Pengantar
Kelas pekerja di Indonesia sedang berada di posisi sulit akibat pandemi Covid-19 yang mulai merebak di Indonesia sejak awal bulan Maret yang lalu. Menurunnya aktivitas ekonomi akibat upaya mitigasi penyebaran wabah Covid-19 menyebabkan banyak pekerja yang terpaksa dirumahkan, terkadang tanpa adanya pembayaran gaji (paid leave), atau terkena PHK. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, pada awal bulan Mei setidaknya 2,9 juta pekerja terpaksa dirumahkan dan 375 ribu di antaranya mengalami PHK massal. Selain itu, pekerja informal yang biasanya bergantung pada penghasilan harian demi memenuhi kebutuhan hidup mereka juga mendapati sumber pendapatan mereka lenyap.
Jika tidak segera diatasi, konsekuensi jangka panjangnya bisa cukup kelam. Riset dari SMERU Institute misalnya memperkirakan antara 1,3 juta hingga 8,9 juta warga Indonesia ke depannya akan terjungkal ke bawah garis kemiskinan nasional. Artinya, menurut skenario yang terburuk, resesi ekonomi yang terjadi dapat meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia sampai 33,2 juta orang (12,4% dari jumlah penduduk Indonesia) sehingga menghapus pencapaian dari upaya pengentasan kemiskinan selama 10 tahun terakhir.
Namun, upaya untuk menanggulangi permasalahan ini menemui kendala. Pemerintah memang telah berusaha menyalurkan bantuan sosial melalui infrastruktur jaminan sosial di Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana yang dilaporkan oleh Majalah Tempo, bantuan sosial yang diberikan pemerintah tersebut sering kali tidak tepat sasaran sehingga berpotensi memperkeruh masalah. Pasalnya, sistem jaminan sosial di Indonesia saat ini cenderung hanya ditujukkan kepada mereka yang dikategorikan sebagai kelompok ‘miskin’ — yakni mereka yang pengeluarannya sekitar Rp. 354 ribu per bulan atau kurang. Dengan infrastruktur yang terbatas seperti ini, sistem jaminan sosial Indonesia menjadi gelagapan ketika berhadapan dengan krisis seperti saat ini.
Selain itu, sistem jaminan sosial seperti ini juga mengabaikan sebagian besar masyarakat Indonesia yang dianggap tidak ‘miskin’ walaupun kondisi ekonomi mereka masih belum memadai dan tidak berbeda secara siginifkan dengan kelompok ‘miskin’. World Bank (2019) mencatat bahwa kelompok ini, yang kerap disebut sebagai ‘strata menengah rentan’, mencakup sekitar 115 juta atau 45% dari penduduk Indonesia. Mereka masih berada dalam posisi ekonomi yang cukup rentan, cenderung bekerja sebagai pekerja informal, dan mudah terjatuh pada garis kemiskinan (Bagan 1). Dengan sistem jaminan sosial saat ini, kelompok ini luput dari sistem ‘jaring pengaman sosial’ sehingga akhirnya tidak terlindungi ketika mereka kehilangan penghasilan akibat wabah Covid-19.
Keterbatasan dalam sistem ‘jaring pengaman sosial’ di Indonesia saat ini memperlihatkan bahwa sistem jaminan sosial yang hanya diperuntukkan bagi kelompok ‘miskin’ tidaklah cukup. Sebagaimana yang ditulis oleh sebagian pengamat kebijakan:
Covid-19 telah memperlihatkan bahwa kita semua rentan…mereka yang saat ini memiliki pekerjaan tetap di sektor formal keesokkan harinya bisa saja menjadi ‘orang miskin’ ketika jatuh sakit atau kehilangan pekerjaan dan penghasilan mereka” (Stephen Kidd & Daisy Sibun, 2020: 2; empasis orisinal).
Bagan 1. Distribusi kekayaan di Indonesia berdasarkan tingkat konsumsi pada tahun 2016
Lebih dari itu, kondisi kerentanan yang dialami oleh masyarakat ketika krisis seperti ini tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi pada keadaan ‘normal’. Setiap individu akan berhadapan dengan berbagai fase kehidupan (life cycles), yang sering kali berada di luar kendali mereka, seperti terkena PHK atau kehilangan sumber pendapatan, jatuh sakit atau mengalami kecelakaan sehingga membutuhkan layanan kesehatan, dan hidup dalam masa pensiun. Dengan kebijakan perlindungan sosial (social protection policy) yang minim, masyarakat akan mengalami fase tersebut dengan penuh kerentanan dan tanpa adanya jaminan akan kondisi hidup yang layak.
Demi melindungi masyarakat dari kerentanan sosial dan ekonomi sehari-hari, Indonesia membutuhkan suatu jaminan sosial yang lebih komprehensif. Khususnya, jaminan sosial ini perlu bersifat universal dan tidak hanya ditujukan kepada kelompok ‘miskin’ saja. Jaminan sosial universal diperlukan mengingat sebagian besar masyarakat di Indonesia mengalami kerentanan yang tidak jauh berbeda dengan kelompok ‘miskin’ namun tidak mendapatkan perlindungan dari sistem jaminan sosial saat ini. Melalui perspektif kebijakan, tulisan ini berupaya untuk menjelaskan keterbatasan dari sistem jaminan sosial di Indonesia saat ini sekaligus menawarkan gambaran alternatif mengenai jaminan sosial universal yang diperlukan, dan perlu didorong, di Indonesia.
Bagian kedua tulisan ini akan memberikan gambaran singkat mengenai sistem jaminan sosial di Indonesia saat ini. Bagian ketiga akan menjelaskan kedua paradigma dalam kebijakan sosial, yakni paradigma poverty-targeted dan universal. Bagian ini juga akan menjelaskan beberapa permasalahan dan keterbatasan dari paradigma poverty-targeted yang dominan dalam agenda kebijakan sosial dunia. Bagian keempat akan membahas prinsip dari agenda welfare state dan mengapa agenda ini menjadi penting untuk didorong di Indonesia. Bagian kelima akan memberikan beberapa tawaran kebijakan dalam mendorong terbentuknya sistem jaminan sosial universal di Indonesia. Terakhir, tulisan ini akan ditutup dengan sedikit refleksi mengenai kebutuhan agenda jaminan sosial universal di Indonesia dan membahas secara singkat kemampuannya dalam menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sekilas kebijakan sosial di Indonesia
Pada tahun 2019, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis laporan berjudul Social Protection System Review of Indonesia yang memberikan gambaran dan analisa komprehensif mengenai sistem jaminan sosial yang terdapat di Indonesia. Mengutip laporan OECD (2019) tersebut, Indonesia memiliki berbagai macam program sosial yang cukup bervariasi dalam bentuk, sasaran, dan cangkupan. Di antaranya adalah:
- Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
- Program ‘jaring pengaman sosial’ bagi kelompok ‘miskin’ (Rastra, Program Keluarga Harapan, Program Indonesia Pintar, dan Penerima Bantuan Iuran JKN)
- Jaminan sosial untuk kelompok lanjut usia (Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, dan ASLUT).
Beberapa dari program tersebut merupakan program dengan ukuran yang cukup besar baik dari segi anggaran maupun kepesertaan dan menjadi kebijakan sosial flagship Indonesia dalam menyediakan jaminan sosial bagi masyarakat terutama pada masyarakat‘ miskin’ (tabel 1).
- Beras Untuk Keluarga Sejahtera (Rastra)
Program ini mengalokasi 15kg beras subsidi tiap bulannya untuk keluarga tidak mampu, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan nasional. Pada tahun 2017 program ini memiliki anggaran sebesar Rp. 19.7 triliun rupiah dan mampu menyalurkan beras subsidi kepada 14 juta rumah tangga di seluruh Indonesia atau setara dengan 44% penduduk Indonesia.
- Program Keluarga Harapan (PKH)
Program ini merupakan kebijakan sosial berbentuk conditional cash transfer (CCT) yang memberikan bantuan langsung tunai (BLT) untuk mengurangi beban pengeluaran kelompok ‘miskin’. Disebut conditional karena mereka yang terdaftar dalam program ini diwajibkan untuk mengikuti beberapa syarat seperti mengikutsertakan anak dalam program imunisasi atau mengikuti cek kesehatan rutin bagi ibu hamil. Keluarga yang terdaftar dan memenuhi syarat berhak mendapatkan BLT sebanyak Rp. 1.8 juta per tahun.
- Program Indonesia Pintar (PIP)
Program ini berbentuk cash transfer atau BLT kepada pelajar yang berasal dari keluarga tidak mampu, terutama mereka yang termasuk dari 20% keluarga termiskin di Indonesia. Bantuan ini diberikan untuk mengurangi beban pengeluaran keluarga untuk membeli perlengkapan sekolah (seragam, buku, ongkos transportasi, dll). Besaran BLT yang diterima tergantung pada tingkat pendidikan pelajar. Pelajar tingkat SD akan mendapatkan Rp. 450 ribu per tahun; tingkat SMP Rp. 750 ribu per tahun; dan tingkat SMA Rp. 1 juta per tahun.
- Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Program JKN bisa dikatakan sebagai kebijakan sosial di bidang kesehatan yang paling komprehensif dan ambisius di Indonesia. Dibentuk pada tahun 2014, program ini merupakan tindak lanjut dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional Tahun 2011 yang dapat disahkan salah satunya karena tekanan politik dan aktivisme gerakan buruh untuk membentuk sistem jaminan sosial. JKN berupaya untuk mencapai universal health coverage atau menjamin layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sistem JKN berbentuk program contribution-based: layanan kesehatan dibiayai melalui iuran individu per bulan yang kemudian dikumpulkan dalam single-pool atau dana tunggal BPJS Kesehatan untuk kemudian digunakan sebagai pengeluaran layanan kesehatan bagi mereka yang membutuhkan. Bagi para pekerja formal di sektor publik dan swasta, iuran ini dibayar secara langsung melalui potongan gaji yang mereka terima tiap bulannya. Bagi pekerja mandiri (self-employed) mereka dapat membayar iurannya secara langsung tiap bulannya sebesar Rp. 30 ribu hingga Rp. 80 ribu.
- JKN-Penerima Bantuan Iuran (PBI)
Sementara itu, bagi kelompok ‘miskin’ yang dianggap tidak mampu membayar iuran JKN, negara memberikan subsidi terhadap iuran JKN mereka melalui program Penerima Bantuan Iuran (PBI). Program subsidi ini ditargetkan kepada kelompok 40% termiskin di Indonesia sehingga memperluas jaminan kesehatan kepada 92 juta penduduk Indonesia warga tidak mampu. Program ini mampu menyediakan jaminan kesehatan kepada 203 juta atau sekitar 75% dari penduduk Indonesia di tahun 2017. Alhasil, program JKN (termasuk JKN-PBI) mampu meningkatkan akses layanan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu dan menjadikanJKN sebagai salah satu sistem jaminan kesehatan terbesar dan paling komprehensif di dunia (Agustina et al. 2019).
- Jaminan sosial bagi Lansia
Indonesia memang telah memiliki beberapa program jaminan sosial bagi mereka yang telah pensiun atau berusia lanjut (lansia). Program seperti Jaminan Pensiun (JP) merupakan program pensiun yang ditujukkan kepada pekerja formal di sektor swasta dan Program ini berbentuk contribution-based pension scheme: para pekerja formal yang terdaftar membayar iuran sebesar 3% dari gaji mereka tiap bulannya di mana 2% di antaranya dibayar oleh pemberi kerja. Program ini akan memberikan tunjangan bulanan yang besarannya tergantung dari total kontribusi peserta begitu mereka memasuki masa pensiun.
Selain itu, terdapat juga program Jaminan Hari Tua (JHT) yang berlaku tidak hanya untuk pekerja formal tetapi juga pekerja informal. Sama seperti JP, program JHT berbentuk contribution-based pension scheme di mana para pekerja yang terdaftar membayar iuran per bulan sebesar 5.7% dari gaji mereka—3.7% di antaranya dibayar oleh pemberi kerja. Sementara bagi pekerja informal, besar iuran JHT adalah 2% dari pendapatan per bulan. Berbeda dengan JP, tunjangan JHT diberikan sekali saja (lump sum) ketika peserta JHT memasuki masa pensiun dan besarannya tergantung dari kontribusi total peserta.
Terdapat juga program Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT) bagi kelompok lansia yang terlantar dan tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Berbeda dengan JP dan JHT, ASLUT merupakan program cash transfer yang memberikan BLT sebesar Rp. 200 ribu per bulan bagi lansia yang termasuk dalam kelompok ini.
Tabel 1. Sistem jaminan sosial Indonesia
Jaminan sosial di antara dua paradigma
Sebagaimana yang dijelaskan secara singkat di atas, Indonesia memang telah memiliki kebijakan sosial yang cukup komprehensif. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka ditujukan kepada mereka yang dikategorikan sebagai kelompok ‘miskin’ sebagai ‘jaring pengaman sosial’ untuk mencegah mereka agar tidak terjatuh pada kondisi kemiskinan (e.g. PKH, PIP, Raskin). Sementara itu, jaminan sosial universal masih cenderung minim. Konsekuensinya, sebagian besar masyarakat tidak mendapatkan jaminan sosial ketika kondisi ekonomi menjadi tidak stabil dan mereka rentan terjatuh pada kemiskinan sebagaimana yang terjadi akibat dari wabah Covid-19.
Dalam perdebatan akademik kebijakan sosial, terdapat dua paradigma besar dalam kebijakan perlindungan sosial (social protection policy): paradigma targeted dan paradigma universal.
Paradigma pertama adalah targeted-program. Dalam paradigma ini, kebijakan sosial (dalam bentuk program atau bantuan sosial) ditujukkan kepada kelompok tertentu. Lebih spesifiknya lagi, suatu kebijakan sosial bersifat poverty-targetedkarena ditargetkan hanya kepada kelompok ‘miskin’ saja (Kidd 2015). Paradigma ini juga kerap disebut sebagai means-tested program karena untuk terdaftar dalam suatu program seorang individu harus ‘dites’ untuk menentukan apakah dia telah memenuhi syarat tertentu sehingga berhak mendapatkan layanan program tersebut (e.g. apakah individu tersebut berada di bawah garis kemiskinan atau kondisi tertentu).
Paradigma kedua adalah universal program. Paradigma ini mengedepankan prinsip inklusivitas, citizenship, dan kesetaraan dalam kebijakan sosial. Berbeda dengan poverty-targeted atau means-tested program yang menggunakan mekanisme perhitungan untuk menentukan siapa yang ‘berhak menerima’, kebijakan bersifat universalistik ditujukan bagi semua masyarakat tanpa melihat status, posisi ekonomi, atau identitas, dan dengan persyaratan yang seminim-minimnya (Esping-Andersen 1990; Mkandawire 2005). Dengan demikian, setiap orang berhak mengakses dan menggunakan program atau layanan sosial tersebut sebagai warga negara.
Beberapa kebijakan sosial universal tertentu, misalnya jaminan pensiun universal atau tunjangan anak universal (universal childcare benefits), sekilas terlihat sebagai targeted-program karena hanya ditujukan ada kelompok tertentu (lansia atau anak). Akan tetapi, jika dalam skema poverty-targeted atau means-tested program biasanya terdapat syarat-syarat tertentu untuk mengakses atau menjadi penerima program tersebut (e.g. harus berada di bawah garis kemiskinan atau merupakan lansia terlantar dan tidak memiliki pendapatan tetap sebagaimana dalam program ASLUT). Namun, dalam kebijakan universal semua kelompok yang dituju bisa mengakses dan menggunakannya tanpa melihat status dan posisi ekonomi penerima. Spesifiknya, jaminan pensiun universal berarti baik lansia kaya atau miskin, di kota atau di desa, dapat memanfaatkan program tersebut.
Pada kenyataannya, tidak ada satu pun negara yang mengadopsi paradigma targeted atau universal secara tunggal karena dua paradigma tersebut bisa saja digunakan secara bersamaan dalam membangun sistem jaminan sosial (Esping-Andersen 1990; Mkandawire 2005). Akan lebih akurat jika kebijakan sosial di suatu negara dilihat sebagai spektrum antara mereka yang lebih dominan program universal atau lebih dominan program targeted.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, paradigma atau pendekatan poverty-targeting cukup dominan dalam sistemjaminan sosial di Indonesia. Bagi sebagian ekonom dan pengamat kebijakan, pendekatan ini cenderung digunakan, terutama di negara-negara kapitalisme pinggiran seperti Indonesia, karena dua hal: 1) penyetaraan (equity); dan 2) cost-effectiveness.
Pertama, pendekatan poverty-targeting dianggap akan lebih efektif menciptakan penyetaraan sosial (equity) ketimbang program universal. Bagi pendukung pendekatan ini, ketimbang memberikan program universal kepada mereka yang posisi ekonominya sudah aman atau mapan, akan lebih baik jika sistem jaminan sosial diarahkan untuk‘mengurangi kerentanan ekonomi dan sosial bagi mereka yang miskin, rentan, dan termajinalkan’ (Devereux & Sabates-Wheeler 2004: 9). Maka dari itu, sistem jaminan sosial sebaiknya befungsi sebagaimana logika Robin Hood: digunakan untuk mengambil dari yang sudah kaya (melalui pajak) dan memberikannya kepada yang ‘miskin’ (melalui program perlindungan sosial).
Kedua, soal cost-effectiveness. Pendekatan poverty-targeting digunakan karena dianggap lebih efektif dan efisien secara finansial. Di saat ruang fiskal yang ketat, anggaran negara perlu digunakan semaksimal mungkin untuk membantu mereka yang jauh lebih membutuhkan. Ketimbang untuk membiayai jaminan sosial yang komprehensif, universal, dan mahal tentunya, anggaran negara akan jauh lebih efektif digunakan untuk membiayai program spesifik yang menyasar kepada kelompok ‘miskin’ sebagai program pengentasan kemiskinan (anti-poverty programs) atau ‘jaring pengaman sosial’ untuk mencegah dan melindungi mereka agar tidak jatuh di bawah garis kemiskinan. Bahkan bisa dikatakan bahwa cost-effectiveness merupakan tawaran utama dari paradigma poverty-targetingketimbang paradigma universal (Mkandawire, 2005; Kidd, 2015).
Kedua alasan tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat paradigma poverty-targeting menjadi paradigma dominan dalam perdebatan kebijakan sosial. Bahkan, berbagai pengamat kebijakan, ekonom, dan lembaga pembangunan internasional mendorong negara-negara di dunia, terutama negara pinggiran seperti Indonesia yang memiliki keterbatasan kapasitas fiskal, untuk mengadopsi paradigma ini dalam merancang sistem jaminan sosial mereka. Dalam laporannya yang berjudul Targeting Poor and Vulnerable Households in Indonesia, World Bank misalnya mencatat beberapa kelebihan dari program universal ketimbang poverty-targeting untuk Indonesia. Meskipun begitu, mereka melanjutkan bahwa ‘program universal non-kontribusi kurang memungkinkan untuk dikembangkan di Indonesia dalam jangka pendek atau pun menengah. Fokusnya kemungkinan besar terletak pada universal coverage melalui campuran antara program kontribusi dan targeted, di mana memperluas lingkup yang terakhir menjadi penting’ (World Bank, 2012: 77). Selain itu, laporan terbaru dari World Bank (2020) yang berjudul Investing In People: Social Protection For Indonesia’s 2045 Visionjuga memberikan rekomendasiuntuk memperluas jaminan sosial targetedsebagai cara demi mencapai universal coverage.
Akan tetapi, berbagai klaim atas kelebihan paradigma poverty-targeting dari pada paradigma universal mulai dipertanyakan oleh sebagian kalangan akademisi dan pengamat kebijakan sosial. Beberapa ekonom seperti Thandika Mkandawire (2005), Amartya Sen (1995), pengamat kebijakan sosial Stephen Kidd (2015) atau sosiolog Walter Korpi & Joakim Palme (1998) menemukan beberapa permasalahan dasar dalam paradigma poverty-targeting yang justru malah menghambat fungsinya untuk melindungi kelompok ‘miskin’ dari kerentanan ekonomi dan sosial.
Setidaknya terdapat tiga alasan kenapa paradigma poverty-targeting bermasalah dalam merumuskan sistem jaminan sosial: 1) stigma terhadap si ‘miskin’ 2) targeting error yang sering kali terjadi; dan 3) efek redistribusi yang kurang efektif.
- Stigma
Dengan menargetkan secara spesifik kepada kelompok dalam kategori ‘miskin’, ia rentan menciptakan stigma. Sebagaimana yang dituliskan oleh ekonom dan pengamat kebijakan sosial Thandika Mkandawire: suatu program yang mensyaratkan seseorang untuk mengidentifikasi dirinya sebagai ‘seorang miskin’ hanya akan menciptakan stigma sosial terhadap dirinya dalam masyarakat (Mkandawire 2005: 20). Hal ini justru akan membuat program sosial menjadi kurang efektif karena stigma yang dilekatkan pada penerima program akan membuat mereka yang berhak mendapatkannya memilih untuk tidak menggunakannya.
Selain itu poverty-targeting program juga menciptakan stigma melalui stratifikasi layanan sosial dalam masyarakat. Program sosial dari negara dianggap hanya diperuntukkan bagi mereka yang ‘miskin’ sementara mereka yang kaya atau lebih mapan secara ekonomi cenderung menggunakan jasa asuransi swasta.Menurut apa yang disebut sebagai “political economy of targeting”, kebijakan sosial berdasarkan poverty-targeting sering kali tidak memiliki dukungan politik yang luas sehingga kualitas dan anggaran program tersebut sering kali tidak memadai (Pritchett, 2005; Mkandawire, 2005; Kidd, 2015). Hal ini terjadi karena poverty-targeting hanya menyasar kepada kelompok ‘miskin’ yang kekuatan politiknya sering kali lemah sehingga tidak mampu mendorong agar kebijakan sosial dibenahi atau diperluas.
Sementara itu, kebijakan sosial bersifat universal menyasar bagi semua kalangan masyarakat. Termasuk mereka dari kalangan strata menengah yang posisi ekonomi dan politiknya lebih mapan dan kuat dari pada kelompok ‘miskin’. Dengan demikian, program universalmampu menggaet kelompok tersebut ke sistem jaminan sosial negara sehingga dapat lebih mudah membangun ‘aliansi politik’ untuk mempertahankan kebijakan sosial negara dari agenda pemotongan anggaran (austerity) atau untuk mengembangkannya lebih jauh (Kidd 2015).
- Targeting Error
Dalam poverty-targeting program kerap kali terjadi salah sasaran (targeting error). Kesalahan ini memiliki dua kategori: inclusion error dan exclusion error. Inclusion error berarti kelompok masyarakat yang seharusnya bukan menjadi sasaran program justru malah menerimanya. Sedangkan exlusion error berarti kelompok yang seharusnya mendapatkannya (i.e. kelompok ‘miskin’) justru malah tidak menerima programnya.Dalam laporannya yang berjudul Hit and Miss: An assessment of targeting effectiveness in social protection, Stephen Kidd & Diloá Athias (2019) menemukan bahwa program poverty-targeting sering kali mengecualikan lebih dari setengah dari kelompok termiskin yang disasar dalam program sosial.
Terutama dalam kasus Indonesia, program poverty-targeting memiliki inclusion dan exlusion error yang cukup besar (bagan 2). Sementara itu, inclusion error juga kerap terjadi di mana kelompok ‘non-miskin’ dan bukan sasaran program justru malah terdaftar sebagai penerima program (warna oranye di bagan 2). PKH misalnya memiliki exclusion error hingga 81% yang berarti mayoritas dari kelompok ‘miskin’ tidak terdaftar sebagai penerima PKH. Laporan OECD (2019: 17) juga mencatat bahwa program PBI juga mengalami ‘poor targeting performance’ yang berarti sasaran program PBI sering kali tidak tepat. Hal ini bisa terlihat dari inclusion dan exclusion errordi mana hanya sekitar 33% dari kelompok termiskin menerima program PBI dan proporsi rumah tangga di luar sasaran yang menerima PBI juga cukup besar. Besarnya targeting error dalam program bantuan sosial di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat ‘miskin’ yang seharusnya menjadi sasaran program justru tidak menerimanya sementara mereka yang bukan sasaran (termasuk dari kelompok kaya) kadang ikut terdaftar sebagai penerima program.
Bagan 2. Tingkat salah sasaran kebijakan sosial di Indonesia
Alasan dari targeting error yang kerap kali terjadi dalam program poverty-targeting seperti di atas cukup sederhana: kelompok ‘miskin’ bukanlah suatu kategori sosial statis dan berbeda dari kelompok sosial lainnya sehingga bisa ditentukan dengan presisi yang cukup akurat. Kidd & Athias (2019: 56) menulis bahwa ‘kebanyakan masyarakat di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah hidup dalam kemiskinan, dengan konsumsi per kapita di bawah US$5.00 atau US$10.00 berdasarkan keseimbangan kemampuan belanja (purchasing power parity).’ Alih-alih terdapat suatu kelompok ‘miskin’ yang berbeda dari kelompok masyarakat lainnya, sebagian besar masyarakat berada di suatu spektrum kemiskinan dengan perbedaan posisi ekonomi yang tidak begitu signifikan.
Selain itu, pendapatan suatu individu dan rumah tangga sangatlah dinamis dan dapat berubah-ubah. Posisi ekonomi suatu individu atau rumah tangga bisa naik atau turun dalam waktu yang cukup singkat(bagan 3). Mereka yang tadinya ‘miskin’ bisa saja tidak dianggap ‘miskin’ hanya karena pendapatannya meningkat sedikit. Sebaliknya, seseorang yang sebelumnya dibilang cukup aman posisinya bisa saja terjatuh dalam kondisi kemiskinan tapi luput tercatat sebagai seorang ‘miskin’. Dengan kondisi seperti ini, program poverty-targeting hanya menciptakan pengelompokan khusus antara kelompok ‘miskin’ yang berhak (deserving poor) dan kelompok miskin yang tidak berhak (underserving poor) mendapatkan bantuan sosial, meskipun posisi ekonomi mereka tidak berbeda secara signifikan. Hal seperti ini justru hanya akan berkontribusi terhadap stigmatisasi kelompok ‘miskin’ karena asumsi dasar bahwa banyak di antara mereka yang ‘tidak berhak’ mendapatkan jaminan sosial.
Bagan 3. Perubahan posisi rumah tangga berdasarkan tingkat konsumsi dalam satu tahun di Indonesia
Permasalahan targeting error seperti ini menunjukkan bahwa program-program yang digadang-gadang sebagai ‘jaring pengaman sosial’ pun kurang mampu melaksanakan fungsinya dengan baik mengingat masih banyak kelompok sasaran programnya yang tidak tertangkap oleh sang ‘jaring pengaman’ ketika mereka terjatuh dari posisi ekonomi mereka. Lebih dari itu, mereka yang tidak terdaftar, karena misalnya tidak dianggap ‘miskin’, tidak mendapatkan jaminan sosial dari negara meskipun kondisi ekonomi mereka cukup rentan dan tidak jauh berbeda dengan yang ‘miskin’. Bahkan ‘jaring’ tersebut tidak mampu melindungi mereka yang menjadi sasaran program mengingat besarnya angka exclusion error dari kebanyakan program poverty-targeting.
Hal seperti ini cenderung tidak terjadi dalam program universal. Karena bersifat universal, ia terbuka bagi semua kalangan dan tidak memiliki mekanisme penentuan sebagaimana poverty-targeting atau means-tested program yang beresiko menciptakan exclusion error. Setiap warga negara secara otomatis akan terdaftar sebagai sasaran penerima dari program jaminan sosial yang ada. Alhasil, selain menjamin setiap warga negara, program sosial universal mampu menjangkau lebih banyak atau bahkan hampir semua kelompok ‘miskin’ yang jauh lebih membutuhkannya (bagan 4).
Bagan 4. Perbandingan antara jaminan pensiun universal (Georgia) dan poverty-targeted (India)
- Efek redistribusi
Dibandingkan dengan program universal, program berdasarkan poverty-targeting dinilai kurang efektif dalam menciptakan distribusi kekayaan yang lebih egaliter dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena apa yang disebut sosiolog Walter Korpi dan Joakim Palme (1998) sebagai “the paradox of redistribution”: redistribusi menjadi lebih efektif ketika mereka mengambil dari semua dan memberikannya ke semua ketimbang hanya mengambil dari yang kaya dan memberikannya ke miskin.Riset terbaru mengenai kebijakan sosial dan redistribusi membuktikan paradoks tersebut. Dalam riset tersebut, Jacques & Noël (2018) menunjukkan bahwa negara-negara dengan jaminan sosial universal cenderung memiliki tingkat redistribusi yang lebih besar ketimbang negara-negara di mana program poverty-targeting lebih dominan.
Paradoks ini terjadi sebagai konsekuensi dari ekonomi politik kebijakan sosial itu sendiri. Tujuan utama dari paradigma poverty-targeting adalah menggunakan kapasitas fiskal negara yang terbatas secara efektif dan semaksimal mungkin untuk memberikan jaminan sosial kepada masyarakat. Oleh karena itu, paradigma ini mengasumsikan anggaran suatu negara sebagai sesuatu yang statis dan tidak dapat berubah. Namun pada kenyataannya, kapasitas anggaran negara bisa berubah tergantung dengan konteks politik dari negara tersebut khususnya dalam negara demokratis (Korpi & Palme, 1998; Kidd, 2015). Misalnya, jika dorongan politik dari masyarakat cukup kuat, negara bisa meningkatkan pendapatan mereka dengan menaikkan pajak kepada strata atas dan menengah dari distribusi kekayaan. Selain itu, perubahan kondisi ekonomi suatu negara, misalnya dengan terjadinya formalisasi kerja, dapat memperbesar tax base (dasar pengenaan pajak) dan meningkatkan pendapatan pajak negara.
Dalam menyediakan jaminan sosial universal kepada masyarakat, asumsi dasarnya tidak sepatutnya berawal dari seberapa besar kapasitas fiskal negara yang ada melainkan bagaimana kapasitas tersebut bisa diperbesar agar program sosial tersebut dapat dibiayai dan dilaksanakan dengan efektif. Dengan demikian, pembahasannya tidak hanya terbatas pada sekedar masalah teknis bagaimana memaksimalkan anggaran negara yang tersedia melainkan mengarah kepada institusi ekonomi seperti apa yang mampu menyokong jaminan sosial universal, bagaimana struktur perpajakannya, apakah perlu menaikan pajak dan pajak apa yang perlu dinaikkan, serta distribusi kekayaan seperti apa yang diincar. Pendek kata: bagaimana mengubah struktur ekonomi-politik yang lebih luas dalam masyarakat.
Hal ini yang menjelaskan keterkaitan antara program universal dengan tingkat redistribusi. Program universal memerlukan anggaran negara yang lebih besar ketimbang program poverty-targeting sehingga negara perlu menaikkan pajak, terutama pajak kepada kelompok kaya, demi memperbesar kapasitas fiskal dan membiayai program tersebut. Pajak progresif yang dikenakan kepada kelompok kaya, di satu sisi, akan mengikis kekayaan mereka dan mengurangi ketimpangan ekonomi dan, di sisi lain, akan memperbesar anggaran negara yang kemudian digunakan untuk membiayai program jaminan sosial universal. Sebagaimana yang ditulis oleh Jacques & Noël (2018: 79): ‘program-program universal mensyaratkan anggaran redistributif yang lebih besar, sehingga menimbulkan redistribusi yang lebih baik dan pengurangan kemiskinan yang lebih banyak.’
Maka dari itu, paradigma poverty-targeting perlu dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mempertahankan status quo dalam masyarakat. Struktur ekonomi-politik yang justru menciptakan ketimpangan dan pemiskinan dalam masyarakat sedari awal, sehingga membutuhkan jaminan sosial untuk menanggulanginya, cenderung diabaikan dan kalau bisa tidak diubah. Tidak ada upaya, misalnya, untuk menaikkan pajak terhadap strata atas dan menengah untuk meningkatkan anggaran negara sekaligus mengurangi ketimpangan ekonomi. Tidak ada dorongan akan perubahan struktural ekonomi agar menciptakan lapangan kerja formal dan layak atau mengembangkan kapasitas produksi sehingga mampu memperbesar tax base dan pendapatan negara. Sebagaimana ditulis oleh Stephen Kidd: ‘yang diuntungkan dari kebijakan ‘pro-miskin’ atau poverty-targeting bukanlah orang miskin melainkan orang kaya karena mereka tidak perlu membayar pajak lebih tinggi sehingga anggaran negara bisa bertambah dan jaminan sosial dapat diperluas.’
Agenda jaminan sosial universal dan welfare state
Sebagaimana yang dijelaskan, paradigmapoverty-targeting dalam kebijakan sosial memiliki beberapa keterbatasan dan permasalahan yang membuatnya menjadi kurang efektif dalam melindungi kelompok ‘miskin’ dari kerentanan ekonomi ketimbang program universal:
- Berbeda dengan poverty-targeting, program jaminan sosial universal tidak akan memberikan stigma bagi si ‘miskin’ dan bahkan bisa menggaet kelompok yang posisi ekonominya lebih mapan untuk menggunakan dan mendukung program sosial dari negara.
- Program universal memastikan bahwa program jaminan sosial dapat melindungi mereka yang ‘miskin, rentan, dan termarjinalkan’ dengan lebih efektif karena tidak adanya mekanisme targeting atau means-testing yang cukup restriktif dan tidak akurat sehingga menciptakan targeting error.
- Melalui paradox of redistribution, jaminan sosial universal akan lebih efektif menciptakan distribusi kekayaan yang lebih egaliter dalam masyarakat ketimbang program poverty-targeting.
Ketiga hal di atas menunjukkan akan perlunya membangun sistem jaminan sosial yang lebih universal di Indonesia. Sistem jaminan sosial tersebut perlu menjadi fondasi dasar untuk membangun welfare state atau sistem jaminan sosial yang bersifat universal sekaligus komprehensif dan menciptakan distribusi kekayaan yang lebih egaliter. Namun, untuk mendorong agenda tersebut maka dibutuhkan setidaknya suatu gambaran dasar sistem jaminan sosial seperti apa yang akan dibangun dan mengapa memilihnya. Lebih dari itu, ia perlu memahami fungsi utama suatu welfare state yang menjadi fondasi dasarnya.
Fungsi utama dari sebuah welfare state adalah de-komodifikasi. Sebagaimana yang ditulis oleh Esping-Andersen (1990: 22) dalam bukunya Three Worlds of Welfare Capitalism, : “de-komodifikasi terjadi ketika suatu layanan dijadikan sebagai suatu hak dasar, dan ketika seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bergantung pada pasar.” Di satu sisi, de-komodifikasi layanan (de-commodification of service) memastikan bahwa layanan sosial yang penting dalam masyarakat tidak tunduk terhadap mekanisme pasar dan terbuka kepada masyarakat sebagai hak dasar mereka. Di sisi lain, de-komodifikasi tenaga kerja (de-commodification of labour) dapat mengurangi, atau bahkan menghapus, ketergantungan individu terhadap penghasilan dari pasar (market income) melalui kerja upahan (wage labour) demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka dari itu, jaminan sosial universal hadir untuk memastikan bahwa setiap orang dalam suatu masyarakat dapat hidup dengan layak terlepas dari posisi ekonominya dan status pekerjaannya.
Dengan demikian, fungsi dari welfare state bukanlah sebagai ‘jaring pengaman sosial’ sebagaimana yang populer dalam bayangan banyak orang. Seperti yang ditulis oleh Matt Bruenig, diskursus‘jaring pengaman sosial’ justru sangat berbahaya bagi agenda welfare state yang universal dan komprehensif. Pasalnya, konsepsi ini mengandaikan bahwa keadaan normalnya adalah di mana setiap orang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pasar (market income) dan ketika mereka tersingkirkan dari pasar baru ‘jaring’ tersebut disediakan sebagai solusi sementara sampai mereka bisa mendapatkan pekerjaan baru atau sumber penghidupan lainnya. Alih-alih mendorong terjadinya de-komodifikasi, konsepsi ‘jaring pengaman sosial’ justru memberi kesan bahwa ‘terdapat suatu keadaan di mana institusi jaminan sosial (welfare institutions) tidak dibutuhkan karena semuanya berjalan dengan mulus.’ Maka dari itu, suatu welfare state seharusnya bukan sekedar ‘jaring pengaman sosial’ saja melainkan sebagai fondasi dasar dalam menjamin kehidupan layak bagi masyarakat.
Dalam sejarahnya, gerakan buruh dan kekuatan politik kiri atau sosial-demokratik akan cenderung mendorong agenda welfare state yang bersifat universal dan komprehensif. Pasalnya, agenda tersebut akan mendorong terjadinya de-komodifikasi dan, melalui kebijakan pajak progresif dan distribusi kekayaan yang lebih merata, akan memperlemah kekuatan politikkelas kapitalis dan pengusaha. Selain itu, sifat universalisme juga akan mendorong solidaritas politik yang lebih luas dan mengaitkan kepentingan umum masyarakat dengan agenda kelas pekerja. Konsekuensinya, posisi tawar dan kekuatan politik kelas pekerja akan menjadi lebih besar dengan berkurangnya ketergantungan mereka terhadap pasar atau kapital dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sekaligus mendapatkan dukungan populer masyarakat terhadap agenda politik kelas pekerja. Maka dari itu, perjuangan politik sosial-demokratik kadang disebut sebagai ‘politik melawan pasar’ karena berupaya untuk meniminalisir peran pasar dalam menentukan hajat hidup suatu individu dalam masyarakat (Esping-Andersen 1985).
Sebaliknya, kekuatan modal atau politik konservatif akan berupaya untuk menghambat terbentuknya welfare state yang universal. Bagi kelas kapitalis, peran pasar dalam kehidupan sosial perlu diperluas demi menancapkan dan memperkuat posisi politik mereka dalam pertarungan sosial di masyarakat. Selain itu, mereka juga memastikan bahwa sistem jaminan sosial yang terbentuk sangat terbatas dan didominasi oleh means-tested programs atau dikaitkan dengan hubungan kerja. Sementara bagi kaum konservatif, jaminan sosial cenderung digunakan untuk mempertahankan relasi sosial tradisional dari komodifikasi secara penuh dan menciptakan stratifikasi berdasarkan identitas sosial atau jenis pekerjaan (Esping-Andersen 1990). Alih-alih mendorong solidaritas universal dan memperkuat posisi tawar kelas pekerja, rezim welfare state yang didorong oleh kelompok konservatif dan kapital justru menundukkan kekuatan politik kelas pekerja di bawah dominasi mereka.
Alhasil, bentuk konkrit dari welfare state selalu dikondisikan dari pertarungan sosial yang terjadi dalam masyarakat terutama antara kelas kapitalis dan kelas pekerja (Gough 1979). Di negara dengan sejarah gerakan buruh atau kekuatan politik kiri yang cukup kuat maka rezim welfare state yang dibangun akan cenderung bersifat lebih universal dan komprehensif — atau sering kali disebut dengan rezim welfare state sosial-demokratik (Esping-Andersen 1990). Sebaliknya, di negara dengan kekuatan politik konservatif atau kapitalis yang jauh lebih kuat, maka rezim welfare state yang dibangun akan cenderung berwatak konservatif atau liberal.
Sebagai contoh, berkembangnya gerakan buruh dan partai kiri atau sosial-demokratik sejak abad 19 mampu memaksa negara dan kapitalis untuk mendorong agenda jaminan sosial universal dan sistem welfare state (Matthews 2018; Esping-Andersen 1985). Sementara itu, melemahnya kekuatan kelas pekerja di Eropa semenjak tahun 1970an dan menguatnya kekuatan politik kapitalisme laissez-faire atau ‘neoliberalisme’ menyebabkan terkikisnya welfare state yang telah lama diperjuangkan oleh gerakan buruh dan gerakan sosial-demokratik. Sementara di Indonesia, absennya kekuatan politik kelas pekerja menyebabkan sistem jaminan sosial yang berkembang cenderung bersifat ‘patromonial’ demi menjamin hubungan patron-klien masyarakat dan dukungan politik pada kelompok yang tengah berkuasa (Yuda 2018), atau jaminan sosial liberal sebagaimana yang didorong oleh World Bank (2012, 2020) dan ekonom arus utama dengan karakter kebijakan sosial bersifat poverty-targeted.
Setidaknya terdapat tiga konsekuensi adanya jaminan sosial universal bagi kelas pekerja yang membuatnya penting untuk diperjuangkan di Indonesia. Pertama, dalam jangka pendek jaminan sosial universal dapat menanggulangi dampak terburuk dari kapitalisme dan meningkatkan taraf hidup pekerja. Jaminan sosial itu sendiri mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan memungkinkan distribusi kekayaan yang lebih egaliter (Jacques & Noël 2018; lihat juga Esping-Andersen 1990). Lebih dari itu, jaminan sosial universal memastikan bahwa setiap individu mampu terjamin kebutuhan hidupnya ketika berhadapan dengan fase kehidupan yang sering kali berada di luar kendali mereka—seperti terkena PHK atau kehilangan sumber pendapatan, jatuh sakit atau mengalami kecelakaan sehingga membutuhkan layanan kesehatan, mengalami disabilitas, atau pensiun dari kerja. Dalam konteks Indonesia, bahkan perkembangan jaminan sosial dalam bentuk yang masih terbatas telah mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesehatan masyarakat, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (OECD 2019; Agustina et al 2019)
Kedua, kebijakan welfare state dapat menunjang proses pembangunan ekonomi sekaligus memastikan bahwa hasil pembangunan tersebut dapat didistribusikan dengan lebih merata. Beberapa riset dan pengalaman historis dari berbagai negara-negara yang melakukan industrialisasi lebih akhir (late-industrializers) memperlihatkan bahwa membangun sistem jaminan sosial menjadi faktor kunci dalam pembangunan ekonomi yang lebih inklusif dan egaliter (Kwon et al 2009). Melalui berbagai kebijakan jaminan sosial, terutama yang bersifat universal, hasil dari pembangunan ekonomi dapat didistribusikan secara lebih adil. Selain itu, jaminan sosial universal juga dapat memfasilitasi transisi menuju ekonomi dengan produktifitas dan upah tinggi. Berkurangnya tingkat kemiskinan dan meningkatnya taraf hidup masyarakat akan memperluas kesempatan mereka dalam mengakses pendidikan tingkat lanjut atau peluang pekerjaan yang lebih produktif sehingga ikut mengembangkan produktivitas ekonomi suatu negara (Kangas & Palme 2009).
Ketiga, kehadiran welfare state, khususnya yang bersifat universal dan komprehensif, mampu memperkuat posisi tawar pekerja di hadapan kekuatan kapital. Dengan mengurangi ketergantungan kelas pekerja terhadap pasar dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, kekuatan pengusaha dan kapital dalam mendisiplinkan pekerja akan juga berkurang. Kebijakan pajak progresif yang menjadi syarat utama jaminan sosial universal juga akan dapat mengikis konsentrasi kekayaan bagi segelintir kelompok kelas kapitalis dan mengurangi ketimpangan sosial dalam masyarakat sehingga memperlemah kekuatan politik kapital lebih lanjut. Selain itu, welfare state juga dapat menjadi suatu “mesin solidaritas” dengan “mengikat masyarakat ke dalam suatu relasi dengan kepentingan materiil yang sama” alih-alih solidaritas dalam pandangan liberal yang terbatas hanya sekedar rasa simpati atau iba. Dengan begitu, agenda welfare state bisa menjadi acuan dalam menarik simpati politik masyarakat yang lebih luas kepada agenda-agenda progresif sehingga ikut memperkuat dan terlibat dalam gerakan buruh dan gerakan politik sosial-demokratik.
Penting untuk melihat welfare state sebagai arena perjuangan kelas yang bentuknya itu bergantung dari kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Tidak hanya kelas kapitalis dan kelompok konservatif saja yang sering kali alergi terhadap agenda welfare state, beberapa kalangan Marxis dan sosialis pun terkadang melihat agenda tersebut dengan penuh kecurigaan. Bagi kalangan tersebut, kehadiran welfare state sering kali hanya dianggap sebagai mekanisme untuk memfasilitasi akumulasi kapital dan menghambat militansi gerakan buruh untuk ‘meruntuhkan kapitalisme’ (Matthews 2018; lihat juga Gough 1979). Namun, pandangan ini mengabaikan dampaknya dalam memperkuat posisi ekonomi dan politik kelas pekerja. Di beberapa negara tanpa welfare state, termasuk negara-negara Eropa sebelum adanya welfare state, kelas pekerja lah yang menjadi tombak dalam mendorong agenda jaminan sosial yang bersifat universal dan komprehensif. Sementara itu, kelas kapitalis dan kelompok konservatif lah yang konsisten dalam menghambatnya. Terlepas dari pandangan beberapa kalangan tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa hadirnya welfare state mampu memperkuat kekuatan politik kelas pekerja vis-à-vis kekuatan politik kapital dan konservatisme seperti yang telah disebutkan. Alih-alih sebagai penghambat militansi gerakan buruh dan sosial-demokratik, welfare state, dan upaya untuk mengembangkannya lebih lanjut perlu dilihat sebagai fondasi untuk mendorong perjuangan kelas pekerja yang jauh lebih militan. Maka dari itu, dari segi ekonomi dan politik, agenda jaminan sosial universal menjadi relevan untuk didorong di Indonesia di saat kekuatan kelas pekerja relatif lemah dan tidak terlalu terorganisir.
Membangun jaminan sosial universal di Indonesia
Bagian sebelumnya telah menjabarkan beberapa prinsip dari welfare state dan pentingnya agenda tersebut bagi negara pinggiran seperti di Indonesia. Dalam bagian ini, beberapa tawaran kebijakan program jaminan sosial universal akan dijabarkan. Meskipun tawaran yang diberikan dalam tulisan ini bisa dikatakan cukup terbatas, mereka bisa menjadi fondasi dasar untuk mengembangkan dan memperluas sistem jaminan sosial universal di Indonesia. Tabel 2 menunjukkan tiga tawaran akanprogram dasar yang memungkinkan (feasible) untuk dilakukan sekaligus diperlukan demi membangun welfare state di Indonesia: 1) Tunjangan PHK 2) Jaminan pensiun universal; dan 3) Jaminan kesehatan universal.
Tabel 2. Tawaran program jaminan sosial universal di Indonesia
- Tunjangan PHK (T-PHK)
Unemployment insurance (UI) atau tunjangan pengangguran bisa dikatakan adalah salah satu fondasi dasar dari sebuah welfare state: ia menjamin keberlangsungan hidup pekerja di saat ia tersingkirkan dari pasar yang menjadi sumber pendapatannya sebagai buruh upahan. Maka dari itu, program tunjangan PHK (T-PHK) sekiranya menjadi cocok untuk ditawarkan sebagai program awal UI di Indonesia.
Dalam program T-PHK, negara akan memberikan tunjangan seperti pesangon kepada pekerja formal yang mengalami PHK. Besaran tunjangannya bisa sekedar cukup memenuhi kebutuhannya atau sebagai suplemen keuangan mereka sampai para pekerja tersebut mendapatkan pekerjaan lainnya. Mekanisme program ini dapat dilakukan dengan cara para pekerja formal yang terkena PHK membawa bukti PHK kepada BPJS Ketenagakerjaan yang kemudian akan menyalurkan dana tunjangan PHK.
Sebagai program UI, T-PHK memang cukup terbatas karena hanya menyasar pada 55 juta pekerja formal di Indonesia. Hal ini dikarenakan struktur ekonomi Indonesia didominasi oleh pekerja informal yang tidak diregulasi sehingga mempersulit pendataan ketenagakerjaan. Akan tetapi, program ini bisa menjadi fondasi untuk program UI ke depannya dan bisa dikembangkan atau diperluas lebih lanjut. Untuk program ini, pekerja formal yang mengalami PHK bisa mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 1.5 juta per bulan selama dua bulan. Dengan demikian, setiap pekerja yang terkena PHK mendapatkan total tunjangan sebesar Rp. 3 juta. Berdasarkan data Menteri Ketenagakerjaan, jumlah tertinggi pekerja formal yang mengalami PHK per tahunnya tedapat pada tahun 2014 dengan jumlah 77 ribu pekerja. Dengan asumsi bahwa jumlah PHK tiap tahunnya sebesar 100 ribu pekerja, maka anggaran untuk program tunjangan ini sebesar Rp. 300 miliar per tahun atau setara dengan 0.003% dari GDP.
- Jaminan pensiun universal (JPU)
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia memang telah memiliki beberapa program jaminan pensiunseperti JP dan JHT, namun keduanya merupakan contributory-based pension scheme yang bergantung pada pembayaran kontribusi/iuran per bulan. Alhasil, hanya pekerja formal atau pekerja informal dengan pendapatan tetap dan tinggi yang dapat mengaksesnya. Sementara itu, pekerja informal yang terkadang pendapatannya minim atau bersifat tidak tetap jelas kurang dapat menggunakan jaminan pensiun tersebut secara efektif.
Lebih dari itu, kelompok lansia merupakan kelompok yang paling rentan secara ekonomi. Data dari OECD (2019) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan bagi mereka yang berusia 65 tahun atau lebih merupakan yang paling tinggi (14.7%) dari pada kelompok usia lain (bagan 5). Selain itu, tingkat kemiskinan kelompok ini juga tidak mengalami penurunan yang signifikan (hanya 0.2%) dari tahun 2010 hingga 2016 ketimbang kelompok usia lainnya. Alasannya sederhana: kelompok lansia tidak memiliki pendapatan (market income) karena mereka tidak bekerja sehingga tidak mampu menyokong kehidupannya kecuali dengan mendapatkan dukungan dari anggota keluarganya yang bekerja (sehingga menerima pendapatan atau market income) atau bantuan sosial lainnya. Oleh karena itu, menciptakan jaminan sosial universal menjadi penting untuk memastikan bahwa kelompok lansia dapat memiliki kehidupan pensiun yang cukup aman dan jauh dari kerentanan ekonomi.
Bagan 5. Tingkat kemiskinan berdasarkan kelompok usia di Indonesia pada tahun 2010 dan 2016
Dengan adanya JPU, maka semua individu yang berumur di atas 65 tahun secara otomatis akan diberikan BLT sebesar Rp. 300 ribu per bulannya, kurang lebih cukup untuk menjaga mereka agar berada di atas garis kemiskinan. Menurut data BPS (2019), penduduk berumur 65 tahun ke atas pada tahun 2018 berjumlah sekiar 15.3 juta. Dengan besaran BLT sebanyak Rp. 300 ribu per bulan, maka total anggaran per tahunnya untuk program JPU bisa mencapai Rp. 55.4 triliun atau setara dengan 0.4 % dari GDP Indonesia.
- Jaminan kesehatan universal
Indonesia sebenarnya sudah memiliki jaminan kesehatan yang cukup baik dalam bentuk JKN. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, JKN mampu memperluas akses kesehatan bagi masyarakat, terutama kelompok ‘miskin’, dan menjadi salah satu sistem jaminan kesehatan terbesar di dunia (Agustina et al. 2019). Akan tetapi, JKN masih memiliki beberapa permasalahan yang membuatnya masih belum mampu menjamin akses kesehatan bagi setiap masyarakat.
Problem utama dari JKN saat ini adalah defisit dari single-pool atau anggaran JKN akibat timpangnya rasio pembayaran iuran dengan penggunaan layanan, terutama dalam kelompok Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang membayar iuran secara individu. Masalah ini sering kali disebut sebagai ‘the missing middle’, artinya strata menengah dalam masyarakat yang cenderung tidak membayar iuran bulanan sehingga menyebabkan defisit bagi keuangan program JKN. Jika ditelaah lebih lanjut, kelompok ini sebenarnya terdiri dari dua kelompok: 1) pekerja informal yang posisinya berada di atas garis kemiskinan walaupun kondisi ekonominya masih cukup rentan; dan 2) pekerja yang sebenarnya telah cukup aman secara ekonomi tapi memilih untuk tidak membayar iuran dan menggunakan layanan JKN.
Bagi kelompok pertama, mereka kemungkinan besar adalah pekerja informal yang tidak terdaftar sebagai PBI sehingga harus membayar iuran bulanan sebagai PBPU. Seperti yang dicatat sebelumnya (bagan 2), program PBI memiliki exclusion error yang cukup besar (67%). Artinya, program PBI mengecualikan sebagian besar dari mereka yang posisi ekonominya cukup rentan, terutama pekerja informal atau pekerja lepas. Terlebih lagi, seperti yang dijelaskan di awal, sekitar 115 juta atau 45% dari penduduk Indonesia masih berada di posisi rentan secara ekonomi walaupun mereka tidak masuk kategori ‘miskin’ sehingga tidak menerima program PBI. Mayoritas dari mereka adalah pekerja informal dengan kondisi kerja yang cukup rentan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang posisi ekonominya cukup rentan tetapi tidak menerima program PBI sehingga masih diwajibkan untuk membayar iuran mandiri bulanan, terutama sebagai kelompok PBPU. Konsekuensinya, kebanyakan dari kelompok ini tidak mampu membayar iuran JKN secara rutin atau tidak terlindungi oleh JKN. Agustina, et. al. (2019: 19) mencatat bahwa ‘probabilitas dari mereka yang mengalami kesulitan keuangan tidak membayar iuran secara rutin sekitar 7.7% lebih tinggi ketimbang mereka yang memiliki pendapatan tinggi.’
Sementara itu, kelompok kedua merupakan pekerja yang posisi ekonominya relatif lebih aman namun memilih untuk tidak membayar iuran dan memilih menggunakan asuransi kesehatan swasta ketimbang JKN. Padahal, keberlanjutan keuangan dari JKN bergantung pada pembagian resiko (risk-pooling) di mana kelompok dengan penghasilan tinggi dan cenderung lebih sehat dapat membayar lebih untuk iuran dan menggunakan layanan JKN lebih rendah ketimbang kelompok lain sehingga hasil iuran mereka dapat digunakan kepada kelompok yang rentan secara ekonomi atau kesehatan. Dengan beralihnya kelompok strata menengah dan atas ke asuransi swasta, maka jumlah pendapatan iuran JKN akan berkurang dan berpotensi untuk menciptakan defisit bagi anggaran single-pool JKN. Hal ini menunjukkan bahwa sistem jaminan kesehatan di Indonesia masih terdapat dualisme di mana jaminan kesehatan negara seakan hanya diperuntukkan kepada kelompok ‘miskin’ sementara strata menengah dan atas menggunakan asuransi swasta. Dualisme seperti ini sangat berbahaya karena memperlemah solidaritas universal yang seharusnya dibutuhkan dalam agenda universal welfare state.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka agenda sistem jaminan kesehatan universal di Indonesia perlu melakukan dua hal: 1) memastikan bahwa kelompok masyarakat rentan dapat terlindungi dengan lebih efektif; 2) menarik atau mengikat mereka yang berada di strata menengah dan atas ke dalam sistem JKN sekaligus membatasi kompetisi (crowding out) dari asuransi swasta; dan 3) menutupi biaya dari program JKN.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan membuat program JKN dibiayai langsung oleh pajak negara (tax-financed). Mekanisme pendanaan seperti jauh lebih sederhana dan mendorong prinsip de-komodifikasi karena memperlakukan jaminan kesehatan sebagai hak dasar masyarakat dan bukan sebagai layanan bisnis. Jaminan kesehatan universal yang dibiayai langsung oleh negara memungkinkan agar setiap warga negara, terlepas dari kemampuan ekonominya, dapat menikmati layanan kesehatan secara gratis. Dalam mekanisme seperti, setiap warga negara dapat secara otomatis terdaftar sebagai peserta JKN (automatic enrollment) dan hanya perlu mengurus administrasi atau terdata dalam sistem jaminan sosial. Dengan begitu, permasalahan kepesertaan (coverage) hanya terletak pada masalah infrastruktur kesehatan Indonesia dan bukan dalam kemampuan untuk membayar iuran JKN (Agustina, et. al. 2019).
Namun, dengan mengubah mekanisme pendanaan JKN menjadi tax-financed secara penuh, maka dibutuhkan perombakan kebijakan perpajakan di Indonesia untuk memastikan pendapatan dan kapasitas fiskal negara meningkat sehingga mampu membiayainya. Menurut laporan dari Dirjen Pajak, pada tahun 2018 jumlah Wajib Pajak hanya 42.4 juta dan dengan tingkat kepatuhan pajak hanya mencapai 71%, yang berarti 30.1 juta orang yang taat membayar pajak. Padahal, di tahun yang sama, jumlah pekerja formal sekitar 53 juta. Artinya, jumlah wajib pajak di Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya wajib pajak, dan konsekuensinya, rendahnya pendapatan pajak negara, membuat kapasitas anggaran negara untuk menyediakan jaminan sosial menjadi terbatas sehingga menjadi salah satu kendala dalam membangunjaminan kesehatan universal.
Berdasarkan suatu riset, pengeluaran JKN pada tahun 2020 diperkirakan bisa mencapai sekitar Rp. 197 triliun atau setara dengan 1.4% dari GDP per tahunnya. Oleh karena itu, kebijakan perpajakan ke depannya perlu memastikan untuk dapat meningkatkan pendapatan negara setara dengan jumlah tersebut.Untuk mencapai hal itu, setidaknya terdapat dua hal yang perlu dilakukan dalam agenda reformasi kebijakan perpajakan.
Pertama, memperluas dasar pengenaan pajak agar mencangkup lebih banyak wajib pajak (broad tax base). Dalam sistem pajak saat ini, peraturan mengenai Penghasilan Tanpa Kena Pajak (PTKP) mempersempit dasar pengenaan pajak (tax base) sekaligus memperkecil pendapatan pajak penghasilan ke negara. Kebijakan PTKP berarti penghasilan kena pajak (taxable income) individu hanya berlaku ketika penghasilan mereka lebih dari Rp. 54 juta per tahun atau Rp. 4.5 juta per bulan. Oleh karena itu, PTKP mengecualikan sebagian besar masyarakat yang relatif mampu, terutama pekerja formal, dari kewajiban pajak sehingga mempersempit dasar pengenaan pajak di Indonesia. Hal ini membuat mekanisme PTKP sebagai ‘satu faktor di balik rendahnya kontribusi pajak penghasilan individu kepada total pajak penghasilan di Indonesia’ (World Bank, 2019: 190). Maka dari itu, merevisi kebijakan PTKP dan memperluas dasar pengenaan pajak menjadi diperlukan demi membiayai sistem jaminan kesehatan universal.
Kedua, selain memperluas dasar pengenaan pajak kita, struktur pajak kita juga perlu dibuat menjadi lebih progresif. Artinya, sistem perpajakan kita menaruh beban pajak lebih besar kepada kelompok yang lebih mampu. Selain itu, pajak progresif ditujukan tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan pajak negara tetapi juga berupaya untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan konsentrasi kekayaan yang saat ini semakin merajalela. Menurut laporan Vice, sekitar 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai hampir setengah dari aset kekayaan nasional. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan menaikkan tingkat pajak penghasilan kepada kelompok kaya. Laporan dari OECD (2018:30) mencatat bahwa tingkat pajak marjinal untuk kelompok pendapatan menengah dan tinggi masih relatif rendah sehingga masih ada ruang untuk menaikkan tingkat pajak pada kelompok tersebut. Lebih lagi, kebijakan seperti wealth tax sebagaimana yang ditawarkan oleh ekonom Gabriel Zucman & Emmanuel Saez juga bisa menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pajak ke depannya.
Berdasarkan kedua pertimbangan tersebut, bagan 6 menunjukkan tawaran kebijakan pajak penghasilan bagi pekerja di sektor formal yang sekiranya memenuhi dua prinsip di atas. Jika dibandingkan dengan struktur pajak penghasilan yang lama (A), struktur pajak yang baru (B) memiliki dasar pengenaan pajak yang lebih luas sekaligus lebih progresif. Hal ini dilihat dari dimulainya dasar pengenaan pajak pada penghasilan pekerja formal di atas 2 juta rupiah per bulan yang—dengan upah pekerja formal di Indonesia rata-rata berjumlah 2.5 juta rupiah per bulan—mampu mencakup mayoritas pekerja formal di Indonesia sekaligus lebih progresif dengan lebih besarnya tingkat pajak pada kelompok penghasilan tinggi.
Bagan 6. Struktur pajak penghasilan di sektor formal di Indonesia
Terakhir, perlunya menerapkan semacam mekanisme earnings-related benefits, di mana mereka yang berada di strata menengah ke atas mampu menikmati layanan lebih berdasarkan pendapatan mereka. Adanya earnings-related benefits mungkin terdengar bertentangan dengan agenda jaminan sosial universal. Dalam jaminan sosial universal seharusnya setiap orang memiliki layanan yang sama (flat-rate benefits) tanpa ada perbedaan sama sekali. Akan tetapi, earnings-related benefits, secara paradoksikal justru diperlukan untuk mendorong solidaritas yang lebih luas untuk mendukung sistem jaminan sosial universal. Sebagaimana yang ditulis oleh Esping-Andersen, flat-rate benefits berpotensi menciptakan dualisme dalam sistem jaminan sosial karena kelompok mapan memilih untuk menggunakan asuransi swasta yang disediakan oleh pasar dengan kualitas lebih baik. Konsekuensinya, sistem jaminan sosial seperti ini akan menciptakan suatu keadaan di mana ‘yang miskin bergantung pada negara dan sisanya kepada pasar’ (Esping-Andersen, 1990: 25). Jaminan sosial universal dengan flat-rate benefits justru akan mereproduksi ulang dualisme yang dialami oleh JKN saat ini.
Oleh karena itu, sistem jaminan kesehatan universal di Indonesia perlu menetapkan layanan dasar (basic service) yang bisa digunakan oleh semua kalangan masyarakat, lalu menambahkan beberapa earnings-related benefits kepada strata menengah ke atas. Namun, penting untuk memastikan bahwa layanan dasarnya memiliki kualitas yang cukup tinggi sehingga pelayanan bagi strata menengah ke bawah tidak berbeda secara signifikan dengan strata menengah ke atas. Dengan demikian, kualitas layanan kesehatan publik bisa menjadi cukup tinggi dan membuat kelompok strata menengah-atas untuk tertarik menggunakannya ketimbang layanan kesehatan swasta. Hal inilah yang menjadi kunci kesuksesan dari welfare state sosial-demokratik seperti di negara-negara Nordik.
Hasil akhirnya adalah suatu sistem jaminan kesehatan yang universal dan komprehensif di mana “pekerja kasar dapat menikmati hak-hak serupa dengan pekerja kerah putih atau pegawai negeri sipil; semua strata dirangkul di bawah suatu program asuransi universal, tetapi tunjangan (benefits) dibagi berdasarkan pendapatan. Model ini mempersempit kompetisi pasar (crowds out the market), dan konsekuensinya membangun suatu solidaritas universal untuk mendukung welfare state. Semua menikmatinya; semua bergantung padanya; dan semua akan merasa terdorong untuk membayarnya” (Esping-Andersen, 1990: 28).
Menuju negara kesejahteraan?
Dampak sosial yang diakibatkan oleh wabah Covid-19 memperlihatkan keterbatasan dalam sistem jaminan sosial di Indonesia saat ini. Tidak memadainya infrastruktur jaminan sosial di Indonesia tidak hanya mempersulit upaya penanggulanan ketika mengalami krisis seperti ini, tetapi juga kurang mampu melindungi sebagian besar masyarakat dari kerentanan sosial yang dihadapi ketika keadaan ‘normal’. Oleh karena itu, membangun sistem jaminan sosial universal menjadi salah satu agenda penting untuk didorong di Indonesia ke depannya.
Tulisan ini berupaya untuk memperlihatkan keterbatasan dari sistem jaminan sosial di Indonesia dan perlunya untuk mendorong agenda jaminan sosial universal atau welfare state. Selain itu, tulisan ini juga berupaya untuk menjelaskan fondasi teoritis dari jaminan sosial universal dan memberikan sedikit gambaran mengenai kebijakan jaminan sosial universal yang perlu diadopsi di Indonesia. Harapannya, tulisan ini dapat memicu perdebatan lebih lanjut mengenai sistem jaminan sosial universal di Indonesia—termasuk mengenai persoalan teknis kebijakan, perdebatan teoritis, atau pun pengorganisiran politik untuk mendorongnya.
Meskipun begitu, kelas pekerja di Indonesia saat ini sedang dihadapkan oleh kekuatan kapital dan arus liberalisasi ekonomi yang cukup besar. Manifestasi mutakhir dari agenda kapital ini adalah rancangan undang-undang omnibus ‘Cipta Kerja’ yang berupaya salah satunya untuk memberangus aturan lingkungan hidup dan ketenagakerjaan demi memfasilitasi akumulasi modal. Dalam konteks ketenagakerjaan, dihapuskannya beberapa hak-hak buruh jelas akan memperlemah posisi tawar kelas pekerja vis-à-vis kapital baik dalam tempat kerja ataupun dalam kontestasi politik di jalanan melalui serikat buruh.
Di sisi lain, lembaga internasional dan ekonom arus utama mendorong sistem jaminan sosial di Indonesia untuk diperluas, walaupun bukan sampai dalam bentuk universal (World Bank 2020; OECD 2019). Mengingat oposisi lembaga keuangan internasional terhadap jaminan sosial universal, upaya mereka untuk mendorong pengembangan sistem jaminan sosial juga bisa dilihat sebagai bagian dari agenda liberalisasi ekonomi. Hal ini dikarenakan bahwa agenda tersebut berupaya mendorong jaminan sosial targeted alih-alih mendorong jaminan sosial universal. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jaminan sosial targeted cenderung tidak menentang struktur ekonomi-politik yang didominasi oleh kekuatan kapital melalui penetapan pajak progresif atau institusi ekonomi yang dapat mendistribusikan kekayaan secara lebih adil. Alhasil, jaminan sosial yang ditawarkan seakan hanya menjadi pelumas untuk membuat agenda liberalisasi ekonomi menjadi lebih mudah diterima.
Melihat kondisi seperti ini, posisi kelas pekerja memang tampak lebih sulit. Akan tetapi, agenda jaminan sosial universal bisa menjadi salah satu cara untuk menggalang kembali kekuatan politik kelas pekerja. Adanya suatu agenda kebijakan yang koheren dan berdampak secara langsung bagi khalayak banyak bisa menjadi suatu acuan bagi gerakan politik progresif untuk menggorganisir massa. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, jaminan sosial universal mampu mengikat kalangan masyarakat lebih luas ke dalam suatu kepentingan materiil yang sama. Maka dari itu, agenda untuk membangun jaminan sosial universal bisa dibingkai menjadu suatu ‘common good’ sehingga mampu menarik simpati politik masyarakat agar ikut terlibat dalam gerakan politik yang lebih terorganisir dan turut aktif berjuang untuk mendorongnya.
Hal ini tentu bukanlah hal yang mustahil. Dalam sejarahnya, agenda kebijakan kelas pekerja seperti welfare state sering kali menarik dukungan populer di luar dari gerakan buruh dan gerakan sosial-demokratik. Dalam kasus Indonesia, tekanan dari gerakan buruh dan masyarakat sipil yang tergabung dalam suatu aliansi Komite Aksi Jaminan Sosial menjadi salah satu faktor dari keberhasilan ditetapkannya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah memperluas kebijakan perlindungan sosial di Indonesia dan menciptakan JKN (Habibi 2016). Dengan demikian, aliansi antara gerakan buruh dan gerakan populer dalam mendorong agenda jaminan sosial universal perlu dilihat sebagai langkah awal dalam mendorong agenda kebijakan pro-pekerja sekaligus memperkuat gerakan politik kelas pekerja di Indonesia untuk ke depannya.
Namun, perlu ditekankan bahwa hanya dengan membangun sebuah welfare state—sistem jaminan sosial yang komprehensif dan universal—tidaklah cukup untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, terutama di negara pinggiran seperti Indonesia. Demi menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan berkeadilan, kebijakan jaminan sosial tidak bisa dilakukan terpisah dengan kebijakan-kebijakan di sektor lain—seperti kebijakan makro-ekonomi, industrial atau ketenagakerjaan (Mkandawire, 2010). Sebagaimana yang ditulis oleh ekonom Mariana Mazzucato (2018: 37): mendorong agenda ekonomi redistributif memang diperlukan, akan tetapi jauh lebih penting untuk mendorong suatu agenda ekonomi yang mampu ‘menciptakan sekaligus meredistribusikan’ kekayaan yang dihasilkannya. Singkatnya, demi menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan adil, agenda welfare state perlu diiringi oleh agenda pembangunan ekonomi progresif.
Bagi negara pinggiran seperti Indonesia, agenda pembangunan progresif diperlukan demi mengembangkan kapasitas produksi domestik dan meningkatkan kesejahteraan kelas pekerja. Lebih spesifiknya, ia “mesti memperhatikan bagaimana sinergi antar-sektoral dapat dicapai dan dimaksimalkan serta bagaimana memastikan hasil dari kemajuan ini didistribusikan secara lebih adil…baik di kawasan perkotaan maupun pedesaan” (Kay 2009: 117). Maka dari itu, beberapa strategi pembangunan seperti kebijakan industrial (Andreoni & Chang 2016), menggunakan investasi publikuntuk mengarahkan riset dan pengembangan teknologi (Mazzucato 2016, 2018), menciptakan hubungan dinamis antara berbagai sektor ekonomi seperti industri dan pertanian (Kay, 2009), hingga menggunakan social wealth fund untuk menguasai aset-aset ekonomi strategis di bawah kendali publik (Bruenig 2018) menjadi beberapa cara potensial yang patut dipertimbangkan untuk mengembangkan kapasitas produksi domestik, menciptakan lapangan pekerjaan formal dan layak, meningkatkan posisi tawar kelas pekerja, dan menciptakan distribusi kekayaan yang lebih adil dalam masyarakat.
Konsekuensinya, paduan antara kebijakan pembangunan ekonomi progresif dan jaminan sosial universal akan menciptakan suatu “lingkaran kebajikan” (virtuous cycle) di mana “semakin besar proporsi penduduk yang menjadi pekerja formal dan berkontribusi kepada program jaminan sosial serta di saat bersamaan membayar lebih banyak pajak” sehingga “kehidupan para pekerja dapat dilindungi dan pemerintah mampu menganggarkan lebih banyak uang pajak untuk jaminan sosial bagi individu yang tidak mampu bekerja” (OECD, 2019:20). Artinya, sinergi antara welfare state dengan strategi pembangunan ekonomi progresif saling mendukung satu sama lain dan mendorong agar keadilan distributif dalam masyarakat memungkinkan untuk dicapai.
Pandemi Covid-19 memperlihatkan bahwa struktur ekonomi-politik lama tidak mampu menghadapi krisis semacam ini. Tidak hanya itu, dengan lebih mementingkan kepentingan modal ketimbang keselamatan masyarakat dan memitigasi penyebaran Covid-19, struktur tersebut bahkan memperparah krisis yang terjadi. Jika dibiarkan, maka konsekuensi jangka panjang dari krisis ini hanya akan menempatkan kelas pekerja dalam posisi yang jauh lebih sulit. Maka dari itu, krisis ini perlu digunakan sebagai ‘kesempatan’ untuk memikirkan ulang ide-ide lama sekaligus menawarkan gagasan-gagasan baru, konkrit, dan relevan dengan situasi masyarakat kita, terutama mengenai bagaimana suatu ekonomi dapat dijalankan untuk mencapai masyarakat yang lebih adil. Arundhati Roy, sastrawan dari India, menulis bahwa pandemi Covid-19 merupakan sebuah ‘gerbang antara dunia yang satu dan berikutnya.’ Persoalannya adalah, apakah kita hanya tetap berkutat di dunia lama, dengan pemikiran dan imajinasi usang, atau berjuang untuk mencapai tatanan masyarakat baru.
Daftar Pustaka
Andreoni, Antonio & Ha-Joon Chang (2016) “Industrial policy and the future of manufacturing.” Economia e Politica Industriale 43 (4): 491–502.
Agustina, Rina, Teguh Dartanto, Ratna Sitompul, Kun A. Susiloretni, Endang L. Achadi, Akmal Taher, Fadila Wirawan et al. (2019) “Universal health coverage in Indonesia: concept, progress, and challenges.” The Lancet 393 (166): 75-102.
Bruenig, Matt (2018) Social Wealth Fund for America. People’s Policy Project.
Devereux, Stephen, and Rachel Sabates-Wheeler (2004) “Transformative social protection.” IDS Working Paper 232. Brighton: Institute of Development Studies.
Esping-Andersen, Gøsta (1985)Politics against Markets: The Social Democratic Road to Power. New Jersey: Princeton University Press.
Esping-Andersen, Gøsta (1990) The Three Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Polity.
Gough, I. (1979) The Political-Economy of Welfare State. London: MacMillan.
Jacques, Olivier & Alain Noël (2018) “The case for welfare state universalism, or the lasting relevance of the paradox of redistribution.” Journal of European Social Policy 28 (1): 70-85.
Kangas,Olli &Joakim Palme (2009) “Making social policy workfor economic development:the Nordic experience.” Int J Soc Welfare 18 (1): 62-72.
Kay, Cristóbal (2009) “Development strategies and rural development: exploring synergies, eradicating poverty.” The Journal of Peasant Studies 36 (1): 103-137.
Kidd, Stephen (2015) “The Political Economy of “Targeting” of Social Security Schemes.” Pathways’ Perspectives on Social Policy in International Development 19, Development Pathways.
Kidd, Stephen & Diloá Athias (2019) Hit and Miss: An assessment of targeting effectiveness in social protection. Development Pathways Working Paper.
Kidd, Stephen & Daisy Sibun (2020) “What has the Covid-19 crisis taught us about social protection?” Pathways’ Perspectives on Social Policy in International Development 29, Development Pathways.
Korpi, Walter & Joakim Palme (1998) “The Paradox of Redistribution and Strategies of Equality: Welfare State Institutions, Inequality, and Poverty in the Western Countries.” American Sociological Review 63 (5): 661-687.
Kwon,Huck-Ju, Thandika Mkandawire&Joakim Palme (2009) “Introduction: social policyand economic developmentin late industrializers.” Int J Soc Welfare 18 (1): 1 – 11.
Matthews, David. (2018) “The Working-Class Struggle for Welfare in Britain.” Monthly Review. 69(9): 33-45.
Mazzucato, Mariana (2016) “From market fixing to market-creating: a new framework for innovation policy.” Industry and Innovation 23 (2): 140-156.
Mazzucato, Mariana (2018) The Entreprenurial State: Debunking Public vs. Private Sector Myths. London: Penguin.
Mkandawire, Thandika (2005) “Targeting and Universalism in Poverty Reduction.” Social Policy and Development Programme Paper No. 23, United Nations Research Institute for Social Development: Washington D.C.
Mkandawire, Thandika (2010) “How the New Poverty Agenda Neglected Social and Employment Policies in Africa.” Journal of Human Development and Capabilities: A Multi-Disciplinary Journal for People-Centered Development 11 (1): 37-55.
OECD (2018) OECD Economic Surveys: Indonesia overview. Paris: OECD Publishing.
OECD (2019) Social Protection System Review of Indonesia. Paris: OECD Publishing.
Pritchett, Lant (2005) “A Lecture on the Political Economy of Targeted Safety Nets.” Social Protection Discussion Paper Series No. 0501. Social Protection Advisory Service. World Bank: Washington D.C.
Sen, Amartya (1995) “The political economy of targeting.” In Public Spending and the Poor: Theory and Evidence edited by D. van de Walle & K. Nead. Baltimore: John Hopkins University Press.
World Bank (2012) Targeting Poor and Vulnerable Households in Indonesia. Washington D.C.: The World Bank.
World Bank (2019) Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class. Washington D.C.: The World Bank.
World Bank (2020) Investing In People: Social Protection For Indonesia’s 2045 Vision. Washington D.C.: The World Bank.
Yuda, Tauchid Komara (2018) “Welfare regime and the patrimonialstate in contemporary Asia: visiting Indonesian cases.” Journal of Asian Public Policy 12 (3): 351-365.
Untuk sakitpun kita tidak diperbolehkan..beginilah hidup di zaman rezim