“Kepada kaum yang lemah, Kami wariskan tanah yang telah Kami berkati di timur dan barat. Dan laksanakanlah janji Tuhanmu yang indah atas bani Israil karena kesabarannya. Dan kami hancurkan ciptaan Fir’aun dan kaumnya serta apa yang telah dibangunnya.” (QS: 7: 137).
Ada tiga kejadian menggusarkan, kenapa doktrin keadilan Islam menarik untuk ditelaah lagi. Pertama, lebih dari tiga dekade sejak gagasan Islam Transformatif diseminarkan di Yogyakarta dan dibukukan oleh Moeslim Abdurrahman pada 1994, seorang dai di televisi memiliki hobi menodong para jamaah untuk menyedekahkan hartanya di hadapan pemirsa. Menurutnya, semakin besar sedekah maka semakin besar pahala dan kesempatannya untuk masuk surga. Mereka yang miskin harus gigit jari karena tak punya harta untuk disedekahkan.
Kedua, lebih dari satu setengah dekade sejak Azyumardi Azra menulis buku Islam Subtantif, Majelis Ulama Indonesia dikabarkan melarang masyarakat membeli di McDonald. Bukan karena posisinya sebagai perusahaan kapitalis, tetapi lantaran masa berlaku sertifikat halalnya telah habis. Kehalalan kemudian menjadi mirip izin mengemudi: ada masa berlaku.
Ketiga, lebih dari dua dekade sejak Harun Nasution menulis buku Islam Rasional, sekelompok masyarakat meluluhlantakkan rumah-rumah mantan anggota Gerakan Fadjar Nusantara (Gafatar) yang eksodus ke Kalimantan untuk membangun kehidupan baru dan kedaulatan pangan. Dengan stigma sesat, orang tak perlu lagi dalil-dalil keagamaan untuk membuktikannya, cukup ramai-ramai bakar ratusan tempat tinggalnya. Dengan label sesat, tak perlu membuka al-Quran, hadis—apalagi kitab kuning, tetapi cukup kafirkan dan aniaya segera setelah stigma sesat itu datang.
Disorientasi Agama
Ketiga fenomena di atas setidaknya cukup menggambarkan tiga wajah keagamaan dominan saat ini: agama pasar, agama prosedural, dan agama provokatif. Dalam agama pasar, agama dijejalkan sesuai selera dan permintaan pasar. Agama tidak menjadi alat tranformasi, tapi menjadi alat agar kekayaan terakumulasi. Dakwah-dakwah di televisi kemudian dipenuhi dengan ajaran-ajaran yang meninabobokkan demi menarik perhatian pemirsa. Tampillah kemudian ustaz-ustaz dadakan. Banyak juga yang tak punya ilmu agama mumpuni. Televisi membuat segalanya menjadi mungkin, termasuk mencipta para dai sehari jadi.
Begitu juga dalam agama prosedural, agama tidak lagi dihayati secara substantif, melainkan berubah fungsi menjadi prosedur administratif. Yang lebih miris adalah agama provokatif, cukup nimbrung dalam barisan massa, teriak takbir, dan bawa pentungan: muslim sudah!
Agama kini tak lagi didekati dengan pendekatan filosofis dan diskursif—layaknya kemajuan wacana pemikiran Islam pada tahun 80 dan 90an karena dianggap terlalu berat dan membosankan. Datang dan lihatlah deretan buku di toko buku-buku besar, buku-buku Islam kini didominasi oleh buku menghibur dan meninabobokkan. Tentang pacaran Islami, tentang hijab syar’i, tentang menjadi muslim tapi gaul dan lain sebagainya. Tak perlu susah payah untuk menegakkan titah Tuhan. Cukup jangan pacaran, cukup berhijab syar’i, cukup puasa, cukup beribadah untuk masuk surga. Tak perlu lagi jalan penderitaan yang ditempuh para nabi.
Kesenjangan Sosial
Sementara ruang publik keagamaan dipenuhi dengan ajaran keagamaan yang meninabobokkan, saat ini lebih dari satu milliar penduduk bumi hidup dalam ketertindasan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Akhir 2015, Indonesia memasuki fase kesenjangan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah. Sekitar 87% aset nasional dalam bentuk tanah dikuasasi oleh hanya 0,02 % penduduk (Sudjatmiko: 2014). Dalam skala dunia, saat ini 1% kelompok terkaya memiliki kekayaan yang setara dengan kekayaan 99 % penduduk dunia. Tercatat pula bahwa 62 orang memiliki kekayaan yang setara dengan kekayaan 50 % penduduk dunia (Riset Oxfam University). Ada 1, 3 milliar orang hidup dengan penghasilan kurang dari 1 $ per hari (Baidlawi: 2009). Ketika seorang artis menghabiskan uang Rp. 1 milliar hanya dalam hitungan jam untuk ulang tahunnya, di Malang Selatan para buruh tani membutuhkan waktu satu bulan hanya untuk mendapatkan gaji Rp. 300 ribu. Itu artinya, dia perlu bekerja secara terus menerus selama 400 tahun untuk merayakan ulang tahun Rp. 1 M.
Fenomena ketimpangan sosial inilah yang luput dari perhatian umat Islam pada umumnya. Dikiranya Islam adalah agama yang melulu persoalan ritus, pahala dan surga. Padahal, bersamaan dengan itu Islam adalah agama yang mengutuk keras akumulasi modal. Islam tidak menghendaki adanya segelintir orang yang super kaya di tengah banyaknya kaum miskin.
Hal ini bukan berarti bahwa Islam melarang seseorang untuk kaya. Islam membolehkan kekayaan sejauh mana ia memiliki fungsi sosial. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Karena itu, harta kekayaan merupakan titipan yang harus difungsikan untuk kepentingan sosial.
Lain persoalan ketika dengan kekayaan seseorang atau kelompok berkontribusi terhadap ketidakadilan. Hukum akhirnya tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Negara-negara kaya dapat mendikte kebijakan negara berkembang sehingga tercerabut kedaulatannya. Orang-orang superkaya dapat leluasa lari dari kewajiban membayar pajak, begitu terungkap lalu diampuni oleh negara (tax amnesty). Sementara pada saat yang sama, orang-orang kecil digusur tempat tinggalnya, tempat usahanya, dan tanahnya. Konon demi pembangunan infrasruktur yang sejatinya hanya berguna bagi kelancaran industri pemilik modal besar. Buruh di-PHK, PKL digusur, dan pedagang pasar direlokasi ke tempat yang sepi pembeli. Konstitusi sebagai konsesus bernegara untuk mewujudkan kesejahteraan kemudian menjadi tak berarti di hadapan orang-orang superkaya ini.
Ketimpangan sosial sejatinya adalah ketidakadilan karena memunculkan privileges tertentu bagi pemodal besar. Dengan kekayaan seseorang dapat membeli suara rakyat pada saat pemilu, dengan kekayaan seseorang dapat menyuap pejabat publik untuk mengeluarkan izin pertambangan yang merusak lingkungan, dengan kekayaan seseorang dapat menyuap aparat penegak hukum, bahkan intelektual bayaran untuk mendukung kepentingan mereka. Dengan kekayaan pula seseorang dapat mengekspoitasi buruh dengan gaji murah dan ketidakpastian nasib. Dengan kekayaan pula, kapitalisme global dapat mendesakkan ratusan perundang-undangan neoliberalistik yang mengkhianati konstitusi.
Fitrah Keadilan
Untuk itulah Islam mengajarkan bahwa keadilan sosial sebagai suatu doktrin yang fundamental. Menegakkan keadilan adalah sesuatu yang berat, sehingga Allah memberikan posisi istimewa terhadap mereka yang bersikap adil dan memperjuangkan keadilan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa i’dilu huwa aqrabu li at-taqwa. Keadilan lah yang “paling dekat” dengan takwa (Al-Maidah: 8). Sebab dengan ketakwaan itulah seseorang kemudian tidak takut kepada siapapun selain Allah, bahkan menghibahkan nyawa untuk memperjuangkan keadilan (kebenaran) seperti Munir, Salim Kancil, Widji Tukul dan pejuang keadilan lainnya.
Sikap adil dan memperjuangkan keadilan mencerminkan sejauh mana seseorang untuk membumikan doktrin tauhid. Seseorang tidak dapat mengaku menyembah Zat Tunggal Yang Maha Besar sementara dalam dirinya masih terdapat “tuhan-tuhan kecil”—meminjam istilah Nurcholish Madjid. Tuhan-tuhan kecil ini bukan hanya sikap merasa benar sendiri, sombong, merendahkan orang lain, tetapi juga mentalitas inlander atau menghamba kepada entitas apapun selain Allah. Termasuk dalam hal ini adalah berpikir dan berperilaku kapitalistis-eksploitatif. Sikap seperti itu merupakan benih-benih munculnya tuhan-tuhan kecil karena seseorang meninggikan sesuatu yang sesungguhnya setara dengannya. Dalam konteks ini, doktrin syahadat sebetulnya korelatif dengan doktrin keadilan sosial.
Karena pentingnya keadilan ini pula, Ibnu Taimiyah pernah menyatakan bahwa “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun beriman“”. Hal ini pula yang difirmankan Allah dalam Al – Qur’an, S. Al – Isra (XVII) 16, artinya : “Dan jika kami hendak membinasakan negeri, maka kami perintahkan kepada orang–orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami) kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
Maka, tak ada jihad yang paling mulia saat ini selain menegakkan keadilan dan bersikap adil. Keadilan bukan hanya menjadi domain penegak hukum, tetapi seluruh manusia di bumi. Doktrin bahwa “kemuliaan manusia di sisi Tuhan bergantung kepada ketakwaannya (Al Baqarah: 83)” dan bahwa “keadilanlah yang paling dekat dengan takwa” memberikan kita sebuah kesimpulan: bahwa kemuliaan seseorang di sisi Tuhan tidak ditentukan oleh kekayaannya, jabatannya, popularitasnya, serta segenap kelebihan materiil lainnya, melainkan ditentukan oleh sejauh mana ia gigih memperjuangkan keadilan dan bersikap adil.