
Masifnya pembukaan lokasi wisata baru di wilayah pedesaan menunjukkan kenyataan yang pahit atas perjalanan panjang desa-desa di Indonesia. Meskipun pariwisata menyumbang pendapatan negara yang besar, sektor ini belum mampu mengatasi masalah besar yang dihadapi banyak orang di pedesaan, yaitu pemerataan akses untuk mendapatkan uang tunai. Tulisan ini membahas sedikit bagaimana pembangunan pariwisata di Indonesia yang belum (kalau bukan tidak) berpihak pada kaum miskin pedesaan.
Sejak pengalaman manis pada tahun 1980-an, negara terlihat masih tetap memiliki obsesi yang sama akan pertumbuhan ekonomi di sektor pariwisata. Kondisi demikian semakin buruk karena mendesaknya kebutuhan uang tunai di pedesaan. Ironisnya, semakin negara menjadikan pariwisata sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan ekonomi di pedesaan, ide ini justru semakin mempertegas permasalahan di pedesaan dan tidak pernah memecahkannya.
Tourism Boom
Perkembangan pariwisata di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak era kolonial. Hal ini berlanjut pada pembangunan pariwisata skala besar pada tahun 1960-an ketika banyak hotel mulai dibangun untuk mengakomodasi para tamu dari luar negeri (Hampton & Jayaceha dalam Kinseng et al, 2018). Kemudian pada tahun 1980-an, sektor pariwisata menjadi salah satu penyumbang pemasukan yang berarti bagi Indonesia disamping produksi minyak bumi (Booth, 1990). Sejak itu pembangunan pariwisata mulai menggeliat sejalan dengan sektor bisnis lain yang padat modal.
Secara mengejutkan, pariwisata menjadi sektor yang cukup berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi pada saat itu. Pertumbuhan ini terlihat dari data statistik yang menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan mancanegara sepanjang dekade 1980-an terus mengalami peningkatan (Booth, 1990). Adanya peningkatan ini menurut Booth dipengaruhi oleh kebijakan devaluasi yang dilakukan pada tahun 1983 dan 1986 untuk mendatangkan sumber pendapatan bagi negara selain dari sektor minyak bumi. Menurut data statistik yang diolah berdasarkan data BPS dan BKPM sepanjang tahun 1968 – 1990, investasi yang tercatat untuk hotel dan restoran sebagai akomodasi penunjang pariwisata didominasi oleh modal dari dalam negeri, lebih rinci yaitu 2.4 % untuk investasi dari luar negeri dan 3.8% dari dalam negeri untuk total investasi yang terlaksana pada sektor hotel dan restoran dari jumlah seluruh investasi yang ada (BKPM; BPS dalam Booth, 1990).
Pembangunan pariwisata boleh jadi dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan ketergantungan ekonomi Indonesia dari ekspor minyak bumi. Para ekonom yang meneliti ekonomi Indonesia mengatakan bahwa pembangunan sektor pariwisata ini sebagai upaya ekspansi di luar sektor minyak bumi (Booth, 1990; Dahles, 1998) untuk meningkatkan pendapatan secara nasional. Konotasi dari kata ekspansi ini lebih menyiratkan bahwa pariwisata masih tetap dibangun dengan orientasi pertumbuhan ekonomi secara umum atau diukur dengan acuan nasional dan belum menyentuh untuk pemeretaan ekonomi atau keberpihakan pada kaum miskin. Artinya memang ekspansi ini dimaksudkan untuk memperluas sektor-sektor yang akan memberikan pemasukan kepada negara secara umum.
Mendorong pembangunan pariwisata
Jika manisnya pariwisata mulai dirasakan oleh pemerintah ketika pada tahun 1980-an yang ditandai oleh tourism boom, maka apa yang terjadi belakangan ini seharusnya bukanlah suatu gejala baru dalam perekonomian Indonesia. Namun ada kecenderungan bahwa pengembangkan sektor pariwisata belakangan ini menjadi jauh lebih ambisius daripada sebelumnya. Terutama untuk mengatasi sulitnya mencari pekerjaan dengan upah di pedesaan.
Hampir tidak dapat terelakan lagi bahwa penetrasi pasar dan penggunaan uang dalam kehidupan sehari-hari terjadi di setiap sudut negara ini. Alasan penggunaan dan keterikatan masyarakat dengan uang tentu erat dengan pertukaran komoditas. Uang kemudian menjadi suatu alat ukur nilai yang digunakan utamanya sebagai medium dalam sirkulasi pertukaran komoditas (Marx, 1887: 67 – 77). Penggunaan uang ini juga sangat dipengaruhi oleh keadaan sosio-kultural pada sebuah wilayah dan juga berkaitan dengan regulasi sistem pemerintahan yang berlaku (Marx, 1887:84).
Pertukaran kebutuhan barang/komoditas hari ini bukan satu-satunya kondisi yang mengharuskan orang mencari uang lebih giat. Adanya keharusan untuk turut serta dalam dunia “modern” justru memperdalam kondisi masyarakat dalam kebutuhan uang. Sayangnya, peningkatan kebutuhan uang tunai di wilayah pedesaan tidak dibarengi dengan pemerataan akses bagi masyarakat yang membutuhkannya. Alih-alih memberikan akses untuk mendapatkan uang tunai dengan membuka lapangan pekerjaan (Li, 2011), negara justru “mengembalikan” keuntungan kepada masyarakat dengan cara melanggengkan kompetisi semu. Seperti memperbaiki atau melebarkan jalan raya antar kabupaten yang tentu saja akan semakin menguntungkan orang-orang dengan kapital besar.
Bagi sebagian kalangan, pariwisata digadang-gadang mampu berkontribusi dalam memecahkan masalah tersebut. Slogan untuk peningkatan ekonomi di pedesaan hampir selalu muncul ketika bersinggungan dengan pariwisata (lihat Luchman Hakim et al, 2012) karena logika sustainable tourism (dan development pada umumnya) yang menghubungkan kondisi (atau tepatnya valuasi) ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan. Tetapi perkembangan pariwisata itu sendiri pada dasarnya tidak pernah bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat pada tingkat tapak. Kalaupun ada itikad itu, hanya sebatas partisipasi semata dengan hanya menciptakan pekerja yang rentan pada lini informal.
Pertumbuhan pariwisata pasca tourism boom masih tetap berlangsung. Beberapa laporan menyebutkan tren positif tersebut lebih dari satu dekade (Gunawan, 1996; Cochrane, 1997; Dahles, 1998; LPEM-FEBUI, 2018). Hal ini berdampak secara positif juga pada perekonomian Indonesia secara umum. Namun di sisi lain, tren positif tersebut tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi pada tingkat tapak. Konsekuensi dari tren positif dan dipadukan dengan visi pemerintah untuk meningkatkan produktivitas nilai ekonomi adalah semakin rentannya para pekerja di sektor informal yang selama ini diserap oleh sektor pariwisata (Dahles, 1998).
Sektor pariwisata yang cenderung memperlihatkan keuntungan sepihak nyatanya masih tetap digaungkan sampai sekarang. Salah satu studi menyoroti bahwa praktik pembangunan pariwisata skala besar di Bali yang telah dijalankan sejak tahun 1970-an melalui REPELITA V nyatanya memiliki dampak buruk secara lingkungan dan sosial, atas dasar itu maka pemerintah harus melakukan strategi lain untuk mengatasinya (Wall & Long dalam Dahles, 1996).
Dalam sebuah pertemuan para ahli pariwisata internasional tahun 1995 di Yogyakarta, Dirjen Pariwisata saat itu mendorong sebuah strategi baru untuk pengembangan pariwisata Indonesia. Strategi itu adalah mendorong usaha wisata skala kecil tetapi tetap harus sesuai dengan regulasi dan peraturan pemerintah. Upaya ini dilakukan untuk 3 tujuan, yaitu tetap menjaring turis luar negeri yang belakangan mencari alternatif pariwisata skala besar, meningkatkan partisipasi lokal, serta berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan (Dahles, 1998).
Partisipasi yang diharapkan nyatanya memang benar terjadi. Namun partisipasi ini terkesan seperti dipaksakan. Misalnya seperti kegiatan ekoturisme di Berau yang diteliti oleh Anderson (2019). Kegiatan pariwisata di desa itu merupakan salah satu program dibawah organisasi pengelolaan hutan lokal yang sebenarnya hanyalah formalitas dari kepentingan suatu organisasi internasional untuk menguasai hutan di desa tersebut atas nama konservasi. Anderson menyebut ini sebagai formalitas sebab banyak orang tidak mendapatkan manfaat secara langsung dari pariwisata. Karena tidak mendapatkan untung dari kegiatan itu, masyarakat kemudian cenderung melakukan kegiatan sembunyi-sembunyi untuk berkonsolidasi dengan perusahaan kelapa sawit agar perusahaan tersebut mau menanami kebun-kebun mereka di perbatasan desa. Tujuannya tentu saja demi mendapatkan uang tunai yang hendak mereka gunakan sehari-hari.
Gaung pariwisata pada awalnya sering didukung oleh masyarakat di pedesaan. Negara tampaknya begitu mengerti bahwa menciptakan lokasi-lokasi wisata baru bagi masyarakat setempat sering dianggap terbukanya peluang untuk bekerja, tetapi di tempat lain. Ini karena turis sering diasosiasikan sebagai orang yang memiliki kemampuan finansial baik (Chan, 2017). Selain itu, pembentukan lembaga-lembaga formal untuk mengurus pariwisata dalam satu lokasi (satu desa misalnya) membuka peluang bagi segelintir orang yang hendak menguasai sumber pendapatan di desa tersebut lewat koalisi dengan kelompok-kelompok dari luar (R. Fletcher et al, 2019). Hasilnya jelas bahwa ide untuk membangun lokasi-lokasi pariwisata di pedesaan tentu mendapat respon baik dari masyarakat tetapi di sisi lain manfaatnya hanya dirasakan oleh segelintir orang saja.
Penutup
Diskursus pariwisata sebagai alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan banyak dialamatkan ke pedesaan di berbagai penjuru dunia. Beberapa studi menunjukkan bahwa pariwisata masih belum mampu mengurangi kemiskinan dan justru memperlebar jurang ketimpangan (di Nepal lihat Nepal, 2007; di Negara Kepulauan Pasifik lihat Scheyvens & Momsen, 2008; di China lihat Mingyu Yang et al, 2009). Beberapa bukti ini setidaknya menunjukkan suatu kabar baik, yaitu pariwisata yang tidak memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat pedesaan tidak hanya terjadi di Indonesia.
Pembahasan mengenai pariwisata sebenarnya banyak dilekatkan dengan tema green grabbing. Proses ini mungkin menjadi tahapan yang paling “halus” dalam berbagai bentuk land grabbing. Hal ini juga ditandai dari koalisi dan aliansi yang sebelumnya sangat bertentangan dan kini cenderung bergandengan tangan, seperti pebisnis dengan ornop, konservasionis dengan pelaku usaha pertambangan, atau pengusahaan ekoturisme dengan militer atas nama valuasi lingkungan (James Fairhead et al, 2012). Kemungkinan bahwa banyak praktik pariwisata mulai dari skala kecil hingga besar bernafaskan green grabbing sangat terbuka saat ini. Pemantauan kritis atas pembangunan pariwisata memainkan peran penting dan harus tetap dilakukan untuk mencegah “permainan” yang dilakukan untuk mengeksklusi masyarakat dari sumber penghidupannya.
Sebagai penutup, negara tampaknya lebih senang mencari jalan pintas dibandingkan alternatif untuk memecahkan masalah di pedesaan. Sulitnya lapangan kerja dengan upah yang layak serta masalah akses untuk uang tunai secara umum menjadi pekerjaan yang mungkin tidak akan pernah diselesaikan. Hal ini dapat terlihat ketika belakangan pembangunan pariwisata kembali pada metode padat modal. Seperti membangun Kawasan Ekonomi Khusus untuk pariwisata. Ini yang membuat negara justru tidak terlihat memiliki sesuatu kebaruan atau bahkan keseriusan untuk memecahkan masalah ekonomi pada tingkat tapak secara khusus. Akhirnya, tidak menutup kemungkinan bahwa pembangunan pariwisata di pedesaan hanya menyisakan kabar buruk bagi orang-orang lemah dan miskin karena tergerus oleh obsesi meningkatkan pendapatan negara.
Referensi
Booth, Anne. 1990. The Tourism Boom in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 26:3, 45-73,
Carol Chan. 2017. The politics of leisure and labor mobilities: discourses of tourism and transnational migration in Central Java, Indonesia. Mobilities,
Cochrane, J. 1997. Tourism and conservation in Bromo Tengger Semeru national park. University of Hull, UK
Dahles, Heidi. 1998. Tourism, Government Policy, and Petty Entrepreneurs in Indonesia. South East Asia Research, 6:1, 73-98
Gunawan, Myra P. 1996. Domestic Tourism in Indonesia. Tourism Recreation Research, 21:1, 65-69,
James Fairhead, Melissa Leach & Ian Scoones. 2012. Green Grabbing: a new appropriation of nature?. Journal of Peasant Studies, 39:2, 237-261
Li, Tania M. 2011. Centering labor in the land grab debate. Journal of Peasant Studies, 38(2): 281-298.
LPEM-FEBUI. 2018. Laporan Akhir Kajian Dampak Sektor Pariwisata Terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta. Kementrian Pariwisata.
Luchman Hakim, Marno Soemarno & Sun-Kee Hong. 2012. Challenges for conserving biodiversity and developing sustainable island tourism in North Sulawesi Province, Indonesia. Journal of Ecology Field Biology, 35(2): 61-71
Marx, Karl. 1887. Capital: A Critique of Political Economy Volume I (English translated). Moscow, USSR. Progress Publisher
Mingyu Yang, Luc Hens, Xiaokun Ou & Robert De Wulf. 2009. Tourism: An Alternative to Development?. Mountain Research and Development, 29(1): 75-81
Nepal, Sanjay K. 2007. Tourism and Rural Settlements Nepal’s Annapurna Region. Annals of Tourism Research, 34(4): 855–875
Regina Scheyvens & Janet H. Momsen. 2008. Tourism and Poverty Reduction: Issues for Small Island States, Tourism Geographies, 10:1, 22-41
Rilus A. Kinseng, Fredian Tonny Nasdian, Anna Fatchiya, Amir Mahmud & Richard J. Stanford. 2018. Marine-tourism development on a small island in Indonesia: blessing or curse?. Asia Pacific Journal of Tourism Research, 1062-1072
Robert Fletcher, Wolfram H. Dressler, Zachary R. Anderson & Bram Büscher. 2019. Natural capital must be defended: green growth as neoliberal biopolitics, The Journal of Peasant Studies, 46:5, 1068-1095,