Sekarung Pengandaian Politik untuk IPT 65

256
VIEWS
60920141217_132034e
sumber foto: historia.id

Setelah melalui perjuangan panjang yang berat, Pengadilan Rakyat Internasional untuk 1965 (Tribunal, atau IPT 65) yang berlangsung di Den Haag akhirnya usai pada pertengahan November lalu. Perhelatan yang mengundang kontroversi ini berjalan Iancar setelah menghadapi berbagai serangan, miskonsepsi, tuduhan dan asumsi semena-mena.

Terlepas dari beragam perbedaan pandang dan strategi di kalangan pegiat HAM sendiri, IPT 65 membawa tak hanya beban sejarah yang berat dan pertentangan dalam arena politik masa kini. Tribunal ini juga mendapat masukan dan kritisisme penting dari berbagai kalangan. Agenda menuntut pertanggung jawaban masa lalu memang selalu akan berkelindan dengan dimensi-dimensi lain terutama karena ia menyeret begitu banyak aspek sosial, politik, dan budaya sepanjang perjalanannya. Roy Murtadho dalam artikelnya ‘IPT 65, Hipokrisi dan Kebungkaman Kita’ telah merangkum signifikansi melawan diam dan pentingnya meredefinisi pembenaran atas nama Islam terhadap tragedi ini.[i]Ketika sengkarut multidimensi ini diurai, kita akan semakin menyadari relevansi dan signifikansi dari pengungkapan kebenaran ini.

Di tengah beragam kritisisme yang penting untuk penguatan upaya keadilan ke depan, ada pula kritisisme yang muncul karena pengandaian berlebihan. Sebagian kritik ini tidak muncul untuk menyumbang kontribusi pada gerakan sosial untuk melawan impunitas, melainkan secara semena-mena mengandaikan IPT 65 seperti karung serba guna untuk penuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masa lalu yang bisa memuat segalanya. Ini menyebabkan seberondong harapan sekaligus kekecewaan terhadap sukarnya masyarakat menuntut keadilan atas pelanggaran HAM masa lalu dilemparkan pada Tribunal.

Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa isu 1965 memang berpengaruh besar hingga kini bagi publik Indonesia. Tragedi 1965 seolah menjadi penanda bagi apapun yang suram, menakutkan, berbahaya, yang mempengaruhi beragam aspek dalam kehidupan rakyat Indonesia, baik itu versi Orde Baru maupun versi para korban dan saksi mata di akar rumput yang terbungkam selama setengah abad. Sekurangnya, IPT 65 memunculkan dua reaksi yang paradoksal: pertama, harapan yang begitu besar bahwa IPT 65 harusnya lebih menyeluruh, harusnya mengakui penderitaan di pihak sebaliknya, harusnya memuat aspek lain, harusnya membuat pengadilan atas pelanggaran HAM lain di Indonesia, dan’seharusnya’ yang lain-lain. Kedua, cibiran dan anggapan bahwa IPT 65 merupakan dagelan, pengadilan pura-pura, penghinaan terhadap nasionalisme, dan memiliki misi tersembunyi yang konspiratif semisal agen neokolonialisme. Ini sebaliknya menunjukkan harapan yang amat tinggi pada IPT 65 (bahwa seharusnya pengadilannya ‘serius’ alias melalui mekanisme PBB, mungkin), atau juga harusnya dilakukan melalui mekanisme dalam negeri atau tidak usah sama sekali (argumen yang ahistoris).

Di lain sisi, pengandaian dan cibiran yang berlebihan ini menandai sebuah makna baru dari isu yang selama ini hanya berada di dalam bayang-bayang ingatan dan pewarisan kisah. Paradoks ini muncul terutama karena ketiadaan atau keengganan untuk ‘membaca’ IPT 1965 secara seksama tanpa beragam prasangka. Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi sebagian dari pengandaian politik yang berlebihan mengenai IPT 65, diantaranya terhadap tulisan Dwi Cipta dan Bosman Batubara secara terpisah yang dimuat di literasi.co[ii].

Memaknai nasionalisme dan neokolonialisme

Salah satu negara yang berhasil melangkah dengan mengakui sejarah kelam masa lalunya adalah Taiwan, khususnya dengan keterbukaan Taiwan pada pelanggaran yang dilakukan pemerintahannya sendiri di bawah otoritarianisme Kuomintang (KMT). KMT adalah partai pendiri negara Taiwan modern pimpinan Chiang Kai Shek, yang selama periode Teror Putih (1949-1987) membantai orang-orang yang diduga melawan KMT atau bersimpati pada komunisme. Pada tahun 1995, Presiden Lee Teng-hui mendirikan sebuah memorialisasi resmi dan meminta maaf atas tragedi Teror Putih. Situs memorialisasi ini termasuk pendirian Jingmei Human Rights Cultural Park, Machangding Memorial Park dan 228 Peace Memorial Park[iii]. Sikap ini disusul oleh Presiden Ma Ying-jeou di tahun 2008 yang meminta maaf pada para korban dan anggota keluarganya atas nama negara, dan menegaskan harapan agar peristiwa semacam itu tidak lagi terjadi di masa depan.

Dalam kurun waktu 8 tahun sejak berakhirnya Teror Putih, Taiwan telah resmi mengakui dan meminta maaf atas tragedi yang diestimasi memakan korban seratusan ribu orang itu. Dalam kurun waktu 50 tahun sejak tragedi 1965, Indonesia masih belum mengakui tragedi yang diestimasi memakan korban 500,000 hingga 1 juta itu. IPT 65 dibentuk berdasarkan urgensi ini. Namun, untuk meminta dukungan internasional dari berlarut-larutnya impunitas di Indonesia, IPT 65 harus menghadapi segala tudingan. Seolah membuka diri pada fakta bahwa negara pernah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berarti kita telah mengorbankan nasionalisme dan bersekutu dengan kekuatan neokolonialisme.

IPT 65 bukan berdiri tanpa preseden. Selain IPT 65, ada setidaknya dua bentuk pengadilan rakyat internasional sebagai inisiatif masyarakat sipil global yang sudah pernah dilakukan. Pertama, Tribunal Tokyo (Pengadilan Perempuan Internasional atas Kejahatan Perang karena Perbudakan Seksual Militer  Jepang) untuk Jugun Ianfu yang dibentuk tahun 2000 dan kedua, Tribunal Russell untuk Palestina (RToP).[iv]Tribunal Tokyo juga menyelenggarakan sidang putusannya di Den Haag pada tahun 2001, diikuti pendirian sekretariat Mekanisme Mahkamah Pidana Internasional yang didirikan di kota tersebut tahun 2013 sebagai warisan dari fungsi Tribunal Yugoslavia (ICTY) sebelumnya. Pilihan melakukannya di Den Haag adalah bentuk simbol kesetaraan perdamaian di mana Mahkamah Pidana Internasional juga berlokasi di sana.

Sebagai perbandingan, Tribunal Russell untuk Palestina (RToP) dibentuk tahun 2009 oleh filsuf terkemuka dari Inggris, Bertrand Russell, sebagai tindakan atas diamnya komunitas internasional terhadap berbagai pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel. Tujuannya adalah memobilisasi dan mendorong keterlibatan masyarakat sipil internasional dalam isu Palestina. RToP juga menyelidiki tanggung jawab Israel dan negara-negara lain yang menyokongnya khususnya Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa dan organisasi internasional terkait (PBB, UE, Liga Arab). Tribunal ini membentuk Komite Pendukung Internasional yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai negara, termasuk Israel sendiri. Di antaranya adalah para pemenang Nobel, mantan sekertaris jenderal PBB, mantan pemimpin negara, serta berbagai perwakilan elemen masyarakat sipil seperti penulis, jurnalis, aktor, ilmuwan, musisi, hakim, pengacara, dll. Legitimasinya berasal tidak dari pemerintah atau partai politik, namun dari kalangan professional yang kredibel dan berkomitmen pada hak-hak fundamental yang mendasari tribunal ini.

RToP mungkin tidak bisa menghentikan agresi Israel atau mendorong PBB agar lebih keras bersikap terhadap pembantaian di Palestina, namun gemanya terlihat saat blokade dan agresi Israel di Gaza tahun 2010 dan 2011, yang menghimpun solidaritas internasional melalui gerakan Freedom Flotilla dan upaya-upaya penting untuk membawa Israel ke mahkamah pidana internasional setelah itu, termasuk setelah invasi berdarah di Gaza tahun 2014[v].

RToP bisa saja dikritik sebagai tidak berimbang, tidak mengakar atau elitis karena diinisiasi oleh filsuf asal Inggris dan didukung oleh sederet figur internasional. Selain itu, bukankah masyarakat sipil Israel juga mengalami serangan dan teror dari kelompok Hamas, Fatah dan Hizbullah selama berpuluh-puluh tahun? Jika RToP tidak bisa dibandingkan dengan IPT 65 karena RToP menyangkut penjajahan yang masih berlangsung, bukankah Israel juga tidak mengakui Palestina sebagai negara? Bukankah opresi terhadap Palestina juga bentuk stigma yang dikonstruksikan Israel? Atau, dalam contoh nasionalisme yang lebih nyata: bukankah Taiwan sudah berani membuka dirinya pada pelanggaran masa lalu dan belajar dari situ? Dua contoh tersebut membuat tuduhan yang mengaitkan tribunal dengan isu nasionalisme dan imperialisme ini perlu digugat.

Kapitalisme dan imperialisme memang menjamah ke pelosok-pelosok dunia. Seperti halnya warisan kolonialisme lama, jerat paradigma mereka masih meninggalkan jejak-jejak yang nyata dalam masyarakat di negara jajahan. Dalam konteks masa kini, kapitalisme dan imperialisme telah merasuk ke berbagai lokus demokrasi negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Ia akan mengintai mencari lahan baru untuk akumulasi kapital, dan imperialisme global akan mencari retakan-retakan dalam politik dan ekonomi suatu negara untuk menginjeksikan pengaruhnya. Di tengah beragam ancaman “kedaulatan” ini, IPT 1965 menjadi sasaran empuk karena ia mengorek dua luka yang dalam: pertama, konstruksi kebencian yang akut terhadap PKI maupun siapapun yang dianggap kena ‘ampas aliran kiri’ selama puluhan tahun, tentu diperkuat dengan atas nama agama dan bangsa, dan kedua, IPT 1965 merupakan kolaborasi masyarakat sipil, tokoh, dan akademisi dalam dan luar negeri, dan dilangsungkan di Den Haag, menggunakan berbagai literatur dari dalam dan luar negeri yang dianggap ‘punya kepentingan terhadap Indonesia’.

Apa kaitannya antara IPT 1965 dengan pelecehan terhadap nasionalisme, hanya karena ia diselenggarakan di negara ‘bekas’ penjajah dan merupakan kolaborasi dengan kalangan luar negeri? Atau ketika tuntutan agar pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia yang ditengarai terlibat dalam pembantaian itu kini mulai bisa diakses dan diminta pertanggung jawaban sejarahnya?

Cara berpikir konspiratif ini akan menjebak kritisisme kita pada paradigma fragmentatif yang berbahaya. Upaya solidaritas internasional yang dibangun atas nama kemanusiaan bisa kemudian dibelah, dimutilasi, ditempeli tuduhan-tuduhan semena-mena tanpa menelisik terlebih dahulu perspektif dan pertimbangan panjang apa yang membuat IPT 65 hadir.

IPT 65 muncul tidak dengan ambisi besar untuk membawa Indonesia ke Pengadilan HAM PBB, apalagi dengan membuat Indonesia seolah negara yang bisa diperjual belikan atas nama pelanggaran HAM. Ia adalah bentuk perlawanan dengan membangun ulang narasi. Wajar saja ia menimbulkan perlawanan dan keresahan, karena kemunculannya menggugat keyakinan banyak kalangan akan apa itu ‘kebenaran’, ‘hitam’ dan ‘putih’. Bahkan menggugat kembali makna nasionalisme. Padahal, letak ‘nasionalisme’ bukan pada menutupi aib negara, menghujat kelompok Yang Liyan, dan mengagungkan kebesaran masa lalu sambil hanya menatap ‘atas nama’ masa depan.

Apa yang melampaui nasionalisme dan neokolonialisme adalah non-subjek terhadap negara. Lima puluh tahun adalah tahun yang lama bagi bangsa Indonesia untuk didisiplinkan dengan konstruksi pengetahuan, budaya, politik dan ekonomi yang otoriter. Periode ini melahirkan letupan perlawanan yang dengan segera diberantas: mereka yang bersuara berbeda ditekan, diculik, dibunuh. Menjadi non-subjek, sebagaimana dikutip oleh Esteva dan Prakash dalam buku Grassroots Posmodernism, berarti kita memilih tidak untuk mengamini kolonialisme dengan modernitasnya, maupun memilih untuk melawan dengan cara masuk ke dalam jeratannya. Non-subjek adalah kita memilih untuk membangun ruang sendiri: dan dengan ruang itu kita mengartikulasi gagasan, tuntutan, dan menumbuhkan harapan-harapan baru yang signifikan. Dari harapan ini, tercipta ruang yang dibangun atas ingatan dan sejarah.

Tribunal – baik soal Jugun Ianfu, Palestina, atau 65 – adalah upaya membangun ruang sendiri yang tidak terisolasi dari tautannya dengan negara (nasionalisme), sekaligus merajut solidaritas internasional melampaui negara. Disini makna nasionalisme sempit diuji, bukan dilecehkan. Resiko seperti intervensi asing untuk menjajah dan memecah belah Indonesia bisa saja terjadi tiap kali tuntutan dan suara terhadap pelanggaran masa lalu muncul. Namun, pengandaian yang tanpa bukti dan hanya berbasis prasangka yang dilatari oleh sejarah konspirasi internasional dan polarisasi era Perang Dingin misalnya, adalah sebuah kecerobohan analisis (lebih tepatnya asumsi) hubungan internasional yang sudah usang dan tidak akan membawa bangsa ini melangkah progresif.

Sebagai pengadilan rakyat, kekuatan tribunal adalah kapasitasnya untuk memeriksa bukti-bukti, melakukan pencatatan sejarah yang akurat mengenai genosida dan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan, dan menerapkan prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional pada fakta yang ditemukan. Tribunal melangkah untuk mengisi kekosongan yang diabaikan oleh negara, tapi sama sekali tidak untuk menggantikan peran negara. Proses ini justru dibentuk untuk memulihkan negara dari luka-luka yang ia torehkan pada rakyatnya sendiri, dan karenanya, memulihkan makna nasionalisme.

Elitisme aktivis HAM dan korban PKI

Baca Juga:

IPT 65 dianggap membangun simpati yang berlebihan pada para korban yang berasal dari simpatisan PKI atau yang berhaluan kiri. Lima ratus ribu hingga 1 juta orang tewas dari peristiwa itu, namun jumlah yang besar itu digugat dan pertanyaannya dibalik: lantas, bagaimana dengan suara korban akibat kekerasan yang dilakukan oleh PKI? Kenapa mereka seolah diabaikan atau tidak berarti?Gugatan seperti ini misalnya, secara kasar dan tanpa referensi dilakukan terus menerus oleh Taufik Ismail. Menggunakan label ala Orde Baru seperti ‘ateis’, ‘biadab’ dan ‘kejam’ terhadap PKI, Taufik Ismail dan orang-orang yang membabi buta menelan itu seperti belum bangun dari mimpi panjang tangan besi otorianisme dengan segala kuasa bahasanya.

Bagaimana pula dengan korban-korban yang berjatuhan saat penghujung kekuasaan Orde Baru? Bukankah negara Indonesia memiliki begitu banyak kasus pelanggaran HAM? Kenapa hanya fokus pada 1965 yang sangat sensitif dan riskan? Begitulah gugatan oleh suara-suara lain.

Pandangan ini membuat “korban” seolah terpecah-pecah ke dalam penderitaannya masing-masing, dan keadilan serta perjuangan mereka berada di dalam limbo yang berbeda. Padahal, korban 1965 bukan saja dimaknai sebagai pihak yang menderita dari sisi simpatisan, afiliasi, atau keluarga PKI, melainkan juga semua yang terkena imbasnya. Secara umum, bangsa Indonesia adalah korban dari tragedi ini.

Temuan Koalisi Keadilan untuk Pengungkapan Kebenaran (KKPK) misalnya, mengungkap bahwa tragedi 1965 merupakan pintu masuk untuk lingkar enam pola kekerasan yang menjerat bangsa Indonesia selama puluhan tahun.[vi] Enam pola ini adalah pembasmian (PKI dan gerakan kiri, operasi militer di Papua, Timor Timur, Aceh, dll), perampasan sumber daya alam dan sumber penghidupan (eksplotasi tambang, hutan, perkebunan), penyeragaman dan pengendalian (atas nama ideologi, pembangunan dan ketertiban), kekerasan antarwarga (bagian dari strategi militer, masa transisi demokrasi), kekerasan terhadap perempuan (pada 1965-1966, operasi militer, konflik komunal, perampasan SDA, hak reproduksi), dan kebuntuan hukum (terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan  masa kini).

Lantas, apakah tuduhan bahwa IPT 65 cenderung elitis merupakan suatu hal yang ‘disengaja’? bahwa tim IPT 65 – yang telah membuka pintu bagi banyak kalangan, dengan tetap berhati-hati oleh ancaman teror dan intimidasi yang nyata hadir – memang menginginkan upaya ini digerakkan hanya oleh sekelompok akademisi dan aktivis demi reputasi? Atau oleh sekelompok korban yang terlibat hanya untuk kompensasi?

Kita perlu juga ingat bahwa upaya mengungkapkan kebenaran untuk tragedi 1965 sudah dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat sipil Indonesia selama ini. Syarikat, Lakpesdam NU, KontraS, Elsam, KKPK, JPIT Kupang, YPKP 65, YAPHI Solo, SKP HAM Palu, Pakorba, Sekber 65, AJAR, dan lainnya, telah bekerja di akar rumput bertahun-tahun, dan sebagiannya telah menjadi rekan bersama yang membentuk IPT 65, sehingga elitisme yang dituduhkan sebagai bentuk depolitisasi adalah keliru.  Perbedaan yang muncul di sebagian komunitas sehingga memilih opsi pertarungan yang lain, itu adalah bentuk keberagaman inisiatif memperjuangkan isu 1965 yang patut diapresiasi.

Tentu saja, IPT 65 sama sekali tidak mengatakan ketika mereka berbicara atas satu peristiwa politik tertentu maka korban dari pihak yang bersebrangan tidak dianggap penting. Jika semua pembelaan terhadap peristiwa kejahatan kemanusiaan memakai logika imajiner bahwa satu upaya harus merangkul kedua belah pihak, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek keterbatasan teknis, ruang, waktu beserta seberondong upaya untuk mendampingi para korban, mengumpulkan sumber daya yang komitmen, dan segala resikonya, maka tidak pernah akan terjadi perubahan dan tuntutan keadilan.

Ketika IPT 65 menggunakan temuan Komnas HAM yang menyatakan tragedi 1965 adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, pernyataan itu tidak dimaksudkan untuk menampik bahwa PKI juga telah melakukan pelanggaran dan menjadi bagian dari pelaku konflik sejarah. Sama halnya seperti RToP: ketika suatu inisiatif masyarakat sipil internasional membuat Pengadilan Rakyat untuk menuntut Israel atas kejahatannya terhadap rakyat Palestina, bukan berarti pembunuhan yang dilakukan Hamas terhadap warga sipil Israel dianggap tidak ada. Namun, bukankah hukum juga bicara soal keberimbangan? Bukankah kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang terjadi di seluruh dunia ini juga memiliki perhitungan terhadap luasnya dampak, intensitas kehancuran, niat, dan sasaran pembasmian?

Bukankah di sini definisi ‘adil’ dimaknai tanpa dikuantifikasi secara semena-mena?

Dalam konteks Indonesia, secara spesifik IPT memilih peristiwa 1965 dan dampaknya karena peristiwa ini merupakan bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia yang selama ini diabaikan sama sekali oleh pengadilan negara. Kesenyapan ini akan membangun generasi masa depan yang buta sejarah, dan karenanya, hanya diisi oleh kebencian terhadap hal-hal yang dikonstruksikan berbeda. Jadi, jika ada yang meragukan data-data dan hasil pengumpulan fakta yang dikumpulkan oleh Komnas HAM dan para akademisi dalam dan luar negeri karena tuduhan yang irasional seperti bias, ‘agen asing’ dan ‘standar ganda intelektual Indonesia’, maka data apa yang valid? Apakah valid tulisan tanpa rujukan yang disampaikan oleh Taufik Ismail berapi-api dan berkepanjangan di Republika? Apakah valid anggapan bahwa karena IPT 65 menggunakan banyak sumber asing, maka sumber lainnya dari kelompok yang berbangga telah menyembelih ribuan orang dianggap lebih benar?

Pertanyaan yang lebih mendasar: apakah bermanfaat mengkonfrontasikan narasi korban dari kedua belah pihak hanya untuk menjatuhkan upaya merajut benang kemanusiaan dari luka yang harus dijahit?

Inisiatif-inisiatif lokal, nasional, internasional, adalah bentuk pluralitas pencarian keadilan yang bisa saling menguatkan satu sama lain. Karenanya, menganggap ada sebuah keutuhan dalam upaya melawan impunitas dan menuntut keadilan atas pelanggaran HAM masa lalu adalah sebuah kemustahilan. Begitupun dengan kritik-kritik pedas terhadap IPT 65. Imajinasi esensialis akan memukul mundur upaya-upaya penggalangan solidaritas internasional terhadap kasus apapun karena setiap kasus yang diangkat akan diserang dan dianggap ‘tidak mengangkat kasus-kasus yang lain’, ‘tidak mengajak semua elemen’, ‘merendahkan martabat bangsa’, hingga ‘pintu masuk imperialisme/komunisme gaya baru’. Perdebatan soal legitimasi negara, kekerasan negara, ataupun bentuk kekerasan baru yang diinjeksikan oleh kekuatan transnasional membutuhkan analisis poskolonial yang cermat dan berdimensi etis (dan ruang wacana yang berbeda). Ini tidak berarti rezim komunisme tidak melakukan kejahatan juga sepanjang sejarahnya(dan perlu ruang diskusi yang berbeda juga).

Dominasi kapitalisme, neokolonialisme, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang kerap disokongnya hanya bisa dilawan oleh sekumpulan elemen-elemen di masyarakat yang bersuara dan bekerja dengan cakupan yang dimampunya, bukan suatu ambisi untuk menampung segalanya. Upaya partikular ini bisa jadi tidak dianggap serius oleh penguasa, namun bagi para korban dan mereka yang terlibat di dalamnya, bisa jadi ini adalah titik perjuangan habis-habisan. Sebuah proses yang maknanya dimulai dari keberanian dan membangun narasi yang personal dan politis dengan pencarian fakta dan penelitian yang mendalam. Inilah kekuatannya.

Konstruksi memori politik

Kebenaran tidak pernah prematur, meski dalam harapannya ia penuh dengan retakan ingatan. Ingatan ini dibentuk melalui pertarungan sejarah yang panjang: di dalam retakan itu ada narasi penguasa dan bantuan internasional (‘neokolonialisme’) yang masuk mengisi. Anggapan bahwa membicarakan ‘kebenaran’ harus ditunda setelah urusan kesejahteraan usai, hanya akan membuat demokrasi tercabik. Contoh riilnya bisa kita lihat dalam kasus Aceh, ketika transisi demokrasi hanya diwujudkan dalam kerangka pembaharuan institusional dan pembangunan ekonomi, keadilan transisi hanya dimaknai mekanistik legal formal, sehingga diskursus soal pelanggaran HAM masa lalu semakin sayup dan berlarut-larut.

Ironi dari hal ini adalah, kebenaran dianggap telah layak dihadirkan jika terjadi dua hal: pertama, ketika negara dianggap siap untuk membuka diri pada pelanggaran masa lalu yang dilakukannya. Umumnya ini bisa terjadi ketika ada tekanan internasional dan momentum yang signifikan, ditandai misalnya dengan pembentukan komisi kebenaran seperti di Afrika Selatan dan Timor Leste atau konteks politik tertentu seperti di Taiwan. Kedua, ketika masyarakat luas secara terbuka mulai menuntut akuntabilitas atas pelanggaran masa lalu. Inipun tidak muncul begitu saja, melainkan dimulai dengan segelintir kalangan termasuk kelompok korban yang berani bersuara. Contohnya seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu Plaza de Mayo di Argentina.

Jika IPT 65 dianggap prematur karena ketiadaan prakondisi dari dua hal yang disebut diatas, maka masyarakat dan negara takkan pernah siap oleh kebenaran ketika tidak ada yang meneriakkan itu di tengah keheningan dan pengabaian. Jika menunggu hingga kaum buruh dan tani memiliki kesadaran kritis akan warisan kekerasan masa lalu, menunggu hingga kaum akademisi memiliki suara solid dan bersatu dengan kaum buruh dan tani untuk membangun revolusi menuntut keadilan, maka kebenaran tidak akan pernah disuarakan.

Ilusi totalitas ini harus kita singkirkan dari imaji. Kebenaran mungkin tertunda, tapi tidak dengan solidaritas, kolaborasi lintas komunitas, kekuatan dari apa yang ada, dan komitmen orang-orang yang sepakat – dengan segala perhitungannya – yang berjuang untuk melakukan apa yang bisa, hari ini, karena ingatan harus terus menerus kita bongkar dengan dialektika.

Kritik untuk IPT 65 yang tidak melakukan kontekstualisasi terhadap berbagai isu kontemporer seperti agraria atau Orde Baru Jilid II yang mencakup nasib buruh dan ancaman kebebasan berekspresi memang menjadi tantangan. Namun, mengelaborasi kontekstualisasi ini persis adalah peran yang perlu diemban usai tribunal di Den Haag, dan bukan menjadi bagian utama yurisdiksi tribunal, meski tidak menutup kemungkinan untuk itu.[vii] Selain kontekstualisasi isu pasca Den Haag, Muhammad Al-Fayyadl, misalnya, menganjurkan umat Islam untuk menulis ulang sejarahnya, lepas dari ‘tekanan luar’ untuk melihat masa lalu dalam kerangka relasi kebangsaan dan keislaman. Ia mengusung perlunya ‘kesadaran sejarah’ ala Arkoun yang kritis pada warisan sejarah yang selama ini dianggap mutlak.[viii] Ini berarti sebuah anjuran untuk merespon IPT 65 sebagai awalan bagi kritik-autokritik dan diskursus yang otentik di beragam komunitas, khususnya umat Islam di Indonesia yang memiliki peran dalam tragedi tersebut sebagai pelaku dan korban, maupun kerabat, keturunannya, atau sebagai bagian dari publik.

Penutup

Dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, IPT 65 harus dipahami sebagai fragmen yang tidak terfragmentasi: ia adalah upaya partikular untuk satu kasus yang tidak bermaksud merendahkan, mengeksklusi, dan membuat kasus-kasus lain lebih tidak penting. IPT 65 adalah penanda penting bahwa suatu tragedi besar yang lama dibungkam sejarah ini harus dikuak. Dibicarakan. Diperdebatkan. Keberanian ini membutuhkan kebesaran hati dan keterbukaan pikiran karena pasti ia akan menantang keyakinan yang telah bercokol di ingatan kolektif bangsa ini.

Mari kita ingat kembali apa harapan internasional itu, sebagaimana potongannya tertuang dalam Deklarasi Pertama La Realidad, yang disuarakan pada tahun 1996 oleh Zapatista:

Against the International of Terror that neoliberalism represents, we must raise an International of Hope. Unity beyond borders, languages, colors, cultures, sexes, strategies and thoughts, of all those who prefer a living humanity.

The International of Hope. Not the bureaucracy of hope, not an image inverse to, and thus similar to, what is annihilating us.

Dignity is that country without nationality, that rainbow that is also a bridge, that murmuring of a heart regardless of the blood within it, that rebel irreverence that scoffs at borders, customs agents and wars.

Inilah pilihan dan ajakan yang coba diinisiasi oleh IPT 65. Pilihan ini mengemban sebuah tanggung jawab moral dan intelektual, ialah untuk berdiskusi dan membangun harapan dengan kita semua: kaum pendidik, kaum tani, kaum buruh, politisi, militer, pegiat HAM, kelompok korban. Jikapun kita tidak setuju, namun, apakah kita bersedia mendengar?

[i] Roy Murtadho, ‘IPT 65, Hipokrisi dan Kebungkaman Kita’, http://indoprogress.com/2015/11/ipt-65-hipokrisi-dan-kebungkaman-kita/

[ii] Dwi Cipta, ‘Jebakan Perang Dingin Gaya Baru dan Bahaya Polarisasi Politik dalam Negeri’, http://literasi.co/jebakan-perang-dingin-gaya-baru dan Bosman Batubara, ‘Repolitisasi Isu ’65, Radikalisasi Gerakan’, http://literasi.co/Repolitisasi-Isu-65-Radikalisasi-Gerakan

[iii] Ronald Chin-Jung Tsao, ‘Museum for peace: Identity of Taiwan’s peace museums and human rights parks’, makalah dari INTERCOM 2006 Conference Paper, http://www.intercom.museum/documents/2-6tsao.pdf

[iv] Untuk informasi lebih jauh silakan kunjungi http://www.russelltribunalonpalestine.com/en/

[v] RToP kembali melakukan sesi darurat di Brussels bulan September 2014 untuk merespon invasi Gaza,  https://electronicintifada.net/blogs/rania-khalek/watch-testimonies-atrocities-gaza-russell-tribunal

[vi] Laporan Tahun Kebenaran KKPK, ‘Menemukan Kembali Indonesia: Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas’, 2014

[vii]Yurisdiksi Tribunal didefinisikan dalam Piagam Tribunal: “meliputi kejahatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan lainnya di bawah ketentuan Hukum Adat (international customary law), KUHP Indonesia serta Hukum HAM Indonesia dan harus mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kejahatan ini termasuk, namun tidak terbatas pada tindakan-tindakan berikut: genosida, pembunuhan massal, pemusnahan, deportasi, perkosaan dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual, penghilangan paksa, kerja paksa dan perbudakan, penyiksaan dan penganiayaan. Pengadilan juga harus memiliki yurisdiksi atas tindakan atau kelalaian oleh Negara Indonesia dan keterlibatan oleh negara lain, termasuk Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Australia dan Inggris yang melanggar hukum internasional sehubungan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud pada paragraf di atas. Periode waktu yang masuk dalam yurisdiksi tribunal ini adalah sejak tanggal 1 Oktober 1965 hingga pada saat piagam IPT 65 diadopsi (2015).”

[viii] Muhammad al-Fayyadl, ‘Islam Indonesia dan Pemulihan Luka Bersama via Keadilan dan Penulisan Ulang Sejarah’, http://islambergerak.com/2015/11/islam-indonesia-dan-pemulihan-luka-bersama-via-keadilan-dan-penulisan-ulang-sejarah/

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.