Refleksi atas Pe-ngluruk-an Kampus UGM oleh Ibu-Ibu Petani Rembang
I
Jum’at 20 Maret 2015 terjadi satu peristiwa yang patut direnungkan. Hari itu merupakan hari ketika ibu-ibu Rembang yang menolak eksplorasi semen di wilayah Pegunungan karst Kendeng Utara datang “ngluruk” salah satu universitas ternama di Indonesia, yaitu, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Eksplorasi itu mengancam keberlangsung air bagi kehidupan mereka.
Ngluruk ini dipicu oleh kesaksian dua dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Eko Haryono dan Heru Hendrayana di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Kamis 19 Maret 2015 mengenai eksplorasi kawasan karst Rembang (bagian dari karst Kendeng). Kesaksian mereka berdua dianggap tidak sedikitpun berpihak pada kepentingan rakyat yang sedang berjuang mempertahankan sumber mata air dan kelestarian Pegunungan Kendeng Utara dari ancaman eksplorasi Semen yang akan dilakukan oleh korporasi Semen Indonesia. Untuk itu, tulisan ini akan sedikit mempertanyakan dan mempersoalkan “Ilmu Pengetahuan” yang dikembangkan di kampus-kampus Indonesia dan keberpihakannya terhadap persoalan-persoalan kemanusian.
II
Kita semua tahu bahwa Ilmu Pengetahuan (IP) merupakan entitas pembeda umat manusia dengan makhluk lain. Hal itu tidak bersifat given, namun lebih merupakan usaha dalam mensinergikan kepekaan batin (intuition), ketajaman intelektual, dan kepekaan sosial. Entitas pembeda tadi dimaksudkan sekaligus difungsikan sebagai tools dalam realisasi tugas-tugas ke-khalifah-annya. Sehingga, dengan IP tersebut tidak mustahil manusia mampu menciptakan peradabannya, membawa akibat-akibat maupun perubahan-perubahan besar terhadap kodratnya, dan, termasuk juga, kemampuannya dalam menemukan kedaulatan, otonomi, kemandirian, atau bahkan menunjukkan predikatnya sebagai makhluk beradab (civilized).
Sementara itu, IP—termasuk juga di dalamnya Ilmu Agama—muncul sebagai reaksi dan refleksi kritis manusia terhadap segala persoalan hidup secara keseluruhan. Dengan kata lain, IP merupakan sesuatu yang digali, dikembangkan—bisa jadi arahnya pada akomodasi kepentingan manusia dalam konteks dinamika sosial—dan bersifat tidak netral (neutral alias value-laden) maupun bebas nilai (value free).
IP modern menunjukkan wajah yang kurang simpatik terhadap kepentingan keamanusiaan, kukuh dengan kerangka rasionalitas, objektivitas, dan berhasrat kuat menjauh dari kepentingan kemanusiaan. IP dianggap sahih jika objektif dan lepas dari kepentingan-kepentingan subyektif, bersikap netral tehadap fakta atau objek, dan merupakan deskripsi murni tentang fakta. Jadi, IP di satu pihak, tak dapat mempengaruhi atau mengubah objeknya. Sementara, di pihak lain, IP merupakan sesuatu yang tak berubah (constant), beku, dan mati. Oleh karenanya manusia tidak dapat memengaruhi IP. Dengan kata lain, IP bekerja demi IP itu sendiri, lepas dari konteks mekanika kongkrit manusia sehari-hari yang real, dan membiarkan fakta itu apa adanya tanpa menarik konsekuensi-konsekuensi praktis untuk mengubahnya.
Dengan cara ini, IP menjadi layaknya ideologi yang melestarikan status quo dan penipuan ideologis (ideologically-deceiving). Hal ini karena menutupi kenyataan bahwa IP sesungguhnya hanya salah satu kegiatan manusia kongkrit. Implikasi yang paling memprihatinkan dari watak IP modern tersebut adalah bahwa permasalahan-permasalahan kemanusiaan seperti kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan sebagainya merupakan objek kajian yang diikat secara objektif tanpa ‘berniat’ untuk diubah dan diselesaikan. Sementara itu, pada gugus lain, IP dan teknologi modern yang sebenarnya dapat membebaskan manusia dari permasalahan hidupnya ternyata menjadi sistem penguasaan yang total, tidak mengabdi pada manusia. Hukum-hukum teknologi seperti ektensifikasi, otomatisasi, standarisasi, dan mekanisasi seharusnya dapat membebaskan manusia dari kerja fisik. Namun, kenyataanya, hukum-hukum tersebut menjadi prinsip-prinsip yang mengatur umat manusia. Teknologi memaksakan tuntutan-tuntutan ekonomis dan politisnya pada manusia.
Melalui rasionalitas teknologis, penataan masyarakat semakin bersifat rasional, produktif, teknis dan total, tetapi dalam kondisi demikian setiap perubahan kualitatif pada sistem itu harus disingkirkan. Perubahan-perubahan dapat dibiarkan sejauh dapat dicocokkan dengan sistem sebagai keseluruhan. Artinya, IP dapat berguna hanya sejauh dapat diterapkan pada keseluruhan sistem sehingga operateable. Bahwa masyarakat terperangkap di dalam kontrol teknologis tidak selalu berarti bahwa kontrol itu diketahui secara sadar dan jelas. Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat justru menunjukkan dirinya sebagai masyarakat yang bebas dan terbuka. Dalam bidang ekonomis misalnya, kelimpahan kapital telah membuka alternatif seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menikmati apa saja sesuka hatinya. Akan tetapi hal itu hanya superfisial saja. Para konsumen hanya menginginkan apa yang dikehendaki sistem agar ia inginkan.
Sementara itu, di sisi lain, ilmu-ilmu keagamaan juga tetap kukuh dengan kerangka normatifitasnya, atur sana atur sini. Ilmu-ilmu keagamaan menggiring manusia (pemeluknya) untuk berebut benar atas tafsir keagamaannya, lalu saling menyalahkan dan akhirnya membuat mereka terfragmentasi dan terjebak pada kehidupan sekterian. Agama yang semestinya membawa damai malah menebarkan benih pertentangan, permusuhan dan konflik antar pemeluknya. Fenomena radikalisme agama dan terorisme sudah lebih dari cukup membuktikan betapa agama begitu menjadi menakutkan dan mengancam ketentraman hidup manusia. Pertanyaannya sekarang adalah ada apakah dengan ilmu-ilmu keagamaan sehingga membiarkan fenomena itu terjadi? Ataukah justru fenomena itu didukung dan diafirmasi oleh ilmu-ilmu kegamaan itu? Di sisi yang lain, ilmu-ilmu keagamaan seolah tidak peduli dengan perubahan sosial dan permasalahan-permasalahan manusia. Ilmu-ilmu keagamaan hanya menyediakan ‘daya atur’ untuk kehidupan manusia. Ia tidak menyediakan dan memiliki ‘daya analisis’ dan ‘daya ubah’ atas realitas dan permasalahan hidup manusia. Ilmu-ilmu keagamaan sibuk dengan dan untuk dirinya sendiri.
Sampai pada situasi yang paling memprihatinkan, baik IP modern (ilmu alam dan ilmu sosial) maupun ilmu-ilmu keagamaan tampak sibuk dengan dan untuk dirinya sendiri, lepas dari tanggungjawabnya mengabdi pada kepentingan-kepentingan manusia. Ini berarti IP sedang berada pada situasi krisis yang memprihatinkan bagi kehidupan manusia. Maka, sudah selayaknya dan saatnya upaya serius untuk merevitalisasi dan mengembalikan IP pada tanggung jawab kulturalnya untuk mengabdi pada kepentingan-kepentingan manusia. Apapun bentuk dan jenis IP mesti diintegrasikan pada tugas suci memanusiakan manusia. Lalu, bangunan paradigmatik dan filosofis seperti apakah yang mesti dirumuskan untuk mengembalikan tugas suci IP tersebut?
III
Sebagai agen yang langsung bersentuhan dengan IP dan masyarakat, Perguruan Tinggi di indonesia punya tanggung jawab terhadap persoalan masyarakat/kemanusiaan. Menyangkut persoalan tersebut, pertanyaan yang mesti direspon segera adalah bagaimana tanggung jawab Perguruan Tinggi terhadap masalah, misalnya, ancaman kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial—baik berbasis agama, aliran agama, etnis, kelas, jenis kelamin, gender, maupun negara? Di samping itu juga, fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi di Kampus-kampus Indonesia masih belum menyentuh aspek tersebut.
Sementara fungsi pengajaran masih bersifat normatif dan konvensional: terfokus di kelas, hanya transfer of knowledge, dan materi pengajaran juga masih bersifat konseptual. Aspek-aspek yang bersifat responsif pada persoalan-persoalan kemanusiaan, lingkungan, dan kemiskinan belum mendapat tempat yang semestinya. Hal ini dapat dilihat pada kurikulum dan pendekatan pengajaran di Perguruan Tinggi Indonesia. Fungsi riset maupun pengabdian juga sama kondisinya masih terkonsentrasi pada alasan-alasan pragmatis cum untuk kenaikan pangkat. Sampai sekarang belum ada evaluasi dan kesadaran menyeluruh terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi bangsa ini. Kasus “ngluruk” ibu-ibu pejuang karst Pegunungan Kendeng ke kampus UGM merupakan contoh kongkret yang bisa menggambarkan paradoks ini.
Kondisi Perguruan Tinggi Indonesia yang semacam ini, sepi dari keberpihakan persoalan-persoalan sosial/kemanusiaan, terkait dengan banyak hal, yang salah satunya adalah paradigma keilmuan yang fragmentaris pada ranah epistemologi-pragmatis dalam aspek aksiologis. Banyak pihak belum begitu bisa memahami keterkaitan antara ilmu dengan obyek material dan formalnya. Selain itu juga banyak pihak meyakini netralitas ilmu. Sehingga masalah ketidakadilan sosial tidak menjadi tanggung jawab ilmu dan ilmuwan (dosen), melainkan tanggungjawab aktifis sosial dan politisi. Faktor lain terkait juga dengan pragmatisme pasar, di mana Perguruan Tinggi Indonesia lebih merespon kebutuhan pasar dibanding kepekaan mencari jalan keluar bagi persoalan-persoalan sosial/kemanusiaan. Dalam hal ini kritikan dalam bentuk plesetan dari UGM (Universitas Gaweane Mroyek) patut untuk direnungkan.
Lebih jauh, berdasarkan refleksi di atas diharapkan landasan paradigmatik itu akan menjadi dasar pengembangan Perguruan Tinggi Indonesia ke depan. Pertanyaan mendasar yang harus direnungkan lebih dalam adalah apakah yang harus dikembangkan agar fakultas dan jurusan yang ada di lingkungan Perguruan Tinggi Indonesia ini tidak hanya akan menjadi alat legitimasi atas prosesproses eksploitatif yang terkandung pada diri ilmu pengetahuan itu? Misalnya, dalam konteks Fakultas Keguruan, kesadaran kognitif seperti apakah yang perlu dikembangkan agar tidak semata-mata menjadi budak ilmu pengetahuan yang semata-mata sekedar bertujuan untuk memenuhi tuntutan pasar global? Dalam konteks Fakultas Ekonomi, model kelembagaan keuangan semacam apakah yang perlu dikembangkan agar tidak semata-mata mendukung pada sistem eksploitatif-kapitalistik pasar? Dalam konteks Fakultas Agama dan Humaniora, model penafsiran, filsafat, pemahaman sejarah, dan dakwah seperti apakah yang perlu dikembangkan agar tidak semata-mata melanggengkan pemikiran yang dominatif (mainstream) dan destruktif? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan mendasar yang harus dijawab jika suatu Perguruan Tinggi tidak mau “diluruk” oleh rakyat yang merasa dirugikan atau bahkan ditindas oleh keilmuan atau ilmuwan yang diproduksi oleh Perguruan Tinggi itu.
Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Koordinator Umum Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)
Miris melihat ilmu pengetahuan tidak digunakan untuk kemaslahatan umat dan alam.
Peran pribadi yang baik merupakan hal utama yang menjadikan dasar bagaimana nama baik kampus tempat dia kuliah, dan ilmu pengetahuan yang didapatkan bias bermanfaat dan beguna setidaknya untuk diri sendiri kemudian banyak orang.