
Apa yang membedakan tahun baru Hijriyah tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya? Pertanyaan ini bisa menimbulkan banyak sekali jawaban, karena tentu saja tahun baru hijriyah, sebagaimana tahun baru yang lain, mungkin memberikan makna yang personal.
Namun bagi kalangan muslim progresif di Indonesia, barangkali ada satu hal yang menjadi perhatian bersama di sepanjang tahun sebelumnya, sehingga menandai perbedaan tahun baru Hijriyah tahun ini dengan pendahulunya: bahwa Tahun Baru 1440 H merupakan tahun yang memberikan tantangan; tantangan untuk meluruskan segala pembengkokan, pembajakan, dan juga perampokan makna dari kata yang paling fundamental bagi penanda tahun baru Islam ini, yakni “hijrah” itu sendiri.
Masih begitu terang dalam ingatan kita bagaimana Emha Ainun Najib menghinakan sedemikian rupa kata “hijrah” dalam sebuah pengajian dengan memakainya untuk melegitimasi penggusuran tanah-tanah warga di Kulon Progo akibat rencana pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport. Hijrah, dalam alam pikir budayawan tua itu, dimaknai secara sewenang-wenang sebagai jalan yang tersedia bagi orang-orang teraniaya dan terzalimi untuk merayakan penindasan atas diri mereka. Secara praktis, Emha menyerukan kepada warga Kulon Progo supaya legowo menerima perampokan yang dilakukan oleh negara dan korporasi atas tanah dan hidup mereka agar “memperoleh keberkahan rejeki dan kemenangan di sisi Allah SWT.”
Tafsir yang diberikan Emha terhadap kata “hijrah” in tentu saja serampangan. Tetapi, meskipun mungkin tafsir yang ia berikan adalah contoh yang paling bejat, ia tidak sendirian. Hari ini kita bisa dengan mudah melihat bagaimana kata “hijrah” telah dibengkokkan sedemikian rupa sehingga tercerabut dari makna historisnya. Hanan Attaki, seorang pendakwah yang hari ini banyak digemari anak-anak muda, misalnya, mengerdilkan makna “hijrah” hanya sebatas pada persoalan individual belaka. Hijrah bagi dia hanyalah soal bagaimana seseorang menjalani laku hidup yang lebih Islami demi mendapat kemakmuran di dunia. Bahwa tantangan Islam dan umatnya bukanlah ketidakadilan yang terejawantah dalam ketimpangan struktural, perampasan tanah dan ruang hidup, oligarki dan oligopoli, dlsb. melainkan sekedar gaya hidup.
Sekilas, pemahaman “hijrah” Hanan ini mirip dengan Nurcholish Majid (meski terdengar lucu karena atribusi yang dikenakan kepada keduanya berbeda, yakni Hanan “puritan” dan Cak Nur “liberal”). Di dalam tulisannya yang berjudul Etos Hijrah, Cak Nur, misalnya, melolosi makna “hijrah” menjadi hanya sekedar ritual untuk mendapatkan kesejahteraan ( dalam bahasa dia “kemudahan yang banyak, rezeki dan keluasan atau kebebasan”) dengan mengabaikan aspek perlawanan terhadap penindasan. Yang membedakan adalah, dalam tulisan tersebut Cak Nur menjelaskan pemaknaan “hijrah” secara lebih komprehensif dengan meletakkannya dalam konteks masyarakat muslim meski dengan preskripsi liberal dan ahistoris (Cak Nur menyebut “hijrah” sebagai sarana nabi membangun masyarakat madani yang egaliter—tanpa menjelaskan pra-syarat dari terwujudnya tatanan tersebut).
Di dalam Al-Qur’an sendiri, kata “هاجر” atau turunannya yang bermakna hijrah muncul setidaknya dalam tujuh ayat. Satu di antaranya menjadi predikat yang disematkan pada perempuan-perempuan yan halal dinikahi Nabi (QS Al-Ahzab: 50). Satu yang lain disebutkan untuk menyebut kaum Anshor yang menerima dengan tangan terbuka dan berkorban harta-benda demi saudara-saudara mereka yang hijrah dari Makkah (Al-Hasyr: 9). Sedangkan lima yang lain, menceritakan orang-orang yang berhijrah itu sendiri dan keutamaan serta anugerah Allah yang (akan) didapatnya. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa pemaknaan soal hijrah bisa ditarik secara lebih luas, tidak melulu sebagai legitimasi laku keberagamaan yang serba individual, tafsir Islam yang liberal, apalagi untuk kepentingan personal.
Dari lima ayat terakhir misalnya kita bisa menyarikan setidaknya tiga rumusan pemaknaan soal hijrah. Pertama, hijrah, baik dalam penyebutan Al-Qur’an maupun dalam peristiwa empiriknya bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Alih-alih, ia adalah peristiwa yang historis, di mana para muhajirin berhijrah sebab mengalami kezaliman (QS an-Nahl 41, 110), terusir dari kampung halamannya, dan teraniaya karena mempertahankan nilai yang diyakininya (QS. Ali ‘Imran 195). Kedua, hijrah juga bukan sesuatu yang final. Dalam Al-Qur’an, hampir selalu Allah SWT mengaitkan hijrah dengan jihad (QS Al-Baqarah 128), yang di era Nabi Muhammad SAW, manifestasinya bisa saja dalam bentuk peperangan. Ini sesuai dengan konteks “hijrah” di dalam sejarah Islam yang terejawantah melalui peristiwa berhijrahnya kaum muhajirin.
Daod S. Casewit (1998), seorang sarjana Islam Amerika Serikat, menjelaskan konteks peristiwa hijrah melalui periode peristiwa hijrah paling awal ketika Nabi Muhammad SAW mengirimkan para sahabat untuk meminta perlindungan kepada Raja Najasi di Abbasiniyah. Dalam pemaparannya, Casewit menyebutkan jika peristiwa hijrah yang pertama menjadi bukti kuat bahwa Islam bukanlah ajaran yang menyerukan pengorbanan pasif (passive martyrdom) atau malah perlawanan bunuh diri (suicidal resistance). Melalui perintah hijrah yang pertama, menurut Casewit, Islam justru menunjukkan bahwa penderitaan (termasuk penindasan) tidak bisa berakhir dengan sendirinya (1998, 110). Artinya, ia harus dilawan. Dengan demikian Islam mengajarkan bahwa nilai yang kita idealkan seperti keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, bukanlah sesuatu yang terberi dan datang dalam ruang hampa. Melainkan sesuatu yang perlu diperjuangkan (a matter of social struggle) dalam satu kondisi sosial tertentu.
Pelajaran lain yang menurut Casewit bisa diambil dari peristiwa hijrah pertama adalah perubahan pandangan kaum muslimin terhadap ikatan sosial yang sejak lama mengakar di dalam masyarakat Arab jahili, yakni ikatan kekerabatan dan kesukuan. Upaya pencarian dukungan di luar ikatan sosial tradisional ini menurut Casewit membuktikan bahwa hijrah “bukan semata lari dari kondisi yang tak tertahankan”, melaikan, salah satunya, pelampauan ikatan kekeluargaan dan kesukuan menjadi ikatan persaudaraan di antara orang-orang tertindas (1998, 111). Di sini kita mendapatkan landasan historis untuk makan hijrah yang ketiga, bahwa hijrah mustahil dilakukan tanpa adanya persatuan; tanpa adanya ikatan solidaritas di antara saudara-saudara umat manusia senasib sepenanggungan.
Lantas dari ketiga pemaknaan hijrah di atas, apa yang bisa kita petik dan kontekstualisasikan dalam kehidupan kiwari kita hari ini? Setidaknya kita menemukan beberapa hal, yang tentu saja daftarnya bisa diperpanjang sesuai kebutuhan strategi dan taktik gerakan.
Pertama, hari ini kita hidup di era ketika kezaliman dilakukan secara brutal dan vulgar. Ribuan bahkan mungkin jutaan orang dirampas tanah, rumah, dan lingkungannya atas nama pembangunan, penggusuran terjaadi di mana-mana, buruh-buruh diperas tenaganya dengan upah yang sangat minim dan tak layak, juga kerusakan alam akibat ulah manusia di berbagai belahan dunia. Semua ini bermuara bukan semata-mata pada pemimpin yang tak becus atau lalim, sehingga mengganti presiden saja tak akan menuntaskan masalah. Semua ini bermuara pada satu sistem yang memang dibangun di atas eksploitasi dan perampasan. Satu sistem yang tak peduli apapun kecuali akumulasi profit semata,: ialah kapitalisme di mana kita hidup di dalamnya hari ini. Apabila hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya adalah untuk menghindari kezaliman untuk kemudian melawannya, maka pemaknaan hijrah kita hari ini semestinya adalah “penolakan atas kapitalisme dan upaya pembangunan sistem alternatif atasnya.”
Kedua, hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya bukan berarti pengakuan kalah dan pengibaran bendera putih, tetapi justru upaya penggalangan kekuatan untuk melawan penindasan dengan hantaman yang lebih dahsyat. Keliru besar kalau hijrah dimaknai sebagai sebentuk kepasrahan atas kezaliman dan pengusiran yang mengancam. Apalagi kalau itu dikampanyekan untuk mempengaruhi rakyat agar mau melepas dan pindah dari kampung halamannya atas nama pembangunan. Kampanye ini, dalam istilah Sayyidina Ali KW disebut sebagai “kalimatu haqq yuradu biha bathil”, satu konsep yang benar, namun ditujukan dan diperalat untuk kebatilan.
Ketiga, yang harus kita lawan hari ini bukanlah orang atau kelompok tertentu, tetapi sistem yang memungkinkan adanya kezaliman. Pun begitu pula yang dulu dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Mereka tidak semata-mata melawan kaum kafir Quraisy sebagai persona. Jika memang itu yang dilawan oleh Nabi dan para sahabatnya, niscaya Fathu Makkah akan banjir darah karena kepala-kepala kaum kafir Quraisy yang dipenggal. Tetapi yang dilawan Nabi adalah perbuatan zalim dan sistem yang menopang ketidakadilan itu. Kaum kafir Quraisy dilawan semata-mata karena mereka berusaha melanggengkan eksploitasi yang menguntungkan mereka dengan mempertahankan status-quo.
Hari ini kita menghadapi lawan berupa sistem yang menggurita dan mendunia bernama kapitalisme. Dalam melakukan eksploitasi, ia tak pandang suku, agama, atau bangsa manapun. Menghadapi musuh semacam ini, memaknai hijrah sebagai sebuah perjuangan individual, melawan hawa nafsu belaka jelas sebuah laku yang celaka. Jika dulu kaum muhajirin pada akhirnya bisa membebaskan kampung halamannya dan kembali ke sana berkat persatuan dengan kelompok Anshor, maka dalam melawan kapitalisme global hari ini, kita umat Islam harus membangun perlawanan bersama yang melampaui sekat suku, etnis dan agama.
Dalam konteks geopolitik yang lebih luas hari ini, ikatan solidaritas di antara kaum tertindas bahkan harus ditarik sejauh mungkin melampaui batas teritori negara sekalipun. Kita harus tegas menyatakan bahwa, “We did not cross the border but the border crossed us! (Kami tidak melintasi perbatasan, melainkan batas lah yang melintasi kami!)” Ini adalah pernyataan sebagai perlawanan atas realitas penciptaan batasan teritori negara modern. Perlawanan ini perlu dilakukan apabila melihat ekses paling mutakhir dari kapitalisme hari ini. Menurut The Guardian, tercatat ada 37.034 pengungsi yang menyebrangi lautan mencapai Eropa tahun ini, dengan total 1,8 juta pengungsi sejak tahun 2014. OCHA juga melaporkan ada lebih dari 700,000 pengungsi Rohingya pergi meninggalkan Myanmar tahun 2017 lalu; meninggalkan rumah menuju dunia antah berantah demi menyelamatkan diri dan komunitas dari perang dan kekerasan telah menjadi krisis global. Alih-alih menegaskan garis antara Global South dan Global North, perlintasan ini justru menghentakkan warga dunia akan garis-garis imajiner kedaulatan negara dan solidaritas kemanusiaan.
Dengan demikian, hijrah sebagai suatu proses yang inklusif dan radikal dalam praktek ‘pergerakan manusia’ – migrasi, urbanisasi, pengungsian, dsb – harus dimaknai secara plural dalam kacamata globalisasi, geopolitik, dan arus transnasional masa kini. Term ‘Islam Transnasional’ yang dilekati maknanya secara latah sebagai ‘ancaman terorisme dan kebangsaan’ perlu dikritik. Hijrah, sebagaimana Islam itu sendiri, barangkali bahkan harus memiliki watak transnasional sebagai panggilan umat dalam menjawab krisis yang menjangkiti gerakan Islam secara global. Oleh karena itu, menyambut hijrah juga bentuk solidaritas atas represi terhadap sesama manusia yang disekat secara kewilayahan sebagai manuver pergerakan umat yang mempengaruhi penyebaran perjuangan fisik dan ideologis, sebagaimana dilakukan oleh para aktivis Immigrant Rights Movement di Amerika Serikat sebagai gerakan nasional dalam melawan stereotip negatif atas warga dari Amerika Latin dan Arab atau Gaza Freedom Flotilla dalam melawan blokade Israel atas Palestina sebagai gerakan internasional.
Salam alaikum!
Anda menulis benar bahwa kita hidup di dalam kapitalisme hari ini. Tetapi anda lupa menyebut bahwa kapitalisme hari ini adalah kapitalisme pada tingkat imperialisme-lah, yaitu kapitalisme yang “menjelang kematian”, yang “membusuk” (kalau dikata dengan kata-kata Lenin yang sudah meneliti imperialisme ini). Pada tingkat ini dunia terbagi atas bangsa-bangsa imperialis, bangsa-bangsa yang menindas, yang kaya (Rusia, Amerika, Eropa, Cina dll., pada waktu terakhir ini Turki, India juga) dan bangsa-bangsa yang ditindas, yang miskin (terutama bangsa-bangsa Muslim, termasuk Indonesia). Kaum buruh (kaum proletar) di bangsa-bangsa imperialis menjelma menjadi “labour aristocracy” (kaum “bangsawan buruh”, “ningrat buruh”, yaitu kaum buruh yang berupah tinggi). Golongan ini disuap oleh kaum kapitalis besar dengan keuntungan berlebih (“super-profits”) yang diisap dari bangsa-bangsa tertindas. Maka, golongan ini menjadi pendukung kaum kapitalis besar ini. Lenin sudah meneliti hal itu juga.
Memangnya, kita melihat bahwa kebanyakan kaum buruh dalam bangsa-bangsa imperialis tidak memahami (dan tidak ingin memahami) gerakan Islam yang sekarang dalam bangsa-bangsa tertindas dan memandang ini sebagai “terorisme”. Lalu, penjelasan apa pun juga kepada mereka tidak berguna. Sebagaimana dikata di Qur’an:
“dan tidak sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar” [Surah 35 (Faathir) ayat 22].
Jadi, kata-kata anda bahwa “Dalam melakukan eksploitasi, kapitalisme tak pandang suku, agama, atau bangsa manapun” benar cuma sebagian saja. Ya, kaum imperialis berupaya untuk memanfaatkan orang-orang dari “suku, agama, atau bangsa manapun” bagi kepentingannya, tetapi ada “suku, agama, atau bangsa” yang kebanyakan menindas (yaitu, bangsa-bangsa yang tidak Muslim) dan ada “suku, agama, atau bangsa” yang kebanyakan ditindas (yaitu, bangsa-bangsa Muslim). Lupa hal ini berarti jatuh pada ekonomisme (ialah pengutamaan perjuangan ekonomis dari pada perjuangan politik, pengabaian perjuangan politik), berarti mengabai perjuangan Islam, perjuangan bagi penegakan Negara Islam Khilafah. Pengabaian begitu bermanfaat buat kaum imperialis.
Selain itu, kaum imperialis justru pandanglah agama (yakni mereka memperhatikan hal ihwal agama) untuk menghapuskan Islam sejati dan menjadikan Islam sebagai “candu” saja (yakni sebagai “obat penawar penyakit jiwa” saja), bukan sebagai kekuatan kebebasan. Islam bukan sama saja dengan agama Nasrani (“candu dari rakyat”, sebagaimana Marx mengata tentang agama Nasrani), dan kaum imperialis memahami hal itu, walaupun sembunyikan hal itu serta menyamakan Islam dengan agama Nasrani.
Adapun hijrah, dari Qur’an bisa dilihat bahwa hijrah Nabi Muhammad (sama saja dengan hijrah Nabi Luth dan Nabi Nuh sebelumnya) adalah kepergian dari kota yang justru “menjelang kematian”, yang “membusuk” ke kota yang tidak “menjelang kematian”, yang tidak “membusuk”. Kalau dikenakan kepada waktu ini, hal itu berarti “kepergian” dari dunia imperialis (yakni dari bangsa-bangsa imperialis, dari kebudayaannya, dari pandangannya hidup, bahkan, dari golongan tinggi, golongan munafiq dalam bangsa-bangsa tertindas, dalam bangsa-bangsa Muslim, karena golongan ini berhubung secara erat (melalui pendidikannya, pola hidupnya, pergaulan dll.) dengan masyarakat bangsa-bangsa imperialis) ke dunia Islam (yakni ke kaum Muslim proletar (miskin) dalam bangsa-bangsa tertindas). Lalu, perserikatan apa pun kaum proletar Muslim dengan kaum yang “di-Eropa-kan”, “di-Cina-kan”, “di-kristenisasi-kan” dsb. (termasuk para “intelektual kiri” dsb. yang jauh dari kaum Muslim proletar dan perjuangannya) merugikan umat Islam dan dimanfaatkan oleh kaum imperialis, karena dalam serikat begitu kaum Muslim dipengaruhi oleh “labour aristocracy” itu. Satu-satunya yang perlu diambil dari bangsa-bangsa imperialis (kecuali ilmu pengetahuan alam (“sains”) umumnya, tentu saja) ialah Marxisme-Leninisme asli, karena ajaran ini lahir pada waktu ketika kaum buruh bangsa-bangsa itu belum “busuk”.
Lihat juga: Marxisme dan Hijrah https://gachikus.blogspot.com/2020/05/marxisme-dan-hijrah.html
Marxisme dan Hijrah (Lanjutan)
https://gachikus.blogspot.com/2020/11/marxisme-dan-hijrah-lanjutan.html