Tanggung Jawab Kampus dan Ilmu Pengetahuan atas Persoalan Kemanusiaan:

477
VIEWS

Baca Juga:

Refleksi atas Pe-ngluruk-an Kampus UGM oleh Ibu-Ibu Petani Rembang

I

Jum’at 20 Maret 2015 terjadi satu peristiwa yang patut direnungkan. Hari itu merupakan hari ketika ibu-ibu Rembang yang menolak eksplorasi semen di wilayah Pegunungan karst Kendeng Utara datang “ngluruk” salah satu universitas ternama di Indonesia, yaitu, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Eksplorasi itu mengancam keberlangsung air bagi kehidupan mereka.

Ngluruk ini dipicu oleh kesaksian dua dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Eko Haryono dan Heru Hendrayana di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Kamis 19 Maret 2015 mengenai eksplorasi kawasan karst Rembang (bagian dari karst Kendeng). Kesaksian mereka berdua dianggap tidak sedikitpun berpihak pada kepentingan rakyat yang sedang berjuang mempertahankan sumber mata air dan kelestarian Pegunungan Kendeng Utara dari ancaman eksplorasi Semen yang akan dilakukan oleh korporasi Semen Indonesia. Untuk itu, tulisan ini akan sedikit mempertanyakan dan mempersoalkan “Ilmu Pengetahuan”  yang dikembangkan di kampus-kampus Indonesia dan keberpihakannya terhadap persoalan-persoalan kemanusian.

II

Kita semua tahu bahwa Ilmu  Pengetahuan  (IP)  merupakan  entitas  pembeda  umat  manusia  dengan makhluk  lain.  Hal  itu  tidak  bersifat  given,  namun  lebih  merupakan  usaha  dalam mensinergikan kepekaan batin  (intuition), ketajaman intelektual,  dan kepekaan sosial. Entitas  pembeda  tadi  dimaksudkan  sekaligus  difungsikan  sebagai  tools  dalam realisasi tugas-tugas  ke-khalifah-annya.  Sehingga,  dengan IP tersebut  tidak mustahil manusia  mampu  menciptakan  peradabannya,  membawa  akibat-akibat  maupun perubahan-perubahan  besar  terhadap  kodratnya,  dan,  termasuk  juga, kemampuannya dalam menemukan kedaulatan, otonomi, kemandirian, atau bahkan menunjukkan predikatnya sebagai makhluk beradab (civilized).

Sementara  itu,  IP—termasuk  juga di dalamnya  Ilmu  Agama—muncul  sebagai  reaksi  dan refleksi kritis manusia  terhadap  segala persoalan hidup  secara keseluruhan.  Dengan kata lain, IP merupakan sesuatu yang digali, dikembangkan—bisa jadi arahnya pada akomodasi kepentingan manusia  dalam konteks dinamika  sosial—dan bersifat  tidak netral (neutral alias value-laden) maupun bebas nilai (value free).

IP modern menunjukkan wajah yang kurang simpatik terhadap kepentingan keamanusiaan, kukuh dengan kerangka rasionalitas, objektivitas, dan berhasrat kuat menjauh dari  kepentingan kemanusiaan. IP  dianggap sahih jika objektif dan lepas dari kepentingan-kepentingan  subyektif,  bersikap  netral  tehadap  fakta  atau  objek,  dan merupakan  deskripsi  murni  tentang  fakta.  Jadi,  IP  di  satu  pihak,  tak  dapat mempengaruhi  atau  mengubah  objeknya.  Sementara,  di  pihak  lain,  IP  merupakan sesuatu yang tak berubah  (constant), beku,  dan  mati. Oleh karenanya  manusia  tidak dapat memengaruhi  IP. Dengan kata lain,  IP  bekerja demi  IP  itu sendiri,  lepas dari konteks mekanika kongkrit manusia sehari-hari yang real, dan membiarkan fakta itu apa adanya tanpa menarik konsekuensi-konsekuensi praktis untuk mengubahnya.

Dengan cara ini, IP  menjadi layaknya ideologi yang melestarikan status quo  dan penipuan ideologis  (ideologically-deceiving).  Hal ini  karena menutupi kenyataan bahwa IP sesungguhnya hanya salah satu kegiatan manusia kongkrit. Implikasi yang paling memprihatinkan  dari  watak  IP  modern  tersebut  adalah  bahwa  permasalahan-permasalahan  kemanusiaan  seperti  kemiskinan,  ketimpangan,  kerusakan lingkungan,  dan sebagainya merupakan objek kajian yang diikat  secara objektif tanpa ‘berniat’  untuk  diubah  dan  diselesaikan.  Sementara  itu,  pada  gugus  lain,  IP  dan teknologi modern yang sebenarnya dapat membebaskan manusia dari permasalahan hidupnya  ternyata  menjadi  sistem  penguasaan  yang  total,  tidak  mengabdi  pada manusia.  Hukum-hukum  teknologi  seperti  ektensifikasi,  otomatisasi,  standarisasi, dan  mekanisasi  seharusnya  dapat  membebaskan  manusia  dari  kerja  fisik.  Namun, kenyataanya,  hukum-hukum  tersebut  menjadi prinsip-prinsip  yang mengatur umat manusia. Teknologi memaksakan tuntutan-tuntutan ekonomis dan politisnya  pada manusia.

Melalui  rasionalitas  teknologis,  penataan  masyarakat  semakin  bersifat rasional, produktif, teknis dan total, tetapi dalam kondisi demikian setiap perubahan kualitatif pada sistem itu harus disingkirkan. Perubahan-perubahan dapat dibiarkan sejauh  dapat  dicocokkan  dengan  sistem  sebagai  keseluruhan.  Artinya,  IP  dapat berguna hanya sejauh dapat diterapkan pada keseluruhan sistem sehingga operateable. Bahwa  masyarakat  terperangkap  di  dalam  kontrol  teknologis  tidak  selalu  berarti bahwa kontrol itu diketahui secara sadar dan jelas. Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat justru menunjukkan dirinya sebagai masyarakat yang bebas dan terbuka. Dalam  bidang  ekonomis  misalnya,  kelimpahan  kapital  telah  membuka  alternatif seluas-luasnya  bagi  masyarakat  untuk  menikmati  apa  saja  sesuka  hatinya.  Akan tetapi hal itu hanya superfisial saja. Para konsumen hanya menginginkan apa yang dikehendaki sistem agar ia inginkan.

Sementara  itu,  di sisi lain, ilmu-ilmu  keagamaan  juga tetap  kukuh  dengan  kerangka normatifitasnya,  atur  sana  atur  sini.  Ilmu-ilmu  keagamaan  menggiring  manusia (pemeluknya)  untuk  berebut  benar  atas  tafsir  keagamaannya,  lalu  saling menyalahkan  dan  akhirnya  membuat  mereka  terfragmentasi  dan  terjebak  pada kehidupan sekterian. Agama yang semestinya membawa damai malah menebarkan benih  pertentangan,  permusuhan  dan  konflik  antar  pemeluknya.  Fenomena radikalisme agama dan terorisme sudah lebih dari cukup membuktikan betapa agama begitu  menjadi  menakutkan  dan  mengancam  ketentraman  hidup  manusia. Pertanyaannya  sekarang adalah  ada  apakah  dengan  ilmu-ilmu  keagamaan  sehingga membiarkan  fenomena  itu  terjadi?  Ataukah  justru  fenomena  itu  didukung  dan diafirmasi  oleh  ilmu-ilmu  kegamaan  itu?  Di  sisi  yang  lain,  ilmu-ilmu  keagamaan seolah  tidak  peduli  dengan  perubahan  sosial  dan  permasalahan-permasalahan manusia.  Ilmu-ilmu  keagamaan  hanya  menyediakan  ‘daya  atur’  untuk  kehidupan manusia.  Ia  tidak  menyediakan  dan  memiliki  ‘daya  analisis’  dan  ‘daya  ubah’  atas realitas dan permasalahan hidup manusia. Ilmu-ilmu keagamaan sibuk dengan dan untuk dirinya sendiri.

Sampai pada situasi yang paling memprihatinkan, baik IP modern (ilmu alam dan  ilmu  sosial)  maupun  ilmu-ilmu  keagamaan  tampak  sibuk  dengan  dan  untuk dirinya  sendiri,  lepas  dari  tanggungjawabnya  mengabdi  pada  kepentingan-kepentingan  manusia.  Ini  berarti  IP  sedang  berada  pada  situasi  krisis  yang memprihatinkan  bagi  kehidupan  manusia.  Maka,  sudah  selayaknya  dan  saatnya upaya  serius  untuk  merevitalisasi  dan  mengembalikan  IP  pada  tanggung  jawab kulturalnya  untuk  mengabdi  pada  kepentingan-kepentingan  manusia.  Apapun bentuk  dan  jenis  IP  mesti  diintegrasikan  pada  tugas  suci  memanusiakan  manusia. Lalu,  bangunan  paradigmatik  dan  filosofis  seperti  apakah  yang  mesti  dirumuskan untuk mengembalikan tugas suci IP tersebut?

III

Sebagai  agen  yang  langsung  bersentuhan  dengan  IP  dan  masyarakat, Perguruan Tinggi di indonesia punya tanggung jawab terhadap persoalan masyarakat/kemanusiaan. Menyangkut persoalan tersebut, pertanyaan  yang mesti direspon segera adalah bagaimana tanggung jawab Perguruan Tinggi  terhadap  masalah,  misalnya, ancaman kerusakan lingkungan dan ketidakadilan  sosial—baik  berbasis  agama, aliran  agama,  etnis,  kelas,  jenis  kelamin,  gender,  maupun  negara?  Di samping itu  juga,  fungsi  Tri  Dharma  Perguruan  Tinggi di Kampus-kampus Indonesia masih belum menyentuh aspek tersebut.

Sementara  fungsi  pengajaran  masih  bersifat  normatif  dan  konvensional: terfokus  di  kelas,  hanya  transfer  of  knowledge,  dan  materi  pengajaran  juga  masih bersifat  konseptual.  Aspek-aspek  yang  bersifat  responsif  pada  persoalan-persoalan kemanusiaan,  lingkungan,  dan  kemiskinan  belum  mendapat  tempat  yang semestinya.  Hal ini dapat dilihat pada kurikulum dan pendekatan pengajaran di Perguruan Tinggi Indonesia. Fungsi riset  maupun pengabdian juga  sama kondisinya masih terkonsentrasi  pada  alasan-alasan  pragmatis cum  untuk kenaikan  pangkat.  Sampai sekarang  belum ada evaluasi dan kesadaran menyeluruh  terhadap  persoalan-persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi bangsa ini. Kasus “ngluruk” ibu-ibu pejuang karst Pegunungan Kendeng ke kampus UGM merupakan contoh kongkret yang bisa menggambarkan paradoks ini.

Kondisi Perguruan Tinggi Indonesia  yang semacam ini, sepi dari  keberpihakan persoalan-persoalan  sosial/kemanusiaan,  terkait  dengan  banyak  hal,  yang  salah  satunya  adalah paradigma  keilmuan  yang  fragmentaris  pada  ranah  epistemologi-pragmatis dalam aspek aksiologis. Banyak pihak belum begitu bisa memahami keterkaitan antara ilmu dengan  obyek  material  dan  formalnya.  Selain  itu  juga  banyak  pihak  meyakini netralitas ilmu. Sehingga masalah ketidakadilan sosial tidak menjadi tanggung jawab ilmu dan ilmuwan (dosen), melainkan tanggungjawab aktifis  sosial dan politisi.  Faktor lain terkait  juga  dengan  pragmatisme  pasar,  di  mana  Perguruan Tinggi Indonesia lebih merespon kebutuhan pasar dibanding kepekaan mencari jalan keluar bagi persoalan-persoalan sosial/kemanusiaan. Dalam hal ini kritikan dalam bentuk plesetan dari UGM (Universitas Gaweane Mroyek) patut untuk direnungkan.

Lebih  jauh,  berdasarkan  refleksi  di atas  diharapkan  landasan  paradigmatik  itu akan  menjadi  dasar  pengembangan  Perguruan Tinggi Indonesia ke depan. Pertanyaan mendasar yang harus direnungkan lebih dalam adalah apakah  yang  harus  dikembangkan  agar  fakultas  dan  jurusan  yang  ada  di lingkungan Perguruan Tinggi Indonesia ini tidak hanya akan menjadi alat legitimasi atas prosesproses eksploitatif yang terkandung pada diri ilmu pengetahuan itu? Misalnya, dalam konteks Fakultas Keguruan, kesadaran kognitif seperti apakah yang perlu dikembangkan agar tidak  semata-mata  menjadi  budak  ilmu  pengetahuan  yang  semata-mata  sekedar bertujuan untuk memenuhi tuntutan pasar global? Dalam konteks Fakultas Ekonomi, model kelembagaan keuangan semacam apakah yang perlu dikembangkan agar tidak semata-mata mendukung pada sistem eksploitatif-kapitalistik pasar? Dalam konteks Fakultas Agama dan Humaniora, model penafsiran, filsafat, pemahaman sejarah, dan  dakwah  seperti  apakah  yang  perlu  dikembangkan  agar  tidak  semata-mata melanggengkan pemikiran yang dominatif (mainstream) dan destruktif? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan mendasar yang harus dijawab jika suatu Perguruan Tinggi tidak mau “diluruk” oleh rakyat yang merasa dirugikan atau bahkan ditindas oleh keilmuan atau ilmuwan yang diproduksi oleh Perguruan Tinggi itu.

Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Koordinator Umum Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)

Related Posts

Comments 2

  1. Miris melihat ilmu pengetahuan tidak digunakan untuk kemaslahatan umat dan alam.

  2. ZUHAIR AKBAR says:

    Peran pribadi yang baik merupakan hal utama yang menjadikan dasar bagaimana nama baik kampus tempat dia kuliah, dan ilmu pengetahuan yang didapatkan bias bermanfaat dan beguna setidaknya untuk diri sendiri kemudian banyak orang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.