Prolog
Pada medio 2016 lalu, kontestasi politik Amerika Serikat cukup kacau. Pasalnya, Donald Trump, salah seorang kandidat pada waktu itu, tampil dengan taktik politiknya yang amat kontroversial. Ia kerap membisingkan publik dengan seperangkat ucapan primitif dan rasis. Melalui slogan politiknya, make America great again, Trump menyindir orang-orang Negro, para imigran Meksiko, para pendatang Latino, dan juga kelompok Islam. Ia menganggap kelompok ini sebagai advocatus diabolic: pengusik kemapanan para blue-collar worker kulit putih. Untuk itulah, di dalam gerakan populismenya, Trump berupaya mempolitisasi identitas massa. Penekanan pada rasa kesatuan ekslusif dipakai sebagai jalan meraup kemenangan politik. Singkatnya, dengan meminggirkan sang liyan, atau mereka yang distigma sebagai pembawa ‘bencana’, populisme Trumpian dipakai sebagai alat politis pada waktu itu.
Sama dengan Amerika Serikat, rupanya gelombang populisme juga sangat terasa di Indonesia. Banyak pengamat, pengkaji ataupun pemikir mengamati gejolak politik populis seperti ini sangat kental dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Masifnya eskalasi populisme pada waktu itu bermula setelah Ahok dituduh menista agama Islam. Ujuk rasa besar-besaran pun terjadi. Sekelompok massa berdemontrasi guna memprotes ucapan Ahok yang dianggap kontroversial. Maka, dengan berpijak pada fakta ini, dapat dimaklumi bagaimana gerakan populisme sudah menyeruak di beberapa negara, termasuk Indonesia. Ia berpenetrasi secara masif. Seperti sebuah bola panas yang menggelinding tanpa henti, populisme (Islam) membuncah cepat di tengah tatanan demokrasi bangsa. Untuk itulah, di dalam artikel ini, penulis akan mengulas problem populisme Islam di Indonesia. Tesis penulis di dalam tulisan ini ialah bahwa gerakan politik anti-demokratik semacam itu sebetulnya adalah sebentuk strategi politik. Maka dari itu, tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang populisme sebagai strategi politik, disusul ulasan singkat tentang fenomena populisme Islam, dan terakhir, pembacaan atas populisme Islam sebagai strategi politik di Indonesia. Dengan memakai populisme Laclauian sebagai kerangka acuan, tulisan ini akan ditutup dengan suatu ikhtiar untuk melampaui gerakan populisme Islam sebagai strategi politik.
Populisme, Strategi Politik, dan Ragam Definisi
Dalam rumusan yang lebih umum, kata Noam Gidron dan Bart Bonikowski, populisme tidak mempunyai definisi yang pasti. Meski the people diposisikan pada piramida tertinggi, hanya saja populisme menjadi semacam term yang bisa mengarah kepada suatu pergerakan politik, partai, ideologi ataupun pemimpin tertentu. Itu sebabnya, menurut mereka, dalam diskursus politik kontemporer, terdapat tiga pendekatan utama yang bisa dipakai sebagai kerangka analitis guna memahami apa itu populisme. Ketiga pendekatan itu mencakup: (1) populisme sebagai ideologi; (2) populisme sebagai gaya diskursif; (3) dan populisme sebagai strategi politik. Di dalam pendekatan ideologi, populisme sarat dengan antagonisme antara the elite dan the people. Di dalam pendekatan ini ada pemisahan yang kentara antara elit yang korup dan the people sebagai orang yang murni. Sementara itu, di dalam pendekatan diskursif (discursive style), populisme didefiniskan sebagai sebuah retorika yang mengkonstruksi politik sebagai lanskap perjuangan moral dan etik antara pueblo (the people) dan the oligarchy. Menurut Hawkins, sebagaimana dikutip Gidron dan Bonikowski, pendekatan seperti ini identik dengan gaya diskursif Manichean yang ditandai dengan dimensi moral dan konflik biner politik.
Meski demikian, selain kedua pendekatan tersebut, ada juga pendekatan populisme sebagai strategi politik. Sebagaimana diulas secara serius oleh Kurt Weyland di dalam artikelnya berjudul A Populism: A Political Strategy Approach, pendekatan strategi politik semacam ini tidak berkonsentrasi pada apa yang dikatakan atau diyakini secara ideologis, tetapi pada apa yang secara nyata dilakukan oleh seorang figur populis. Yang diperhatikan di dalam pendekatan semacam ini yakni terkait bagaimana seorang politisi bersangkutan meyakini the people: membangun kekuataan politiknya guna meraih kepentingan tertentu. Berbeda dengan pendekatan ideologis dan diskursif yang cenderung memaklumkan watak ideologis dan retoris di balik populisme, di dalam pendekatan strategi politik, demikian Weyland, populisme sebetulnya dipahami sebagai suatu cara atau strategi politik yang melaluinya pemimpin personalistik berhubungan dengan pengikutnya demi mempertahankan kekuasaan. Fokus kajian di dalam pendekatan ini ialah pada konstruksi kekuataan dan motivasi politik dari seorang politis atau figur populis tertentu guna menggaet konstituen pendukungnya. Di sana ada semacam kerja politik yang canggih, di mana seorang aktor menjaga hubungan yang akrab dengan para pendukungnya guna mengamankan klaim kekuasaan yang dimiliki.
Karena itu, di dalam pendekatan strategi politik, terdapat beberapa komponen utama yang bisa dilihat. Pertama, aktor politik yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaannya. Di dalam populisme, demikian Weyland, aktor politik berusaha memainkan taktiknya. Bahkan jika dilihat dari prespektif ini, populisme sebetulnya hadir di dalam ruang permainan politisi. Tentang hal ini, ia katakan:
“Dilihat dari perspektif ini, populisme adalah strategi politik yang berputar di sekitar politisi individu. Secara khusus, populisme berada pada kepemimpinan personalistik, berupaya meningkatkan otonomi dan kekuasaan, dan mendorong atau mendominasi jenis aktor lain, seperti faksi elit dan partai politik terorganisir. Secara khusus, para pemimpin populis memerangi dan menguasai “kelas politik” yang ditetapkan. Dengan demikian, dominasi yang kentara dari seorang pemimpin yang kuat adalah landasan populisme”.
Bahkan pada tataran ini, kata Weyland, seorang politisi yang pada awalnya menjadi bagian dari partai, militer, atau kelompok formal tertentu mampu menjadi seorang pemimpin populis apabila ia sanggup mengukuhkan independensi dan keunggulan dirinya. Itu berarti, untuk menjadi seorang populis sejati, seorang aktor mesti mampu mematangkan kapasitas pribadi dan juga sanggup menjaga jarak dengan kekuasaan kelompok formal sebelumnya. Menurut Weyland, hal seperti ini nyata dalam diri Juan Perón yang berusaha membatasi intervensi militerisme atasnya dan berusaha untuk mengedepankan keunggulan pribadi. Selain itu, hal yang sama juga terjadi pada Alvaro Uribe, seorang figur populis di Kolombia. Meski pada awalnya hanya sekadar anggota biasa dalam Partai Liberal, Uribe kemudian dapat mengungguli para politisi senior dan alhasil memenangkan pemilihan presiden pada 2002. Semasa menjabat, Uribe menyerukan reformasi konstitusional untuk memperpanjang periode kekuasaannya. Hal ini ternyata berkontribusi bagi kemenangannya pada pemilihan presiden tahun 2006.
Kedua, selain itu, dimensi lain dari pendekatan populisme sebagai strategi politik ialah menyangkut prinsip kapabilitas kekuasaan yang memungkinkan seorang politisi mampu meraih kemenangan dan mengukuhkan otoritasnya. Di dalam dimensi ini, kata Weyland, terdapat dua opsi alternatif, yakni numbers (angka) dan special weight (bobot/pengaruh khusus) berupa pengaruh ekonomi dan militer. Hanya saja, di dalam konteks ini seorang figur populis cenderung memilih opsi numbers: satu orang, satu suara. Ia mengandalkan kekuataan dirinya guna meraih simpatik massanya. Makanya, untuk menggapai kalkulasi numbers, seorang aktor populis biasanya memobilisasi the people secara konstan. Ia berusaha menyingkirkan para musuhnya dan meraih sejumlah dukungan masif untuk tujuan kemenangan politis. Untuk mencapai dukungan seperti ini, demikian Weyland, seorang aktor populis perlu untuk meningkatkan derajat popularitasnya. Elektabilitas yang tinggi bisa menciptakan kesan positif di dalam masyarakat.
Lebih lanjut, untuk menjamin kemenangannya, aktor populis perlu mengedepankan gaya akrobatik: berkomunikasi langsung dengan rakyat. Selain itu, identifikasi langsung dengan the people juga perlu. Sebab, kata Weyland, hal semacam ini dapat mendorong tertahtanya quasi-religious: semacam ikatan perasaan/batin antara aktor populis dengan massa. Terhadap hal tersebut, Weyland juga menegaskan bahwa agar massa senantiasa setia, aktor populis juga kerap mengedepankan misi heroik dan retorika anti-elit. Meski demikian, Weyland tetap mengakui bahwa pada titik tertentu seorang aktor populis bisa juga mengandalkan special weight (baca: pengaruh militerisme dan ekonomi). Hanya saja kekuataan militer ataupun ekonomi bisa diandalkan sejauh itu membawa keuntungan politis baginya. Seorang aktor populis, demikian Weyland, bisa saja merangkul para pebisnis atau anggota kelompok formal sejauh itu bisa meningkatkan kekuataan politiknya. Singkatnya, mereka bisa menjadi bagian dari jaringan kekuasaan, sejauh kelompok ini bersedia menjadi agen legitimasi sang aktor populis.
Fenomena Populisme Islam di Indonesia
Seperti halnya di Amerika dan beberapa negara di kawasan Eropa, belakangan ini populisme kanan (Islam) juga menjadi suatu fenomena yang kentara di Indonesia. Semenjak aksi demonstrasi besar-besaran 212 hingga berujung terjeratnya Ahok pada medio 2017 lalu, hampir pasti tematisasi populisme Islam laris di meja publik. Namun apa sebetulnya populisme Islam? Dalam pengertian tertentu, populisme Islam ialah politik yang memosisikan umat berhadap-hadapan dengan elit. Populisme Islam mengalami pergeseran dari populisme yang bertujuan mencapai penguasaan ekonomi menjadi populisme yang bertujuan meraih kekuasaan politik. Keduanya dibalut sentimen identitas berupa etnik, ras, dan agama.
Selain itu, menurut Vedi R. Hadiz, Direktur dan Profesor Asian Studies, konsep utama populisme Islam ialah menggunakan umat sebagai proksi untuk ‘rakyat’, yakni masyarakat yang saleh yang dihadapkan dengan elit yang digambarkan sebagai tidak bermoral. Sehingga dalam konteks ini, populisme Islam adalah gambaran konkret dari Islam politik, yakni berbagai ekspresi Islam dalam ranah politik; atau Islam yang diekspresikan atau dimanifestasikan dalam bahasa politik; atau Islam yang muncul sebagai diskursus atau gerakan dengan tujuan politik. Singkatnya, identitas Islam diwujudkan dalam kategori politik. Populisme Islam identik dengan sebuah gerakan politik yang diwadahi dalam suatu ‘bahasa keagamaan’ guna melawan penguasa yang dianggap sebagai the others. Demikian pun jadinya: panji keagamaan dipolitisasi, dijadikan sebagai katalisator mobilisasi perlawanan massa terhadap mereka yang dianggap sebagai musuh bersama (common enemy).
Di Indonesia, populisme Islam bukanlah suatu gerakan baru. Sebab, kata Vedi R. Hadiz, gerakan semacam itu punya akar historis-sosiologisnya. Populisme Islam yang lebih tua, demikian Hadiz, berkembang dari maraknya Pan-Islamisme yang muncul di seluruh dunia Muslim dari Afrika Utara hingga Asia Tenggara ke Hindia Timur Belanda. Populisme ini menawarkan visi tatanan dunia alternatif berdasarkan kesatuan Islam di seluruh dunia. Menurut Hadiz, dengan berjanji untuk memberdayakan umat di seluruh dunia, visi utama Pan-Islamisme adalah mengembalikan umat Islam ke era kejayaan yang hampir menjadi mitos. Dalam catatan AE Priyono, di Indonesia, upaya gerakan politik Islam demi pemberdayaan umat semacam ini sudah dimulai semasa kolonial dengan terbentuknya Sarekat Islam (SI): evolusi dari Syarikat Dagang Islam (SDI). Jika SDI bergerak dalam bidang penguatan usaha ekonomi di kalangan pengusaha Muslim, terutama untuk menghadapi kekuatan bisnis Cina yang didukung Belanda, maka SI merupakan organisasi dengan basis gerakan sosial untuk konsolidasi sosial‐politik masyarakat Muslim. Seperti diketahui, SI akhirnya bertransformasi menjadi organisasi politik dengan basis sosial yang meluas dan bersifat lintas‐kelas dengan tujuan politik menentang kolonialisme.
Di zaman kemerdekaan Indonesia, gerakan politik Islam berlanjut dan muncul dalam bentuk partai‐partai politik Islam. Tentang hal ini, Priyono mengatakan:
“Di masa demokrasi liberal tahun 1950an, Islam‐politik pernah muncul dalam bentuk koalisi organisasi‐organisasi Islam yang bernama Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia). Tapi pada 1955, mulai terjadi pluralisasi Islam‐politik sehingga muncul Partai NU yang mewakili aspirasi Islam tradisional yang tadinya bergabung dalam Masjumi. Ketika akhirnya Masjumi dibubarkan oleh Bung Karno pada 1960, Partai NU bertahan untuk memasuki pergantian zaman. Di zaman Orde Baru, mula‐mula muncul empat partai Islam dalam pemilu 1971 (Partai NU, PSII, Parmusi, dan Perti). Tapi pada 1973 partai Islam digabungkan hanya menjadi satu, bernama PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan sejak pemilu 1977 sampai Orde Baru tumbang pada 1998, Islam‐politik hanya diwakili oleh partai itu. Pada zaman reformasi, mulai bermunculan partai‐partai Islam baru selain PPP yang masih bertahan. Partai‐partai politik semi‐Islam juga bermekaran untuk mewakili kekuatan gerakan sosialnya yang berbasis Muslim. Misalnya pada pemilu 1999, dari 48 partai yang lolos menjadi partai peserta pemilu, 17 di antaranya (sekitar 35%‐nya) adalah partai‐partai dengan aspirasi Islam atau semi‐Islam – yakni: Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, Partai Ummat Islam, Partai Kebangkitan Ummat, Partai Masyumi Baru, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Abul Yatama, Partai Amanat Nasional, Partai Syarikat Islam Indonesia 1905, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, Partai Nahdlatul Ummat, Partai Islam Demokrat, Partai Persatuan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Ummat Muslimin Indonesia.”
Selain kelompok formal tersebut, gerakan politik populisme Islam rupanya juga banyak dikonstruksi oleh organisasi non-partai politik. Dalam catatan Vedi Hadiz, sejak orde baru hingga pasca-reformasi, populisme Islam dikatalisasi oleh kendaraan organisasi yang berjuang untuk merebut kekuasaan di bawah panji umat Islam. Oleh karena itu, di Indonesia, ada serangkaian organisasi yang dapat mengklaim status mewakili kepentingan umat sembari menerapkan strategi politik. Organisasi itu mencakup kelompok milisi, organisasi massa, dan bahkan organisasi teroris. Biasanya dalam posisi seperti ini, beberapa isu dikomodifikasi sedemikian rupa, hingga memungkinkan terjadi gejolak mobilisasi yang akut. Fakta tertentu diinstrumentalisasi agar sekelompok massa mampu ditaklukkan. Belakangan, gerakan populisme yang diinisasi oleh organisasi non-formal semacam ini paling kentara menyeruak dalam rentetan peristiwa demonstrasi “Bela Islam” yang dimotori GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia) pada akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017 di Jakarta. Gerakan ini berhasil menghimpun umat Islam untuk melakukan protes terhadap penodaan agama yang dilakukan Ahok. Organisasi dan gerakan GNPF-MUI ini berawal dari upaya Dian Dwi Jayanto menegakkan fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahok, Gubernur Jakarta sekaligus kandidat incumbent dalam kontestasi berikutnya, telah melakukan penistaan terhadap Al-Quran. Gerakan yang dipelopori oleh berbagai ormas Islam, terutama Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) ini, menuntut Ahok untuk mundur dari jabatan gubernur dan segera diadili.
Untuk itulah, apa yang terjadi sejak dulu hingga berpuncak pada kontestasi elektoral DKI Jakarta 2017 lalu seyogyanya menjadi semacam tanda peringatan akan gejolak populisme (Islam) di Indonesia. Sehingga demikianlah Manuel Anselmi menulis dalam karyanya Populism: An Introduction bahwa sekarang ini refleksi tentang demokrasi tidak pernah lepas dari fenomena populisme. Populisme yang sedemikian kompleks, katanya, sebetulnya punya ikatan yang mendalam dengan demokrasi saat ini. Ia senantiasa bergejolak akhir-akhir ini. Ia bisa saja memberi daya tawar pembebasan, namun begitu, populisme juga pasti mendatangkan kemurkaan bagi demokrasi. Demikian pula jadinya: populisme agama yang dibayangkan sebagai sebuah ‘bencana politis’ sesungguhnya hadir secara sangar seraya melebarkan sayap destruktifnya di dalam demokrasi. Ia merahimi malapetaka sebab pada titik tertentu populisme agama mengangkangi prinsip-prinsip pluralitas demokrasi. Ia menjadi semacam hantu dunia, kata Ghita Ionescu dan Ernest Gellner, sebab secara de facto, populisme hadir sebagai suatu kekuataan yang memberi ‘daya ledak’ di dalam demokrasi. Ia ‘menjenazahkan’ kesatuan, mengubur kohesi sosial pada liang lahat yang dalam. Dengan memposisikan identitas kolektif keagamaan pada piramida tertinggi, populisme sejenis ini secara sangar meremukkan nilai keberagaman di dalam platform demokrasi saat ini.
Populisme Islam sebagai Strategi Politik di Indonesia
Lantas bagaimana kita memahami perkembangan populisme Islam di Indonesia? Pertama, jika mengacu pada analisis Kurt Weyland, maka dapat dipastikan bahwa populisme Islam di Indonesia sebetulnya adalah sebentuk gerakan yang lahir dari taktik politik tertentu. Gerakan semacam ini diinisiasi oleh politisi tertentu dengan menginstrumentalisasi identitas ke-Islam-an. Meski terdapat aliansi yang cukup kuat antara kelompok sipil Islam, hanya saja situasi semacam ini rentan diinstrumentalisasi. Rasa kesatuan eksklusif dipolitisasi secara brutal agar seorang pemimpin populis mampu meraup keuntungan politis dari para pendukungnya. Sebagaimana Weyland, dalam keadaan seperti ini, aktor populis bisa saja meyakinkan the people sebagai ‘figur penyelamat’ mereka. Ia dimotivasi oleh kepentingan politk tertentu. Di hadapan kelompok milisi Islam, aktor politik bersangkutan memanipulasi kesadaran massa dengan mempromosikan dirinya sebagai agen keagaaman yang otoritatif.
Sehingga benarlah kata Vedi Hadiz bahwa populisme Islam di Indonesia boleh jadi memang sedang berkembang, tetapi itu belum menjadi suatu kekuataan sosial yang otonom. Hal ini dikarenakan populisme Islam masih terjerat dalam persaingan antar-faksi oligarkis yang mendominasi kancah politik di Indonesia. Untuk hal ini, pada pilkada Jakarta 2017 sangat jelas terlihat bagaimana populisme Islam melayani kepentingan elit predatoris ketimbang mendorong agenda politik untuk membangun tatanan ekonomi-politik yang menyejahterakan “umat”. Afiliasi yang erat antara tokoh-tokoh yang semula hanya berada di pinggiran seperti Rizieq Shihab (FPI) dan Bachtiar Natsir (GNPF-MUI) dengan aktor politik dari keluarga cendana membuka ruang terjadinya mobilsasi besar-besaran. Maka dari itu, boleh jadi kebangkitan populisme Islam sebetulnya terkondisi di dalam ruang permainan politik para politisi oligarkis. Platform agama senantiasa bangkit, sebab ia terbonsai dalam suatu kawasan kepentingan para politisi. Populisme keagamaan muncul, sebab pada titik terkini, ia digiring oleh para aktor populis yang mengatasnamakan kepentingan Islam.
Kedua, seorang aktor populis mampu memobilisasi para konstituennya berkat kapasitas pribadinya yang mumpuni. Sebagaimana dalam penjelasan Weyland di atas, sekelompok massa mudah untuk digiring, sebab aktor politik bersangkutan memiliki akses terhadap sumber kekuasaan. Ia mempunyai akses terhadap kekuasaan material. Begitu pula, sebagai seorang pemimpin yang independen (bebas dari hegemoni apapun), ia pun mampu menjadikan pemimpin agama ataupun mereka yang memiliki pengaruh dalam kelompok formal tertentu sebagai agen yang otoritatif. Hemat penulis, hal semacam ini, paling nampak dalam diri Prabowo Subianto ketika pada momentum kontestasi elektoral 2019 lalu secara terang-terangan mendefinisikan dirinya sebagai aktor keselamatan dari sekelompok masyarakat saleh. Selain terus menuduh pemerintah membiarkan kekayaan Indonesia lari ke tangan asing, Prabowo juga luwes berinteraksi dengan tokoh-tokoh pengusung politik Islam. Ia misalnya bersua dengan Rizieq Shihab yang tengah buron di Arab Saudi. Sebagai seorang aktor populisme kanan, Prabowo juga menaruh rasa simpatiknya atas gerakan 212. Sehingga demikianlah yang terjadi: pendekatan yang intensif dengan individu ataupun kelompok tertentu memungkinkan seorang aktor populis untuk memantik simpati massa. Ia memiliki akses terhadap sumber kekuasaan. Ia mampu mengonstruksi ikatan batiniah dengan umatnya. Singkatnya, berkat identifikasi dengan the people, seorang aktor populis mampu mengonstruksi suatu gerakan anti-demokratik semacam ini.
Ketiga, mengikuti kajian pendekatan strategi politik, bisa dimengerti bahwa sebetulnya dalam kerangka diskursus populisme Islam, seorang politisi juga berusaha menjalin hubungan secara langsung dengan the people. Dengan membayangkan dirinya sebagai penyelamat, tak malu-malu ia bersama pengikutnya mengonstruksi musuh bersama (common enemy). Ia menerapkan kerja politik yang demikian canggih, sehingga memungkinkan seorang aktor populis mengamankan klaim kekuasaannya. Dalam analisis Vedi R. Hadiz, misalnya, terlihat jelas bagaimana kemunculan gelombang populisme Islam baru di Indonesia amat berkaitan dengan kondisi ketimpangan yang dialami umat Muslim yang miskin. Sehingga mudah dibayangkan bagaimana lingkungan sosial dapat tumbuh dan kemudian menjadi kondusif bagi pembentukan solidaritas dan identitas diri berbasis agama. Mereka kemudian membentuk aliansi hingga tanpa henti menyalurkan aspirasi dan keluhan kelompok ke berbagai arah.
Persis dalam situasi semacam ini, seorang aktor populisme kanan hadir. Ia membangun sejumlah narasi yang menjanjikan. Di Indonesia, demikian Hadiz, di hadapan the people, aktor populis bersangkutan mempromosikan bahwa kemiskinan umat Islam sebetulnya diakibatkan dominasi Cina dan bertumbuhkembangnya sejumlah elit yang korup. Karena itulah, dalam kesempatan seperti ini, aktor populis bersangkutan mepromosikan dirinya. Ia dengan lantang menyatakan bahwa dirinya adalah the savior: penyelamat kaum Islam yang terpinggirkan. Baginya, dominasi elit yang korup akan redup, begitu pula hegemoni kekuataan Cina. Umat Islam yang terpinggirkan menjadikan aktor populis bersangkutan sebagai katalisator kepentingan mereka. Singkatnya, ia mampu membawa kejayaan umat Islam asalkan dalam kontestasi elektoral, mereka, para pemeluk kesalehan, memilih aktor populis bersangkutan.
Populisme Laclauian dan Reorientasi Gerakan Populisme Islam
Di tengah kegusaran publik akibat gerakan politik anti-demokratik semacam ini, penting agar kita mereorientasi gerakan populisme Islam. Meski terkesan menghancurkan nilai-nilai demokratis, namun dengan memoles kembali posisi dan unsur dasariah perjuangan, niscaya gerakan populisme Islam dapat menjadi suatu kekuataan yang menumbuhkan the political di dalam demokrasi. Dengan memakai gagasan populisme Laclauian sebagai dasar perjuangan, menurut penulis, populisme Islam dapat menjadi suatu gerakan emansipatoris manakala ia sendiri mengubah kedudukan dan mereposisi arah gerakan di dalam tatanan kehidupan bersama. Untuk itu, sebagai sebuah solusi, pada bagian berikut ini penulis akan menjelaskan gagasan populisme Laclauian sebagai rujukan inspiratif dan bagaimana populisme Islam mampu merumuskan perjuangannya yang baru.
- Populisme dalam Kerangka Pemikiran Ernesto Laclau
Dalam opus magnum-nya berjudul On Populist Reason (2005), Ernesto Laclau berusaha mengkonseptualisasi dan mengelaborasi gagasannya tentang populisme secara lebih komperhensif. Dengan berpijak pada fakta yang terjadi dalam praksis politik, Ernesto berusaha menjadikan populisme sebagai bagian dari logika politik. Sebagai suatu logika politik, populisme itu dimengerti sebagai sebuah jalan dalam membangun ‘yang politik’. Hal ini dapat disimak pada halaman awal tulisannya yang menyatakan,“Populisme is, quite simply, a way of constructing the political.”
Meskipun demikian, sebagai sebuah medium untuk menggapai yang politik, terlebih dahulu populisme berfokus pada sebuah cara mengonstruksi identitas popular–yang diamininya sebagai the people, yakni sebuah kelompok yang mempunyai kesatuan kokoh dalam masyarakat. The people terbentuk dengan sangat jelas dalam suatu cakupan logika persamaan dalam masyarakat. Menurut Ernesto Laclau, sebagaimana dikemukakan Manuel Anselmi, logika persamaan akan benar-benar nampak di permukaan ketika suatu tuntutan (demand) dari masyarakat tidak dipenuhi oleh institusi-institusi Negara. Pada tataran ini akan terjadi gejolak, sehingga masyarakat mulai memobilisasi diri dan kemudian membentuk jalinan solidaritas di antara mereka. Menurut Laclau, ini merupakan prakondisi pertama yang memungkinkan terjadinya sebuah mode artikulasi politik yang disebutnnya sebagai populisme.
Walaupun demikian tuntutan yang bersifat tunggal hanya memberikan peluang kecil untuk terjadinya populisme, sebab tuntutan tersebut hanya dari satu kelompok saja. Oleh sebab itu, hemat Laclau, yang menyebabkan populisme muncul adalah adanya kemajemukan tuntutan (popular demand). Selanjutnya, tuntutan-tuntutan sosial yang tidak terpenuhi mesti diartikulasikan ke dalam rantai ekuivalensial (equivalential chain). Rantai ekuivalensial adalah jalinan kesamaaan atau kesepadanan yang menghubungkan berbagai demands dari kelompok-kelompok masyarakat oleh karena sama-sama tidak dipenuhi oleh penguasa. Tanpa ekuivalensi, tidak akan ada populisme. Untuk menghasilkan rantai ekuivalensi, perlu dibuat garis batas internal antara rakyat dan kekuasaan. Dalam tubuh masyarakat sendiri, kelompok-kelompok yang sebelumnya heterogen dengan tuntutan-tuntutan yang terpisah (isolated) satu sama lain, kini diartikulasikan melalui rantai kesepadanan dalam the people. Menurut Laclau, rakyat merupakan suatu bagian yang memandang dirinya sebagai satu-satunya totalitas yang sah; dalam situasi ini, baik satu tuntutan khusus maupun serangkaian tuntutan, sama-sama mewakili rakyat keseluruhan (the social whole). Karena itu, untuk mencapai suatu kemajuan tuntutan, maka mesti ada kolaborasi tuntutan dalam suatu jalanian kesamaan. Kolaborasi suatu rantai ekuivalensial memungkinkan adanya mode artikulasi politik yakni populisme.
Selanjutnya, kemajemukan tuntutan yang terikat dalam rantai ekuivalensial inilah yang kemudian mengarah pada empty signifier. Empty signifier mempunyai peran yang sangat sentral sebab ia adalah simbol yang menyatukan dan merepresentasikan tuntutan-tuntutan melalui jalinan kesamaan (chain of equivalences) dalam suatu masyarakat. Peran empty signifier ini sangat penting sebab ia diyakini sebagai sebuah simbol perekat persatuan aneka tuntutan dalam chaing of equivalences yang digalakan.
Jika proses artikulasi demand terjadi dalam chain of equivalences yang kokoh lalu mengarah kepada empty signifier (penanda yang kosong), maka tahap pembentukan the people pun tercapai. Sebagaimana dijelaskan Laclau, the people sesungguhnya merupakan aktor kolektif yang sentral untuk melabrak habis tatanan atau status qou dari the others (the elite). The people yang dikonstruksi di sini, menurut Laclau, bukan suatu dasar dari ekspresi ideologis, tetapi merupakan relasi riil antara agen-agen sosial. Konstruksi the people sesungguhnya buah dari praktik artikulasi diskursif yang dilaksanakan dalam serangkaian tahap-tahap yang kompleks. Ernesto Laclau mengakui bahwa konstruksi the people tidak cukup secara sederhana dimengerti dalam bingkai sosiologis, misalnya: kaum marginal, orang miskin, atau orang-orang yang tidak diakui haknya. Pengertian the people, menurut Laclau, mesti melampaui itu dengan mengarah pada suatu dimensi politikal. Dengan demikian, kaum marginal, orang miskin, atau orang-orang yang tidak diakui haknya bisa mendapat titel the people tatkala mereka secara aktif mengungkapkan demand dan menyatu dalam rantai ekuvalensial hingga mengarah dan mengisi penanda yang kosong (empty signifier).
Setelah memahami genealogi pembentukan the people, selanjutnya unsur lain yang hendak digarap ialah terkait populisme sebagai medium dalam membangun yang politik (the political). Populisme dilihat sebagai medium dalam membangun yang politik sebab di dalam kawasan populisme, the people secara aktif menempatkan batasan politis dengan the elite sebagai penguasaha yang lalim. Di dalamnya the people ditempatkan sebagai subjek politik otentik sebab mereka secara aktif memperjuangkan kepentingan bersama. Mereka menggonggong dan melakukan protes atas segenap kegagalan yang dibidani para penguasa. Mereka adalah agen partisipatoris yang menggalakkan dan menyeruhkan kepentingan dari bawah ke atas (bottom-up). Dengan demikian, setelah melihat populisme sebagai jembatan pembangun yang politik, dengan sendirinya populisme Ernesto Laclau dapat dimengerti sebagai sebuah kekuatan emansipatoris dalam demokrasi. Ia membawa sebuah gerakan progresif demi kemaslahatan bersama di tengah gelanggang demokrasi.
- Melampaui Populisme Islam: Populisme Laclauian sebagai Rujukan
Dengan memakai populisme Laclauian sebagai inspirasi gerakan, hemat penulis, populisme Islam dapat menjadi suatu kekuataan yang memberi daya segar bagi demokrasi. Ia mampu mengadabkan demokrasi manakala populisme Islam melampaui diri: mereformulasi arah gerakan perlawanan. Untuk itu, dengan merujuk pada gagasan Ernesto Laclau di atas, maka ada beberapa poin yang bisa dikemukakan. Pertama, menurut penulis, populisme Islam dapat dijadikan sebagai jalan dalam membangun ‘yang politis’ manakala ia sendiri mengonstruksi the people sebagai suatu kelompok yang independen: bebas dari jerat kepentingan oligarki predatoris. Dengan begitu, sebagai sebuah kelompok yang mempunyai kesatuan kokoh dalam masyarakat, di dalam skema populisme Islam, the people yang otentik bisa terbentuk manakala orang-orang di dalamnya bukan hanya mencakup sekelompok kawanan yang menamakan dirinya sebagai umat yang saleh, tetapi juga mereka yang berada di luar itu.
Kedua, dapat disadari, di dalam demokrasi memang ada begitu banyak pihak: individu, agen, atau kelompok yang merasa dirugikan. Selain dialami oleh umat Islam yang merasa terpinggirkan, ada juga kelompok non-Islam yang barang tentu merasa dirugikan akibat keadaan demokrasi yang dibajak oleh elit oligarki tertentu. Mereka sama-sama tidak mengalami kesejahteraan. Kedaulatan dan kepentingan mereka diabaikan. Oleh karena ketamakan oligarki, mereka sama-sama diasingkan di dalam demokrasi. Untuk itulah di dalam keadaan seperti ini, mereka yang menganggap diri sebagai umat yang saleh dan masyarakat non-Islam yang terpinggirkan bisa saja mengidenfikasi ‘musuh bersama’. Di dalam skema populisme Islam yang baru seperti ini, mereka bisa merumuskan popular demand, semacam penyatuan tuntutan: melabrak oligarki sebagai biang krisis keadilan di dalam demokrasi.
Untuk itu, dengan mereformulasi wataknya seperti di atas, hemat penulis, niscaya populisme Islam mampu menjadi suatu gerakan yang memberi angin segar bagi demokrasi. Populisme Islam mesti melampaui dirinya. Ia tidak boleh semata-mata membawa agenda ekslusif dari satu agama saja. Malahan ia mesti mereposisi dirinya dengan menjadi simpul tuntutan dari semua masyarakat. Di dalam kerangka populisme Islam, semua pihak harus bersatu. Tidak hanya umat Islam sendiri, tetapi juga mereka yang merasa dikucilkan mesti membentuk gerakan yang sama guna menyeruhkan dan melabarkan status quo kekuasaan oligarki selama ini.
Kesimpulan
Dengan demikian, dalam waktu belakangan ini populisme Islam kerap diamini sebagai sebuah gerakan anti-demokratik di dalam demokrasi. Ia adalah sejenis gerakan yang lahir dari taktik politik tertentu. Ia menyeruak begitu cepat, sebab pada tempat tertentu gerakan populisme Islam di Indonesia diinisiasi oleh politisi dan kelompok oligarki tertentu dengan menginstrumentalisasi identitas keIslaman. Meski terkesan seperti menjenazahkan pluralitas dan mengubur kohesi sosial di dalam demokrasi, namun dengan memoles kembali posisi dan unsur dasariah perjuangan, niscaya populisme Islam dapat memberi daya pembebasan di dalam demokrasi. Maka dari itu, populisme Islam itu sendiri mesti melampaui diri. Dengan merujuk pada populisme Laclauian sebagai inspirasi perubahan, populisme Islam mesti mereposisi diri, merumuskan gerakan perlawanan terhadap ‘musuh bersama’ sebagai biang ketidakadilan di dalam demokrasi.
Daftar Pustaka
Anselmi, Manuel. (2018). Populisme An Introduction. New York: Routledge.
Gidron, Noam dan Bart Bonikowski. (2013). Varieties of Populism: Literature Review and Research Agenda. Weatherhead Center For International Affairs Harvard University, .
Hadiz, Vedi R. (2019). Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah. Depok: LP3ES.
Jayanto, Dian Dwi. (2019). Mempertimbangkan Fenomena Populisme Islam di Indonesia dalam Prespektif Pertarungan Diskursif: Kontestasi Wacana Politik antara Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-Ulama dan Nahdalatul Ulama (NU). Jurnal Filsafat, Vol. 29, No. 1.
Kansong, Usman. (2021). Populisme Islam, dalam Media Indonesia, 5 Januari 2021.
Laclau, Ernesto. (2005). On Populist Reason. London: Verso.
Nadzir, Ibnu. “Prabowo dan Bangkitnya Populisme Sayap Kanan di Indonesia” dalam Tirto.id (https://tirto.id/prabowo-dan-bangkitnya-populisme -sayap-kanan-di-indonesia), diakses pada 24 April 2021
Peruzzotti, Enrique. (2018). Laclau’s Theory of Populisme: A Critical Review, dalam Carlos De La Torre, Routledge Handbook of Global Populism. London: Routledge.
Priyono, AE. (2019). Masa Depan Islam, Politik, dan Islamisme di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada.
Weyland, Kurt. (2017). A Populism: A Political Strategy Approach. dalam Cristóbal Rovira Kaltwasser dkk. (eds.). The Oxford Handbook of Populism. United Kingdom: Oxford University Press.
tapi bagi martin, melawan harman, kerjasama dgn islamis sm dgn kerjasama dgn penyembelihnya. msh martin, ketimbang itu, mending kerjasama dgn populis jelata melawan elit dan oligarkh utk lebur menjadi elit dan oligarkh itu sendiri yg terang2an antisains, yg jgnkan nulis artikel, bacaanya komik sincan.
semua tergantung figur yg diusung. asalkan tdk anti ilmupengetahuan dan suka baca buku, tdk anti buku2 kiri, tdk anti org miskin bahkan berdiri di pihak mrk, punya narasi dgn retorika membungkus logika dan ngerti oligarki dan tdk ingin lebur dgnnya.