Melawan Otoritas Produser Hukum Islam di Aceh Melalui Wacana Keislaman yang Progresif

790
VIEWS
Sumber foto: dokumentasi Rizki Affiat
Sumber foto: dokumentasi Rizki Affiat

Wawancara dengan Fuad Mardhatillah

Hingar bingar suasana 4 November di Jakarta tampak berbeda dengan Aceh. Kecuali satu baris kecil mahasiswa yang berdemo membawa slogan-slogan anti Ahok keluar dari arah Taman Ratu Safiatudin, Banda Aceh, nyaris tidak ada aksi paralel menyikapi greget politik ibukota itu. Meski sebagian masyarakat Aceh mengikuti animo berita yang didominasi seputaran demonstrasi besar 411 di Jakarta, atmosfer Banda Aceh yang sedang musim hujan itu lebih disibukkan oleh persaingan seru para calon gubernur Aceh jelang Pilkada 2017 yang salah satunya akan menentukan nasib politik syariah dan etnonasionalisme Aceh di masa depan.

Suasana seperti itu bahkan sudah terasa di bulan-bulan sebelumnya. Problem keislaman yang dihadapi Aceh telah berkelindan dengan ragam sentimen kekuasaan, ekonomi, dan identitas – dalam konteks tertentu, jelas lebih rumit ketimbang lapisan kepentingan dan harapan atas kebangkitan kesadaran kelas dari aksi menggoyang Ahok di jantung NKRI. Bisa dikatakan, aksi 411 di Jakarta hanya menjadi selingan obrolan berbagai kalangan di Aceh yang sebagian justru memprotes kenapa seolah segala kericuhan dan aksi demo terkait Ahok harus menjadi politik arus utama dan tontonan nasional selama berhari-hari. Kini terpinggir dari perhatian pemerintah pusat, perkembangan politik Aceh akhirnya penuh dengan manuver lokal dan kendala untuk berdialektika. Namun, serupa demonstrasi massal berbagai kelompok Islam di Jakarta kemarin, Aceh juga memiliki dilema serupa: persoalan ekonomi politik berbalut identitas (“Islam”).

Setelah perjanjian damai ditandatangani antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI lebih dari 10 tahun lalu, kelas menengah dan elitebaru bermunculan di Aceh, menguasai sentra-sentra sumber daya ekonomi dan kekuasaan. Mereka termasuk pengusaha, politisi, aktivis NGO, maupun sebagian mantan kombatan yang mendapat beragam proyek pembangunan, yang mungkin dapat dilihat sebagai peace dividend. Kondisi Aceh digempur oleh multi donor fund trilyunan rupiah disertai berbagai eksperimen program-program NGO untuk pemberdayaan. Namun, seiring itu muncul ambivalensi nilai dan ketegangan seiring dengan geliat identitas keacehan-Islam yang kerap sebatas simbol.

Paralel dengan fenomena itu, segelintir “elit syar’i” muncul. Term ini dilontarkan oleh salah seorang peserta pertemuan Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) Aceh untuk menyebut mereka yang ‘mendukung’ formalisasi Syariat Islam sambil membuat pengajian eksklusif, dengan mendatangkan para ustad dari luar yang berbiaya tinggi, dengan para jamaahnya datang dengan mobil-mobil mewah, catering mahal, sambil berjualan jilbab dan pakaian ‘islami’ berharga tinggi.

Di lain sisi, rakyat jelata yang tak punya akses pada kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi menjadi target mudah untuk kepentingan pencitraan bagi upaya pelestarian kekuasaan, dari pelaksanaan operasi qanun dan razia, yang membuat kelompok marjinal terkena dampak pemiskinan struktural ketika mereka sekedar menjadi objek realisasi penghukuman qanun.

Di akhir tahun 2015, DPR Aceh mensahkan Qanun Pembinaan Aqidah yang resmi diterapkan awal Januari 2016, disusul pengesahan Qanun Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah pada bulan Juli 206 lalu. Di Aceh, aliran Sunni bermazhab Syafii diakui secara luas sebagai Islam yang dianggap benar, yang resiprokal dengan Qanun Pembinaan Aqidah. Penerapan ‘politik syariat’ ini tak saja mengkonstruksi kesadaran atas dikotomi hitam-putihtapi juga dalam realitanya mendorong masyarakat untuk saling ‘curiga’, bahkan ikut menghakimi dan menyerang tetangga dan orang-orang di sekitar mereka yang diindikasikan melanggar qanun.

Fuad Mardhatillah adalah satu dari sedikit intelektual Aceh yang secara terbuka mencoba melakukan perlawanan atas kondisi ini. Ia menawarkan sebuah diskursus kontroversial dan mengambil sikap prinsipil untuk menolak hegemoni beragama. Pertama adalah ketika ia menggagas terma ‘Islam Protestan’ sebagai konsep perlawanan di tahun 2008. Kedua, ketika ia berdiri bersama anaknya yang ditangkap atas tuduhan bergabung di Gafatar yang divonis sebagai aliran sesat tahun 2015 lalu, dan ketiga, ketika ia atas nama lembaga membela posisi Rosnida Sari yang menerima hujatan dan ancaman karena membawa mahasiswanya belajar di gereja juga di tahun 2015.

Saya bertemu dengan Fuad Mardhatillah pada bulan Oktober di sebuah warung kopi pada suatu sore dekat kampus UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, tempatnya mengajar selama bertahun-tahun. Fuad Mardhatillah adalah dosen Filsafat Pendidikan di Fakultas Tarbiyah. Ia menyandang gelar MA dalam Filsafat Politik Islam dari Universitas McGill, Montreal, Kanada dan pernah menjabat sebagai Deputi BRR Aceh-Nias bidang Agama, Sosial, dan Budaya. Tahun lalu ia didaulat sebagai Direktur Eksekutif Aceh Institute untuk periode 2015-2020, namun akhirnya berhenti dari posisi itu akibat kasus yang dihadapi anaknya. Ia juga merupakan salah satu dosen senior yang dulu turut mendidik sederetan mahasiswa yang kini telah menjadi aktivis dan kaum intelektual muda Aceh.

Kami baru saja berjumpa kembali di acara Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat sehari sebelumnya sebagai bagian dari forum yang mencoba membangun gerakan advokasi yang kritis terhadap implementasi Syariat Islam di Aceh. Di forum itu ia sepakat dengan fenomena “Elit Syar’i” vis-a-vis ketidakadilan berlapis yang dihadapi  rakyat jelata terkait qanun-qanun tersebut. Ia sendiri mendesakkan urgensi kontekstualisasi dan agar silent majority di Aceh yang menyadari persoalan ini bisa angkat bicara. 

Sore itu hujan deras baru usai mengguyur. Ia menyambut saya dengan gaya khasnya yang rendah hati. Dua kopi pancung dipesannya, sementara saya cukup dengan teh panas. Wawancara sempat disela oleh adzan Maghrib. Lampu dimatikan dan pintu-pintu ditutup. Usai shalat, aktivitas ruang publik dibuka kembali. Kami lanjut berbincang.

“Inilah situasi kontemporer kaum Muslim Aceh yang secara sadar mempertahankan situasi kegelapan demi kepentingan sempit dan primitif,” begitulah salah satu ungkapan keprihatinannya. “Masa lalu sering secara absurd dianggap mampu menyelesaikan segala problem masa kini yang kompleks, dengan romantisasi mengembalikan kejayaan masa lalu yang tidak jelas bentuk kejayaannya, tanpa pemahaman metodologis-praksis untuk pelaksanaan dari mimpi-mimpi romantismenya.”

Suasana warung kopi saat itu ramai oleh riuh rendah pengunjung namun tidak menyurutkan semangatnya untuk menjawab tajam serangkaian pertanyaan yang diajukan padanya. Kami pun mengobrol panjang lebar:

IB: Jika kita lihat cacatan sejarah kekerasan di Aceh, ada perang melawan Belanda, Perang Cumbok di tahun 1940an, DI/TII tahun 1950an, pembasmian PKI tahun 1965, Aceh merupakan provinsi pertama yang dihabisi, disusul konflik berkepanjangan antara GAM dan RI sejak 1976. Ini kombinasi kekerasan berbasis jihad atas kolonialisme, konflik ulama-tuan tanah, pembantaian terhadap komunis dan pengikutnya, serta perlawanan atas sentralisme Orde Baru yang ditutup oleh tsunami. Elemennya lengkap: agama, akses ekonomi, konflik kelas, bencana alam. Setelah semua itu, kini Aceh berada di persimpangan apa? 

Benarkah orang Aceh sedang berada di persimpangan? Saya gak yakin bahwa mereka menyadarinya atau sedang berpikir untuk coba menentukan jalan-pilihan yang mau ditempuh, terutama mereka yang berada di kalangan elit. Salah satu krisis krusial dan mendasar hari ini dalam masyarakat elit adalah krisis ketidaksediaan untuk berpikir jujur, objektif mendasar dan serius dalam mengenali dan memahami secara kritis dan meresponnya secara cerdas, bijak dan berani.

Di sisi lain, masyarakat akar rumput lebih sekedar menjadi objek mobilisasi yang dengan mudah dapat disetir ke arah maunya kalangan elit. Seseorang yang sedang berada di persimpangan biasanya menggambarkan seorang yang sedang bingung sekaligus berpikir, merenung, mengkaji untuk kemudian memastikan pilihan jalan yang harus dipilih.

Secara umum, masyarakat Aceh di berbagai kalangannya kini tampak hanya menjalankan rutinitas kegiatan secara business as usual, tanpa memiliki perspektif dan orientasi tentang keharusan berubah. Mereka hanya memelihara khazanah budaya, tradisi masa lalu dan kebiasaan yang sudah lazim berlangsung dalam kehidupan masyarakat sejak dulu hingga kini yang kemudian dipandang sebagai sumber kebenaran. Gugatan-gugatan transformatif dan reformatif yang bersifat introspektif hampir tidak mendapat ruang aktualisasi dan ekspresi yang memadai.

Saya tidak yakin mereka sedang merasakan sebuah situasi faktual objektif – sedang berada di persimpangan jalan – bingung menemukan pilihan cerdas dan maslahah terhadap situasi kemasyarakatan yang sedang merindukan “jalan keluar” dari situasi krisis krusial yang multi-dimensional.

Situasi masyarakat Aceh hari ini lebih menggambarkan masyarakat yang galau, terjebak dalam keluhan multi-sektor dan apatisme yang melanggengkan kerusakan sambil menjalankan kebiasaan dan rutinitas yang ada dan monoton. Namun anehnya, berbagai kebiasaan itu kemudian membentuk pribadi-pribadi angkuh, sombong, sulit bekerjasama, eksklusif, keras kepala, distrustful dan tertutup. Mereka inilah yang sekarang meradang, gamang dalam kecamuk politik, saling meniadakan dalam konteks perebutan kekuasaan.

Dulu, sebelum perjanjian damai antara GAM dan RI tahun 2005, banyak masyarakat di segala lapisan belum berani beraktualisasi diri secara terbuka. Tetapi sekarang, selepas dari kekangan otoritarianisme rezim Orde Baru, mereka coba mengaktualisasikan diri dalam bentuk perebutan kekuasaan tanpa cukup memiliki basis kesadaran reformatif terhadap peran fungsional dan tatanan struktural kekuasaan itu. Pemerintahan cenderung resisten membela status quo dan menjadi seolah absolut. Kalau ditanya untuk apa kekuasaan itu, para kandidat terlihat tidak cukup mampu menjelaskan peran-peran fungsional mereka secara transformatif dalam kapasitas mereka sebagai kepala daerah – yang didasarkan pada peta pemahaman terhadap serbaneka persoalan di Aceh yang sangat kompleks – secara objektif, jujur dan terbuka.

Baca Juga:

Sementara itu, semua tim sukses dari setiap pasangan kandidat nyaris terjebak dalam fenomena pengkultusan palsu jagoannya, untuk kemudian bisa dimanfaatkan dalam perspektif kepentingan sempit. Tidak ada semacam refleksi bersama, lintas kalangan yang kompak, untuk sama-sama serius memikirkan solusi tentang apa, bagaimana dan kemana arah sejarah peradaban masyarakat Aceh ke depan di tengah situasi masa kini yang penuh krisis yang cukup rumit. Seluruh tim sukses dari masing-masing pasangan calon, hanya fokus pada soal bagaimana memenangkan pertandingan, merebut kekuasaan, dengan seribu satu cara yang machiavelian. bEnd justifies means…. Itu saja. 

IB: Di peralihan abad 19 dan 20, di Pulau Jawa beberapa tokoh pendiri Sarekat Islam mulai melakukan perlawanan dengan mengorganisir kaum buruh dan tani. Bahkan penggeraknya seperti HOS Cokroaminoto, Haji Misbach dan Semaun akrab dengan sosialisme dan Marxisme. Pada periode yang sama atau setelahnya, dengan sejarah yang lekat dengan semangat perlawanan, siapa tokoh-tokoh intelektual yang menjadi tonggak atau rujukan dalam konteks Aceh?

Saya pikir Daud Beureueh. Dia mencoba membangun pendidikan Islam yang progresif tapi juga tidak sukses karena kekerasan demi kekerasan terjadi di Aceh. Dia membangun kurikulum yang memberi kesempatan untuk berdialog, menggali, dan tidak merasa bahwa apa yang sudah ada sudah memadai.

Umat Islam ketinggalan dalam ilmu itu jauh sekali. Padahal inspirasi pertama berasal dari Yunani tapi kemudian dibaca oleh orang Islam dan lahir banyak filsuf. Ini kemudian tidak berlanjut, bahkan dilihat sebagai ancaman ketika filsafat itu diduga akan menyesatkan. Mungkin ada salah baca atau salah tafsir dari pesan-pesan Al Ghazali. Imam Al Ghazali itu juga memasuki periode-periode galau, lalu dia menulis tentang kegalauan itu. Pada masa itu dia menjadi filsuf, kemudian dia melakukan transendensi dan menekuni tasawuf. Tapi kemudian tasawufnya itu mencurigai filsafat, padahal jauhnya jangkauan jelajah pengenalan dimensi transenden yang ilahi itu hanya dimungkinkan melalui kajian dan renungan kefilsafatan.

Tasawuf itu memperbaiki hati, itu sah saja sebagai varian dalam sufisme Islam. Namun ada varian lain dari sufisme itu yang bersifat tariqi, gerak riyadhahnya melalui menghafal banyak kalimat atau kata-kata berupa zikir dalam tradisi sufisme tariqi ini diucapkan mencapai ribuan kali. Secara tersembunyi itu bermisi untuk mendapatkan karomah.

Seorang sufi mengejar karomah dan menjauhkan diri dari realitas objektif yang hipokrit, namun ia luput dari komitmen sosial untuk menyelesaikan problem kemanusiaan Islam. Impian akan karomah itu menunjuk adanya keinginan menjadi super human, namun nirkepekaan atas realitas kehidupan yang penuh masalah yang tak kunjung terselesaikan.

Lantas, intelektualisme yang menciptakan tradisi keilmuan yang lintas disiplin tidak lahir secara memadai di kampus. Kampus lebih menjebakkan diri dalam politik kampus yang memarginalkan kebenaran ilmiah, dan secara kontekstual justru mengalami kemunduran: merindui pola-pola kelakuan masa lalu, warisan Orde Baru. Padahal, intelektualisme itu semestinya harus dibangun untuk memahami pesan-pesan ciptaan dan mampu menemukan realitas kehadiran Ilahi sebagai sesuatu yang bisa ditransformasikan menjadi sesuatu yang membangun dan memudahkan kehidupan, seperti yang terjadi di Barat dengan teknologinya.

Sayang sekali mayoritas Muslim tidak bergerak ke arah pembangunan kehidupan Islam yang berbasis ilmu. Islam yang agung dipaksa memasuki lorong-lorong gelap, simbolisme picik dan irasionalitas. Disini tampak ada krisis mendasar di tengah kehidupan umat, berupa krisis berpikir, yang tak lagi memberi ruang bagi proses dialektika sosial yang mencerahkan dan menyadarkan. Apalagi sekarang, sedikit kita mengkritisi kelakuan dan pikiran yang dilihat sebagai syar’i, berpikir kritis tentang doktrin-doktrin beku yang hari ini dipercaya sebagai kebenaran, akan segera dianggap sebagai orang yang anti syariat, anti Islam, dilabeli liberal, sekuler,  JIL dsb, tanpa mereka paham secara memadai tentang terminologi-terminologi yang terlanjur dipahami sebagai sesat itu. Inilah situasi kontemporer kaum Muslim Aceh.

Kalau kita lihat Aceh sekarang, masyarakat Muslimnya menjadi seperti ini karena proses pendidikan yang sekadar berlangsung secara normatif, simbolik dan bersifat hafalan, yang membentuk manusia-manusia  robotik. Masyarakat dibebankan dengan ritual, simbol, hafalan dan nilai-nilai yang bagus tapi nothing for others, dia hanya sukses untuk dirinya sendiri. Dapat ijazah terbaik, cum laude, tapi substansinya tidak ada. Proses macam ini, menurut hema tsaya, tampak sudah cukup lama berlangsung dalam sistem pendidikan Aceh dan Indonesia. Tidak mencerdaskan, tidak mencerahkan, tidak kreatif, tidak inovatif dan tidak produktif. Seharusnya proses pendidikan agama harus membuat orang-orang beragama menemukan jati-diri kemanusiaannya sebagai khalifah yang bertugas dalam basis rahmatan.

Namun, masa lalu sekadar menjadi objek romantisasi-epik tanpa eksplorasi memadai terhadap eksistensi realitas. Masa lalu sering secara absurd dianggap mampu menyelesaikan segala problem masa kini yang kompleks, dengan romantisasi mengembalikan kejayaan masalalu yang tidak jelas bentuk kejayaannya, tanpa pemahaman metodologis-praksis untuk pelaksanaan dari mimpi-mimpi romantismenya. Sebenarnya, inilah sebuah kaidah yang tidak logis dari prosesi pendidikan yang sudah awal bertentangan dengan karakter azali dari pendidikan Islam yang coba membentuk karakter manusia yang merdeka dan berdaulat, dalam konteks  khairun-nas man yanfa’un lin-nas.

Pendidikan Islam, sesungguhnya perlu diberlangsungkan dalam urusan dan tugas mempersiapkan generasi muda untuk memasuki masa depan depan, dengan penuh percaya diri, dalam memasuki kehidupan masa depan yang unpredictable, penuh ketidakpastian, tantangan, dan godaan. Ini yang harus dipersiapkan tapi tidak dilakukan. Selalu merasa masa lalu lebih bagus. Sesuatu yang non sense, kembali ke masa lalu.

IB: Tahun 2008 Pak Fuad pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “Islam Protestan” yang coba meletakkan kerangka dasar rasionalitas yang secara kontekstual untuk membangun spirit perlawanan atas kemapanan pemahaman terhadap Islam di Aceh, yang lebih melahirkan respon-respon konstruktif bagi menumbuhkan “Islam Protestan” dalam tulisan Pak Fuad, didefinisikan sebagai “sebuah teologi yang menjadi paradigma dalam pola berpikir kritis, terbuka, dinamis, dan progresif”. Bisa dijelaskan lebih jauh soal gagasan ini?

Terminologi ‘Protestan’ yang saya gunakan itu memang telah membuat banyak Muslim terusik atau tersinggung, hanya karena mereka berpikir bahwa kata protestan itu hanya milik orang Kristen, yang memang lahir dalam sejarah agama Kristen. Dari sini, agama Kristen menjadi terbelah ke dalam dua aliran keagamaan besar, yaitu Kristen Katolik yang bersifat ortodoks dan Kristen Protestan yang bersifat pembaharu. Mereka melihat dari situ dan menolak jika Islam diserupakan dengan Kristen padahal sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali dengan tradisi keberagamaan dalam Kristen itu. Saya hanya coba mengambil terminologi Protestan yang di dalamnya bermuatan semangat perlawanan dan pembaharuan, seperti yang juga terjadi dalam rentangan sejarah eksistensi Islam yang sangat panjang, 1400an tahun. Jadi kata ‘Protestan’ di sini merupakan suatu entitas kejiwaan yang berisi semangat untuk melawan pemberlakuan sejumlah prinsip yang sebenarnya bertentangan dengan fitrah kodrati kemanusiaan ajaran Islam.

Salah satu contoh perlawanan yang dipelopori oleh Islam Protestan adalah menolak paham dan prilaku keagamaan Islam yang seolah Allah memberikan hak otoritatif untuk menentukan kebenaran kepada seseorang atau sekelompok orang tertentu. Menurut saya, Allah tidak pernah memberikan hak otoritatif untuk memastikan sebuah kebenaran kepada manusia apapun dan manapun, kecuali hanya kepada Nabi Muhammad SAW, yang memang telah sengaja dirancang Allah untuk menjadi figur teladan, sebagai contoh perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan nyata umat Islam dan umat manusia. Jadi tidak ada manusia lain yang diberi wewenang oleh Allah untuk mewakili dirinya dalam memastikan sebuah kebenaran.

Kesimpulannya, kecuali Nabi Muhammad, Allah tidak memberikan hak otoritaf kebenaran kepada manusia yang telah diciptakan sebagai makhluk yang relatif.

Otoritas yang kemudian lahir dalam sejarah kehidupan manusia hanya ada dalam bentuk suatu konvensi, yaitu seperangkat kesepakatan yang dibuat bersama dan lintas pihak. Jadi bukan hak yang diberikan Allah kepada seseorang karena keilmuannya, keulamaannya, kekuasaannya atau kepemimpinannya, menjadi berhak menentukan suatu kebenaran yang tidak lagi bisa dipertanyakan dan/atau diganggu gugat. Padahal, manusia sehebat apapun dia tidak pernah menjadi tuhan yang absolut. Artinya produk pemikiran manusia niscaya memiliki kelemahan, kekurangan, kelupaan, keluputan dan kesalahan sehingga harus dipertanyakan ulang dan didiskusikan kembali secara kritis dan apresiatif.

Oleh karena itu haram hukumnya ketika sebuah produk pikiran seseorang atau sekelompok orang diperlakukan secara hegemonik terhadap kesadaran intelektual masyarakat yang terkurung. Kita harus bebaskan mereka dari “kurungan” itu melalui program pendidikan cerdas, kritis dan kreatif. Ketika kita dikurung dalam ‘aswaja’ [ahlussunnah wal jama’ah] misalnya, sedangkan terma ‘aswaja’ itu sendiri  tidak pernah dipahami dengan baik oleh masyarakat pendukungnya, dan aswaja itu dilihat seolah nama dari sebuah kelompok. Di sini tampak bahwa masyarakat Muslim tidak pernah mengalami tahap-tahap pendidikan yang secara signifikan bisa mencerahkan. Masyarakat terhegemoni begitu saja dalam logika picik tanpa mampu mengkritisinya.

Entitas keberagamaan Islam harus bebas, dinamis, bergerak, berkembang kreatif dan produktif dalam menghasilkan rahmat dan manfaat sesuai amanah Quran dan hadist, walau tak terelakkan selalu membuka ruang-ruang kemungkinan bagi lahirnya perbedaan pendapat dan paham. Ini akibat khasanah kekayaan kandungan ajaran Quran yang membuka peluang bagi terjadinya multi-tafsir. Dalam situasi yang sangat majemuk itu, satu sama lain boleh jadi tidak bersepakat dalam hal yang bersifat pribadi atau universal, tapi tidak kemudian terbenam dalam sikap saling mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar.

Diperlukan proses pendidikan agar umat siap secara cerdas dan kritis menghargai dan menyikapi perbedaan itu sebagai khasanah keilmuan yang memperlihatkan Islam sebagai agama yang kaya dan harus bisa digunakan sebagai ruh rasionalitas untuk menemukan solusi bagi berbagai masalah manusia. Namun, tampak tidak pernah terbangun dari awal suatu proses pendidikan Islam yang memerdekakan diri dari segala bentuk ketergantungan kolonialisme dan hegemoni pemikiran yang mematikan kreatifitas. Kita tidak menyiapkan generasi Muslim yang merdeka dan siap menghargai perbedaan menjadi khasanah yang luas dan membuat dirinya menjadi kaya, penuh percaya diri, optimis,  arif dan solutif dalam segala bentuk manifestasi religiusitasnya.

Dalam konteks itulah varian pemahaman Islam Protestan menjadi semangat dan ajakan untuk pertama, melakukan perlawanan dan gugatan protes terhadap sejumlah prinsip pembangunan keislaman yang dibangun tidak berbasis pada ajaran dinamisme Islam yang universal, par excellent dan ilmu-ilmu keislaman yang menantang akal, bersifat terbuka, objektif dan menuntut lahirnya para peneliti serius dan kritis dalam menemukan esensi ajaran Tauhid yang bersifat solutif untuk seluruh permasalahan kemanusiaan yang terus lahir secara dinamis dan kompleks. Sehingga para muslim mampu menolak segala bentuk hegemoni pikiran yang disertai pengakuan atas adanya suatu otoritas, yang semestinya senantiasa perlu diuji secara kritis, transenden dan terbuka oleh para pihak yang memiliki kompetensi. Kedua, menolak segala bentuk absolutisme yang sering dihadirkan pada segala produk pemikiran manusia, yang bersifat klaim kebenaran. Ketiga, menolak segala bentuk status quo yang membuat kita terkurung dalam suatu situasi yang jumud, macet, picis dan tidak dinamis. Para muslim menjadi kehilangan potensi kreativitas dan produktivitas keislamannya, sebagai ajaran yang kaaffah, sehingga akhirnya membuat masyarakat menjadi sangat konsumtif, tergantung dan tertindas oleh hegemoni kebenaran dari rezim-rezim penguasa yang memanfaatkan kebodohan dan kelemahan rakyat untuk pengamanan dan pelestarian rezim kekuasaannya. Cita-cita kemasyarakatan Islam dalam perspektif  “umat yang bertangan di atas” gagal dilahirkan oleh sistem pendidikan Islam yang sejauh ini telah sejak lama berlangsung. Keempat, anti terhadap segala bentuk kultus. Baik terhadap segala produk pemikiran manusia (ilmu, teori dan paham) maupun terhadap pengagungan manusia itu sendiri. Jadi tidak ada sebuah produk pemikiran manusia, dalam apapun bentuknya, yang harus kita lestarikan keberlakuannya tanpa perlu diperdebatkan, dikaji dan diuji ulang. Juga memberangus semangat kultus pengagungan atas eksistensi seseorang sebagai manusia yang kita anggap memiliki karomah. Ini yang membuat kita kehilangan jati-diri dan karakter keislaman yang merdeka, setara dan rahmatan.

Kebalikan dari itu akhirnya, Islam Protestan mendorong dinamisme, terjadinya dialektika dan berpikir kritis untuk menemukan dengan sendirinya sesuatu yang menjadi ruh Islam itu, yang kemudian berdaya untuk membangun mayoritas umat yang “bertangan di atas”.

Metodenya adalah pertama, dialog terbuka dalam seluruh kawasan pendidikan Islam. Tidak ada lagi pemenjaraan dan niscaya bersifat inklusif. Dimulai dari ruh ajaran Islam yang mendorong kreatifitas untuk berijtihad cerdas, kritis, bijak dan solutif. Di sinilah suatu kehilangan besar umat Islam hari ini, ketika ruang ijtihad dirasa perlu untuk ditutup. Seolah ijtihad ini dilihat dan dipahami sebagai hal yang berbahaya, dan kemudian hanya milik sekelompok orang-orang yang sombong yang merasa sebagai pemilik otoritas kebenaran. Padahal mereka hanya membangun rumah-rumah hantu yang menciptakan ketakutan masyarakat, melalui suatu citra yang diagung-agungkan dan sakral, dan kemudian masyarakat selain dirinya dikurung di situ.

Kedua, harus ada desakralisasi. Pada prinsipnya, jika ini dianggap sekulerisme, orang tidak paham secara persis. Saya pikir segala sesuatu di dunia ini ya sekuler, tapi di dalamnya ada dimensi transenden. Sekulerisme kan muncul di Barat karena ada kejumudan yang seolah agama perlu dipisahkan dari kehidupan antara “kaisar” dan “romo” – kalau dalam Islam sebenarnya, apapun kita lakukan dunia adalah transenden. Kita terjebak dalam istilah yang secara metodologi tidak tepat karena berangkat dari konteks Barat.

Kalau kita mau melakukan sesuatu di dunia ini untuk manfaat diri dan bersama, itu sudah memiliki nilai transenden. Kita harus duniawikan, dan jika kita lakukan proses ini secara benar, itu juga ukhrawi sehingga tidak perlu dipisahkan antara wilayah masjid dan non-masjid padahal semuanya di muka bumi ini adalah masjid.

IB: Implementasi syariat Islam di Aceh disesaki oleh qanun-qanun seperti Pokok-Pokok Syariat Islam, Jinayat, Kerukunan Umat Beragama, dan Aqidah. Bahkan beberapa daerah terinspirasi untuk membuat perda Syariat. 11 tahun pasca damai, Aceh sendiri masih punya persoalan akut tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, dan korupsi. Bagaimana membuat Syariat Islam menjadi lebih progresif?

Saya pikir yang sekarang sangat perlu kita lakukan adalah membaca ulang Islam, yang kemudian mempertanyakan, apa itu Islam? Bukan dengan melahirkan lebih banyak qanun lagi. Setelah pembacaan ulang itu, lalu dirumuskan dalam materi kurikulum pendidikan dengan metode pengajaran yang lebih memberi ruang eksplorasi kepada peserta didik, yang mengantarkan mereka pada temuan-temuan agung yang mengilahi dan membangun kesadaran transenden. Bukan sekedar membuat dan memaksa mereka menjadi penurut dan patuh tanpa reserve pada para guru, kyai, pemerintah dan aturan-aturan yang dibikin sepihak.

Seringkali qanun-qanun yang dilahirkan itu seolah membuat persoalan objektif yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat dijawab memalui pendekatan hukum. Padahal sebuah produk hukum akan bisa berjalan dengan baik, rela dan damai, hanya jika disertai oleh kesadaran hukum masyarakat, dan kesadaran hukum itu tidak bisa lahir tanpa pendidikan yang benar dan pencerdasan kritis-kreatif yang memerdekakan.

Qanun-qanun di Aceh selama ini lebih disemangati oleh birahi kepentingan politik dalam konteks pencitraan, tanpa mengerti substansi ajaran Islam secara memadai dan bersifat mendamaikan, di tengah realitas keawaman masyarakat muslim yang bersifat warisan. Termasuk seperti di tingkat pemerintahan Indonesia, yang sedikit-sedikit bikin Undang-Undang, peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan, yang dipahami sebagai jawaban atas berbagai persoalan kemasyarakat dan kebernegaraan. Negara hadir dalam aturan, bukan dalam pendidikan. Masyarakat cuma ingin diatur, bukan dididik. Padahal negara yang banyak aturan justru menunjukkan bahwa masyarakatnya lemah, irasional, tidak becus dan tidak punya prinsip, komitmen dan disiplin kerja dan interaksi kemanusiaan dan kemasyarakatan yang bertanggung jawab dan kokoh.

Secara filosofis, semakin negara banyak peraturan, semakin menjadi bukti bahwa negara dan warganya itu gak benar. Semakin sedikit peraturan, semakin damai negara itu, semakin sejahtera. Kita selalu melihat penyelesaian persoalan dari perspektif hukum. Padahal kalau kita merujuk kepada misi nubuwwah kehadiran nabi, Nabi Muhammad bersabda bahwa“saya tidak diturunkan untuk menghukum manusia tapi saya ditugaskan untuk mendidik manusia” yang tersesat dalam kekufuran dan kezaliman, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Jadi harusnya pendidikanlah yang harus dijadikan ruang pembelajaran eksploratif, untuk terus menerus berusaha menemukan cara-cara kreatif dan bermanfaat dalam menyemai bibit-bibit Islam yang mensejahterakan dan mendamaikan itu. Harusnya ruang-ruang ini dibuka secara luas, agar kemudian bisa merumuskan hukum positif Syariat Islam yang lebih mengurusi soal-soal yang bersifat social affairs, bukan mengurusi ruang privat yang merupakan urusan internal pribadi muslim.

IB: Pak Fuad pernah menyatakan bahwa eksistensi manusia dalam kaitannya dengan menggapai kebenaran diwujudkan dengan kritisisme dan kearifan dalam setiap gerak dan aktivitas. Ini dirangkum ke dalam tiga term, iman, islam, dan ihsan yang harus dipahami dan diamalkan secara kritis-dialektis, rasional, radikal dan komprehensif. Bagaimana menjadikan konsep ini sebagai alternatif bagi paradigma penerapan SI yang diterapkan di Aceh saat ini?

Kita harus mulai dari sebuah niat baik dan kritis untuk mencari dan menemukan pesan-pesan intrinsik keislaman yang ada dan sangat kaya dalam ajaran Quran. Proses mencari, menemukan dan menginterpretasikan kebenaran Islam secara operasional yang harus dilakukan setiap pribadi Muslim, tanpa harus dibarengi rasa khawatir terhadap munculnya pertanyaan-pertanyaan kritis umat Islam, yang diduga akan berujung pada munculnya sikap membenarkan atau menolak. Padahal, semua itu sejauh ini telah dinilai oleh sekelompok elit ulama dan cendekiawan, sebagai suatu ketetapan kebenaran yang final, yang tak lagi perlu dipertanyakan, dirubah dan dikembangkan.

Saya yakin Islam itu tidak bisa diruntuhkan. Kritik selalu ada dari berbagai pemikir tentang Islam, tapi saya yakin semua pertanyaannya akan bisa dijawab secara rasional dan sejauh umat Islam mau memahami kritik itu secara cerdas, bukan secara emosional. Cuma pada diri para muslim hari ini ada ketakutan-ketakutan yang membuat kita tidak berani bergerak kreatif untuk menemukan dimensi solutifnya. Misalnya soal zakat. Kenapa zakat jadi semacam kewajiban? Sejauh ini masyarakat Muslim banyak yang tidak memiliki alasan rasional tentang mengapa zakat itu wajib, hanya karena mereka tidak dilatih untuk mencari, meneliti dan menemukan alasan-alasan filosofi dan maknawi di balik ajaran zakat.

IB: Putra Pak Fuad menjadi salah satu korban penangkapan waktu kasus Gafatar marak di Aceh tahun lalu. Seberapa dalam kasus ini berdampak bagi Pak Fuad sebagai seorang akademisi melihat Aceh?

Secara psikologis, saya kecewa luar biasa dan frustrasi ketika persoalan ini didekati dengan persoalan hukum. Harusnya didekati dengan pendekatan pendidikan. Ini realitas anak muda yang ada hari ini dengan berbagai persoalannya masing-masing. Pemerintah tidak mau melihat itu sebagai tantangan dalam konteks pendidikan formal, informal, dan nonformal yang selama ini kita tidak bisa memberi jawaban terhadap berbagai pertanyaan anak muda yang mau bertanya seputar kebenaran dalam kehidupan beragama yang kini dilihat sangat simbolis, seremoni dan tak bermakna. Kemudian mereka menemukan sendiri jawaban-jawaban itu, saat mereka bertemu dengan pemikiran lain yang masuk dalam logika mereka, yang belum cukup memiliki landasan pertimbangan referensial yang memadai dan tidak cukup kritis dalam menganalisis pemikiran yang ditawarkan pada mereka. Mereka melihat ajaran baru yang datang itu sebagai sebuah jawaban, dan bahkan terkadang segera menjadi militan. Mereka ini adalah anak-anakyang sedang mencari, yang oleh sebagian orang justru heran dan mempertanyakan: “kok mereka masih mencari kebenaran?”. Padahal, justru para muslim yang bertanya itulah yang tidak pernah mencari dan sama sekali tidak memiliki basis keimanan yang kokoh, saat agama lebih dipahami sebagai ajaran warisan yang sekedar dihafal, sehingga seolah dirasa sudah benar-benar menemukan kebenaran ajaran Islam.

Begitulah wajah keberislaman masyarakat kita pada umumnya, yang lebih menempatkan ajaran agama sebagai warisan dalam tradisi kebudayaan yang jumud. Jadi, keislaman mereka bukan pemelukan kepada Islam sebagai akibat dan hasil dari proses pencarian. Makanya kualitas keislaman umat menjadi sangat rendah sekali, sekedar simbolik, sering merasa inferior dengan agama Islamnya.

Kekhawatiran, ketakutan, kecenderungan suka mencari kambing hitam dan sikap-sikap apologetik, tampak lebih mendominasi logika pemikiran umat, yang manifes saat mereka berhadapan dengan persoalan ketertinggalan dan  ketertindasan dirinya sebagai umat Islam. Inilah kualifikasi bobot keislaman umat umumnya hari ini¸ nyaris di semua kelompok dan kalangan muslim hari ini. Jika ada misionaris dengan kegiatan misionarisnya, kita langsung dan segera kebakaran jenggot, gusar, marah-marah, reaktif dan kemudian tangkap dan hukum. Melihat dan memahami persoalan masih sangat superfisial, permukaan dan politis sehingga muatan politis lebih mewarnai di dalam menentukan produksi Islam itu.

IB: Perbedaan bukan lagi bagian dari seperti yang pernah Pak Fuad katakan sebagai ‘khazanah dialektika sosial’. Dimana kita harus mulai menggali sumber-sumber ajaran, tradisi dan sejarah untuk membangun khasanah dialektika sosial dalam menjawab persoalan sosial? Atau adakah indikasi potensial yang dapat membawa umat ke arah pembangunan dan pemahaman agama yang dialektis,  kritis dan solutif saat ini?

Kita bisa memulainya dengan sebuah pendekatan menggali local wisdom kita. Kearifan-kearifan yang luhur, yang memiliki sifat-sifat universal. Kalau dalam filsafat itu adalah filsafat perennialisme. Menemukan kembali ruh itu. Salah satunya adalah gotong royong masyarakat, kebersamaan, sama rasa, sama rata.

Sebenarnya masyarakat Aceh ini sangat egaliter. Egalitarianisme ini perlu kita rumuskan untuk tidak melahirkan rasa “semua merasa raja semua”, dan sama-sama memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi terhadap kehidupan besama sehingga perumusan kesepakatan mudah dan sama-sama melaksanakannya dan menjadi pengawas. Ini yang dulu ada dalam khasanah tradisi Aceh: sawah dikerjakan bersama, rumah dibangun bersama. Kita tidak bisa mengembalikan persis secara konkret bentuknya, tapi semangatnya itu.

Dalam konteks kehidupan modern hari ini, bagaimana kita rumuskan perencanaan bersama? Dengan menggunakan semangat tradisi kesetaraan itu – punya hak, aspirasi, kesempatan yang sama untuk diekspresikan. Bagaimana itu dikembalikan hari ini dalam konteks kepemimpinan yang mengayomi? Aceh harus melahirkan pemimpin yang siap memimpin perubahan. Dari situasi selama ini, sudah jelas para pemimpin gagal untuk menemukan cara-cara baru dalam membangun masa depan dengan penuh suasana gembira, saling menghargai, saling menghormati, saling mempercayai.

IB: Tahun lalu Pak Fuad atas nama Aceh Institute mengeluarkan pernyataan yang membela posisi Rosnida Sari, kolega dosen di UIN yang menjadi isu nasional ketika ia dikecam oleh banyak kalangan di Aceh karena mengajak mahasiswanya berkunjung ke gereja untuk belajar studi perbandingan agama. Banyak aktivis dan akademisi di Aceh memilih tidak mengambil resiko dengan kondisi Aceh yang sangat rentan itu. Dari mana Pak Fuad mendapat keberanian untuk melakukannya?

Itu hanya sebuah panggilan intelektualitas dalam saya memahami Islam. Islam itu harus mencerahkan, jadi bukan selalu menghukum. Kampus harus mencerahkan, bisa menjadi mediator untuk mempertemukan pihak-pihak yang selama ini bertikai. Mari kita buka buku sebanyak mungkin, menghargai setiap pendapat. Rosnida dalam keadaan terancam tapi negara juga tidak hadir untuk membela apa yang dia lakukan dalam sebuah misi peradaban. Dia membangun kecerdasan mahasiswa dalam memahami agamanya dengan mencoba melakukan studi komparatif.

Saya di sini hanya menjalankan amanah keislaman yang saya pahami. Ada tiga poin waktu itu: pertama, kampus harus mencerahkan, tidak hadir untuk menghukum. Kedua, negara harus memastikan kehadirannya, dan ketiga, Rosnida sudah menjalankan panggilan Quran, misalnya ada perintah Quran di Ali Imran 190-191 yang mempertegas bahwa di dalam penciptaan alam ini, siang dan malam, disitu ada tanda-tanda keberadaan-Nya, tapi tanda-tanda keberadaan Tuhan disitu tidak akan kita temukan ketika kita tidak berpikir, melakukan pengamatan yang jujur, tidak melakukan penyelidikan dan penelitian untuk menemukan titik-titik dimana Tuhan hadir di situ, yang disebut sebagai ayatillah. Proses ini kita tidak jalankan selama ini, sementara Rosnida mencoba membuka ruang bagi pembelajaran dan pencerahan, bukan mendoktrin kebenaran. Tapi, kenapa kita malah mengutuk dia, apa salahnya?

Kebenaran Islam justru akan semakin terbina dan menguatkan akidah ketika kita mampu melakukan perbandingan secara kritis. Kita akan lebih mampu menemukan semacam reasoning yang memperkuat iman kita akan kebenaran Islam, karena telah melakukan proses logis, sebagai pembuktian intelektual. Proses reasoning ini yang harus dilakukan dengan cerdas, memberdayakan akal dan bukan sesuatu yang diwariskan begitu saja. Selama ini, pendidikan lebih berlangsung secara dominan sebagai serangkaian proses pewarisan ilmu, Islam dan tradisinya. Ilmu disini lebih dipahami sebagai sekumpulan informasi yang cepat atau lambat, terus bertambah, diingat, dihafal, ditulis, dikutip, disampaikan ke khalayak, tanpa ada suatu dialektika, kritik  dan penghayatan.

Kita sering beragama lebih dalam konteks emosional, tidak rasional dan sering kehilangan dimensi universalnya. Saat terjebak dalam emosi partikularitas dan lokalitasnya. Sehingga amarah menjadi moda artikulasi keislamannya. Seolah Allah menyukai orang-orang yang suka marah. Di sinilah letak kegagalan artikulasi Islam, ketika Islam diterimanya sebagai warisan. Harusnya di sini ada keseimbangan harmonis antara intelektualitas dengan emosionalitas. Dan antara dimensi-diemnsi partikularitas, lokalitas dan Universalitas. Di sinilah, sesungguhnya kampus harus bertugas!

IB: Bulan Februari 2017 Aceh akan menghadapi Pilkada. Empat cagub berasal dari elit pimpinan GAM. Apa potensi dan ancaman terbesar bagi Aceh dengan pergantian kepemimpinan ini?

Fuad: Ancamannya adalah jika mereka ini hanya sekadar terkurung dalam pola pikir dan kebiasaan lama yang anti-kritik, eksklusif dan anti-perubahan. Potensinya adalah saat orang-orang ini sudah punya pengalaman. Mungkin di sana ini ada yang baik dan keberhasilan, tapi saya secara umum bisa katakan gagal, nyaris total, bahkan setback. Orang-orang ini perlu belajar dari masa lalunya yang gagal untuk membangun, menemukan sebab-sebab kegagalan dan merumuskan cara-cara baru yang kemudian menjadi jalan bagi keberhasilan.  Pertanyaannya adalah, apakah mereka punya niat dan semangat pertaubatan  semacam itu?

Hal yang potensial adalah adanya semangat keterbukaan dan meningkatnya kesediaan berubah, keberanian berinisiatif untuk membangun terobosan-terobosan baru yang bersifat partisipatif.

IB: Hasan Hanafi melihat bahwa konteks religiusitas historis antar tiga periode (masa lalu, masa kini, dan masa depan) memiliki daya dobrak untuk berprilaku kritis-progresif agar umat terbebas dari ‘masa lalu’ yang melanggengkan otoritas keagamaan kaum feodalis, konservatif, dan kapitalis. Bagaimana kita bisa menerjemahkan ini ke dalam situasi keberislaman kita di Indonesia yang marak dengan obsesi atas simbol dan formalisasi agama dan arus deras neoliberalisme?

Mari kita melahirkan sebuah wajah Islam baru yang terbuka, siap dipertanyakan, siap dikritisi dengan niat baik, jujur dan menghargai, untuk kepentingan kebenaran, dan ini harus melibatkan semua pihak. Keragaman dalam kehidupan berislam masyarakat harus dilihat sebagai kekayaan yang membahagiakan, bukan yang menggelisahkan. Di sinilah perlu dialog kritis untuk kepentingan bersama yang universal dan luassebagai produk budaya dan peradaban Islam yang berdampak rahmatan. Kita harus selalu berusaha berpikir apa yang harus kita produksi di dalam keberislaman kita sebagai sesutau yang merahmati untuk semua.

Persoalannya kadang kita terlanjur terjebak di dalam stigma term-term yang kita sendiri tidak cukup paham sebenarnya. Seperti liberalisme. Kita punya konotasi negatif terhadap liberalisme atau kebebasan. Padahal hemat saya, kebebasan relatif adalah “tanda mutlak” akan kemanusiaan yang diberikan Allah. Maka kehilanganlah kemanusiaan seseorang saat ia kehilangan kebebasan.

Di sinilah tugas universitas untuk memberi pembelajaran bagaimana kita merumuskan kebebasan agar kita bisa menetapkan tapal batas, sehingga tidak ada kebebasan yang kita pahami tanpa sekat pembatas karena manusia ini adalah makhluk terbatas.

Dengan paham kebebasan seperti itu, kita bisa merumuskan apa yang kita mau secara bersama. Maka musyawarah itu harus dipahami secara konseptual, prinsipil, metodologis dan operasional. Semua orang punya hak, kesempatan dan kedudukan yang sama dalam sebuah forum musyarawah, yang diterima secara rela sebagai kaedah  dalam bermusyawarah. Saya pikir jelas ini bukanlah persoalan yang mudah untuk diwujudkan dalam forum-forum musyawarah, yang selama ini justru berlangsung secara timpang, asimetris dan hegemonis, dimana kemudian yang kuat mendominasi, bahkan menindas yang lemah. Banyak pertemuan tidak menghasilkan sesuatu apapun yang positif karena kita tidak terlatih bermusyawarah yang benar. Musyawarah kini memiliki konotasinya yang negatif: sekedar rapat untuk hanya untuk mengiyakan atau memberi persetujuan, karena keputusan sudah ada sebelum musyawarah dan rapat dilaksanakan. Membangun peradaban butuh waktu. Musyawarah ini sesungguhnya harus menjadi rukun iman juga, dimana kita meyakini bahwa musyawarah adalah ash-shirath satu-satunya yang harus diimani dan digunakan umat Islam dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang berlaku bagi orang banyak. Dengan wadah dan media musyawarahlah, Islam sudah menyiapkan wahana bagi manusia untuk merumuskan sesuatu yang bermanfaat untuk  bersama dalam harmoni dan dinamika kebersamaan yang mendamaikan.

Salah satu akar kata dari musyawarah yang berasal dari kosa-kata syawara yang artinya “mengambil madu dari sangkar lebah.” Secara filosofis makna itu memberi gambaran bagaimana rapat-rapat yang kita bikin harus dapat selalu memberi manfaat buat seluruh dan bersama. Artinya, bagaimana kita dalam musyawarah itu mampu memproduksi madu, yang menjadi obat bagi manusia. Ini filosofinya.

Tapi kini masalahnya, banyak di antara kita, khusus elit dan penguasa, tidak punya kemampuan produktif dalam mendengar. Ini akibat sekian lama kita terjebak dalam pelaksanaan musyawarah yang berlangsung di zaman Orde Baru, seperti kini terus berlangsung, dalam akronim-akronim seperti munas, mubes, mubeslub dan berbagai pelaksanaan rapat yang dipahami dalam konteks musyawarah yang kaedah dan prinsip pelaksanaannya salah. Sehingga kita kehilangan makna [musyawarah] sesungguhnya yang secara metodologis itu bisa kita operasionalisasikan di dalam sebuah forum dimana semua pihak bisa terlibat aktif dan egaliter. Inilah yang hilang dari khazanah kebudayaan muslim.  Forum Rapat yang dipahami sebagai musyawarah, ternyata tidak menghasilkan rumusan-rumusan keputusan dan kebijakan yang membahagiakan banyak orang.

Di dalam Quran, surat Al-Asr memparalelkan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Ketika orang telah mengagungkan suatu kebenaran maka dia akan semakin sulit menerima kebenaran karena untuk menerima kebenaran itu perlu kesabaran.

Tidak ada perintah untuk mengikuti satu mazhab. Itu lubang-lubang yang memerangkapkan kita dan tidak bisa keluar. Di akhir kitab-kitab mazhab ini, misalnya Imam Syafii, dia merasa sangat kritis terhadap dirinya sendiri dan selalu mengakhiri tulisannya dengan wallahu a’lam bisshawab. Di sini kita dituntut kritis. Ini adalah bentuk rendah hati ulama, mereka mencoba melakukan usaha untuk mendekati kebenaran, sedangkan yang benar mutlak itu hanya Allah. Jadi, kita harus siap berdialog dengan kesabaran yang meruntuhkan “keangkuhan aku”. Masyarakat menganggap sabar itu sesuatu yang lemah dan pengecut, padahal di dalam sabar itu ada sebuah energi.

Hegemoni ini yang harus didekonstruksi untuk menjalankan musyawarah, itulah yang menjadi bagian perlawanan Islam Protestan itu. Tidak ada otoritas yang mewajibkan kita mengikuti, tapi setiap orang yang memiliki derajat keilmuan tertentu, kasih kesempatannya untuk berbicara untuk kita dengarkan, kita ambil yang baik, dan jadi bahan dalam diskusi bersama untuk merumuskan kepentingan bersama. Namun persoalannya adalah ketika rumusan bersama ini sudah diputuskan dan disepakati bersama maukah masyarakat ini menjadi pelaku dari rumusan itu? Berkontribusi terhadap penerapannya? Inilah tantangan yang diawali oleh adanya kesadaran dekonstruktif untuk kemudian bertugas rekonstruktif dalam mendirikan kembali bangunan budaya Islam baru. Kesadaran ini muncul dalam moda pendidikan kritis, progresif dan memerdekakan.

Related Posts

Comments 5

  1. Arifa says:

    Dialog cerdas di tengah persaingan strategi perebutan kekuasaan di Aceh.

  2. Arifa says:

    Wacana cerdas di tengah persaingan strategi perebutan kekuasaan di Aceh.

    • Trims kasih Arita, smg pemikiran kritis, bs brmnfaat utk mndorong pr Muslim in merenung ulang keberislaman masing2, smbil merenungkan pesan Allah dlm Qs. al-Kahfi: 103-105. Salam ukhuwwah…

  3. Suseno says:

    Sayang banget website bagus ini kalah dengan media semacam ‘piyungan, hidayatullah, voa-islam’ yang (secara serampangan) menyebut dirinya sebagai media islam. Teruskan, jangan pernah berkecil hati

  4. usman hidayat says:

    Untuk Abu Fuad, walaupun sudah lama tapi saya kurang setuju dengan terminologi protestan sejak kuliah 2002. Bukan karena ada Kristen Protestan, tapi karena pemakaiannya yg serampangan tidak sadar konteks sebagaimana oleh Ulil cs serta turunannya yg menganggap untuk melawan kejumudan beragama harus dengan gerakan protestan demi menyambut modernitas serta kemajuan beradaban tanpa pernah mengira berapa banyak manusia yg dihisap dan berapa banyak lingkungan yg sudah dirusak.
    Protestanisme lahir seiring revolusi borjuis, ini yg harus kita pahami. Tapi kalau pemakainnya demi menghadirkan prakondisi untuk revolusi sosialis, lanjutkan Abu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.