Judul Film: El Crimen del Padre Amaro
Negara/Bahasa: Meksiko, Spanyol/ Spanyol
Durasi: 118 Menit
Tahun: 2002
Sutradara: Carlos Carrera
Pemain: Gael Garcia Bernal (Padre Amaro), Ana Claudia Talancon (Amelia), Sancho Garcia (Padre Benito), Luisa Huertas (Dionisia), Andres Montiel (Ruben), Damian Alcazar (Padre Natalio), Ernesto Gomez Cruz (Uskup), Gaston Melo (Martin), Angelica Aragon (Sanjuanera), Pedro Amendariz Jr. (Walikota Gordo), Veronica Langer (Amparito, istri Walikota), Juan Ignacio Aranda (Chato Aguilar, Kartel Narkoba)
Memilih film El Crimen del Padre Amaro (selanjutnya disebut El Crimen) sebagai film yang harus diresensi untuk rubrik budaya di Islam Bergerak, yang rencananya akan terbit rutin setiap bulan, sesungguhnya adalah upaya untuk memberikan referensi film yang menenangkan bagi pembaca. Bagaimana tidak, belakangan situasi keberagamaan kita di Indonesia memang sedang berengsek-berengseknya. Setiap saat kita disuguhi tautan-tautan sampah tentang tingkah polah agamawan dan tempik sorak umat ngeheknya yang bersicepat mengisi layar gawai kita. Dari organisasi ulama yang lebih memilih mengurusi label halal sempak ketimbang masalah kemiskinan dan sumber daya alam yang kian meresahkan, sampai usaha habis-habisan nan menjijikkan dari satu dua agamawan yang sibuk mengomentari selangkangan orang lain seolah itu adalah satu-satunya jalan menuju keadilan dan kesejahteraan.
Dalam konteks keberagamaan kita sekarang, menonton El Crimen bagi saya memang sedikit ajaib. Diadaptasi dari novel klasik O Crime de Padre Amaro yang ditulis karya sastrawan besar Portugal akhir abad ke-19, José Maria de Eça de Queiroz, pada 2002 di Meksiko, film ini memiliki detail-detail adegan yang mirip dengan kenyataan yang kita hadapi sekarang ini di Indonesia. Barangkali saya berlebihan. Barangkali memang demikianlah keadaan yang terjadi di setiap tempat di mana agama dijadikan alat pemenuh keserakahan.
Film ini berkisah tentang perjalanan hidup Padre Amaro (Gael Garcia Bernal), seorang rohaniawan muda, hingga menjadi pastor munafik brengsek par exelence di sebuah kota kecil imajiner Los Reyes, Meksiko. Meski demikian, El Crimen bukan film yang melulu berkisah tentang sang tokoh utama. Alih-alih, ia malah memakai Amaro, sang tokoh utama untuk memotret sosiologi masyarakat yang dihidupinya.
Umat yang Cacat dan Lahirnya Agamawan Bejat
Dikisahkan dalam El Crimen, pada mulanya Amaro adalah pastor muda yang masih memegang teguh nilai-nilai gereja. Itu diperlihatkan ketika Amaro dengan sigapnya membantu lelaki tua yang menjadi korban perampokan di dalam bus yang mereka tumpangi. Tapi pelan namun pasti, kondisi masyarakat di sekitar Gereja Los Reyes berhasil mengubah Amaro yang baik namun ragu-ragu apakah ia memegang teguh ajaran gereja atau menuruti hasrat pribadi.
Tesis bahwa umat yang sakit akan memunculkan agamawan-agamawan amoral sangat kuat, bahkan radikal, terlihat dalam El Crimen. Melalui empat tokohnya yang mewakili psikologi masyarakat secara umum, yakni Dionisia (Luisa Huertas) yang oportunis, Sanjuanera (Angelica Aragon) yang munafik, Martin (Gaston Melo) yang penakut dan permisif, dan walikota Gordo dan istrinya (Pedro Amendariz Jr dan Veronica Langer) yang taat membabi-buta—El Crimen menunjukkan kepada kita bahwa Los Reyes adalah tempat subur bagi lahirnya agamawan bejat.
Di kota itu, segala hal yang bisa kita asosiasikan sebagai kebejatan agamawan dengan mudah mendapat pengabaian, bahkan pengampunan. Betapapun terbukanya kebejatan Padre Benito (perselingkuhannya dengan Sanjuanera, persekongkolannya dengan Chato Aguilar (Juan Ignacio Aranda), kartel narkoba yang menyengsarakan petani karena memaksa mereka menanam kokain, juga skandal korupsi dalam pembangunan rumah sakit), betapapun menggiriskannya nasib Amelia yang meregang nyawa karena paksaan Padre Amaro untuk melakukan aborsi, di mata jemaat, keduanya tetaplah orang-orang mulia nan suci. Keburukan, atas nama apapun, haram disematkan dalam diri para padre karena akan mengancam otoritas gereja, mengancam kesucian Tuhan. Ekses mengerikan dari kecacatan umat semacam ini digambarkan dengan jelas. Selain kekerasan atas nama agama, kita bisa melihat bahwa situasi demikian mendorong baik Padre Benito maupun Padre Amaro untuk menyingkirkan semua orang yang berniat menghalangi keserakahan mereka. Mengingat, apapun yang mereka lakukan akan langsung didukung, setidaknya didiamkan umat.
Kisah Orang-Orang yang Dikorbankan
Meskipun berkisah tentang kebobrokan gereja dan masyarakatnya, sebagai sebuah kritik atas agama, El Crimen bukanlah kritik yang membabi buta. Ia tidak menampilkan gambaran-gambaran tentang kebobrokan mereka secara brutal di setiap bagiannya. Malahan, melalui tokoh Padre Natalio, ia justru ingin menunjukkan adanya semangat pembebasan, semangat keberpihakan kepada orang-orang yang lemah, yang inheren dalam ajaran kekatolikan.
Meski tokoh sampingan, keberadaan Natalio adalah bagian terpenting dalam El Crimen. Ia adalah simpul yang membantu kita memahami mengapa dan bagaimana unsur pembebasan dalam Katolik, kita mengenalnya sebagai teologi pembebasan, perlu dilenyapkan dari Los Reyes. Melalui dia, El Crimen memberikan gambaran paling jelas tentang dua hal yang ironis: padre yang tulus dan mengabdikan diri sepenuhnya pada lapisan umat yang paling membutuhkan uluran tangan gereja dan padre yang dinistakan rezim gereja justru karena perbuatan baiknya—potret paling menyedihkan dari agamawan berhati mulia yang lahir di waktu dan tempat yang tidak tepat. Melalui dia pulalah gambaran orang-orang miskin, petani-petani yang dihisap kartel narkoba, yang secara sadar dikorbankan gereja demi memuluskan kepentingan haram penghuninya hadir.
Natalio dan petani-petani Los Reyes adalah peringatan yang secara halus disodorkan oleh El Crimen kepada kita, bahwa ada masa ketika tafsir keberpihakan atas suatu ajaran agama berusaha direpresi, dilumpuhkan tanpa ampun, dan orang-orang miskin yang punya kesadaran untuk melawan kemiskinan struktural yang menimpa mereka harus ditumbalkan demi nafsu bejat segelintir orang. Masa ketika situasi keberagamaan di suatu tempat dipenuhi orang-orang bigot dan agamawan serakah dan berpihak pada penindas. Dan El Crimen menunjukkan, melalui sikap tegas Natalio yang tetap teguh melayani umat meski telah dieksklusi dari gereja, tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan dalam menghadapi situasi semacam itu selain melawan.
Penutup
Seperti yang saya katakan di awal, menonton El Crimen akan sedikit membuat kita tenang di tengah situasi keberagamaan kita yang juga sama-sama berengseknya. Setidaknya, menonton film ini akan membuat kita merasa tidak sendirian. Bahwa agamawan yang lebih mementingkan selangkangan, lebih mementingkan kekayaan ketimbang melayani umatnya akan selalu ada di setiap zaman, di setiap era. Itupun kalau kita percaya bahwa El Crimen, baik versi novel maupun filmnya tidak dibuat oleh saudara-saudara Piccolo di planet Namec, melainkan oleh orang-orang yang resah dengan keadaan masyarakatnya. Meskipun demikian, kalau dipikir-pikir kembali, sebenarnya nasib kita di Indonesia lebih buruk dari masyarakat Los Reyes. Setidaknya, Natalio lebih beruntung karena tindakan heroiknya tidak membuat ia dicap sebagai komunis—satu hal yang jika terjadi di Indonesia sudah cukup menjadi alasan bagi seseorang untuk diiris telinganya. ***
Saya dr JGD probolinggo mas azka, kalau boleh tau bagaimana mendapatkan atau download filmnya mas. Mhon pencerahan.
Mohon maaf saya telat sekali mengetahui keberadaan pesan ini. Apakah masih mencari film tersebut, Bung Deny?
Wah, sebaiknya, film ini jangan ditonton, sebab adegan mereka berhubung seks di tempat orang cacat itu, begitu menggairahkan. Ceweknya cantik, payudaranya juga indah, dan digambarkan mati karena kehabisan darah, dan dukun perempuan tua yg punya senyum jahat mengejek kemunafikan pendeta.