Pembangunanisme di Papua dan Belenggu Kekerasan

398
VIEWS

Baca Juga:

Kredit gambar: Voaindonesia.com

Dalam kunjungannya ke Papua beberapa waktu lalu, seorang kawan menghadiri suatu pelatihan NGO dengan instruktur dari Belanda yang ditujukan bagi beberapa perwakilan masyarakat Papua. Pada saat sesi permainan, sang instruktur ini memberi beberapa contoh tertentu dan para peserta diminta untuk menjawab apakah itu bentuk kekerasan atau tidak. Ketika sang instruktur memberi contoh pembakaran mobil polisi, mayoritas peserta menolak untuk menganggapnya kekerasan. “Cuma mobil to? Kitorang kan dipukuli oleh mereka. Bakar sudah mereka pu mobil pu kantor!”

1 Desember kemarin merupakan salah satu peristiwa bersejarah bagi rakyat Papua. Hari itu diperingati sebagai tanggal di mana bendera bintang kejora pertama kali dinaikkan pada tahun 1961, sebagai ekspresi ‘kemerdekaan’ Bangsa West Papua.  Tahun ini, berbagai aksi peringatan dilakukan di beberapa kota di Indonesia, sekaligus sebagai “unjuk rasa” untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri. Selain berhadapan dengan polisi, aksi tersebut di beberapa tempat juga berhadapan dengan beberapa ormas yang mengatasnamakan nasionalisme. Dan bisa dibilang, hampir semua argumen penolakan atas aksi 1 Desember lalu sama sekali menutup mata dari apa yang dialami rakyat West Papua di tanah airnya. Sebagai ilustrasi, menurut catatan Komnas HAM akhir 2017 lalu, kekerasan di Papua justru meningkat, dari mulai mogok kerja oleh pekerja PT Freeport hingga berbagai peristiwa penembakan.

Rangkaian peristiwa yang terpisah namun terkait, seperti digambarkan di atas, tentu membuat kita mempertanyakan kompleksitas ‘kekerasan’. Subjektivitas dan pemaknaannya bersinggungan dengan kemarahan rakyat dan kerakusan profit. Namun, lagi-lagi, sesungguhnya ini bukan pertanyaan moral, dan sama sekali tak tepat dan elok hanya ditanggapi dengan argumen moral semata.

Papua dan Papua Barat adalah dua provinsi yang terus mengalami kekerasan sejak integrasinya ke dalam NKRI tahun 1969. Sampai saat ini, dua teritori itu masih seringkali dilabeli sebagai wilayah dalam ancaman separatisme dan menjadi target dari pendudukkan militer pemerintah Indonesia. Padahal yang terjadi, apa yang dituntut oleh rakyat West Papua semata-mata adalah seruan keadilan. Namun, seringkali respon pemerintah bukannya menyelesaikan masalah, justru menambah problem baru. Status otonomi khusus yang diterima kedua provinsi tersebut pasca-Orde Baru malah telah menciptakan elit-elit lokal baru sehingga menambah relasi kekuasaan yang semakin timpang. Hal ini diperparah oleh keberadaan PT Freeport yang terus mengeruk sumber daya alamnya dan melakukan kekerasan sistemik terhadap rakyat Papua. Namun, kompleksitas kekerasan yang terjadi tersebut acapkali tidak dilihat sebagai problem struktural. Penelitian yang dilakukan oleh UNDP dan USAID (Agustus 2016) tentang kekerasan berbasis gender di Papua misalnya, hanya melihat isu ini sebagai akibat dari ideologi maskulin laki-laki Papua dan kurangnya akses serta penyediaan layanan publik. Tidak ada pengakuan bahwa kekerasan berbasis gender juga diakibatkan oleh perampasan hak-hak dasar mereka yang berdampak riil pada relasi sosial dan keluarga masyarakat Papua. Penindasan terus berlanjut dan berbagai cara untuk menantang sistem dibalas dengan intimidasi yang brutal.

Diskursus pembangunan dan retorika demokrasi kerap mengutuk kekerasan sebagai elemen yang tidak demokratis atau milik sekelompok orang yang ‘kurang beradab’. Jika kita tengok contoh pelatihan NGO di Papua di atas, kisah tersebut justru mencerminkan konfrontasi percakapan oleh para peserta Papua sebagai bentuk perlawanan. Bukanlah sang instruktur Belanda yang datang ke negeri mereka untuk ‘mengajari’ mereka cara menjadi warga negara yang baik dan non-kekerasan. Alih-alih, justru para peserta Papua inilah yang mengajari sang ‘tamu asing’ tentang apa itu keadilan berdasarkan kondisi-kondisi material mereka yang riil.

Editorial ini tidak hendak membenarkan gagasan untuk membakar mobil atau kantor, melainkan mengakui bahwa perlawanan rakyat Papua adalah bagian dari debat kritis tentang kekerasan di dalam rezim pembangunan arus utama beserta trayektori sejarahnya dengan kolonialisme dan kapitalisme. Ragam persinggungan peristiwa di dunia telah membentuk kelahiran diskursus pembangunan sejak pasca Perang Dunia II. Partikularitas dari momentum politik telah mengukir jalan bagi berbagai kelompok perlawanan dan gerakan rakyat, semisal revolusi di Perancis (1848), Rusia (1917), perang untuk kemerdekaan dari kolonialisme di banyak negara Dunia Ketiga (Selatan), kemunculan Zapatista di tahun 1990an, hingga Arab Spring beberapa tahun lalu. Pada masa dimana neoliberalisme nyaris tidak tergoyahkan seperti hari ini, kita dibuat percaya bahwa kekerasan oleh rakyat patut dikutuk dan kekerasan hanya absah jika dilakukan oleh negara dan aparatusnya. Sementara kekuatan militer negara-negara maju dilengkapi oleh drone, satelit, dan teknologi canggih untuk menginjeksikan kekuasaannya di penjuru dunia seperti di Afganistan, Irak, dan Yaman, negara-negara lain tersaruk bertarung di dalam wilayah teritorinya sendiri, atau antar-negara, dengan persenjataan yang mereka dapat dari negara-negara yang memiliki kompleks industri militer.

Peningkatan fenomena Islamofobia, kekerasan terhadap minoritas dan imigran yang terjadi di AS, Inggris dan berbagai negara Eropa beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa kekuasaan ‘pembangunanisme’ dan ‘demokrasi’ dinarasikan oleh kekuasaan elit. Caranya adalah mengadudomba masyarakat kelas menengah dan kelas pekerja dengan memunculkan isu bahwa kaum imigran mencuri pekerjaan warga kulit putih, dan kaum Muslim adalah teroris yang ingin menghancurkan Barat.  Di lain sisi, AS dan Eropa adalah jantung kapitalisme dan kolonialisme yang sering diagung-agungkan dalam imaji mental inlander kita sebagai negeri yang indah dengan warga kulit putih yang ‘bening’, bangunan-bangunan megah dan instagrammable. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Costas Lapavitsas, Uni Eropa adalah institusi neoliberal yang rasis, kontradiktif dan sedang mengalami krisis akut. Di Indonesia, sebagian kita justru mengatasnamakan heroisme nasionalisme dan Islam untuk menindas ‘kelompok lain’. Kita lupa bahwa perlahan apa yang kita semua miliki bersama sebagai rakyat sedang dilucuti oleh kekuatan pemodal.  Keberhasilan pembangunanisme dalam negara-negara berkembang, menurut Vivek Chibber (wawancara di Jacobin, 2015), bergantung pada kelas kapitalis domestik dan kepatuhannya pada tekanan Barat untuk melakukan liberalisasi.

Kemarahan yang diekspresikan oleh rakyat Papua adalah juga bagian dari krisis global saat ini. Banyak elemen masyarakat yang tertindas menyerukan keadilan, namun alih-alih memunculkan revolusi dan perubahan sistem, pemerintah sayap kanan dan populis justru mengambil peluang ini untuk muncul sebagai penyelamat, sebagaimana yang terjadi di AS, Hungaria, Brazil, Filipina, hingga India. Di banyak negara, rezim pembangunan menormalisasi kekerasan dengan menampakkan wacana ‘demi kebaikan bersama’, diantaranya adalah penggusuran kaum miskin kota atas nama perbaikan tata kota dan perampasan lahan kaum adat atas nama modernisasi pertanian. Ekspansi kapitalis itu sendiri adalah sistem yang terus mereproduksi diri yang juga menciptakan konflik dan perang. Aksi damai, gerakan okupasi, dan ragam bentuk mobilisasi massa menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran publik dan solidaritas bersama. Tetapi, sebagaimana kita saksikan, dalam kasus Papua, mereka bahkan tidak punya ruang ‘legal’ untuk melakukan protes.

Analisis dari relasi antagonisme antar elemen di era neoliberalisme ini penting untuk memahami bagaimana mesin akumulasi kapital bekerja di dalam negara dan aparatus ideologinya terhadap mayoritas warga dunia. Tantangannya adalah pendekatan sejarah terhadap dikotomi ini tidak cukup, khususnya dalam dinamika kelas saat ini yang juga ada di dalam masyarakat, serta lapisan penindasan yang dialami lintas ras, gender, atau etnis. Suatu riset empirik untuk melihat problematika kekerasan, sebagaimana di Papua, harus dilakukan secara radikal. Ibaratnya, tak cukup hanya melihat daun dan batang pohon problem saja, melainkan mencabut pohon tersebut dan melihat akarnya.

Di banyak kasus, imperialisme ekstraktif – yaitu pengerukan alam oleh penguasaan asing (dan negara) – telah menciptakan perlawanan masyarakat lokal atau pribumi yang mempertahankan wilayah mereka. Ironisnya, rakyat justru berhadapan dengan aparat negara yang hendak mengambil alih lokasi melalui kekerasan. Ragam krisis ini perlu dianggap sebagai bagian dari totalitas masyarakat kapitalis. Analisis atas kekerasan perlu dilakukan dengan perspektif struktural dan agensi, sebagai kekuatan sistematis yang disebut David Harvey sebagai ‘humanisme revolusioner’. Perdebatannya bukan tentang definisi atau penggunaan kekerasan per se, melainkan melampaui klise dan mengakui bobot sejarah yang dipikul oleh perjuangan manusia di seluruh dunia.

Kita semua mendambakan perdamaian, namun masyarakat yang damai tidak dapat diraih dengan penindasan atas manusia lain. Jika semua yang kita miliki – tanah, air, ketahanan pangan, akses ke pendidikan dan kesehatan – perlahan direnggut atau diprivatisasi di tengah kondisi ketidakmenentuan kerja, jika penjinakkan atas perlawanan melalui berbagai program pembangunan tidak menantang akar masalahnya, jika cara-cara advokasi dibatasi dan didesain untuk dilakukan lewat saluran ‘demokratis’ di bawah aliansi negara, lembaga donor internasional, dan korporasi, lantas apa yang tersisa bagi kita untuk bergerak dan membebaskan rantai belenggu ini?

 

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.