Sukarelawan: Buruh Berupah Murah atau Bahkan Cuma-cuma

732
VIEWS

Berbicara tentang kesukarelaan tidak dapat dilepaskan dari kondisi struktural negara dan tatanan sosial yang berlangsung. Tulisan dari Hawksley dan Georgeou (2019) dapat membantu kita memilah dua bentuk sukarelawan yakni mereka yang memiliki akar dekat dengan massa/rakyat atau justru yang berseberangan dengan kepentingan rakyat kebanyakan. Alih-alih mendorong munculnya gerakan sosial yang kohesif untuk mendorong perombakan struktur yang memihak rakyat, kesukarelaan bagi Hawksley dan Georgeou (2019) justru semakin memperkuat basis dan suprastruktur dari kelas atas yang menghegemoni.

Setidaknya terdapat dua gagasan yang memilah dua posisi seorang sukarelawan. Pertama, posisi sukarelawan sebagai “pelayan masyarakat.” Posisi yang pertama mendorong seorang sukarelawan untuk memuluskan agenda negara dan pasar dengan menjadi buruh dengan upah rendahan atau bahkan sama sekali tak dibayar untuk menggantikan peran dalam menyediakan layanan bagi masyarakat (Hawksley & Georgeou, 2019). Posisi tersebut memunculkan pandangan bahwa sudah wajar menjadi sukarelawan berarti tak perlu mendapatkan imbalan ataupun pengakuan dengan dalih menjadi “perbuatan baik.” Sukarelawan berkedudukan sebagai penyedia layanan publik secara residual dengan klaim tak mampu ditangani oleh negara maupun pasar.

Kedua, sukarelawan sebagai seorang aktivis. Posisi yang kedua ini mendorong seorang sukarelawan untuk “memberdayakan” rakyat menuju kondisi yang lebih baik. Sukarelawan menjadi katalis “pemberdayaan sosial” melalui fungsi representasi politik. Peran masyarakat sipil dalam pandangan ini berperan memastikan sistem politik tanggap terhadap kebutuhan publik, sementara para sukarelawan bertugas membangun solidaritas untuk menghadapi tatanan yang hegemonik.

Sayangnya pemahaman penerapan kesukarelaan yang berkembang kemudian mengaburkan perbedaan dua posisi tersebut disebabkan wacana yang berkembang lebih hegemonik pada posisi yang pertama. Hal tersebut disebabkan kuatnya pengaruh dari organisasi masyarakat sipil yang membawa pengalaman negara-negara di Utara untuk “dicangkokkan” di negara-negara Selatan. Makna atas kesukarelaan yang berkembang kemudian menjadi kegiatan tanpa bayaran untuk menyediakan layanan atau pemberian bantuan bagi orang lain. Akibatnya dengan mendorong orang-orang menjadi sukarelawan artinya mewajarkan adanya praktik kerja dengan upah rendah atau bahkan tak dibayar untuk memaksimalkan keuntungan sosial dengan meminimalkan biaya dengan hasil sama sembari menghilangkan tanggungjawab negara dan kelas atas dalam pelayanan (Hawksley & Georgeou, 2019).

Kelemen, Mangan, dan Moffat (2017) lebih lanjut memilah bentuk kesukarelaan menjadi empat jenis yakni altruistic; instrumental; militant; dan forced (atau ‘voluntolding’). Pemilahan tersebut terutama berdasarkan pertimbangan apakah motivasi kegiatan muncul dari luar diri seseorang atau dari dirinya sendiri; apakah kegiatan bersifat jangka pendek atau jangka panjang; dan apakah kepentingan individu dan kolektif dapat berjalan beriiringan. Sukarelawan dalam kerangka instrumental dan forced terkait dengan pandangan individual seperti “menjadi pribadi yang baik” atau ”warga negara yang bertanggungjawab.” Sukarelawan dalam kerangka altruistic menekankan pada pandangan untuk tidak mementingkan diri sendiri dan bekerja menuju cita-cita bersama. Kesukarelaan dalam jenis militant hampir menyerupai seperti “gerakan sosial baru” yang menekankan kepentingan kolektif, namun pada dasarnya keempat tipe kesukarelaan seringkali berjalan secara beriringan.

Kesukarelaan dalam bentuk altruisme muncul dari inisiatif pribadi (berdasarkan apa yang dianggap wajar secara sosial) dengan dorongan seorang individu dengan tanpa pamrih harus mau meringankan beban penghidupan orang lain. Dorongan untuk bekerja tanpa pamrih tak dapat dilepaskan dari struktur pengetahuan yang hegemonik dengan menanamkan “adanya tanggungjawab sosial” dari individu kepada orang lainnya (Kelemen et al., 2017). Hal tersebut seakan-akan dikonstruksikan sebagai kewajiban sosial untuk mengantikan peran negara dalam pelayanan sosial dan penjaminan penghidupan.

Kesukarelaan dalam kerangka instrumental berjalan dengan alasan lain untuk kepentingan pribadi terutama untuk mendapatkan sumber penghidupan. Kesukarelaan menjadi ajang untuk mendapatkan keterampilan baru seperti manajemen diri ataupun kapasitas pengelolaan proyek entah untuk dijadikan pengalaman, demi mendapatkan pekerjaan berbayar ataupun melanjutkan pendidikan. Pengalaman sukarelawan menjadi alat untuk bersaing di pasar tenaga kerja yang “fleksibel” dengan bayangan bahwa jika mereka terbiasa bekerja tanpa diupah akan terbiasa menahan diri saat berada dalam tekanan dan juga dapat menambah jejaring.

Kesukarelaan dalam kerangka militant yang menekankan pada kekuatan kolektif dan “aktivisme.” Kesukarelaan dalam jenis ini berupaya memobilisasi orang-orang untuk terlibat mengadvokasi suatu masalah yang ingin mereka selesaikan. Kegiatan yang dilakukan pada tipe kesukarelaan ini bertujuan untuk memengaruhi opini publik, agar berpihak pada kemauan mereka. Kesukarelaan dalam bentuk ini muncul dari keresahan atas ketidakadilan sosial yang ingin disuarakan bersama. Terakhir, kesukarelaan dalam kerangka forced adalah kegiatan sukarelawan yang digerakkan oleh pihak yang berkuasa baik dapat berupa hukuman yang harus dijalankan ataupun perintah dari majikan terhadap pekerjaan tak berupah yang harus dilaksanakan oleh buruh (Kelemen et al., 2017).

Sukarelawan pada akhirnya justru menambah beban bagi dirinya sendiri apalagi jika mereka berasal dari luar komunitas yang akan diintervensi. Komunikasi yang terjalin antara sukarelawan dan komunitas seringkali terjalin secara terbatas, padahal mereka sedang “berupaya membantu” komunitas yang akan diintervensi (Griffiths, 2014). Hal tersebut membuat mereka sebenarnya sedang menciptakan ketergantungan dari komunitas terhadap pihak luar. Relasi yang tak seimbang jelas muncul antara organisasi pembawa sukarelawan bersama sukarelawan dengan komunitasnya disebabkan pihak yang diintervensi sangat jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam kegiatan (Griffiths, 2014).

Sukarelawan sendiri berada dalam kondisi yang sangat rentan sama seperti komunitas yang akan diintervensi, apalagi jika kesukarelaan menjadi dasar untuk masuk atau naik ke jenjang karir yang diharapkan. Akibatnya profesionalitas di dunia kerja justru ditentukan oleh pengalaman untuk mau bekerja tanpa diupah terlebih dahulu sebagai salah satu prasyarat untuk menunjukkan keterampilan yang dimiliki (Holmes, 2006). Hal tersebut sebenarnya semata menjadi strategi untuk menutupi masalah kekurangan staf dengan menggerakkan buruh yang tak dibayar. Seorang calon sukarelawan terutama yang diorganisir dalam wadah tertentu bahkan seringkali harus mengikuti seleksi ketat dan pelatihan untuk melakukan kerja tak terbayar yang akan mereka lakukan (Holmes, 2006).

Kesukarelaan pada dasarnya harus diwaspadai sebagai bagian dari agenda neoliberal sejak awal tahun 1990-an untuk meminimalkan peran negara dan mempromosikan privatisasi serta pemerintahan yang pro pasar. Layanan publik dasar seperti pendidikan dan kesehatan sengaja dibiarkan ditangani oleh “lembaga amal” dan bergantung pada belas kasihan. Alih-alih didorong sebagai hak dasar warga negara, layanan publik justru dilemahkan dan dilempar menjadi tanggungjawab individu. Warga negara menjadi tak memiliki fokus untuk mendorong redistribusi kesejahteraan dan perbaikan layanan publik. Akibatnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempromosikan kesukarelaan jangan-jangan justru melegitimasi agenda neoliberal. Jualan kesukarelaan pada akhirnya menjadi janji manis atas partisipasi di akar rumput sembari membatasi kemungkinan munculnya “negara kesejahteraan” (Georgeou & Engel, 2011).

Kesukarelaan sebagai bagian dari agenda neoliberal digaungkan untuk memastikan pasar dapat beroperasi dengan baik. Kesukarelaan melalui berbagai “kegiatan amal” dijadikan sebagai cara untuk menyediakan “bantalan sosial” di tengah kekosongan peran negara. Langkah kedermawanan dipuji-puji dan diklaim untuk mengatasi kesengsaraan, sementara relasi-relasi sosial yang timpang dan menghisap tetap tak dirombak. Akibatnya masalah penghidupan tak lagi menyoal pemenuhan hak warga negara, melainkan dilempar menjadi persoalan moralitas individu (Vrasti & Montsion, 2014).

Langkah sukarelawan seringkali justru menjadi tindakan “menggurui” pihak yang akan diintervensi. Mereka tak memiliki pemahaman yang cukup mengenai konteks lokasi dan komunitas yang akan diintervensi. Apalagi jika kesukarelaan tersebut disetir oleh pihak dari negara-negara Utara yang memiliki basis pengetahuan dan manajemen proyek sendiri menyebabkan pihak yang diintervensi tak memiliki banyak keleluasaan untuk ikut serta. Sukarelawan sendiri harus mau memenuhi berbagai dokumen administrasi yang perlu dilengkapi, meskipun mereka melakukan kerja tak diupah ataupun dengan gaji rendah (Smith & Laurie, 2011).

Mobilisasi wacana keagamaan menjadi salah satu teknik jitu untuk memobilisasi orang menjadi sukarelawan. Alasan pentingnya “pengorbanan” sebagai bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan dijadikan doktrin untuk menimbulkan “kepuasaan” saat “membantu” pihak lain. Kegiatan kesukarelaan dicitrakan memiliki “nilai kebaikan” secara spiritual untuk memotivasi para buruh yang diupah rendah/sama sekali tak dibayar (Maes, 2012).

LSM seringkali memakai kegiatan seremoni untuk mendorong calon sukarelawannya berikrar untuk “ikhlas dalam melakukan tugasnya” dan menjadikannya “tanggungjawab moral,” agar para buruh yang tak diupah tidak menuntut hak-haknya.

Kesukarelaan justru dapat dilihat sebagai salah satu bentuk depolitisasi, di mana privatisasi layanan publik dibiarkan secara masif dan menjauhkan mereka untuk menggali apalagi mempertanyakan akar persoalan rakyat kecil terjerat ketimpangan struktural. Kesukarelaan membawa persoalan publik dipelintir menjadi masalah individu yang dianggap cukup diselesaikan melalui kegiatan jangka pendek (Dean, 2015). Kesukarelaan tak efektif untuk membangun basis kewarganegaraan aktif dan kritis, apalagi langkah tersebut sebenarnya tak dapat dikatakan sebagai partisipasi. Apalagi jika motif yang muncul adalah menambah pengalaman dalam daftar riwayat hidup dan dibumbui dengan heroisme semakin menjauhkannya dari pergulatan gerakan kewarganegaraan.

Kesukarelaan di lain sisi menjadi masturbasi “pengalaman memberdayakan” dengan munculnya fenomena “wisata pemberdayaan,” di mana orang-orang rela mengikuti ajang kesukarelaan yang ditanggung oleh pihak tertentu atau bahkan ikut membayar. Mereka yang mengikuti kegiatan tersebut berupaya mencari tambahan pengalaman di luar kegiatan belajar mereka. Jangka waktu “wisata pemberdayaan” paling lama dilakukan sepuluh minggu dan dampak dari kegiatan yang dilakukan bagi pihak yang diintervensi sebenarnya meragukan (Schech, 2017). “Wisata pemberdayaan” sebenarnya tak lebih dari menganggap pihak yang diintervensi sebagai sesuatu yang “eksotis” dan mereka jadikan objek komodifikasi budaya. Sukarelawan dalam “wisata pemberdayaan” dituntut untuk percaya bahwa keikutsertaan mereka memungkinkan tetap dapat berlibur sembari terlibat dalam “membantu komunitas yang kurang beruntung.” Kesukarelaan dalam bentuk tersebut semakin mengaburkan kondisi eksploitasi yang dihadapi oleh buruh tak berupah yang bekerja dalam layanan sosial yang digerakkan oleh LSM (Schech, 2017).

Sukarelawan sudah bekerja tak berupah seringkali justru harus mengeluarkan waktu dan uang ekstra dalam kegiatan. Sukarelawan dipaksa menahan perasaan saat merasa tak diakui keberadaannya dan justru mereka diminta kontribusi sebesar mungkin. Padahal setidaknya bagi para buruh tak berupah, pengakuan dan penghargaan adalah hal yang penting sebagai kompensasi pengorbanan uang, waktu dan tenaga mereka. Layanan publik yang seharusnya disediakan oleh negara yang dilempar menjadi tanggungjawab indivu membuat para buruh tak berupah terus dihisap dengan menyediakan berbagai logistik bahkan perbekalan untuk menunjang penghidupan mereka sendiri (St-Amant et al., 2018). Akibatnya buruh tak berupah yang sebenarnya berada dalam keadaan rentan malah diminta untuk menyuapi rakyat lainnya.

Belum lagi komodifikasi atas pengalaman sukarelawan membuat kesukarelaan menjadi komoditas yang diperdagangkan. Di sisi lain glorifikasi dan komodifikasi penyelesaian masalah publik melalui kesukarelaan menyebabkan layanan publik tak pernah diperbaiki dan bertambah parah. Komodifikasi atas kesukarelaan tak hanya dijanjikan dengan mudah menerima pekerjaan, tetapi juga dengan janji menambah keterampilan individu dan jejaring. Pengalaman kesukarelaan menjadi ajang untuk mobilitas sosial vertikal dengan memanfaatkan koneksi ke “orang penting” dan pemilik otoritas, alih-alih mendorong otoritas memperbaiki layanan publik (St-Amant et al., 2018).

Pengalaman kesukarelaan bahkan semakin terkomodifikasi dengan munculnya platform digital seperti LinkedIn. Akibatnya keikutsertaan dalam kegiatan kesukarelaan digemborkan sebagai bentuk investasi untuk menambah portofolio, agar dapat bersaing. Hal tersebut terutama disebabkan oleh kondisi pasar tenaga kerja yang predatoris, sehingga pekerjaan tetap full time sulit didapatkan oleh banyak orang (Allan, 2019). Pengalaman kesukarelaan menjadi memudahkan dan menguntungkan majikan disebabkan tak harus menanggung pelatihan keterampilan awal untuk bekerja di tempatnya. Kesukarelaan akibatnya menguntungkan kelas atas yang maunya menerima “kelas pekerja yang sudah matang.”

Kelas atas ataupun pasar bersama LSM juga turut mengkampanyekan keikutsertaan dalam kegiatan kesukarelaan sebagai momentum untuk menambah keahlian ataupun menemukan keahlian bagi individu dan menjanjikan “pengembalian atas apa yang diberikan” dalam kerja tak berupah. Sedangkan, bagi kelas pekerja keikutsertaan dalam kegiatan kesukarelaan sifatnya sama dengan magang yang diharapkan menambah peluang penghidupan, meskipun mereka harus bekerja tak berupah terlebih dahulu (Allan, 2019).

Realita seperti di atas lah yang semestinya membuat kita tak usah merasa sebagai “pahlawan” bagi rakyat lainnya, karena penghidupan kita sendiri sudah rentan. Haruskah kita menambah beban kita dengan menjadi buruh tak berupah, apalagi dengan kepentingan untuk dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja yang predatoris? Semestinya kita bukan melanggengkan glorifikasi dan komodifikasi tersebut, melainkan harus mendorong pihak penyedia kerja lah yang harus mau menyediakan pelatihan bagi penyiapan keterampilan calon buruhnya. Kalau pun LSM memang ingin berkontribusi dalam pelayanan sosial, maka semestinya harus dapat memenuhi kesejahteraan dan jaminan sosial bagi buruhnya.

Baca Juga:

Sektor masyarakat sipil semestinya bukan bertindak untuk menyediakan layanan publik, tetapi seharusnya mendorong kelas atas untuk menjadi bagian dari redistribusi dan mendorong negara dalam perluasan serta perbaikan pelayanan. Sektor masyarakat sipil harus menunjukkan keuntungan dari perluasan layanan publik bagi kelas atas seperti di antaranya dapat teratasinya eksternalitas negatif yang dapat mengancam bisnis mereka. Sebaliknya, sektor masyarakat sipil tugasnya adalah mengembangkan kewarganegaraan aktif bagi rakyat pada umumnya untuk terlibat dalam proses agenda publik.

Kita tak perlu merasa bersalah, apabila warga negara lain kurang bercukupan. Kita dapat menyuarakan masalah penghidupan kita sendiri dan sudah pasti dalam waktu bersamaan juga ikut mengangkat persoalan publik yang dihadapi orang lainnya. Namanya juga masalah publik itu sudah pasti terkait dengan penghidupan rakyat secara umum, maka tak perlu dengan kita menyediakan layanan sendiri yang justru menambah beban diri sendiri serta memperparah ketiadaan perbaikan layanan publik. Pekerjaan rumah kita sebagai warga negara adalah bersama-sama mengumpulkan pengetahuan, membangun agenda alternatif dan mendorongnya menjadi proses kebijakan tentu dengan proses yang tak singkat. Untuk mencapai penghidupan yang lebih baik tak ada proses yang instan.

DAFTAR PUSTAKA

Allan, K. (2019). Volunteering as hope labor: the potential value of unpaid work experience for the un- and underemployed. Culture, Theory and Critique, 60(1), 66–83.

Dean, J. (2015). Volunteering, the market, and neoliberalism. People, Place and Policy, 9(2), 139–148.

Georgeou, N., & Engel, S. (2011). The Impact of Neoliberalism and New Managerialism on Development Volunteering: An Australian Case Study. Australian Journal of Political Science, 46(2), 297–311.

Griffiths, M. (2014). Transcending neoliberalism in international volunteering. In K. Dashper (Ed.), Rural Tourism: An International Perspective (pp. 115–133). Cambridge Scholars.

Hawksley, C., & Georgeou, N. (2019). Gramsci ‘Makes a Difference’: Volunteering, neoliberal ‘common sense’, and the Sustainable Development Goals. Third Sector Review, 25(2), 27–56.

Holmes, K. (2006). Experiential learning or exploitation? Volunteering for work experience in the UK museums sector. Museum Management and Curatorship, 21, 240–253.

Kelemen, M., Mangan, A., & Moffat, S. (2017). More Than a ‘Little Act of Kindness’? Towards a Typology of Volunteering as Unpaid Work. Sociology, 1–18.

Maes, K. (2012). Volunteerism or Labor Exploitation? Harnessing the Volunteer Spirit to Sustain AIDS Treatment Programs in Urban Ethiopia. Human Organization, 71(1), 54–64.

Schech, S. (2017). International volunteering in a changing aidland. Geography Compass, 1–13.

Smith, M. B., & Laurie, N. (2011). International volunteering and development: global citizenship and neoliberal professionalization today. Transactions of the Institute of British Geographers, 545–559.

St-Amant, O., Ward-Griffin, C., Berman, H., & Vainio-Mattila, A. (2018). Client or Volunteer? Understanding Neoliberalism and Neocolonialism Within International Volunteer Health Work. Global Qualitative Nursing Research, 5, 1–16.

Vrasti, W., & Montsion, J. M. (2014). No Good Deed Goes Unrewarded: The Values/Virtues of Transnational Volunteerism in Neoliberal Capital. Global Society, 28(3), 336–355.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.