktor tersebut, InfoAmazonia juga membuka diri terhadap keterlibatan para sukarerlawan jurnalis dari macam-macam penjuru negeri. Para sukarelawan jurnalis dan publik juga diajak keterlibatannya melalui workshop yang seringkali berupa edukasi dalam menggunakan web Google Fusion Tables dan printi lunak seperti Google Map dan MapBox demi kepentingan kerja-kerja advokasi ekologi. Contoh aspek partisipatoris lainnya dalam aktivisme politik adalah ketika InfoAmazonia berdampingan dengan masyarakat adat Yanomami bersama-sama menyuarakan peristiwa penyerangan terhadap suku adat tersebut. InfoAmazonia berkolaborasi bersama masyarakat adat setempat merancang laporan penyerangan terhadap Yanomami dan krisis ekologi seperti deforestasi, kebakaran hutan, ataupun pencemaran merkuri sebagai konsekuensi logis dari maraknya penambangan.
Kiprah InfoAmazonia tersebut tentu turut ditopang oleh organisasi-organisasi sosial lain yang menjadi sekawannya. Tercatat organisasi-organisasi jurnalis sejenis seperti International Center for Journalists (ICFJ), dan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) turut mendukung, baik secara materil maupun non-materil, terhadap keberlangsungan InfoAmazonia. Selain itu, yayasan pengembangan komunitas dan jurnalis seperti Knight Foundation nyatanya juga ikut memberikan donornya untuk InfoAmazonia.
Indonesia….
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Meski geojurnalisme belum mendapat perhatian yang besar di Indonesia, terdapat inisiatif dari beberapa jurnalis yang berusaha mengusung platform tersebut. Ekuatorial.com merupakan salah satu contoh media di Indonesia yang mengusung geojurnalisme sebagai platform mereka. Dalam pendiriannya, Ekuatorial terinspirasi dari inisiatif InfoAmazonia yang berkomitmen pada jurnalisme yang konsen terhadap permasalahan krisis ekologi dan advokasi, sehingga mendorong pendirian media tersebut untuk menanggapi masalah serupa pada konteks Indonesia. Ekuatorial merupakan media hasil dari kolaborasi Society of Indonesian Environmental Journalists dan Earth Journalism Network. Dalam hal digitalisasi data geografis, Ekuatorial juga bekerja sama dengan MapBox dan CartoDB.
Sepertihalnya InfoAmazonia, Ekuatorial juga menghadirkan data-data digital geografis yang dipadukan dengan narasi khas jurnalistik. Data-data digital tersebut mempresentasikan permasalahan-permasalahan sosial dan ekologis yang eksis di Indonesia. Data tersebut ditunjang dengan wawancara ataupun kesaksian langsung dari warga setempat yang terdampak permasalahan ekologis tersebut. Hingga hari ini, Ekuatorial terus merilis beragam pemberitaan terkait isu-isu tersebut.
Salah satu contoh laporan yang dirilis Ekuatorial adalah permasalahan banjir laut pasang (rob) di Kandang Panjang, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, bertajuk Rob Tinggalkan Dampak Ganda yang diterbitkan pada 19 Desember 2019. Dalam laporan tersebut, Ekuatorial merekam dampak-dampak sosial yang muncul karena rob yang telah menenggelamkan akses jalan. Ekuatorial mewawancarai salah satu warga RT 02/ RW 09 bernama Ike Janny Istiqomah. Ike berkesaksian bahwa genangan rob yang mencapai ketinggian 40-50 cm telah menutupi akses ke jalan utama, sehingga menyulitkan anaknya untuk berangkat ke sekolah. Tak jarang, Ike dan anaknya harus basah kuyup untuk sampai ke sekolah. Menurut analisis Ekuatorial hal ini diakibatkan oleh oleh beberapa faktor, yakni perubahan iklim (climate change) yang berdampak pada melelehnya es di kutub dan penurunan air tanah akibat pengerukan oleh korporasi. Berdasarkan penelitian Lembaga Kemitraan, penginderaan citra satelit Sentinel menunjukan penurunan tanah di 15 kelurahan di Pekalongan mencapai 25-34 cm.

Presentasi laporan naratif yang disuguhkan Ekuatorial juga dilengkapi dengan visualisasi peta digital. Peta yang berposisi di laman sebelah kiri atas tersebut terbagi dalam beberapa sub, yakni peta hutan, kebakaran hutan, pengelolaan hutan, dan konservasi laut, marine accidents, dan marine proteted areas, berikut fitur penginderaan geografisnya. Peta tersebut akan memperjelas secara lokus geografi daerah-daerah yang terdampak masalah ekologi melalui identifikasi citra warna. Melalui peta digital interaktif ini pembaca dapat mengetahui secara spasial wilayah-wilayah kritis yang diliput oleh sang jurnalis.
Simpulan
Setelah menyimak pemaparan sebelumnya, dapat ditelisik bahwa geojurnalisme dapat menjadi platform jurnalistik yang mampu berkontribusi dalam menangani masalah krisis perubahan iklim. Ini karena geojurnalisme mampu menghadirkan kesatuan yang padu antara pengetahuan geografis (geographical knowledge) dan narasi pemberitaan berstandar jurnalistik. Bagi publik, geojurnalisme dapat menjadi sarana untuk mendistribusikan kesadaran sosial dan ekologis, sehingga publik terdorong untuk mengetahui, bahkan menanggapi secara proaktif isu tersebut. Selain itu, publik juga dapat mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggungjawab atas krisis ekologi yang terjadi
Geojurnalisme juga dapat memberikan kontribusi pada kancah aktivisme. Geojurnalisme akan memudahkan para aktivis ataupun aktor politik grass-root lainnya dalam mengidentifikasi masalah ataupun peluang yang berkaitan dengan spasial-geografis, sehingga dapat merumuskan keputusan ataupun strategi-taktik yang tepat. Platform jurnalisme ini akan sangat berguna dalam menanggapi isu-isu agraria dan lingkungan, yang diprediksi pada tahun 2020 dan seterusnya akan semakin mendapat perhatian yang santer.
Meski begitu, aplikasi geojurnalisme di Indonesia tentu bukan tanpa tantangan. Penerapan geojurnalisme yang sangat bertopang pada data-data digital geografis mensyaratkan adanya upgrade atau pembaharuan teknologi, yang tentunya harus merogoh kocek dalam jumlah tertentu. Para jurnalis dan media juga harus terlebih dahulu mendapat pelatihan perihal operasionalisasi teknologi tersebut, agar dapat memiliki keterampilan dalam mempergunakannya. Selain itu, menjalin hubungan antar organisasi jurnalis dan grass-root di negara lain pun menjadi sangat penting demi terealisasinya pertukaran informasi yang dapat mengedukasi satu sama lain. ***
Pustaka:
Literatur
Gutsche Jr, Robert dan Rafikova, Alina. 2018. Journalism and Geography. dalam: Journalism. Handbook of Communication Science.Tim P. Vos, Mouton de Gruyter,
Gutierrez, Miren and Milan, Stefania. 2017. Technopolitics in the Age of Big Data. dalam ‘Networks, Movements & Technopolitics in Latin America: Critical Analysis and Current Challenges.’. Disusun oleh F. Sierra Caballero and Tommaso Gravante, Palgrave Macmillan, pp. 95-109.
Harvey, D. 2005. The Sociological and Geographical Imaginations. International Journal of Politics, Culture, and Society, 18(3/4), 211-255. Retrieved from www.jstor.org/stable/20059684.
Umar, A. R. M., Darmawan, A. B., Sufa, F., & Ndadari, G. L. 2014. Media Sosial dan RevolusiPolitik: Memahami Fenomena “Arab Spring” dalam Perspektif Ruang Publik Transnasional.Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 18(2), 114–129
World Meteorological Organization 2019. WMO statement on the state of the global climate in 2018. WMO-No. 1233, 1–44
World Meteorological Organization 2019. The Global Climate in 2015–2019. World Meteorological Organization, Geneva.
Website
BBC. (2019). Climate change: Greenhouse gas concentrations again break records. Diakses 29 Desember, 2019, darihttps://www.bbc.com/news/science-environment-50504131.
Mongabay. (2020). Floods in Indonesia’s capital kill nine, force thousands to evacuate. Diakses 2 Januari, 2020, dari https://news.mongabay.com/2020/01/environmental-damage-exacerbates-jakarta-flooding-amid-record-rainfall/.
Reuters. (2019). How Greta Thunberg’s climate strikes became a global movement in a year. Diakses 29 Desember, 2019, dari https://www.reuters.com/article/us-global-climate-thunberg/how-greta-thunbergs-climate-strikes-became-a-global-movement-in-a-year-idUSKCN1VA001.
The Guardian. (2019).Corporations pile pressure on Brazil over Amazon fires. Diakses 29 Desember, 2019, dari https://www.theguardian.com/world/2019/aug/30/corporations-pile-pressure-on-brazil-over-amazon-fires-crisis.
The Guardian. (2020). Jakarta floods leave 21 dead and 30,000 homeless. Diakses 2 Januari, 2020, dari https://www.theguardian.com/world/2020/jan/02/floods-inundate-jakarta-deaths-20000-homeless-indonesia?CMP=share_btn_fb&fbclid=IwAR0eulVJQ2LLncaIw-jNG_X8GIcESv2mU0Huk_U2Mje8yEgYhS-iNUvBQIw.
The Guardian. (2019). Nestlé plan to take 1.1m gallons of water a day from natural springs sparks outcry. Diakses29 Desember, 2019, darihttps://www.theguardian.com/business/2019/aug/26/nestle-suwannee-river-ginnie-springs-plan-permit..
Vox. (2019). Greta Thunberg is leading kids and adults from 150 countries in a massive Friday climate strike. Diakses 29 Desember, 2019, dari https://www.vox.com/2019/9/17/20864740/greta-thunberg-youth-climate-strike-fridays-future.
Setelah sekian lama menghilang dari peredaran, eh tahunya muncul di sini. Mantap thariq kuu