Menghantam Pagar Kekuasaan: Cerita Warga Sukamulya Menolak Bandara Internasional

749
VIEWS
Foto oleh Muhammad Azka Fahriza

“Nama saya Bambang”, demikian ia memperkenalkan namanya. Nama lengkapnya Bambang Nurdiansyah. Meski nampak murung dan menahan kesedihan di tenggorokan, suara baritonnya terdengar jernih. Ia berbicara Bahasa Indonesia formal nyaris sempurna—hampir tanpa tersisipi kosa-kata Sunda—dan gemar menggunakan kalimat langsung untuk bercerita dengan artikulasi terjaga.

Mendung serupa terlihat menggantung di wajah warga Desa Sukamulya yang lain. Mereka seperti terkurung akibat pendudukan selama tiga hari oleh aparat keamanan sejak bentrok antara warga dan aparat pada 17 November 2016 yang menyita pemberitaan di level nasional. Dan perasaan sepi dan pedih lantaran ditinggalkan para aktivis dan “dikhianati” Kantor Staf Kepresidenan (KSP).

Bentrokan itu sendiri adalah babak terbaru dari sejarah panjang penolakan rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di atas 11 desa di Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka yang terjadi sejak tahun 2004. Sukamulya, yang sering disebut sebagai benteng terakhir perlawanan warga, adalah desa ketujuh yang akan diratakan untuk proyek lanjutan pembangunan bandara.

Sore itu hari Minggu, tanggal 19 Februari 2017. Bersama Muhammad Al-Fayyadl, beberapa kawan dari Front Nahdliyyin Sumber Daya Alam (FNKSDA) Cirebon, dan beberapa kyai muda dari Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, saya bertemu dengan mereka di salah satu musala. Kami sedang membicarakan rencana pembentukan aliansi korban infrastruktur di Jawa yang sedianya akan diinisiasi oleh FNKSDA ketika Henri Susana Kalangi, salah satu tokoh awal gerakan tolak BIJB, memperkenakan Bambang secara khusus kepada kami. “Dia adalah juru bicara kami,” katanya.

Sekilas tidak ada yang istimewa dari sarjana teknik mesin lulusan Sekolah Tinggi Nasional Jogjakarta ini. Sebagaimana warga yang lain, lelaki 34 tahun ini lebih banyak diam, sampai kesempatan datang diberikan kepadanya. Namun, belakangan saya tahu kalau penunjukan dia sebagai juru bicara bukan tanpa alasan. Bambang demikian fasih membincang konflik lahan yang melibatkan desanya; mengisahkan kronologi, mengurai kekusutan masalah di seputar konflik, dan menjelaskan kepada saya tentang duduk persoalan sebenarnya dari rencana pembangunan bandara yang mengancam desanya. Demikianlah malam itu, bakda pertemuan, saya mewawancarai Bambang di serambi Musala dalam sebuah wawancara yang tergesa-gesa karena kami harus mengejar kereta terakhir di Stasiun Kejaksa Cirebon, yang akan mengantarkan Muhammadl Al-Fayyadl kembali ke Probolinggo.

A (Azka): Bisa Anda jelaskan, sejak kapan permasalahan akibat rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat mulai muncul di Desa Sukamulya dan desa-desa sekitarnya? Apa yang sebenarnya membuat warga Sukamulya resah dan melawan?

B (Bambang): Sukamulya mulai bermasalah dengan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) ini pada tahun 2004. Waktu itu Kepala Desa Sukamulya yang dijabat oleh Ibu Roana menandatangani persetujuan bahwa Desa Sukamulya siap digusur. Warga Desa Sukamulya (dianggap) siap merelakan tanahnya untuk digunakan sebagai lahan pembangunan BIJB dengan adanya persetujuan dari kepala-kepala Desa. Sebelas Desa di Kecamatan Kertajati, salah satunya Desa Kertajati, menandantangani persetujuan. Ini dijadikan sebagai acuan keluarnya surat keputusan menteri no. 34 tahun 2005, di mana dalam surat keputusan tersebut, Desa Sukamulya dimasukkan sebagai lokasi pembangunan BIJB oleh Menteri Perhubungan waktu itu, Bapak Hatta Rajasa.

Sejak saat itulah Sukamulya mulai memanas. Warga yang tidak pernah diajak bicara oleh kepala desa waktu itu, tiba-tiba saja harus menghadapi kenyataan bahwa mereka ternyata telah dinyatakan setuju (menyerahkan, red) lahannya (untuk, red) digunakan sebagai lahan bandara. Padalah warga sama sekali tidak pernah mengetahui adanya persetujuan-persetujuan itu. Artinya, persetujuan-persetujuan tersebut adalah pembohongan publik. Warga tidak pernah diajak bicara. Warga tidak pernah diajak musyawarah, tiba-tiba saja keluar surat keputusan menteri bahwa Sukamulya harus tergusur demi pembangunan BIJB.

Foto oleh Muhammad Azka Fahriza

Kemudian waktu bergulir, di tahun 2006 keluar analisa mengenai dampak lingkungannya (AMDAL) dan yang kami tahu di kerangka acuan AMDAL itu, lahan Sukamulya dinyatakan sebagai lahan tidak produktif: Sukamulya hanya menghasilkan enam kuintal padi dalam satu hektar. Padahal dalam kenyataannya, di Sukamulya lahan pertanian itu menghasilkan 7 ton padi kering. Jadi, ada kesalahan yang saya pikir disengaja di AMDAL itu: bahwasanya produksi padi dari sawah satu hektar di Sukamulya hanya  enam kuintal.

Hal-hal seperti ini yang kemudian membuat masyarakat jengkel, membuat masyarakat marah sehingga kami sebagai warga Desa Sukamulya memproklamirkan diri untuk menolak pembangunan bandara internasional Jawa Barat terutama lahan kami, kami tolak untuk digunakan sebagai lahan bandara. Itu mulai tahun 2004.

Pembebasan lahan pertama untuk BIJB itu dilakukan pada 2009 untuk Desa Kertajati dan Desa Kertasari. Di dua Desa yang dibebaskan itu, masyarakatnya juga tidak pernah diajak bicara. Masyarakatnya tidak pernah diajak musyawarah mengenai bentuk ganti rugi, jumlah ganti rugi, dlsb. Kami tidak mau hal itu terjadi di desa kami.

Tahun 2009, 2010, 2012, kemudian 2014 pembebasan-pembebasan lahan terus terjadi. Dari yang tadinya (bandara, red) belum punya satu hektar sampai terakhir yang kami tahu sudah seribu hektar yang sudah dibebaskan. Di Sukamulya ada sekitar 33 hektar lahan yang dibebaskan tanpa diukur, tanpa diverifikasi, tanpa divalidasi di tahun 2014. Tiba-tiba saja ada bapak-bapak yang menjual tanpa dilakukan pengukuran.

Kenapa pada 17 November 2016 itu pemerintah sampai menurunkan ribuan aparat? Kami menyangka untuk melegalkan 33 hektar yang belum diukur itu, karena masyarakat menolak untuk dilakukan pengukuran. Dan pada kenyataannya, yang baru dibebaskan setelah kejadian 17 November hanya 6 hektar. Saya pikir tidak masuk akal. Mereka sudah menurunkan sekian ribu personil hanya untuk membebaskan enam hektar. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk akomodasi ribuan aparat itu? Ternyata yang dibebaskan cuma enam hektar. Tapi kami yakin bukan enam hektar ini yang menjadi target. Tapi 33 hektar yang sudah dibebaskan tapi belum diukur pada tahun 2014. Diukurnya baru kemarin. Artinya, proses klarifikasi dan validasinya dilakukan pada tahun 2016. Untuk menyelamatkan mungkin dari pemeriksaan audit dan sebagainya.

A: Tadi Mas Bambang menyebutkan bahwa mulai tahun 2009 pembebasan tanah pertama kali terjadi di Kertajati. Jadi selama rentang waktu awal ada keputusan sepihak soal persetujuan warga tahun 2004 sampai tahun 2009, bagaimana komunikasi warga Sukamulya, yang menjadi benteng terakhir perlawanan, dengan desa-desa lain yang hari ini sudah hilang ditelan pembangunan bandara?

B: Dulunya Sukamulya dan Sukasari ini kompak. Dua desa ini yang paling kompak menolak. Karena yang utama itu kan di Sukasari dan Sukamulya. Dua desa ini yang perlawanannya paling sengit. Kita juga sempat melakukan aksi demonstrasi. Patok-patok kita cabutin di tahun 2007. Tapi sayangnya, Sukasari ini tokoh-tokoh masyarakatnya kena iming-iming. Tokoh-tokoh masyarakatnya berhasil dipecah belah oleh mereka. Akhirnya Sukasari tidak ada perlawnaan lagi. Mereka menyerah. Akhirnya satu desa bisa dibebaskan. Tinggal kita satu-satunya yang melawan.

A: Kapan pertama kali konflik terbuka (kontak fisik) antara warga dan aparat keamanan pecah?

Tahun 2014 konflik pertama terjadi di Sukamulya. Aparat sekitar lima sampai enam ratus personil kita lawan empat puluh orang. Korban waktu itu delapan orang dari kita luka-luka. Ada delapan orang juga yang ditahan. Ada yang kena tembak bahunya sama gas air mata. Fotonya juga masih ada. Termasuk Abah Heri Susana Kalangi, salah satu tokoh yang paling gencar menolak BIJB, yang lukanya cukup parah di bagian kaki karena diseret sama satpol PP dan polisi. Kalau warga tidak ada yang menolong, beliau pasti ditangkap waktu itu.

2016 juga sama kejadiannya seperti itu. Dengan kekuatan yang jauh lebih besar. Info terakhir yang kami dapatkan bukan 1200 personil. Ternyata 6000 personil yang diturunkan. Mereka menginap di rumah-rumah penduduk. Memberlakukan jam malam. Ke Masjid saja salat jumat mereka membawa senjata lengkap laras panjang. Waktu itu hari Kamis kejadiannya. Besoknya hari Jumat warga salat jumat ya diintimidasi. Mereka, polisi-polisi itu, datang bawa senjata laras panjang lengkap ikut salat di masjid dan senjatanya selalu dipegang tidak ditaruh sama sekali.

A: Apa yang membuat warga Sukamulya ini demikian gigih melawan?

B: Sebenarnya sederhana. Kami melihat, bahwasannya warga desa dari desa tetangga, Desa Sukasari, Desa Kertajati sebagian, Desa Bantarjati juga sebagian, yang sudah kena gusur ternyata hidupnya tidak lebih sejahtera setelah digusur. Mereka justru lebih sengsara. Sabagai contoh saja, di tahun 2009, 2010 tanah dibeli permeternya 27.000. 23.000 sampai 38.000 per meter. Kalau kita bakunya (ukurannya, red) pakai bata ya; pakai tumbak. Satu bata itu, satu tumbaknya itu (dibeli, red) sekitar 370.000an. Sementara kalau beli, ini sudah 700 ribu per bata. Itu terjadi tahun 2009, 2010. Gimana kita tidak sengsara. Kita dibeli oleh mereka cuma tigaratus ribuan, sementara kita beli tujuh ratus ribu.

Baca Juga:

Dan itu terjadi sampai hari ini. Terakhir pasca bentrokan 17 November itu kan ada enam hektar yang dibebaskan. Itu dibeli sama mereka hanya dua juta tiga ratus ribu per bata, per tumbak, per empat belas meter. Hanya dua juta tiga ratus ribu. Sementara kalau kita beli sudah empat sampai lima juta per bata. Itu tidak jauh (keadaannya dengan, red) di desa sebelah, desa Sukakerta. Kalau kita beli di situ, bentuknya tanah sawah, bukan tanah darat, harus kita urug itu kan kalau kita jadikan pemukiman. Itu harganya segitu. Empat juta sampai lima juta per bata. Dibeli oleh Bandara, ganti ruginya itu dua juta tiga ratus per bata. Per meternya (dibeli, red) sekitar seratus limapuluh ribuan. Sementara harga pasarannya sekitar lima ratus sampai enam ratus ribu. Sangat jauh. Itu yang terjadi. Melihat kenyataan itu, kami ya nggak mau kalau seperti itu.

Ketika Pemprov datang ke sini kita tanya punya konsep apa buat orang-orang yang tergusur. Mereka juga tidak bisa jawab apa-apa. Mereka hanya menyarankan untuk silahkan buka usaha kreatif, silahkan beralih profesi  jangan jadi petani. Bukan solusi yang kita harapkan.

A: Bagaimana persisnya kondisi perekonomian warga Sukamulya?

B: Masyarakat desa Sukamulya ini kan hampir sembilan puluh persen petani. Termasuk saya, keluarga-keluarga saya. Rata-rata mereka hidup dari bertani. Kami ini untuk hidup sudah cukup, walaupun kami tidak bisa hidup mewah kayak orang-orang kota punya mobil dan sebagainya. Tapi itu bagi kami sudah cukup. Bisa menyekolahkan anak, bisa membahagiakan keluarga. Kami bertani bisa dua kali panen. Dalam satu hektar bisa menghasilkan tujuh ton. Kemudian hasil palawija, dari cabe (cabai, red). Kalau harganya lagi mahal, sehari di Sukamulya dari uang cabe yang beredar dari masing-masing pengepul kita—sempat survey di tahun 2001—sehari itu bisa sampai sembilan ratus juta. Ini kan sudah menunjukkan bahwasannya Sukamulya ini warganya sudah bisa mandiri.  Sudah bisa menghasilkan uang tanpa harus menjadi karyawan yang waktunya terbatas.

Waktu hidup di Sukamulya ini kan, quality time-nya sangat banyak. Kita ke sawah, di sawah setengah hari, pulang. Kita istirahat sebentar sholat makan dan sebagainya. Kemudian kita sorenya bisa bersosialisasi dengan tetangga. Kita bisa diskusi, kita bisa ngobrol, kita bisa tahu kebutuhan tetangga apa. Tetangga juga tahu kebutuhan kita apa. Sudah sangat enak. Anak-anak pulang sekolah ke madrasah. Pulang dari madrasah, mengaji.

Foto oleh Muhammad Azka Fahriza

Tatanan hidup sosialnya bagus, kehidupan beragamanya sudah bagus. Mesjid ukuran segitu menurut kita mewah. Sudah sangat enak hidup di Sukamulya ini. Uang kas DKM mesjid Sukamulya per hari Jumat kemarin sudah hampir sembilan puluh delapan juta. Hasil sumbangan masyarakat. Seminggu itu satu kali salat jumat, infaq dari masyarakat itu bisa sampai empat juta. Ini kan untuk sebuah desa luar biasa menurut saya. Saya juga pernah tinggal di Kertajati, saya pernah tinggal di Majalengka,tidak ada masjid yang sampai punya uang kas seperti itu untuk ukuran desa. Jadi kami lihat, kacamata apapun, kami sudah enak tinggal di Sukamulya.

A: Soal peristiwa tanggal 17 November 2016. Apa sebenarnya yang terjadi hari itu?

B: Sebenarnya kejadiannya itu dari tanggal 9 November. Tanggal 9 November ada kabar mau dilakukan pengukuran. Masyarakat bertanya-tanya, mau ngukur apa? 9 November lewat, tidak ada pengukuran. Kemudian tanggal 15 November kembali muncul isu ada penggusuran. Kenapa muncul isu itu? Ada beberapa masyarakat yang pulang berdagang dari Kadipaten (salah satu Kecamatan di Majalengka) ada yang pulang habis beli keperluan dari Kadipaten, mereka pulang lewat kecamatan. Banyak polisi di situ setelah maghrib bikin tenda pleton, banyak tenda komando. “Ini mau ada apa ya?”, warga pulang ke Sukamulya ngasih tahu tetangganya.

“Di kecamatan ada polisi, ada apa? Jangan-jangan mau ngukur acara yang kemarin ndak jadi. Tanggal sembilan.”

“Sudah jangan panik dulu. Kita cek. Ternyata sudah tidak ada siapa-siapa. Tendanya ada, tetapi polisi dan aparat gabungan sudah tidak ada di situ. Sudah kita pulang lagi tanggal 15 itu. Malam sebelum tanggal 17 kabar itu ada lagi. Setelah isya, ada warga yang pulang dari kadipaten.

“Di kecamatan banyak lagi polisi. Sekarang jumlahnya luar biasa. Tenda pletonnya sudah berjejer, mobilnya penuh. Ini mau ada lagi?” Kita coba tanya ke polsek, “Pak, ini ada acara apa?”

“Ini besok mau pengukuran ke Sukamulya. Pengawalannya disiapkan.” Ya sudah kita pulang kita kasih tahu warga.

Paginya, warga aktivitas biasa, ke sawah dan sebagainya. Kita yang punya informasi seperti itu deg-degan. Waduh, jadi ndak ini. Kalau sampai aparat turun, saya khawatirnya ribut. Jam 9 saya dan kawan-kawan bergerak ke ujung landasan, melihat. Memantau apa yang terjadi. Ternyata jam 9 pas, datang ribuan polisi dengan menggunakan berpuluh-puluh truk. Langsung parkir di landasan. (polisi) Disiapkan.

“Ini mau ngapain?” Akhirnya warga yang ada di sekitar situ pulang ngasih tahu ke warga yang lain.

Akhirnya masyarakat kumpul, bergerak semua ke sana. Di sana, masyarakat sudah berhadap-hadapan dengan polisi yang bersenjata lengkap. Kapolres langsung memberi komando, “Kami melakukan pengukuran”. Saya tanya, “Pak, bapak dalam rangka apa ke sini?”

“Saya mau melakukan tugas negara.”

“Tugas negara apa?”

“Mengawal pengukuran untuk pembangunan proyek Bandara Internasional Jawa Barat.”

“Kalau bapak mengatasnamakan negara, mana surat perintah dari negaranya? Sprin-nya mana?” Saya tanya begitu kan ke Kapolres.

“Kamu jangan menghalang-halangi tugas petugas negara. Surat perintah itu ada di kantor saya. Kalau kamu mau, ambil sana ke kantor.” Kapolres bilang begitu.

“Ya tidak bisa pak. Bapak yang datang ke sini. Ya surat tugas itu harus dibawa sama bapak.”

Nggak, pokoknya hari ini mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kami akan melakukan pengukuran. Siapapun yang menghalangi akan saya hadapi!”

“Oke, kalau begitu saya mau bicara dengan pejabat yang melakukan pengukuran. Bukan sama bapak. Bapak di sini kan tugasnya mengawal pengukuran, bukan melakukan pengukuran.” Tidak diijinkan.

Kemudian datang dari Polda, Pak Leonidas (Kepala Biro Operasi Polda Jabar Kombes Pol Leonidas, red). Dia juga bilang sama sperti itu. “Kami akan melakukan pengukuran, tolong jangan dihalangi.”  Dia minta ketemu sama kepala desa. Tidak kami izinkan.

Kemudian, pasukan disiapkan dan pukul 12:30 terjadi tembakan pertama yang diarahkan ke atas. Kemudian langsung diarahkan ke warga tembakan gas air mata itu. Dari pukul 12:30, berhenti itu pukul 16:30. Setengah lima sore baru berhenti tembakan gas air mata itu. Dan aparat masuk ke desa bikin tenda-tenda pleton di depan rumah warga. Minta kopi, mandi. Kayak di rumahnya aja. Ada kulkas (isi kulkas, red) diambilin. Semena-mena.

Kemudian ada warga yang pulang ke rumah mau Salat Asar, ditangkap. Langsung dibawa. Jadi kami takut mau ke rumah. Jadi, warga yang laki-laki di Balai Desa semua waktu itu. Ada juga korban wanita, ibu-ibu. Dia lagi hamil 8 bulan. Pukul setengah tiga sore ketika warga sudah mulai dipukul ke Balai Desa, aparat masuk ke wilayah Desa Sukamulya. Karena kami khawatir ibu-ibu ini akan jadi korban, ibu-ibu ini kita evakuasi ke Dusun Nanjungmulya, jalan kaki. Dan ada ibu hamil yang ikut lari-lari, besoknya hari jumat keguguran dan bayinya meninggal. Itu yang terjadi di tanggal 17 November.

Polisi, tentara, Satpol PP menguasai Desa Sukamulya dari mulai tanggal 17 November sejak hari Kamis, kemudian hari Jumat dan hari Sabtu. Hari Sabtu pukul 18:00 mereka ditarik mundur karena ada dari Kantor Staf Presiden ke sini. Waktu itu Pak Noer Fauzi (Noer Fauzi Rahman) sama Pak Riza Damanik.  Kemudian dari Konsorsium Pembaruan Agraria, Bu Dewi (Dewi Kartika) meminta kepada aparat untuk menarik pasukan. Dan dari siang, terjadi negosiasi yang alot sampai akhirnya pukul 18:00 menjelang maghrib itu pasukan baru ditarik mundur. Dan selama tiga hari itu kami mencekam dan tidak berani pulang ke rumah.

A: Tinggal di mana warga selama desa diduduki aparat waktu itu?

B: Di Balai Desa. Kami tidur dan makan di balai desa selama tiga hari.

A:Tadi warga sempat bicara soal pos yang dibakar. Itu terjadi kapan?

B: Itu pas tanggal 17 November. Dibakar polisi. Jadi kan di Pilang Keramat pertama meletus “perang”. (waktu itu) kita dipukul mundur, ke arah pos itu. Ternyata yang menyerang bukan hanya dari arah selatan. Ternyata dari arah timur juga sudah siap polisi ini. Jadi kita dipukul mundur. Akhirnya kita mundur gak kuat. Dan sambil mukul mundur itulah akhirnya pos kita dibakar.

Foto oleh Muhammad Azka Fahriza

A: Itu pos milik warga?

B: Iya, jadi di situ kita punya posko, dapur umum. Jadi kalau misalnya kita ada tamu, kawan-kawan aktivis, ada tamu dari Jakarta, dari mana. Makan dan minum ya di situ.

A: Tadi warga bercerita bahwa pasca peristiwa 17 November 2016, warga kontra pembangunan Bandara BIJB itu terpecah. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?

B: Mungkin ini strategi dari pemodal yang berkepentingan (dengan Bandara BIJB). Jadi ada isu bahwa akan ada pembagian tanah 2 hektar bagi yang mendukung BIJB. Untuk luas pertanian, buat pemukiman 50 bata. Beberapa dari kita tertarik. Kenyataannya kan hari ini tidak ada.

A: Mas Bambang menyebut ada kedatangan perwakilan pemerintah dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Sejauh ini sebenarnya apa yang sudah mereka kerjakan?

B: Dulunya kami sangat berharap banyak dengan KSP, karena kami melihat kinerja mereka. Ketika kami trauma dengan banyaknya polisi yang tinggal di desa kami, akhirnya mereka bisa ditarik dengan bantuan dari KSP. Kemudian KSP juga mengundang kami, perwakilan warga, untuk datang ke Jakarta.

A: Mas Bambang ikut waktu itu?

B: Ikut. KSP menanyakan kepada kita sebenarnya apa tuntutan masyarakat. Di rapat dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa, red) dan wakil masyarakat, kita menolak pembangunan BIJB dengan alasan yang seperti saya bilang tadi. Kita sampaikan ke KSP dan mereka (berjanji) segera mendatangkan orang-orang provinsi Jawa Barat, BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan sebagainya yang terkait dengan BIJB ke Sukamaulya. Dan 6 Januari itu ditepati. Akhirnya pada 6 Januari itu, KSP menekan pemprov untuk segera membentuk tim penyelasaian konflik di Sukamulya. Nanti, dengan cara membentuk tim ini, masyarakat dilibatkan. Jadi bukan hanya pemerintah Jawa Barat, (melainkan) Pemerintah Majalengka, BPN dan Dishub dan lain sebagainya yang terkait di sini. Tetapi perwakilan warga harus dilibatkan. KSP meminta 3 sampai 4 warga dillibatkan dalam tim itu. Oke. Kita membentuk tim itu.

Pada tanggal 25 Januari 2017 kemarin, KSP ini harusnya datang lagi mengesahkan tim itu, tim yang mewakili masyarakat. Sayangnya, sampai hari ini, itu belum dilakukan. Mereka tidak datang lagi membentuk tim yang mereka janjikan. Padahal sebenarnya kita sudah keluar nama. Sudah kita susun nama-nama tim itu.

A: Tanpa ada kabar sama sekali?

B: Alasannya sakit.

A: Siapa yang sakit?

B: Pak Usep Setiawan.

A: Bagaimana dengan bantuan kawan-kawan aktivis dari luar Majalengka?

B: Waktu itu, setelah kejadian, dukungan kan dari mana-mana. Kita senang. Oke, walaupun kita babak belur setelah habis perang, tetapi karena banyaknya dukungan, semangat perjuangan itu tetap menggebu-gebu. Tapi setelah beberapa hari, utamanya setelah tanggal 11 Desember, itu pulang semua. Aliansi hilang. Aktivis-aktivisnya pulang. Kita coba samperin. Ke KPA kita samperin. Kita tanyakan sebenarnya ada masalah apa, dan mereka bilang tidak ada masalah apa-apa. “Ini karena kami banyak kesibukan, kami tidak bisa mendampingi Sukamulya secara langsung, kalau ada apa-apa silahkan telepon saja.” Oke lah. Tapi harusnya tanggal 25 (Januari 2017) itu bareng dengan KSP hadir juga. Aktivis-aktivis itu diundang semua ke sini. KSP kan mau ke sini, jadi aliansi lain juga kami undang.

A: Jadi warga dan aktivis-aktivis sudah membentuk aliansi Sukamulya waktu itu?

B: Iya, jadi begitu derr terjadi kekacauan, kita bikin Aliansi Anti BIJB kalau tidak salah. Kawan-kawan aktivis dari Walhi, dari LBH, dari Agra, dari KPA berkumpul di situ. Tapi sejalan berjalannya waktu ya bubar.

A: Dengan bubarnya aliansi itu, dan malam ini kita mencoba membangun aliansi baru dengan korban terdampak infrastruktur, apa yang Mas Bambang dan warga harapkan dari aktivis-aktivis di luar Majalengka ini buat perjuangan aliansi ini.

B: Kami mengharapkan konsistensinya. Yang kami harapkan, apapun yang terjadi, halangan dan rintangan yang kawan-kawan aliansi hadapi, ya harus bisa dihadapi. Dan libatkan kami. Kalau memang ada masalah ya libatkan kami. Kami diajak ngobrol. Ada permasalahan seperti ini seperti ini. Jadi jangan sampai tiba-tiba pergi meninggalkan kami. Kami kan jadinya serba salah. Salah kami apa? Apa memang ada perbuatan-perbuatan kami dianggap tidak menyenangkan buat mereka? Atau apa? Akhirnya kami kan punya perasaan tidak enak.

Yang kami harapkan jangan sampai seperti itu. Apapun yang terjadi kita hadapi bersama. Aliansi-aliansi ini harus kembali menyuburkan semangat perjuangan yang saat ini sedang ngedrop. Bukan berarti kami menyerah. Tidak. Kami tidak akan menyerah. Kami tidak akan menyerah sebelum semuanya jelas. Memang selama empat bulan ini gerakan kami pakeum (tidak ada kegiatan). Paling kita cuma diskusi di tempat ronda. Kita sekarang cooling down dulu, sambil menyiapkan amunisi.

A: Dalam pertemuan tadi sempat disinggung soal rencana menggalang dukungan ke tokoh-tokoh agama di wilayah Majalengka, Cirebon, dan Nasional. Dari pengalaman warga sejauh ini bagaimana dukungan ulama terhadap kasus ini?

B: Selama ini kita dengan Kiai Nasaruddin dari pesantren babakan Ciwaringin intens (berhubungan). Cuma sejauh ini hubungan kami batin belum sampai ke pernyataan sikap dari para ulama dan tokoh agama Majalengka. Terakhir kami datangi itu bapak Kiai Maman Imanul Haq, di Pondok Pesantrean AL Mizan. Pasca 17 November kita samperin ke sana minta dukungan. “Ini rakyat bapak mau digimanain?” Akhirnya beliau membuat konferensi pers dan mengutuk keras kejadian 17 Nobember 2017.

A: Jadi hubungan warga dengan pesantren Babakan sejauh ini hanya warga ngaji ke sana dan belum ada pembicaraan soal itu?

B: Iya, istighosah.

A: Bagaimana agama, atau Islam, mempengaruhi semangat warga melakukan penolakan Bandara di Sukamulya?

B: Yang saya rasakan selama ini, agama sangat berperan. Saya yakin apabila kalau setiap malam jumat tidak ada acara istighasah di Masjid, masyarakat pasti tercerai berai.  Karena dengan adanya istighasah, masyarakat berkumpul, masjid penuh itu, laki-laki dan perempuan. Sebelum istighosah saling ngobrol. Ngopi seadanya. Dengan cara ngobrol itu rasa saling memiliki, persaudaraan itu tumbuh. Masyarakat yang masih oleng, ini masih dikuatkan oleh masyarakat yang sudah punya pemahaman bahwa kita ini harus tetap bertahan. Jadi saling mengisi. Saya yakin kalau tidak ada istighosah, tidak ada pertemuan tiap malam jumat itu, Sukamulya sudah hilang.

A: Bagaimana peran tokoh agama dalam perlawanan di sini?

B: Yang mempersatukan di sini ya tokoh agama. Salah satunya Kyai Rohman. Ada Kyai Humaid. Ya memang ada tokoh agama yang melenceng, yang ikut pro. Kini kita tinggal punya Kyai Rahman dan Kyai Humaid yang tetap konsisten berjuang bersama masyarakat. Kyai Rohman dan Kyai Humaid itu diminta doa tengah malam juga bersedia. Sampai hari ini sudah dua bulanan setiap jam dua belas malam kita zikir di Masjid,  yang mimpin Kyai Humaid dan Kyai Rohman.

A: Mayoritas warga di sini Nahdliyyin berarti?

B: Iya, Nahdliyyin.

A: NU secara kelembagaan ada yang pernah ke sini?

B: Kalau NU, LBH Ansor pernah ke sini. Yang ditahan tiga orang di polda Jabar itu, yang melakukan pembelaan LBH Ansor dan LBH Bandung. Ke sininya belum ada lagi. Kita juga belum sempat safari ke lembaga-lembaga seperti LBH, Walhi, dan LBH Ansor. Kita sekarang sedang sibuk panen. Kalau mungkin sudah selesai panen kita akan coba keliling lagi.

A: Harapan untuk NU secara struktural sebenarnya apa, Mas, dari warga Sukamulya?

B: Saya belum begitu paham dengan kepengurusan NU, tapi saya yakin masyarakat di sini ya warga Nahdliyyin. Kami harap NU secara struktural bisa menekan pemrprov Jawa Barat untuk tidak melakukan penggusuran terhadap Desa Sukamulya. Itu harapan yang maksimal. Sukamulya tetap tidak tergusur. Untuk jangka pendek ini diusahakan untuk menghentikan pembangunan rumah hantu. Karena dengan semakin maraknya rumah hantu, posisi Sukamulya akan semakin terjepit.

A: Rumah Hantu itu apa maksudnya, Mas?

B: Rumah hantu itu julukan kami. Rumah yang sengaja didirikan dengan bahan asal-asalan, dari asbes, dari calciboard yang penting bentuknya rumah, untuk diajukan untuk diberkaskan ke penggusuran. Karena nanti yang diukur itu kan cuma panjang kali lebar. Yang penting panjangnya berapa meter, lebarnya berapa meter, lalu diukur. Sebenarya yang bikin rumah hantu itu kebanyakan warga luar Desa Sukamulya. Mereka menyewa tanah ke orang Sukamulya, kemudian mereka bangun rumah hantu itu. Mereka modal dua puluh tiga puluh juta dibeli oleh bandara 80 sampai 100 juta, jadi mereka mempunyai keuntungan 60 sampai 80 juta. Dan ini marak. (Berdasarkan) data kami, sebelum terjadi konflik itu (ada) 522 rumah hantu. Sekarang saya yakin 2 kali lipatnya.

Foto oleh Muhammad Azka Fahriza

A: Itu berdiri di atas tanah warga pro?

B: iya. Pokoknya yang bikin rumah hantu pasti warga pro.

A: Berarti mereka tidak ada aktivitas ekonomi lagi?

B: Enggak. Sawahnya kan dibikin rumah. Jadi pikir mereka itu, daripada nanam padi (lalu) kena wereng, nanam palawija kena hama, lebih baik nanam calciboard.

A: Apakah mereka bekerjasama dengan orang yang punya modal?

B: Seratus bata itu seribu empat ratus meter, kan bisa dibikin rumah sepuluh. Kalau satu rumah modalnya tiga puluh juta, berarti kan modalnya tiga ratus juta. Orang Sukamulya mana punya uang segitu? Hanya orang-orang luar yang punya modal, punya material, termasuk oknum-oknum pejabat, banyak yang bermain. “Saya sewa tanahnya, satu juta per bata.” Jadi kalau seratus bata kan seratus  juta. Dia bikin, modalnya buat bikin rumah tiga ratus juta. Jadi empat ratus juta modal semuanya. Kalau ada sepuluh dikalikan delapan puluh juta, berarti kan delapan ratus juta. Jadi masih untung empat ratus juta. Sementara yang punya tanah cuma dapat sewa seratus juta. Sama mereka diberi dua juta tiga ratus per bata. Jadi yang seratus bata itu cuma dapat dua ratus tiga puluh juta ditambah seratus juta. Sementara yang punya rumah dapat delapan ratus juta.

A: Ini pertanyaan terakhir, Mas. Jadi keputusan warga tolak bandara itu memang pokoknya tidak mau digusur dari sini atau ada negosiasi lain yang memungkinkan warga mau pindah?

B: Sebenarnya dari dulu kami menunggu itu. Dari tahun 2004, kami ini kan tidak pernah diajak bicara, tidak pernah ada sosialisasi perencanaan, pelaksanaan, dll. Tidak pernah. Kami tahu ini akan dibangun Bandara ya dari media. Secara resmi pemerintah datang di Sukamulya menjelaskan bahwa kami punya program membangun bandara, dan tanah bapak-bapak kami ambil, kemudian akan kami ganti, bentuk ganti ruginya a, b, c, itu belum pernah dilakukan. Selama itu belum dilakukan, kami akan tetap bertahan di Desa Sukamulya. Kecuali mereka datang ke sini, mereka menjelaskan, kemudian solusi yang ditawarkan ke kita juga tidak menyengsarakan. Tapi kalau mereka seperti ini terus, maka kami pun akan seperti ini terus. Kalau mereka tidak mau datang ke sini (untuk) menjelaskan, dan kasih solusi yang kira-kira mensejahterakan warga Desa Sukamulya, ya sudah, kami akan tetap menolak.

A: Kalau melihat solusi-solusi yang diberikan ke desa lain, sulit ya?

B: Sulit.

A: Jadi, sepertinya keputusan warga akan terus bertahan di sini?

B: Ya, bertahan di sini.

Related Posts

Comments 1

  1. DEVI SUSANTI says:

    kenapa warga Sukamulya menentang perencanaan pembanguna Bandara Internasional?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.