Tentang Kota: Dari Kosmopolitan Baghdad, Komune Paris, ke Kantong Kreatif Neoliberalisme

601
VIEWS

“Cities do not create strangers. Cities are the refuge of strangers. Cities are the place for men and women already estranged. And cities are to be judged by their welcome.” (Kahn 1987: 12)

 

“The bourgeoisie has through its exploitation of the world market given a cosmopolitan character to production and consumption in every country” (Marx and Engels, 2016: 10-11)

 

Dari kosmopolitan Baghdad abad ke delapan, pemberontakan Komune Paris abad ke sembilan belas, hingga ke gejolak Tahrir Square di Mesir abad sekarang, catatan sejarah memberi gambaran tentang gejolak masyarakat heterogen yang memadati bangunan-bangunan yang khas mewakili kemegahan peradabannya, dengan ekspresi budaya yang menjadi magnet komunitas berbagai rupa untuk datang mengerubung. Sejarah juga meratapi nostalgia atas kota-kota yang sama, berisi tentang puing-puing kota yang hancur oleh penaklukkan, pemberontakan, dan penindasan.

Di era kontemporer, ketika batasan kota-desa dan wilayah negara-bangsa melebur sekaligus mencipta polarisasi kelas, memahami imaji soal kota juga berarti menelusuri mitos-mitos baru yang direproduksi untuk mempertahankan kantong-kantong penghisapan nilai surplus dan produksi surplus dari ekonomi neoliberal. Pemerintah di seluruh dunia berlomba satu sama lain untuk menggambarkan kota mereka sebagai multikultural, harmonis, yang menarik warga berbakat nan terampil bersaing dan siap menghadapi tantangan masa depan. Gambar-gambar itu diekspresikan dalam gagasan ganda tentang kota kreatif dan kosmopolitan yang terkadang paradoks dan tumpang tindih.

Jika imaji soal kota di masa kini adalah kosmopolitan dan kreatif, maka apa itu? dan apa saja yang membentuk kota kosmopolitan dan kreatif di tengah problem kelas dan neoliberalisme? Untuk menelisiknya, artikel ini dibagi ke lima bagian utama. Bagian pertama mendefinisikan makna kosmopolitan dan turunannya di masa kini, yaitu kota kreatif, secara umum maupun dalam konteks dan tradisi Islam. Kedua, meninjau sejarah terhadap dua kota kosmopolitan yang merentang di epos yang berbeda, yaitu Baghdad abad ke-8 (yang bertahan kemudian selama lima ratus tahun) dan Paris abad ke-19, untuk memberi gambaran tentang realitas kota dengan karakter kelas dan akumulasinya. Bagian ketiga mendeskripsikan kosmopolitanisme sebagai representasi dari kondisi sosial perkotaan dan bagaimana keterkaitannya dengan kota kreatif melalui relasi ekonomi di kota. Faktor struktural—ekonomi politik bahkan konstelasi global—yang memungkinkan terbentuknya arketipe ini akan dibahas di bagian keempat. Bagian terakhir akan melihat kekuatan dan kontradiksi dari kota kosmopolitan dan kota kreatif dan kemungkinan menawarkan beberapa konsep kota alternatif yang lebih adil berdasarkan apa yang bisa kita gali dari Islam dan sumber-sumber lainnya.

 

Pengertian Kosmopolitan

 

Istilah “kota kosmopolitan”, meski terdengar arkaik (kuno) dan seolah jelas dengan sendirinya, mengacu pada persepsi bahwa kota adalah rumah bagi populasi yang beragam dan multikultural (Hiebert, 2002). Di abad ke-19, filsuf Jerman Immanuel Kant mempopulerkan hukum kosmopolitan yang menyoal hak individu dan hak negara untuk bergerak dan membangun relasi di luar batas-batas negara dengan pengandaian untuk saling memberi manfaat dan penyatuan universal umat manusia (Kleingeld 1998). Kant memandang negara memiliki hak untuk menolak pendatang, meski tanpa menggunakan kekerasan, jika hal tersebut mengarah pada kerusakan. Di sini, istilah ‘warga dunia’ menjadi konsep penting, yang di satu sisi mengakui kedaulatan suatu wilayah untuk menghindar dari serangan imperialis tapi juga memberi ruang perlindungan bagi para pengungsi (ibid: 72).

Kosmopolitan sendiri merupakan karakter dari masyarakat Islam sebagai realitas sosial dalam penyebaran dakwah ke berbagai penjuru dunia dengan berbagai konteks lokal dan adatnya. Kota-kota Islam di peradaban klasik seperti Damaskus, Baghdad dan Andalusia, misalnya, dibangun dari keberagaman masyarakatnya yang merajut fondasi perkembangan ilmu-ilmu keislaman seperti teologi, hadith, dan fikih. Perkembangan Islam dan kehidupan masyarakat Muslim di Asia Tenggara juga tak lepas dari kosmopolitanisme, yaitu “suatu gaya berpikir, kebiasaan memandang dunia dan cara hidup yang berakar dari inti ajaran Islam, yaitu semua orang adalah bagian dari kemanusiaan yang sama untuk bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan bahwa punya tanggung jawab moral terhadap satu sama lain” (Aljunied 2017).

Gagasan tentang kota kreatif juga didasarkan pada kosmopolitanisme, komunitas ideal Kantian dari peleburan sosial. Namun, artikel ini berargumen, dengan menggunakan contoh-contoh dari literatur terbaru, bahwa gagasan tersebut berubah ketika didorong oleh logika akumulasi modal, yang berpuncak pada bentuk kantong kreatif neoliberal yang ganas, merenggut hak dasar warga, dan mengandalkan pasukan pekerja kelas bawah untuk menopang akumulasinya. Artikel ini menelisik konsep kota kosmopolitan dan kota kreatif yang tampak kontras dan kontroversial tersebut.

Secara historis, kosmopolitanisme lahir di kota-kota pada saat batas-batas mereka dilanggar dan cakrawala mereka diperluas. Namun tidak dapat dikatakan bahwa seluruh kota, termasuk semua penduduknya, adalah kosmopolitan. Di dalam kota itulah kegiatan, situs, dan milieus tertentu lebih kosmopolitan daripada yang lain. Kosmopolitan yang sadar diri mengelompok dalam jaringan dan kantong, seringkali tidak disadari sebagian besar penduduk kota lainnya (Werbner 2014:308). Kita saksikan ketika satu dekade lalu dunia diguncang oleh gerakan sosial masif yang mewujud dalam suatu gerakan urban kosmopolitan, yaitu Revolusi Arab (Arab Spring) yang titik paling mahsyurnya terjadi pada Januari 2011 di Tahrir Squre, Kairo. Secara revolusioner gerakan menjalar ke hampir semua wilayah Timur Tengah menuntut gagasan-gagasan kosmopolitan tentang perdamaian, hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan ekonomi.

Dalam nostalgianya yang penuh pengharapan terhadap kemelut Irak pasca-Arab Spring, Hamid Dabashi menulis, “Irak harus tetap menjadi negara kosmopolitan yang bersatu, sebagaimana para tetangganya,” ia menandai tragedi sejarah negeri yang seolah tak pernah lepas dari kemelut politik kelas berkuasa di tingkat domestik hingga para penguasa di tingkat global,

Dari Hukum Hammurabi, Hukum Babilonia Mesopotamia kuno, hingga karya seni Rafa Nasiri, orang Irak – semuanya Sunni, Syiah, Kurdi, dll. – pewaris bangga dari buaian peradaban dunia, alfabet dari sejarah kita. Bahwa para diktator seperti mantan pemimpin Irak Saddam Hussein menyalahgunakan warisan itu untuk keangkuhan yang kosong dan hampa, atau bahwa lawakan kekaisaran Bush dan Blair tidak menghormati mereka sedikit pun, tidak mendiskreditkan warisan tersebut sebagai landasan kebanggaan dan percaya diri Irak. (Dabashi 2014).

 

Sejarah Kosmopolitan I: Tragedi Baghdad

 

Sembilan ratus tahun sebelum kelahiran Immanuel Kant, khalifah Abbasiyah kedua, al-Mansur, mendirikan ibu kotanya yang menjadi simbol kosmopolitan, kiblat dunia pada masanya di abad ke-8 M. Setelah berhasil menggerakkan revolusi bersenjata untuk menjatuhkan Dinasti Umayyah yang terlalu gemuk harta dan korup, ibukota pun bergeser dari Damaskus ke Baghdad. Pada periode kekhalifahan inilah para filsuf dan cendikia difasilitasi untuk melakukan proyek massal penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yang kemudian turut menumbuhkan dan memperkaya studi Islam, termasuk diantaranya ilmu kalam. Bahasa Arab berkembang tidak hanya sebagai bahasa administrasi dan Al-Qur’an, tetapi sebagai lingua franca yang bergengsi, menyimbolkan budaya tinggi pada umumnya. Selama itu, kekhalifahan menghadapi perselisihan sipil dan bahkan perang saudara terbuka—namun para sejarawan pemikiran memandang abad ini sebagai salah satu pencapaian intelektual yang tak tertandingi (Bennett 2019).

Revolusi Abbasiyah lewat Islamisasi dan Arabisasi populasinya yang majemuk ini juga memperluas aktivitas komersial. Di sisi lain, ragam komoditas berkembang dalam bentuk kegiatan ekonomi kapitalistik klasik dimana wilayah perdagangan meluas dan pasar turut menentukan fluktuasi harga barang pokok dan mekanisme hutang piutang juga kemudian lazim dipraktikkan (Rodinson 1973:32). Sejak awal Baghdad membentang melampaui kota bundar: empat pinggiran kota, dengan pasar dan pemandiannya. Pemukiman bertumpu pada prinsip mengalokasikan hibah tanah (qati’a), individu Arab atau mawla, kolektif untuk tentara, di dalam atau di luar tembok termasuk properti individu, untuk pedagang misalnya. Sejak awal populasinya multi-agama: Zoroastrian, Yahudi, dan Kristen Nestorian berasal dari semua penjuru dari dunia Muslim. Mereka memainkan peran penting dalam terjemahan ekstensif pembelajaran bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab,melalui bahasa Syria. Adapun kaum Muslim yang datang dari seluruh kekhalifahan beragam secara etnis. Proyek politik Abbasiyah adalah menyatukan budaya rakyatnya dengan bahasa Arab terlepas apakah mereka penutur bahasa Persia, bahasa Turki (seperti Turkomans), atau bahasa lainnya (Denoix 2008: 131).

Baca Juga:

Kisah yang dikenal juga meriwayatkan Zubaida, istri Khalifah Abbasiyah kelima, Harun ar-Rasyid, sebagai perempuan yang aktif dalam memfasilitasi layanan publik. Ketika ada yang akan pergi ke Madinah atau Irak, ia akan mengurus keperluan mereka. Ia menginisiasi pembangunan jalan besar dari Baghdad ke Makkah yang panjangnya lebih dari 1200 kilometer. Ia bahkan memerintahkan jalanan tersebut dipadatkan sehingga semua orang bisa bepergian dengan mudah. Selain itu, ia mendirikan 40 stasiun perhelatan di sepanjang jalan, dimana setiap stasiun terdapat tempat berlindung bagi para musafir, kandang hewan, dan sumur yang ada tiap jarak 10-15 kilometer. Ia juga menyiapkan kolam agar orang bisa mendinginkan diri, wisma, pos keamanan, menara untuk penerangan jalan, serta lebih dari 50 masjid. Jalanan tersebut bertahan lebih dari seribu tahun, dikenal sebagai Jalan Zubaida, yang masih terlihat hingga saat ini.

Kebijakan menyediakan fasilitas publik yang berlimpah semacam ini diiringi oleh realita ketidaksetaraan yang perlahan menyeruak sebagai akibat dari ekonomi kapitalistik yang dipraktikkan seiring maraknya aktivitas ekonomi. Ketidaksetaraan ini melebar antara mereka yang memiliki dan diberi tanah dengan mereka yang tidak berpunya, dan antara kaum kaya dan miskin secara umum sehingga masyarakat berdasarkan kelas yang bercampur baur dengan stratifikasi sosial yang sudah ada sebelumnya kemudian melahirkan banyak gejolak pemberontakan (Rodinson 1973:70). Di kalangan kelas atas, daftar konsesi dan penerima manfaat termasuk warga sipil dan tentara yang kebanyakan orang Arab dan Persia. Kelas aristokrat adalah keluarga Abbasiyah, keturunan dari sahabat Nabi, pegawai istana, pegawai pemerintah, pemimpin militer. Kelas di bawahnya adalah para pengrajin dan pekerja dengan populasi yang sangat banyak, para pedagang dan tentara. Mereka berkumpul berdasarkan kota atau daerah asal mereka yang beragam. Struktur populasi juga berasal dari migrasi sukarela kaum pendatang (non-pribumi) dan hampir tidak sama sekali dari populasi desa tetangga maupun zona pedesaan lainnya (Micheau 2008: 235). Setelah bertahan selama lima abad, kejayaan Khalifah Abbasiyah akhirnya luluh lantak oleh serangan pasukan Mongol pada tahun 1258. Namun, pertanda keruntuhan ini sudah muncul dari dalam ketika seiring waktu kepadatan populasi, proses akumulasi dan konsentrasi kekayaan telah mencapai titik saturasi. Di dalam perjalanannya, masyarakat berbasis kelas semakin terkristalisasi sementara hiraraki ini bergantung dari faktor eksternal.

Masyarakat seperti ini memiliki karakter kelas yang bercampur antara masyarakat yang punya hirarki berdasarkan relasi tradisional (ilmu, kekerabatan dengan Nabi dan sahabat, keterlibatan di peperangan) dengan relasi produksi dalam kapitalisme klasik (aristokrat, pedagang, pengrajin, petani). Perlahan, praktik akumulasi dan hirarki semacam ini mencipta kantong-kantong eksploitasi dan perlawanan. Kaum tani dan kelompok minoritas yang merasa tertindas di bawah tekanan pajak kemudian melakukan berbagai pemberontakan di berbagai tempat, padahal mereka adalah kelas pekerja yang nilai surplusnya diperas untuk menyokong kota dan suprastruktur kekhalifahan (Bouharoun 2022). Seiring dengan ini adalah kepentingan negara dan kelas yang saling mempertahankan status quo, salah satunya adalah penindasan negara dengan mempersekusi para ulama yang menolak akidah Muta’zilah yang saat itu dominan. Ini membuat aliansi umara dan ulama pro-penguasa semakin tak menunjukkan wajah solidaritas sosial yang sebelumnya menjadi fondasi penting dari misi kepemimpinan umat di bawah Nabi Muhammad SAW dan empat penerus beliau, Khulafa Ar-Rasyidin.

Ibnu Khaldun pada tahun 1377 dalam eposnya Mukaddimah menandai problem perkotaan dengan proses akumulasi tanah serta relasi kaum kapitalis dan penguasa sebagaimana yang terjadi di Baghdad. Ia mengatakan, akumulasi tanah perkebunan dan pertanian di tangan segelintir di desa maupun kota terjadi secara berproses melalui dua hal, warisan dan dinamika pasar. Keduanya ini dipengaruhi oleh kondisi stabilitas dan keamanan wilayah, sehingga kaum kapitalis di perkotaan – yang mengakumulasi tanah – harus menetralisir kompetisi harta dengan menjaga relasi dan kekuatan mereka melalui koneksi dengan penguasa, termasuk untuk menghindari kemungkinan jeratan hukum (Khaldun 2000: 426). Fondasi kota Baghdad dibangun oleh demografi kaum pendatang yang multikultural, sementara seiring perjalanan waktu, kota ditopang oleh surplus yang diambil dari kaum tani dan kelompok mustadhafin lainnya di marjin luar. Kondisi relasi sosial dengan hiraraki kelas seperti ini semakin digoyahkan oleh berbagai pemberontakan. Perlahan, meski masih memiliki reputasi sebagai pusat peradaban dunia saat itu, pertahanan Baghdad yang menjadi pusat Khalifah Abbasiyah mulai menua dan rapuh, sementara pasukan Mongol berderap maju dengan beringas menyongsong mereka menuju kehancuran.

 

Sejarah Kosmopolitan II: Komune Paris

 

Sebagai ibukota dunia abad ke-19, Paris telah mengukir dirinya sebagai kiblat dari renaissance Eropa, tempat bersemai dan berkumpulnya para filsuf, seniman, dan sastrawan. Ruang metropolis, deretan bangunan megah dan taman-taman warisan monarki yang telah dipenggal abad sebelumnya masih berdiri tegak dan para tokoh dari negara jajahan francophone berkelana ke kota tersebut untuk merasakan sensasi kosmopolitannya. Wajah kolonialisme dan kedigdayaan Eropa di pintu modernitas adalah Paris, seiring dengan London di seberang selat yang masih menguasai nyaris sebagian besar wilayah dunia. Namun, proses urbanisasi dan penyerapan surplus kapital dari berbagai wilayah jajahan serta tumbuhnya kelas kapitalis baru di dalam negeri telah menyingkirkan massa dari hak atas kota. Paris akhirnya menjadi saksi dari perjuangan kelas berbasis urban yang revolusioner.

Komune Paris (Paris Commune) adalah pemberontakan sosialis yang mewakili kaum tertindas untuk merebut kembali (reclaiming) kota Paris di tahun 1871. Peristiwa ini telah perlahan dibentuk oleh kondisi-kondisi material pada tahun-tahun sebelumnya. Setelah revolusi Perancis di tahun 1779 menjatuhkan kerajaan, rakyat Perancis melewati fase revolusi berikutnya di tahun 1848-1850 yang juga merupakan wujud perjuangan kelas, disusul di tahun berikutnya pertempuran yang berujung pada kudeta oleh Louis Bonaparte (keponakan dari Kaisar Napoleon) di tahun 1851. Pada masa ini, ketika Paris mengalami urbanisasi dan proses akumulasi kapital, kaum tani di pedesaan memobilisasi diri akibat terisolasi dalam kemiskinan. Namun, perlawanan kaum tani ini terpecah karena selain ada kaum tani revolusioner yang memprotes penguasa, kaum tani konservatif memilih mencari perlindungan ke Napoleon karena ketidakmampuan mereka merepresentasikan diri dan berkolektif sebagai kelas sehingga mencari patronase negara. Seiring dengan itu adalah fragmentasi lahan dimana ‘kelas’ petani terhimpit diantara kepentingan kelas borjuasi baru dan kelas aristokrat feodal yang juga saling berkompetisi. Kelas borjuasi baru ini adalah bentuk perpanjangan dari borjuasi urban yang mulai merambah ke wilayah desa. Paris telah menjadi simbol kontras dari kelas aristokrasi finansial dan kaum borjuasi industrial sementara kaum tani ditekan oleh hutang dan penerapan pajak baru.

Marx menulis The Civil War in France persis di tengah revolusi yang berlangsung dari bulan September 1870 hingga Mei 1871. Ia menandai Komune Paris sebagai contoh pertama yang monumental, meski berumur singkat, dari sejarah ‘kediktatoran proletariat’. Beberapa proses merebut kembali kota yang diputuskan oleh Komune diantaranya adalah menghancurkan Tiang Kemenangan di Place Vendome sebagai simbol chauvinisme dan hasutan kebencian nasional. Para Komunard juga memerintahkan tabulasi statistik pabrik-pabrik yang telah ditutup oleh para pemilik pabrik, kemudian menyusun rencana pengoperasian pabrik-pabrik ini oleh para buruh yang sebelumnya dipekerjakan disana, yang akan diorganisir dalam perkumpulan-perkumpulan koperasi, termasuk rencana pengorganisasian koperasi dalam satu serikat besar. Selain itu, mereka juga menghapuskan kerja malam untuk tukang roti dan memerintahkan penutupan pegadaian, dengan alasan bahwa pegadaian merupakan eksploitasi terhadap pekerja, dan bertentangan dengan hak pekerja atas instrumen kerja dan kredit (Marx 1871[1978]).

Praktik menata ulang relasi sosial dalam aspek produksi yang dilakukan Komune muncul secara umum sebagai ekspresi perlawanan terhadap transformasi negara dan aparatusnya dari pelayan rakyat menjadi penguasa rakyat. Para Komunards kemudian mengisi semua pos administratif, yudisial dan pendidikan dengan pemilihan berbasis hak pilih universal bagi semua pihak, dan tunduk pada hak penarikan kembali (recall) setiap saat oleh para pemilihnya. Selain itu, semua pejabat rendah maupun tinggi dibayar hanya lewat upah yang diterima oleh pekerja lainnya. Upaya efektif dicanangkan untuk mencegah ‘karirisme’ dan ‘pengejar jabatan’ bahkan terlepas dari mandat untuk delegasi ke badan perwakilan yang dibentuk.

Jika Marx menyatakan sosialisme dan antagonisme kelas sebagai faktor yang mendorong Komune Paris, sebagian beranggapan bahwa yang menyatukan front Komunard adalah anti-klerikalisme. Mereka mengubah satu demi satu gereja Paris menjadi “klub” komunitas. Komune melarang semua ajaran agama, dan memindahkan salib dari ruang kelas. Dalam episode paling buruk dari Komune, Rigault dan rekan-rekannya menyandera Uskup Agung Paris, menahannya di penjara, lalu membunuhnya dan ajudannya, meskipun pertarungan saat itu hampir berakhir (Gopnik 2014). Lebih jauh, Gopnik (ibid.) merefleksikan dampak dari Komune Paris, “Apa yang diperjuangkan sampai mati oleh Komunard, lima puluh tahun kemudian, tercapai, ketika Perancis bergerak menuju negara kesejahteraan modern, dan dengan tegas memisahkan Gereja dan bangsa. Untuk apa kaum royalis membunuh—dan mati demi—telah berakhir, dan untuk selamanya. Pemenang sebenarnya adalah republik seperti yang kemudian terjadi.” Trajektori sekulerisme yang menjangkit Perancis begitu akut hari ini sebagiannya adalah residu dari ekspresi kemarahan kaum tertindas, yang diwakili oleh front Komunard dalam membenci kediktatoran ideologis dan simpati royalis Gereja Katolik dan kaum borjuasi yang telah menyeret rakyat ke dalam peperangan di luar tanpa henti, eksploitasi dan kemiskinan akut dihadapan wajah kolonial, kosmopolitan kota Paris.

.

Kembali ke Masa Depan: Merumuskan Kota Kreatif cum Kosmopolitan

 

Irak menjalani evolusi dari simbol kosmopolitanisme yang ‘kreatif’, makmur, dan inklusif, menjadi kosmpolitanisme bagi perang, tirani, invasi asing dan konflik sektarian tanpa henti. Puing-puing kosmolitan Baghdad di era Abbasiyah kini nyaris tanpa sisa. Kita hanya bisa mengetahuinya dari berbagai catatan sejarah yang rinci tentang kota tersebut. Irak masih dikangkangi oleh paradigma orientalisme yang memandangnya sebagai relik peradaban Islam kuno, yang kini terbelakang sebagaimana kaum Muslim dipandang sebagai komunitas terkekang, senang bertikai dan butuh dicerahkan. Sebaliknya, peristiwa Komune Paris masih nyata dalam ingatan dan dokumentasi warga Perancis. Pada 30 November 2016, Le Monde dan beberapa surat kabar Prancis lainnya, melaporkan bahwa Majelis Nasional telah memilih secara anumerta untuk merehabilitasi para korban penindasan Komune Paris. Bahkan ada inisiasi dari pemerintah untuk  ‘mempromosikan pewarisan ingatan’ dari para Komunard, yang dirujuk sebagai ‘patriot’ dan ‘pemberontak’ yang nilai-nilainya ‘mengilhami Republik ‘. Namun, inisiasi ini dikritik oleh sebagian kalangan karena ini adalah gestur politik yang mensakralkan ingatan para korban sebagai narasi kemanusiaan, tetapi riilnya mengabaikan komitmen atau warisan politik para Komunard yang revolusioner terkait perjuangan atas keadilan struktural sehingga menghambat politik ingatan dan duka yang lebih aktif (Holland 2021).

Kemelut berdarah di Baghdad dan Paris sama-sama menyisakan trauma mendalam yang nempengaruhi bagaimana peradaban kota setelahnya terbentuk. Di masa kini, dalam arti yang lebih luas, kota kosmopolitan menyiratkan perasaan yang gelisah hidup berdampingan dengan orang asing, “suatu sikap, tetapi juga seperangkat disposisi dan bentuk praktik dengan dan terhadap keragaman” (Binnie, et.al, 2006). Dalam kata-kata David Ley, “orang-orang kosmopolit berpikir secara global, bertujuan untuk melampaui kekhususan lokal mereka, menyambut perjumpaan budaya asing dan mengungkapkan keinginan untuk bergerak menuju kemanusiaan sejati yang setara dan saling menghormati, bebas dari prasangka rasial, nasional, dan lainnya” (Ley 2004: 159). Keragaman budaya sebagai sifat kosmopolitan adalah satu dari tiga pilar pertumbuhan ekonomi—teknologi, kreativitas, dan toleransi—yang darinya disebut kota kreatif (Florida, 2004). Florida selanjutnya mendefinisikan tiga T pembangunan ekonominya sebagai prasyarat kota kreatif: “toleransi (tolerance) sebagai keterbukaan, inklusivitas, dan keragaman untuk semua etnis, ras, dan lapisan masyarakat. Bakat (talent) didefinisikan sebagai mereka yang memiliki gelar sarjana ke atas. Dan teknologi (technology) adalah fungsi dari inovasi dan konsentrasi teknologi tinggi di suatu wilayah” (2004: 37).

Melangkah lebih jauh dengan memasukkan kreativitas di dalamnya, Demos, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Eropa, menyatakan bahwa “semakin terbuka sebuah kota bagi orang-orang baru, ide-ide baru, dan cara hidup baru, maka semakin besar metabolisme kreatifnya” (Demos, 2003; dikutip dari Binnie, et.al. 2006). Memang, selama dua dekade terakhir, industri kreatif telah berkembang pesat, menciptakan lebih dari 20 juta pekerjaan di Amerika Serikat saja, dan kreativitas telah muncul sebagai kunci ekonomi kontemporer. Secara global, sepertiga tenaga kerja di negara industri maju bekerja di industri kreatif, baik di sektor industri berbasis pengetahuan seperti kesehatan, keuangan, dan hukum, atau bidang seni, musik, budaya, dan estetika, desain, termasuk sains dan teknik, penelitian dan pengembangan, dan industri berbasis teknologi (Florida, 2004).

Jaringan Kota Kreatif UNESCO (UCCN), yang didirikan pada tahun 2004 untuk mempromosikan kerja sama dengan dan di antara komunitas yang telah mengakui kreativitas sebagai komponen strategis pembangunan perkotaan berkelanjutan, berfungsi sebagai contoh betapa antusiasnya pemerintah kota di seluruh dunia untuk menerapkan ide kota kreatif. Jaringan ini, yang saat ini terdiri dari sekitar 300 kota di seluruh dunia, berkolaborasi secara aktif di tingkat internasional sambil menempatkan industri inovasi dan budaya sebagai pusat inisiatif pembangunan lokal. Di kota kreatif yang digerakkan secara institusional ini, Konzept dan Stadt percaya bahwa gagasan tersebut “yang dicirikan oleh pendekatan yang lebih bernuansa, peka terhadap budaya dan perbedaan lokal, jauh dari strategi klasik pemasaran perkotaan dan teritorial” (Konzept and Stadt 2020: 45). Gagasan ini terlalu menekankan pada keragaman budaya dan merayakan perbedaan, tetapi mengabaikan apa yang terjadi di kota seperti perjuangan untuk mendapatkan tempat bernaung tidak hanya untuk pekerja informal dan kaum miskin tetapi juga problem tempat tinggal secara keseluruhan. Bank Dunia memperkirakan krisis perumahan dapat berdampak pada 1,6 miliar orang pada tahun 2025 karena kekurangan lahan, jerat hutang, masalah tenaga kerja, dan kendala bahan material (Forum Ekonomi Dunia 2022).

Kecenderungan untuk memasukkan kreatif ke dalam kosmopolitan atau sebaliknya muncul dalam studi tentang Singapura oleh Brenda Yeoh (2004) yang menggambarkan bagaimana kosmopolitanisme didefinisikan sebagai misi pembangunan bangsa atau membangkitkan rasa kebangsaan berdasarkan pembangunan ekonomi yang ramah terhadap ‘pekerja migran berbakat’. Di Amsterdam, Bodaar (2006) menganalisis konsep kosmopolitanisme melalui studi kasus pengembangan masyarakat di lingkungan Bijlmermeer. Distrik ini adalah kawasan perumahan yang sedang berkembang pesat, terencana dan berpenduduk padat yang menampung beragam imigran kelas pekerja. Pemerintah setempat sedang mencoba untuk merevitalisasi pinggiran kota ini setelah bertahun-tahun mengalami penurunan dengan membungkus ulang citranya menjadi kawasan “kosmopolitan” dan mempromosikan keragaman etnis Bijlmermeer yang unik untuk menarik bisnis dan orang-orang kelas menengah. Namun, penduduk setempat menolak upaya ini dengan menyebutnya sebagai kosmopolitanisme yang ‘tersanitasi’ atau dangkal.

 

Potensi, Jebakan, dan Segala di Antaranya

 

Menyusul agenda Jaringan Kota Kreatif UNESCO, pada tahun 2015 Indonesia membentuk ‘Jaringan Kota Kreatif Indonesia’ yang bertujuan untuk meletakkan fondasi lanskap kota kreatif dan kosmopolitan yang dibayangkan secara nasional. Hal ini diharapkan dapat didorong oleh aktor-aktor yang disebut sebagai ‘pentahelix ekonomi kreatif’. Selaras dengan itu, promosi ekonomi digital menjadi salah satu penekanan utama Indonesia saat memimpin KTT G20 di Bali pada November 2022. Ekonomi kreatif telah menyaksikan pertumbuhan ekonomi digital, sekaligus memproyeksikan kota-kota kreatif di era ekonomi digital. Lewat agenda ekonomi digital, Indonesia telah membuat proyek neoliberal yang ambisius yang berisiko merusak ruang demokrasi karena mendorong lebih banyak investasi ke dalam melalui Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020 yang kontroversial (Al-Fadhat, 2022).

Pada saat yang sama, ekonomi digital dan pandemi Covid-19 menyaksikan meningkatnya kerentanan pekerjaan di kalangan perkotaan bagi pencari kerja muda, dan profesional awal dan menengah. Mereka harus berada dalam kontrak jangka pendek yang terus menerus diperbaharui (atau di-PHK massal) karena perusahaan menyesuaikan diri dengan krisis. Industri kreatif juga merupakan profesi hierarkis dengan jurang pendapatan. Banyak pekerja muda di awal-awal karir di industri kreatif dan ekonomi digital yang diupah minimum tanpa kepastian pekerjaan dan harus bertahan hidup di kota yang memikat mereka dengan gaya hidup urban dan konsumerisme. Kota kosmopolitan yang kreatif mungkin inklusif dan toleran, tetapi sejauh mana ia menyambut kelas prekariat atau para migran dari desa yang tidak mampu membeli persona perkotaan? Ini merupakan tantangan bagi ambisi kota kreatif yang menginginkan produksi budaya-kognitif, yaitu sektor industri berbasis pengetahuan yang seringkali mengandalkan kesenjangan pendapatan, investasi swasta, dan mekanisme pasar. Kota kreatif yang dibayangkan oleh Richard Florida (2010) adalah mengembangkan “iklim masyarakat kelas dunia” dengan memanfaatkan kerentanan kelas pekerja sedemikian rupa,

Di Era Kreatif [pekerja muda] penting karena dua alasan, pertama, mereka adalah pekerja seperti kuda. Mereka mampu bekerja lebih lama dan lebih keras, dan lebih cenderung mengambil risiko, justru karena mereka masih muda dan belum punya anak. Kedua, orang-orang melajang lebih lama. Orang berpendidikan perguruan tinggi menunda pernikahan lebih lama dari rata-rata nasional. Salah satu kategori dengan pertumbuhan tercepat adalah mereka yang belum pernah menikah. Untuk menjadi makmur di Era Kreatif, daerah-daerah harus menawarkan iklim masyarakat yang memenuhi kepentingan sosial dan kebutuhan gaya hidup kelompok ini, serta kelompok lainnya. (Florida 2010:352)

Dengan mendorong pekerja muda untuk mengeksploitasi diri mereka sendiri dan mengorbankan kehidupan pribadi mereka untuk industri, kota-kota kreatif menciptakan kantong-kantong neoliberalisme dengan pertumbuhan warga sebagai dorongan untuk mempertahankan produksi surplus. Itu dibangun di atas asumsi apolitis, mengabaikan kompleksitas sistem produksi di perkotaan di mana kekuatan generatif pembangunan ekonomi lokal berada terutama dalam logika produksi, aglomerasi, dan spesialisasi regional (Scott 2007). Hal ini ditopang juga lewat praktik kekerasan (penggusuran paksa atau alih fungsi lahan dengan intimidasi misalnya), dan pada saat yang sama merusak struktur masyarakat yang ada dan integrasi sosial penduduk (lewat relokasi, tata perumahan yang menebalkan kelas ekonomi atau penghancuran ekosistem sosial di kampung kota untuk kepentingan bisnis besar). Praktik kekerasan ini ditekankan oleh David Harvey (2012) sebagai aspek penghancuran kreatif dari transformasi perkotaan. Di banyak negara berkembang, militerisasi, aparat keamanan, dan milisi dikerahkan untuk melawan warga daerah kumuh dan penghuni lokasi kota yang dianggap strategis secara ekonomi untuk gentrifikasi dan investasi lebih lanjut. Properti mewah kosong untuk disewa tinggi, pusat perbelanjaan, dan kawasan bisnis telah berkembang pesat untuk investasi sambil menekan kelas pekerja baru dan lama yang masih hidup. Dengan asumsi bahwa kreativitas dapat berkembang dan difasilitasi oleh perencanaan kota dan kebijakan untuk menarik angkatan kerja usia produktif yang berpendidikan, berketerampilan tinggi, dan bercita-cita tinggi, ekonomi budaya-kognitif adalah pemenuhan persona dan gaya hidup perkotaan, tetapi dengan jatuh ke dalam perangkap pengabaian atas sistem produktif perkotaan yang kompleks.

Kota-kota kosmopolitan dibangun di atas “uang dan harapan”, seperti yang ditegaskan Kahn dalam karya seminalnya Cosmopolitan Culture: The Gilt-Edged Dream of a Tolerant City (1987). Di situlah letak batas kosmopolitanisme. Proses modernisasi di banyak negara pascakolonial telah memberikan kontribusi besar terhadap arus migrasi urbanisasi. Karena permintaan pasar internasional di bidang manufaktur dan perkebunan meningkat pada tahun 1970-an dan seterusnya, banyak pekerja miskin berbondong-bondong ke kota-kota dan luar negeri sebagai buruh berketerampilan rendah dan berupah rendah. Oleh karena itu, kota kosmopolitan dan kreatif mengandalkan nilai surplus dan produksi surplus yang hanya dapat diserap oleh urbanisasi karena persaingan memaksa mereka untuk berinvestasi kembali (Harvey 2013). Sementara urbanisasi terjadi, gentrifikasi memberi jalan bagi transformasi infrastruktur perkotaan dengan konstruksi baru gaya hidup dan persona urban, sekaligus juga memiliki sisi kekerasan. Scott (2007: 1470) berpendapat bahwa transformasi sosial ekonomi telah menargetkan lingkungan warga berpenghasilan rendah di perkotaan untuk proyek gentrifikasi berupa perampasan dan rekolonisasi oleh kelas borjuasi. Hal ini didorong oleh perubahan kondisi struktural terutama dalam ketenagakerjaan, karena pekerjaan di manufaktur tradisional dan kegiatan ekonomi grosir menurun sehingga mendorong penduduk kelas pekerja lama untuk bermigrasi ke bagian lain kota. Kota-kota kosmopolitan yang diidealkan membayangkan pertumbuhan sistem produksi budaya-kognitif, yang notabene adalah ‘kerja-kerja’ pikiran sementara merendahkan kerja-kerja fisik yang dianggap ‘bukan ekspresi budaya’ terpelajar. Kosmopolitanisme macam ini merencanakan kota secara bias kelas dan memperlakukan warga dari demografi tertentu dengan berbeda.

Berbagai potensi sekaligus jebakan ini tidak bisa dinormalisasi karena telah nyata resiko dan mudharat yang ditimbulkannya. Jika kita hendak mengusung hak rakyat atas kota, maka perlu kita periksa sejauh mana praktik kota kosmopolitan dan kreatif ini sejalan dengan pandangan kosmopolitan dalam Islam. Pandangan hidup kosmopolitan masyarakat Muslim seyogyanya menyesuaikan diri dengan sikap inklusif yang sejalan dengan tujuan syariah (maqasid syariah) berdasarkan kasih sayang (rahmah), keadilan (‘adl), dan konsensus (musyawarah) untuk menjaga kepentingan publik (maslahah) (Aljunied 2017). Oleh karena itu, kita perlu menelisik dengan kritis bagaimana cara pandang hidup berdampingan secara kosmopolitan dalam Islam merespon kondisi kehidupan kota masa kini, ketika toleransi dan inklusif bukan saja tak memadai, namun juga telah direbut maknanya menjadi inklusi untuk pasar dan toleransi umat kepada praktik neoliberalisme. Ini adalah realitas masyarakat berdasarkan kelas: siapa yang menguasai alat produksi dan regulasi, dia yang membangun serta mempertahankan pola akumulasi.

 

Kekerasan dalam Kantong Kreatif Neoliberalisme

 

Hak atas kota adalah ruang hidup yang sentral dalam kehidupan manusia, terutama karena disitu pusat pemerintahan dan perkembangan ekonomi tumbuh. Jika prinsip pertama dilanggar oleh penguasa, maka sesungguhnya kota akan terus menjadi ladang akumulasi kapital yang meminggirkan rakyat banyak dan mempengaruhi dinamika penduduk desa atau kawasan pinggiran di lingkar luar kota. Tak heran jika perlawanan, protes, dan pemberontakan menjadi siklus sejarah di perkotaan yang akan terus terulang ketika aspek keadilan ini tidak dipenuhi. Dalam kota modern, mungkin kita tidak membutuhkan Kota Kreatif (dengan huruf besar K) karena secara inheren kapitalistik dan neoliberal, tetapi kita membutuhkan lebih banyak kota kreatif (dengan “k”) yang menurut Oli Mould,

…merangkul interaksi sosial eksperimental dan kreatif, dan memperluas penggunaan fungsi perkotaan kita, bukan menyempitkannya, menghasilkan ruang perkotaan yang lebih heterogen dan kurang homogen – sebuah kota tempat para pemain skateboard yang memanfaatkan kembali ‘ruang mati’ di area undercroft South Bank di London tidak dihapus karena tuan tanah ingin membangun lebih banyak kedai kopi, restoran, dan gerai ritel homogen lainnya; sebuah kota di mana para penghuni yang telah menduduki daerah terlantar di Kopenhagen dan memelihara komunitas seni yang melayani penduduk lokal bukanlah fokus kampanye penggusuran; sebuah kota di mana pelanggar rekreasi yang tertangkap di atas gedung pencakar langit New York tidak ditangkap dan dituntut; kota di mana penghapusan materi iklan perusahaan yang tidak pantas oleh penduduk lokal tidak dikriminalisasi; kota di mana jika orang ingin membuat film pendek di alun-alun milik pribadi yang jarang digunakan tidak perlu mengirimkan pemberitahuan tertulis dan menunggu tiga minggu untuk mendapatkan balasan; sebuah kota di mana menjadi kreatif adalah tindakan kewarganegaraan. (Mould 2015:5)

Untuk mewujudkan visi Mould tentang kota metropolis kreatif ini, penting untuk mempertimbangkan seberapa berdaya komunitas sebagai agen aktif di hadapan negara dan pasar. Kosmopolitanisme tidak bisa hanya menjadi slogan inklusi dan toleransi soal keberagaman penduduknya jika problem pertentangan kelas tidak diatasi. Prinsip pertama peran penguasa atau negara secara ideal adalah memenuhi maqasid syariah dalam hak masyarakat (individu dan hak kolektif), bukan hak kaum kapitalis lewat mekanisme pasar. Disini kota menjadi lokus dari pertarungan antara hak masyarakat yang mewakili kepentingan publik (maslahat) dengan kelas kapitalis. Apa yang dilakukan oleh bisnis perhotelan misalnya atau pabrik air mineral adalah menyedot sumber air tanah secara besar-besaran di sekitarnya sehingga permukaan tanah menurun dan warga kesulitan mendapat akses air. Terjadi juga pencemaran air oleh pabrik-pabrik di wilayah industri di perkotaan sehingga warga terampas haknya dari mendapat air yang layak digunakan, padahal negara tetap memungut biaya dari fasilitas air minum. Ketika bisnis properti dan hiburan diberi karpet merah atas nama investasi, gentrifikasi banyak memaksa warga miskin untuk pindah atas nama memperindah kota.

Praktik ini membelenggu atau merampas hak rakyat untuk tinggal secara aman dan bermartabat. Soal perampasan dan perusakan dalam proses penggusuran paksa kaum miskin bisa kita rujuk dalam salah satu tipe qiyas. Fuqaha dari mazhab Syafi’i membagi qiyas ke dalam tiga tipe, salah satunya adalah qiyas al-musawi (‘analogi kesetaraan’). Misalnya al-Qur’an surah Annisa ayat 2 melarang seseorang memakan harta anak yatim. Jika dianalogikan, maka semua bentuk perusakan dan penyelewengan lainnya yang mengarah pada hilangnya harta sama-sama diharamkan. Menurut fuqaha Hanafi, ini adalah penafsiran, bukan analogi (Kamali 2003:196). Kesimpulannya, bagi Syafii dan Hanafi, penalaran tersebut adalah valid .

Contoh bentuk penyewelengan dan perbuatan sewenang-wenang terhadap properti seorang individu atau komunitas bisa dilihat dari pembahasannya antara fuqaha mazhab Hanafi dan Hanbali. Bagi fuqaha Hanafiyah, penyelewengan, perampasan atau pengambilan secara tidak sah adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu dengan melibatkan pemindahan properti secara tidak sah dari tempat asalnya, di mana properti tersebut berada dalam kepemilikan si pemilik. Di sisi lain, para fuqaha Hanbali mendefinisikan penyelewengan sebagai penyitaan properti belaka, baik dipindahkan atau tidak dari tempat kepemilikan asalnya. Dengan demikian, mengambil alih kepemilikan rumah dengan tinggal di dalamnya (tanpa menghancurkan atau memindahkannya) dianggap penyelewengan oleh Hanbali. Terkait pemulihan atas kerusakan, terdapat perbedaan mendasar diantara dua mazhab tersebut. Fuqaha Hanbali menganggap pelaku bertanggung jawab kepada pemilik aslinya untuk semua keuntungan, dan hasil dari objek yang ia ambil alih, sementara Hanafi menempatkan pembatasan yang ketat pada kemampuan pemilik untuk memulihkan haknya yang masih harus dibayar. Alasannya adalah bahwa pertumbuhan atau hasil dari properti yang disalahgunakan tersebut belum ada ketika properti itu direnggut dari tangan pemilik yang sah, dan karena tidak ada, tidak ada kewajiban yang timbul di pihak pelaku (Hallaq 2009: 32).

Penggusuran paksa dengan menggeser pemukiman rakyat untuk proyek investasi dan memindahkan rumah-rumah warga ke lahan yang tidak mereka kehendaki (oleh penguasa dan kaum kapitalis) misalnya, adalah bentuk penyelewengan yang nyata sebagaimana dalam pandangan Hanafiyah, sementara, alih fungsi kepemilikan secara ‘legal’ atau administratif tapi tanpa izin pemilik dan membuat mereka kehilangan hak atas kepemilikannya meski masih dalam bentuk dokumen misalnya, sudah termasuk perampasan dalam pandangan Hanbali. Praktek seperti ini jelas berkebalikan dengan hak rakyat untuk memiliki dan mengolah ruang atau lahan terbengkalai. Terlihat jelas dari kondisi material, cara dan tujuan yang dilakukan sangatlah berbeda antara penguasa serta kelas kapitalis dan rakyat atau kelas pekerja yang seharusnya dilindungi. Kreativitas dan kosmopolitanisme akan tumbuh secara organik dan harmonis jika kota dilepas dari jerat privatisasi dan akumulasi properti, praktik penghisapan nilai surplus dari masyarakat desa dan eksploitasi kelas pekerja urban.

 

Hak Rakyat Memaknai Ulang Kota

 

Kota yang egalitarian berdasarkan semangat solidaritas menjadi hal pertama yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika umat Muslim hijrah dari Makkah ke Madinah. Ketika kaum Muslimin hijrah ke Madinah, beliau memerintahkan ikatan persaudaraan dimana kaum Anshar harus membawa orang asing – kaum Muhajjirin – ke rumah mereka, memberi mereka makanan dan pakaian yang sama yang mereka miliki, dan menyediakan bagi mereka pekerjaan. Nabi juga membangun rumah di masjid untuk seorang perempuan miskin. Beliau melakukan ini untuk orang-orang suffah – mereka adalah sahabat miskin yang tidak mampu memiliki rumah jadi mereka tinggal di belakang masjid. Nabi biasa membelanjakannya dan berbagi makanannya bersama mereka.

Potensi akumulasi kapital dan privatisasi sektor publik telah diwanti-wanti dan dibatasi dalam Islam. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api – harganya adalah haram.” Ini mengacu pada air untuk publik dan apa yang disediakan oleh alam seperti sumur, sungai, danau yang terbuka untuk umum. Seseorang tidak dapat mengklaim petakan sumber alam tersebut sebagai milik pribadi dan menolak orang lain mengaksesnya. Sementara api disini bisa diartikan sebagai instrumen untuk menyalakan api (kayu bakar, gas, dsb.) yang penting bagi pengolahan pangan dan sumber energi untuk kebutuhan lainnya, sebagaimana kebutuhan atas air.

Imam as-Sarakhsyi di dalam al-Mabsûth menjelaskan hadis-hadis di atas:

Di dalam hadis-hadis ini terdapat penetapan bahwa manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, berserikat dalam ketiga hal itu. Demikian juga penafsiran syirkah (perserikatan) dalam air yang mengalir di lembah, sungai besar. Pemanfaatan air itu posisinya seperti pemanfaatan matahari dan udara. Muslim maupun non-Muslim sama saja dalam hal ini.  Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi seseorang dari pemanfaatan itu.  Ini seperti pemanfaatan jalan umum dari sisi berjalan di jalan itu. Maksud lafal syirkah bayna an-nâs (berserikat di antara manusia) adalah penjelasan ketentuan pokok ibahah (boleh) dan kesetaraan (musâwah) di antara manusia dalam pemanfaatan (ketiganya). Hanya saja ketiga barang itu dimiliki oleh mereka (bersama-sama).

Hadith tersebut melandasi prinsip toleransi dan inklusi yang penting dalam kehidupan kota, dimana hajat hidup orang banyak dikelola untuk kepentingan publik lintas agama dan dikuasai secara kolektif. Dalam hak rakyat merebut kembali kota sebagai kepentingan publik, saat situasi krisis dan darurat, kita juga bisa merujuk ke dua pertimbangan maslahah dalam mazhab Maliki dikutip dari Shatibi: pertama, ketika kas publik (Baitul Mal) kehabisan dana, Imam (pemimpin) dapat memungut pajak tambahan pada orang kaya untuk memenuhi kebutuhan mendesak pemerintah yang tanpanya ketidakadilan dan hasutan dapat merajalela, dan kedua, jika semua sumber nafkah yang halal tidak dapat diakses oleh seorang Muslim, sementara dia berada dalam situasi di mana dia tidak dapat melarikan diri ke tempat lain, dan satu-satunya cara baginya untuk mencari nafkah adalah dengan melakukan pekerjaan yang dilarang hukum, dia dapat melakukannya tetapi hanya sejauh yang diperlukan (Kamali 2003:246). Ini adalah bentuk radikal dari maslahah yang menunjukkan keberpihakan Islam kepada kaum mustadhafin dan dimensi kontekstual. Ada pemahaman serta pengakuan ajaran Islam kepada kondisi-kondisi material dimana perkara perlawanan akibat perampasan hak dasar itu harus direspon secara adil. Misalnya, kelas pekerja yang terenggut nafkahnya dan tidak sanggup memiliki tempat tinggal sedangkan di sekitarnya terdapat tanah kosong terbengkalai dengan pohon-pohon yang masih berbuah. Mereka berhak untuk menduduki dan mengambil sumber makanan di dalamnya meski di papan tersebut tertulis ‘milik PT dilarang masuk dan bagi yang menerabas masuk dikenai hukuman’, terlebih dalam situasi krisis ekonomi. Alih-alih menghukum mereka, pemerintah harusnya menerapkan pajak yang lebih tinggi bagi pemilik perusahaan tersebut untuk membiayai kas negara menyediakan fasilitas layak bagi kaum miskin.

Namun, hal tersebut harus didudukkan ke dalam kondisi yang proporsional. Perlawanan terhadap ketidakadilan dan problem struktural yang dihadapi oleh rakyat tidak lantas menjadi pembenaran untuk rakyat mereproduksi kezaliman atau melarikan diri sebagai ekspresi keputusasaan. Imam Malik meriwayatkan salah satu hadith tentang seorang budak perempuan di Madinah yang menghadap ke Abdullah bin Umar dan mengatakan, “Sesungguhnya aku ingin keluar. (Perjalanan) waktu kini terasa begitu sulit dan berat bagi kami.” Abdullah bin Umar menjawab, “Duduklah, karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘tidaklah seseorang bersabar atas kondisi buruk dan kesusahannya, melainkan aku akan menjadi penolong atau saksi baginya pada hari kiamat kelak.’.” Imam Malik dalam catatannya menambahkan bahwa kondisi yang dimaksud artinya ketidakmampuan berusaha dan kondisi sulit atau lapar dan krisis pekerjaan, dan keinginan sang budak untuk pergi dari kota adalah diakibatkan ketiadaan pengetahuannya tentang kota Madinah[i]. Hal ini menandakan keputusasaan frustrasi terhadap krisis harus dibekali oleh informasi, pengetahuan dan kesabaran untuk memperjuangkan situasi.

Hak rakyat atas kota juga terkadang baru diperhatikan secara lebih serius ketika bahaya atau mudharat sudah terjadi. Ambil contoh desain perkotaan Amsterdam yang digunakan untuk meminggirkan pesepeda sejak tahun 1950-an dan seterusnya dan memprioritaskan infrastruktur berorientasi jalan raya untuk menciptakan ruang bagi sektor otomotif yang sedang berkembang. Perencana kota percaya bahwa kendaraan, bukan sepeda, adalah masa depan mobilitas (Van der Zee, 2015). Situasi memburuk sampai tingkat kecelakaan mobil yang tinggi di jalan-jalan Amsterdam, yang menewaskan beberapa orang, kebanyakan anak-anak, memicu protes dari penduduk kota di jalanan, di tempat umum, dan di luar kantor walikota, menyerukan pengurangan jumlah mobil. Situasi global juga memainkan peran penting. Sebagai pembalasan atas dukungan mereka terhadap Israel selama Perang Yom Kippur pada tahun 1973, negara penghasil minyak (OPEC) menghentikan pengiriman minyak ke Belanda dan negara lain, yang menyebabkan gagasan untuk mengizinkan lebih banyak infrastruktur sepeda terwujud. Hari ini (seperti yang dapat kita lihat dari film dokumenter Belanda tahun 2017 “Why We Cycle” oleh Arne Gielen dan Jan Hulster) penduduk Amsterdam mengklaim sebagai salah satu masyarakat yang paling setara dan memiliki anak paling bahagia dan paling kreatif di bawah langit karena budaya bersepeda, yang paling sering mereka lupa ungkapkan betapa berdarahnya proses untuk bisa sampai ke posisi itu.

Praktik merebut kembali ruang-ruang kota untuk kehidupan bermukim yang bermartabat, atau pendudukan lahan kosong oleh rakyat yang lebih membutuhkan juga bisa dilihat dalam salah satu komponen dalam metode qiyas (analogi) yaitu ratio legis. Ratio legis menimbulkan perdebatan dan membutuhkan analisis yang luas, karena klaim kesamaan antara dua hal menjadi landasan dan penentu kesimpulan. Dengan demikian, rasio ditentukan dari teks. Dalam satu hadith yang diriwayatkan Imam Malik, Nabi Muhammad SAW menyatakan, “seseorang yang mengolah tanah terbengkalai (lahan tidur) maka memperoleh hak kepemilikan atasnya. Dan keringat orang yang berbuat zalim (yang merampas tanah) tidaklah mendapatkan hak apapun”[ii]. Imam Malik berkata, “keringat orang yang zalim adalah segala hal yang dibajak, diambil atau ditanam dengan cara yang tidak benar.”

Demikian pula secara serupa al-Qur’an surah Al-Maidah (5) ayat 6 menyatakan, “…apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu…” Rasio disini melihat struktur semantik “jika…maka…” dimana rasio dibalik membasuh adalah shalat, sebagaimana kepemilikan tanah yang terbengkalai dikonfirmasi dengan mengelolanya. Analoginya adalah, seseorang bisa membasuh (wudhu) tanpa melakukan shalat, tapi tidak sebaliknya. Hal yang sama bisa dikatakan terhadap kepemilikan tanah. Seseorang bisa memiliki tanah terbengkalai tanpa mengolahnya, tapi pengelolaan tanah dan hak selanjutnya menjadi menentukan (Hallaq 2009: 23). Komponen rasio ini juga disesuaikan dengan pertimbangan kesesuaian atau keterkaitan (munasabah) misalnya antara larangan yang tertera dalam al-Qur’an dengan penalaran terhadap bahayanya. Namun, tidak ada rasio yang dianggap sesuai tanpa relevansi, dan setiap rasio yang tidak relevan maka batal hukumnya. Untuk melihat relevansi, maka prinsip kepentingan publik (maslahah) menjadi penting, sebagai bagian dari tujuan syariah (maqasid syariah) yaitu melindungi nyawa, agama, harta, akal dan nasab.

Dari prinsip tersebut, konsep ‘kreatif’ dan ‘kosmopolitan’ bisa dimaknai ulang secara lebih berkeadilan. Imajinya tak lagi tentang persona urban dan gaya hidup konsumerisme yang berlandaskan pada surplus nilai kelas pekerja yang dibayar murah, tetapi tentang ‘kreatif’ sebagai beragam strategi komunitas untuk menghidupkan dan mengelola kembali lahan kosong, properti  kosong atau tanah terbengkalai. Akan lebih mendatangkan maslahat publik jika ruang-ruang seperti itu tidak dikuasai oleh para kapitalis di bidang properti sementara jutaan warga kota harus hidup tanpa difasilitasi tempat tinggal layak dan dirampas hak-haknya atas ruang kota.

 

Referensi

Al-Fadhat, F. (2022). Indonesia’s G20 presidency: neoliberal policy and authoritarian tendencies, Australian Journal of International Affairs, 76:6, 617-623, DOI: 10.1080/10357718.2022.2070598

Aljunied, K. (2017). ‘Muslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam Beyond The Headlines’. Themaydan.com. 27 September. https://themaydan.com/2017/09/muslim-cosmopolitanism-southeast-asian-islam-beyond-headlines/

Binnie, J., Holloway, J., & Millington, S. (2006). Introduction: Grounding cosmopolitan urbanism: Approaches, practices and policies. In Cosmopolitan urbanism. Routledge.

Bouharoun, J. ‘Analisis Kelas atas Sejarah Islam dari Jahiliyah ke Abbasiyah (Bagian 2 – Tamat)’. Islambergerak.com. 28 Januari 2022. Link: https://islambergerak.com/2022/01/analisis-kelas-atas-sejarah-islam-dari-jahiliyah-ke-abbasiyah-bagian-2-tamat/

Chan, F. H. (2019). ‘Claiming Ordinary Space in the “Cosmopolitan Grid”: The case of Singapore’ dalam The New Companion to Urban Design. Routledge.

Dabashi, H. (2014). ‘When Iraq was the bastion of a thriving cosmopolitan culture’. Aljazeera.com. 23 Juni. Link: https://www.aljazeera.com/opinions/2014/6/23/when-iraq-was-the-bastion-of-a-thriving-cosmopolitan-culture

Denoix, S. (2008). ‘Founded Cities of the Arab World From the Seventh to the Eleventh Centuries’ dalam Salma K. Jayyusi, Renata Holod et al (eds.) The City in the Islamic World Volume 1. Brill.

Florida, R (2010). ‘Building the Creative Community’ in Japonica Brown-Saracino (ed.), The Gentrification Debates. Routledge.

__________(2005). Cities and the creative class. Routledge.

Gopnik, A. (2014). ‘The Fires of Paris: why do people still fight about the Paris Commune?’. Newyorker.com. 15 Desember. Link: https://www.newyorker.com/magazine/2014/12/22/fires-paris

Hallaq, W.B. (2009). An Introduction to Islamic Law. Cambridge University Press.

Harvey, D. (2012). Rebel cities: From the right to the city to the urban revolution. Verso.

Hiebert, D. (2002). ‘Cosmopolitanism at the local level: the development of transnational neighbourhoods’, dalam S. Vertovec and R. Cohen (eds), Conceiving Cosmopolitanism: Theory, Context, and Practice, Oxford: Oxford University Press.

Holland, O. (2021). ‘The Paris Commune and the Poetics of Martyrdom’. Versobooks.com. 18 Maret. Link:  https://www.versobooks.com/blogs/5028-the-paris-commune-and-the-poetics-of-martyrdom

Kahn, B. M. (2002). Cosmopolitan Culture: The Gilt-Edged Dream of a Tolerant City. Simon and Schuster.

Kamali, M.H. (2003). Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Text Society.

Khaldun, I. (2000). Muqaddimah. Pustaka Firdaus.

Kleingeld, P. (1998). Kant’s Cosmopolitan Law: World Citizenship for a Global Order. Kantian Review, Volume 2.

Landry, C. (2012). The origins & futures of the creative city. Bournes Green: Comedia.

Malik, I. (2006). Al Muwaththa’ Jilid 2. Pustaka Azzam.

Matovic, M., & Del Valle, R. S. S. (2020). On the creative city concept. Journal of Cultural Management and Cultural Policy/Zeitschrift für Kulturmanagement und Kulturpolitik, 6(1), 35-52.

Marx, K. (1850[1978]). ‘The Class Struggles in France, 1848-1850’ dalam Robert C. Tucker (ed.), The Marx-Engels Reader Second Edition. W.W. Norton & Company.

_______ (1852[1978]). ‘The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte’ dalam Robert C. Tucker (ed.), The Marx-Engels Reader Second Edition. W.W. Norton & Company.

_______(1871[1978]). ‘The Civil War in France’ dalam Robert C. Tucker (ed.), The Marx-Engels Reader Second Edition. W.W. Norton & Company.

Marx and Engels. (2016). Manifesto of The Communist Party. Verso Books.

Micheau, F. (2008). ‘Baghdad in the Abbasid Era: A Cosmopolitan and Multi-Confessional Capital’ dalam Salma K. Jayyusi, Renata Holod et al (eds.) The City in the Islamic World Volume 1. Brill.

Mould, O. (2015). Urban subversion and the creative city. Routledge.

Rodinson, M. (1973). Islam and Capitalism. Pantheon Books.

Scott, A. J. (2007). Capitalism and urbanization in a new key? The cognitive-cultural dimension. Social forces, 85(4), 1465-1482.

Van der Zee, R. (2015). How Amsterdam became the bicycle capital of the world. The Guardian, 05/05/2015. Retrieved from:

https://www.theguardian.com/cities/2015/may/05/amsterdam-bicycle-capital-world-transport-cycling-kindermoord

https://www.weforum.org/agenda/2022/06/how-to-fix-global-housing-crisis/

Werbner, P. (2014). ‘Cosmopolitan Cities and the Dialectics of Living Together with Difference’, dalam Donald M. Nonini (ed.), A Companion to Urban Anthropology. John Wiley & Sons.

 

Catatan Akhir

[i] Imam Malik dalam Al Muwaththa’,’Kitab Pembahasan Umum: Bab Tinggal dan Keluar dari Kota Madinah’ hadith no. 1583

[ii] Ibid.‘Kitab Peradilan: Bab Hukum Mengenai Pengolahan Lahan Tidur’,  hadith no 1407.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.