Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, terjadi peningkatan emisi gas rumah kaca dalam skala dunia. International Energy Agency (IEA) mencatat pada tahun 2017, dari 32.840 milyar ton gas karbondioksida yang ada di seluruh dunia, 496 milyar ton diproduksi di Indonesia.[1] Peningkatan jumlah karbondioksida ini berdampak pada peningkatan suhu rata-rata bumi. Dengan merujuk data set dari Berkeley Earth, Mooney dan Musykens (2019) menyebutkan sekitar sepersepuluh dari dunia dan tersebar di seluruh daerah kutub utara mengalami peningkatan suhu lebih dari 2 derajat celcius. Sekitar 20 persen dari planet memanas hingga 1,5 derajat celcius, termasuk Kalimantan dan Sumatera. Lebih lanjut, lima tahun terakhir menjadi suhu terpanas daripada tahun 1800-an.[2] Peningkatan suhu bumi ini mengakibatkan melelehnya es di kutub utara sehingga mengakibatkan kenaikan permukaan air laut dengan rata-rata 3 mm pertahun sejak 1993. Lelehan es Greenland dan Antartika akan menimbulkan kenaikan tajam permukaan laut dan mengakibatkan bencana di beberapa negara-negara dataran rendah seperti Bangladesh, Vietnam, dan negeri-negeri kepualauan.
Magdoff dan Foster (2018) menyebutkan terdapat persoalan lebih kronis terkait lingkungan dalam dekade terakhir. Selain kenaikan permukaan laut, mereka juga menyebutkan lelehan es Samudra Arktik akan mengurangi pantulan balik sinar matahari dan dengan begitu meningkatkan pemanasan global. Krisis lain yang harus kita jumpai adalah kekurangan air bersih. Ini diakibatkan oleh hilangnya glasier yang berfungsi sebagai penyimpan air akibat pemanasan global. Selain itu, pemanasan global juga berdampak pada suhu samudra yang lebih hangat dari sebelumnya yang terjadi selama 50 tahun terakhir, berdampak pada berkurangnya fitoplankton dan berimlikasi pada terganggunya rantai makanan. Angus (2019) menyebutkan kadar karbondioksida tidak mampu lagi ditangani oleh siklus karbon sebagaimana biasanya sehingga berdampak pada tanaman di daratan.[3] Artinya, kerusakan rantai makanan di darat dan laut akan membawa kita pada krisis pangan. Selain itu, anomali musim yang kian sulit lagi diprediksi. Kekeringan yang mencekam di beberapa wilayah ketika musim kemarau berkepanjangan seperti bagian utara India dan timur laut Afrika bahkan dalam 10 tahun kekeringan juga mengancam Australia. Namun, ketika hujan turum, curahnya seringkali begitu lebat yang menyebabkan banjir dan memakan korban.[4]
Salah satu upaya untuk mengurangi peningkatan emisi gas rumah kaca di antaranya beralih ke mobil elektrik (electric vehicle). Hal ini ditengarai karena sektor kendaraan menyumbang 28,62 persen dari total karbondioksida. Upaya seperti ini banyak diadopsi dan dikembangkan di beberapa negara. Elon Musk, CEO Tesla, menganggap kendaraan elektrik merupakan solusi yang relevan untuk mengatasi problem emisi gas rumah kaca. Di Indonesia, untuk peningkatan efisiensi energi bersih dan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable) disambut melalui rancangan percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.[5] Dalam aturan ini, terdapat pembebasan bea masuk kendaraan basis baterai. Dengan cepat pemain kendaraan elektrik memasuki pasar Indonesia diantaranya Toyota Motor Corp. dan Hyundai Motor Co. dengan industri mobil di Karawang dengan jumlah investasi masing-masing US$ 2 dan US$ 1 miliar, dan tak kalah Mobil Anak Bangsa dan BYD Auto Bakrie Autoparts mengembangakan industri kendaraan massal dengan target masing-masing 1.200 dan 2.000 unit/tahun.[6] Untuk meningkatan permintaan terhadap mobil lisrik, ada insentif PPnBM hingga 0%, pembangunan infrastruktur pengisian daya, biaya parkir, dan terbebas aturan ganji-genap.[7] Mengutip Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, insentif fiskal ini akan memangkas perbedaan harga antara mobil elektrik dan mobil konvensional hingga 10% atau 15%.[8]
Di sisi energi, nikel menjadi unsur penting sebagai bahan penyusun baterai litihium (LIB). Sebab, unsur penting seperti lithium nikel kobalt aluminium (NCA) dan lithium nikel mangan kobalt oksida (NMC) sangat bergantung pada nikel. Produsen baterai kendaraan elektrik, Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. (CATL) mulai memproduksi secara massal baterai dengan kandungan nikel tinggi. Dalam dua tahun ke depan, perusahaan ini akan memperkenlakan baterai NMC 811, yang berisi 80% nikel, 10% mangan, dan 10% kobalt, diklaim mampu bertahan lebih lama dari versi sebelumnya. Untuk membantu percepatan pengembangan baterai lithium, digandeng beberapa lembaga penelitian dan pendidikan tinggi seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Artinya, transisi menuju kendaraan yang lebih berkelanjutan atau kendaraan listrik meningkatkan permintaan nikel secara langsung.
Konsekuensi dari meningkatnya minat terhadap kendaraan elektrik dan baterai lithium sebagai turunannya, berdampak pada peningkatan industri pengolahan nikel. Sebagai negara dengan cadangan nikel seperempat dari dunia, Indonesia telah memposisikan diri sebagai pusat investasi industri baterai lithium. Besarnya Inward Foreign Direct Investment (FDI)[9] salah satunya diakibatkan oleh masuknya proyek baterai lithium berbasis nikel. Kolaborasi antara Contemporary Amperex Technology (CATL) dan Jingmen GEM New Material.Co Ltd. menjadi salah satu proyek ekslporasi nikel di Indonesia Morowali Industiral Park (IMIP). Selain itu, TESLA Inc. misalnya memasuki industri ini dengan jumlah investasi US$ 4 miliar. Dalam lima tahun ke depan, akan ada 25 proyek dengan nilai US$ 70-80 miliar.[10] Masuknya investasi ini mencerminkan secara umum prospek Indonesia dalam mengelola sumber daya alam khususnya nikel.
Laporan dari Sangadji et. al (2019) relevan untuk memeriksa pengelolaan nikel khususnya kebutuhan Baterai lithium. Laporan tersebut menggunakan pendekatan rantai nilai komoditas global. Pendekatan ini mengasumsikan, pembangunan kapitalisme yang tidak merata (uneven capitalism) sehingga mengakibatkan terfragmentasinya beragam pengorganisiran produksi secara global. Pengorganisiran produksi komoditas ini terhubung dalam rantai komoditas di utara dunia (global north) dan selatan dunia (global south) yang dimotori perusahaan multinasional.
Sedikit Tentang Rantai Komoditas Global
Intan Suwandi (2019) menyebutkan produksi komoditas dalam kapitalisme abad dua puluh satu tidak dapat lagi dipahami sebagai agregasi ekonomi nasional semata yang terpisah. Bahkan sebaliknya, produksi komoditas semakin terorganisir dalam rantai komodoitas global yang diatur perusahaan multinasional. Bentuk perusahaan ini sebenarnya sudah dikenal dan diidentifikasi Lenin sebagai tahap tertinggi kapitalisme, yaitu gerak kapital melampaui batas-batas teritorial yang ada sebelumnya. Perusahaan multinasional menjadi cukup digdaya untuk mengatur dinamika ini lantaran konsentrasi dan sentralisasi kapital melalui proses produksinya yang khas yakni akumulasi kapital. Walaupun memiliki ciri pengelolaan produksi yang sama, penetrasi di setiap wilayah tertentu mengalami segregasi dan terbentuk dalam proses yang menyejarah. Pembangunan yang tidak merata mengakibatkan terjadi kesenjangan antara utara dunia (Global North) dan selatan dunia (Global South) serta kertergantungan yang langgeng.[11]
Rantai komoditas global berusaha mengungkapkan proses konkret yang melaluinya perusahaan multinasional, yang umunya berlokasi di utara dunia (Global North), mengeruk nilai surplus dari selatan dunia (Global South). Setidaknya dalam rantai komoditas global memiliki tiga elemen berbeda yakni: (1) elemen produksi, yang menghubungkan bagian-bagian dan komoditas dalam rantai produksi yang kompleks; (2) elemen nilai, yang berfokus pada peran mereka sebagai ‘rantai nilai’, mentransfer nilai antara dan di dalam perusahaan secara global; dan (3) elemen monopoli, yang mencerminkan rantai komoditas global di kendalikan oleh kantor pusat, utamanya di utara dunia (Global North).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, elemen pertama rantai komoditas global adalah pemisahan produksi yang terspesialisasi berdasarkan karakteristik tertentu dalam satu teritorial dan terintegrasi dengan yang lain melalui koordinasi perusahaan multinasional. Secara umum, alih daya keluar (off-shoring) yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, utamanya ke negara selatan (Global South) adalah untuk mengejar efisiensi. Upah buruh murah, tanah yang lebih terjangkau, dan aturan lingkungan yang lebih longgar yang ada, menyebabkan upaya ekspor kapital ke dunia selatan. Intan Suwandi (2019) melalui pengabungan pengukuran upah dan produktifitas, menunjukkan bahwa negara-negara yang berpartisipasi aktif dalam rantai komoditas global seperti Tiongkok, India, dan Indonesia biaya tenaga kerja per-unitnya tergolong rendah tetapi produktifitas yang tinggi. Artinya, perusahaan multinasional berhasil mentransfer nilai-lebih yang lebih besar dari kantor cabang ke kantor pusat seperti yang disebutkan pada elemen kedua. Elemen terakhir, yakni adanya monopoli yang nampak seperti desentralisasi kekuasaan. Intan Suwandi (2019) menjelaskan bagaimana perusahaan multinasional mengendalikan rantai komoditas melalui penerapan rasionalisasi sistemik dan produksi fleksibel.[12] Nathan (2018) menyebutkan terdapat tiga hal yang memungkinkan kemudahan alih daya keluar yaitu: (1) perkembangan telekomunikasi dan informasi memungkinan koordinasi secara rinci produksi yang tersebar di jarak yang jauh bukan lagi menjadi persoalan, dan (2) revolusi logisitik yang semakin efisien sehingga memudahkan perpindahan komoditas, dan (3) penyebaran kemampuan manufaktur di negara selatan.
Kompleksitas Industri Pengelolaan Nikel di Sulawesi
Dalam U.S Geological Survey menyebutkan Indonesia sebagai negara produsen nikel terbesar kedua setelah Tiongkok dengan produksi pada tahun 2017 dan 2018 masing-masing sebesar 83.000 ton, dengan cadangan 800.000 ton, lebih kecil dari Tiongkok dengan besaran 1.100.000 ton. Badan Geologi mencatat setidaknya ada 230 titik sumber daya alam nikel yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Timur.
Gambar 1: Potensi Bahan Tambang Wilayah Sulawesi
Secara historis, industri pengelolaan nikel utamanya di Sulawesi bergantung pada modal luar negeri, utamanya yang berkantor pusat di utara dunia (global north). Seperti yang disebutkan oleh Robison (1986), sejak dibukanya keran investasi asing melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA), PT. Inco Indonesia sekarang bernama PT. Vale Indonesia yang berkantor pusat di Kanada resmi beroperasi untuk pengelolaan nikel di Sorowako melalui kontrak karya (KK) yang dimulai pada tahun 1996. Sebelum larangan ekspor mineral mentah di tahun 2014, Indonesia masuk kedalam tiga besar negara pengekspor nikel dan mineral ikutannya. Hal ini dilakukan untuk mengembangan industri pengolahan dan meningkatkan profitabilitas sektor pertambangan dalam negeri. Kebijakan ini setidaknya memaksa tambang-tambang yang tidak mampu membangun smelter untuk gulung tikar. Tidak dipungkiri terjadi pemutusan hubungan kerja sekitar 30.000 pekerja. Baru pada tahun 2017, ekspor nikel mentah dengan kadar kurang dari 1,7 persen kembali dibuka dengan syarat pembangunan smelter paling lambat lima tahun.[13] Meskipun ada aturan seperti itu, menurut laporan ini ekspor nikel di tahun 2018 masih terhitung besar (lihat grafik 1).
Larangan untuk mengekspor nikel secara efektif berlaku pada tahun 2020 ini. Pemain dengan modal besar seperti Vale, Antam, PT. Aquila Sponge Nickle, PT. Nusajaya Persadatama Mandiri, PT. Sulawesi Mining Investment (SMI), PT. PAM Metalindo, dan perusahaan tambang nikel yang sebagian besar berkantor pusat di Tiongkok, dapat memanfaatkan aturan ini untuk memperkecil persaingan bisnis dan mengontrol internal perdagangan nikel. Di Sulawesi, setidaknya ada tiga proyek pembangunan smelter yang semuanya melalui mekanisme pendanaan swasta, yaitu: (1) smelter morowali, dengan investasi sebesar Rp. 32.400 triliun berukuran 219,28 Ha, kerjasama antara PT. Sulawesi Mining Investment (SMI) dan PT. Indonesia Guang Ching Nickle and Stainles Steel Industry; (2) smelter Konawe, salah satu daerah nikel di Sulawesi Tenggara, berhasil didirikan smelter Rp. 13.432 triliun melalui kerjasama PT. Cahaya Modern Metal Industri, PT. Virtue Dragon Nickel Indonesia, PT. COR Industri Indonesia, PT. Karyatama Konawe Utara; dan (3) smelter Bantaeng swasta dengan luas 3.000 Ha. Pembangunan smelter ini berkontribusi bagi peingkatan produksi nikel pig iron (NPI).[14] PT. Sulawesi Mining Investment (SMI) menjadi salah satu pemasok nikel pig iron bagi produksi baterai litihium.
Jaring-jaring produksi komoditas nikel memang sangat kompleks. Perusahaan-perusahaan multinasional yang bekerja dalam industri ini menjadi bagian dari perusahan holding.[15] Mengutip Mulyanto (2018), pengorganisasian seperti ini memungkinkan untuk mendapatkan kendali yang efektif terhadap sejumlah perusahaan dengan proporsi modal yang lebih sedikit melalui sistem kepemilikan saham mayoritas. Sebagai catatan, walaupun perusahaan multinasional yang ada telah bekerja di banyak negara dan beragam pasar namun tetap mewakili konfigurasi kapital-kapital nasional penting. PT. Sulawesi Mining Investment, misalnya, adalah hasil penggabungan modal dari Shanghai Decent Investment Co. Ltd. dengan PT. Bintang Delapan Investama.[16] Sementara, Shanghai Decent Investment Co. Ltd adalah anak perusahaan dari Tsingshan Holding Group.
Selanjutnya, PT. Sulawesi Mining Investment bersama PT. Bintang Delapan Investama dan Shanghai Decent Investment Co. Ltd. mendirikan PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali. Proyek yang merupakan bagian dari kawasan industri prioritas. Selanjutanya dalam IMIP sendiri merupakan kompleks industri dengan luas 2.000 Ha yang membentuk produksi rantai nilai untuk banyak komoditas yang dihasilkannya dalam jarak spasial pendek melalui pengoperasian pabrik (tenant), energi, pelabuhan,[17] bandara dengan landasan 1.800 meter, dan jaringan telekomunikasi[18]. Dan dalam waktu dekat, kawasan produksi industri berbasis nikel ini diprediksi akan terus meningkat, seperti yang diungkapkan Slamet Victor Pangabean, Senior Vice Presiden PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), akan dibangun tiga unit pabrik baterai litihium. Dengan cara ini, pemasok dan pabrik di dalam kawasan saling terhubung sehingga proses produksi berbasis nikel beserta industri turunannya dilakukan dengan biaya yang lebih rendah dan terhubung dalam jaringan distribusi secara global (Lihat gambar 2).
Gambar 2: Pengembangan Koridor Ekonomi Sulawesi
Mengetahui lebih lanjut mengenai kalkulasi nilai yang ditransfer dari jalinan rantai komoditas nikel yang kompleks tetapi berujung pada segelintir perusahaan nasional dan multinasional yang berkantor pusat di dunia utara diakui sangat sulit karena belum tersedianya data keuntungan gabungan dari semua industri nikel yang ada. Meskipun seperti itu, laporan Sangadji et.al (2019) mencoba memperkirakan nilai yang ditransfer dari kantor cabang basis yang ada di Indonesia ke kantor pusat. Dengan mengutip laporan laba bersih perusahaan publik, Vale dapat mentransfer nilai ke kantor pusat mencapai 42,7 juta euro, setelah dikurangi pajak penghasilan 20 juta euro dan pungutan lain sebesar 11,9 juta euro pada tahun 2018. Gambaran seperti ini menunjukkan imperialisme baru, sebagai buah dari ekspor kapital, melalui perluasan modal dengan menangkap laba surplus di luar batas ekonomi kantor pusat atau batas-batas nasional tertentu.
Kontradiksi Pembangunan Ekonomi di Morowali
Hadirnya kawasan industri nikel berkontribusi pada peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) di Morowali. Bisa ditebak, sektor manufaktur meningkat dari 8,13% pada 2014 menjadi 36,17% pada tahun 2018. Namun, angka ini harus dibayarkan dengan menurunnya secara drastis sektor pertanian. Walaupun masih ada yang bertahan menjadi petani, warga mulai beralih ke sektor-sektor yang lebih informal. Selain hilangnya akses warga terhadap sumber daya hutan seperti damar dan rotan, kebijakan pemerintah untuk tidak lagi memprioritaskan kebutuhan pertanian seperti pengadaan sawah dan irigasi, alih fungsi lahan ke sektor non-pertanian, dan rusaknya sungai mejadi pendorong peralihan profesi warga di sana. Ketidakmampuan warga untuk memenuhi keterampilan yang dibutuhkan industri sehingga IMIP mempekerjakan ribuan pekerja dari luar negeri yang tidak jarang melahirkan konflik sosial. Pilihak profesi lain, seperti memasok bahan makanan, sayuran, dan buah-buahan ke IMIP karena wilayah ini tidak mampu untuk memenuhi pasokan makanan. Ada juga yang beralih untuk membuka warung makan, rumah kos, dan toko.
Penambangan terbuka di sana telah mengubah lanskap hutan, menghilangkan keanekaragaman hayati, erosi, menghadirkan polusi udara, dan sendimentasi sungai. Banjir bandang yang kian akrab dengan warga Morowali khususnya di tiga kecamatan yakni Bahadopi, Keurea, dan Bahomakmur. Banji di Bahadopi ini dinilai menjadi yang terparah sebab berdampak pada ratusan pemukiman serta fasilitas umum hingga dua meter hingga jembatan yang ambruk. Aries Bira, Walhi Sulawesi Tengah, menduga banjir disebabkan oleh pembabatan hutan secara massif sejak beroperasinya smelter PT. Bintang Delapan Mineral. Belum lagi buangan tailing yang dibuang ke sungai sehingga air menjadi tercemar.[19]
Dari segi energi, hingga kini dibutuhkan 1.130 MW yang mengonsumsi sekitar enam juta ton batubara per tahun untuk mengoprasikan seluruh kompleks industri. Kebutuhan energi sebanyak ini terkait erat dengan industri pertambangan batu bara yang dinilai oleh beberapa ahli sebagai energi yang kotor. Walaupun berbagai upaya seperti pemasangan electrostatic precipitators (ESP) dan alat-alat lain dinilai belum efektif untuk mengurai polutan. Hal ini tentunya menimbulkan banyak warga sekitar yang menderita masalah pernapasan dan tuberkolosis.
Terakhir, menyangkut isu ketenakerjaan yang tidak kalah kontradiktifnya. Kerentanan hidup, resiko kecelakaan kerja, dan ketiadaan kontrak kerja justru dialami oleh pekerja di sana. Upah dasar yang tinggi secara nominal dibandingkan tempat lain mengakibatkan meluapnya jumlah pelamar pekerjaan pada perusahaan di dalam kawasan Industri ini. Upah dengan nominal Rp. 3,3 juta perbulan ditambah upah lembur yang bervariasi dari 5 juta hingga 7 juta perbulan dihabiskan untuk kebutuhan dasar misalnya makanan, rumah kost, serta bensin untuk kendaraan mereka. Namun, gaji dengan nominal yang besar tidak serta-merta memungkinkan pekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Tengah memperkirakan sebanyak 154 orang, terlepas dari jenis atau tingkat, mengalami kecelekaan kerja. Kerentanan kerja dan eksploitasi seperti ini dialami oleh semua pekerja, tanpa mengenal warna kulit, asal negara, atau agama.
Penutup
Dari laporan ini, kita melihat kekaburan dari klaim ramah lingkungan dan keberlanjutan dari kendaraan elektrik, bahkan menunjukkan tahapan dari suatu imperialisme. Pengelolaan nikel di Indonesia yang didominasi oleh kekuatan modal luar negeri melalui foreign direct investment (FDI) berada dalam jaringan produksi komoditas yang kompleks seperti bahan baku untuk baterai lithium (LIBs) mobil elektirik (EV). Masalah-masalah yang hadir membentang dari lingkungan, kesehatan, ketenegakerjaan, hingga berubahnya corak masyarakat di sana. Pada akhirnya, menunjukkan adanya laba surplus yang diserap di luar batas ekonomi kantor pusat atau batas-batas nasional tertentu. Hal lain yang bisa kita perhatikan yakni elemen monopoli, yang mencerminkan rantai komoditas global di kendalikan oleh perusahaan multinasional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengelolaan nikel sebagai imperialism baru di Indonesia. Hal ini akan jauh lebih buruk, jika secara legal pemerintah melonggarkan aturan tentang lingkungan dan ketenagakerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Angus, Ian. (2019). Capitalism versus the Global Carbon Cycles. Climate & Capitalism.
Foster, J. Bellamy. (2007). The Imperialist World System: Paul Baran’s Political Economy of Growth After Fifty Years. Monthly Review.
Foster, J. Bellamy. (2015). The New Imperialism of Globalized Monopoly Finance Capital. Monthly Review.
Magdoff, Fred. Foster, B. John. (2018). Lingkungan Hidup dan Kapitalisme. Tangerang: Marjin Kiri.
Mooney, Chris. Muyskens, John. (2019). Dangerous New Hot Zones are Spreading Around the World. The Washington Posh.
Nathan, Dev. (2018). Imperialism in the 21st Century: Global Value Chains and International Labour Arbitrage. Monthly Review.
Robison, Richard. (1936). Indonesia: The Rise of Capital. New South Wales: Allen & Unwin Pty. Ltd.
Suwandi, Intan. (2019). Outsourcing Exploitation: Global Labour-Value Chains. Monthly Review.
Suwandi, Intan. Fosterm J. Bellamy. (2017). Perusahaan Multinasional dan Globalisasi Kapital Ekonomi: Tahun 1960-an Sampai Sekarang. Jurnal IndoPROGRESS Vol.II No.8.
Suwandi, Intan. Jonna, R. Jamil. Foster, J. Bellamy. (2019). Global Commodity Chains and the New Imperialism. Essay in True Democracy and Capitalism.
Sangdaji, Arianto. Et.al. (2019). Road to Ruin: Challenging the Sustainable of Nickel-based Production for Electric Vehicle Batteries. Rosa Luxemburg Stiftung.
[1] Informasi ini dikelola dengan merujuk data-set dari International Energy Agency dari tahun 1990 hingga 2017.
[2] Mooney, Chris. Muyskens, John. (2019). Dangerous New Hot Zones are Spreading Around the World. The Washington Posh.
[3] Angus, Ian. (2019). Capitalism versus the Global Carbon Cycles. Climate & Capitalism.
[4] Magdoff, Fred. Foster, B. John. (2018). Lingkungan Hidup dan Kapitalisme. Tangerang: Marjin Kiri. Hal: 8-13.
[5] Lebih lanjut, Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan.
[6] Pusparisa, Yosepha. (2019). Infografik: Lima Pemain Mobil Listrik di Indonesia. Katadata.co.id.
[7] Lebih lanjut, Alika, Rizki. (2019). Kemenhub: Pengguna Kendaraan Listrik Bebas Aturan Ganjil-Genap. Katadata. Sulmaihati, Fariha. (2019). BUMN Bersiap Bangun 180 Stasiun Pengisi Daya Kendaraan Listrik di 2020. Katadata.co.id.
[8] Alika, Rizki. (2019). Ada Insentif Pajak, Harga Mobil Listrik Konvensional Cuman Beda 15%. Katadata.co.id.
[9] Data OECD meneyebutkan, jumlah Inward Foreign Direct Investment (FDI) Indonessia sebesar 22% dari GNP dan outward 6% dari GNP.
[10] Daud, Ameidyo. Alika, Rizki. (2019). Bertemu Mendag AS, Luhut Ajak Tesla Bangun Pabrik Baterai Lithium. Katadata.co.id
[11] Foster, B. John. (2007). The Imperialist World System: Paul Baran’s Political Economy of Growth After Fifty Years. Monthly Review.
[12] Intan melihat pola ini pada produksi germen.
[13] Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 dan turunannya dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomoer 06 Tahun 2017
[14] Nikel pig iron (NIP) merupakan feronikel berkadar rendah dan menjadi alternatif pengganti feronikel sebagai bahan baku pembuatan baja tahan karat. Pembuatannya dilakukan dengan campuran nikel kadar rendah seperti biji limonit yang dicampur dengan kokas batubara, pasir, dan kerikil dengan argegat tertentu. Lebih lanjut Arif, Irwandi. (2018). Nikel Indonesia. Hal: 100-101.
[15] Perusahaan holding adalah perhimpunan sejumlah perusahaan dari cabang-cabang produksi berbeda yang secara formal mandiri tetapi sepenuhnya dikendalikan oleh satu atau sebagian kecil kapitalis yang menjadi semacam perusahaan induknya. Lebih lanjut, Mulyanto, Dede. (2018). Geneologi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi-Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik. Hal: 224.
[16] PT. Sulawesi Mining Investment (SMI) di dirikan pada tahun 2009 http://imip.co.id/pt-sulawesi-mining-investment/
[17] Pelabuhan di kawasan IMIP ini dikelola oleh PT. Bintang Delapan Terminal, kerasama Shanghai Decent Investment Co. Ltd dengan PT. Bintang Delapan Mineral dengan kapasitas 92.000 ton.
[18] https://www.indotelko.com/read/1450410021/telkom-genjot-broadband-kawasan-industri
[19] Lebih lanjut, Paino, Christopel. (2015). Banjir Bandang yang Kian Akrab Menerjang Morowali. Mengapa Terjadi. Mongabay. Dan Andika. (2018). Ketika Pabrik Smelter Datang Warga Morowali Utara Terimpa Beragam Masalah. Mongabay.
Comments 1