Islam Memandang Rekonsiliasi 1965

818
VIEWS

Palu dan celurit. Hingga kini dalam pikiran masyarakat awam, kedua gambar menyilang itu telah cukup menggambarkan betapa kejamnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Seolah-olah palu untuk memartil kepala para jenderal dan celurit untuk memburaikan isi perut mereka. Bukan hanya orang-orang awam yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali, melainkan juga tamatan Sekolah Menengah Atas memiliki pemahaman yang serupa. Memang buku-buku sejarah di sekolahan mematrikan pemahaman itu dengan mantap. Mereka tidak tahu atau tidak peduli bahwa ribuan atau lebih dari anggota partai merah tersebut dibantai dengan semena-mena.

Kini telah berlalu sekitar lima puluh tahun dari titik kelam sejarah bangsa Indonesia, semakin ramai tuntutan untuk segera mewujudkan rekonsiliasi. Tidak hanya tuntutan menyelesaikan perbedaan, tetapi juga tuntutan untuk mengungkap sejarah dengan jujur. Rekonsiliasi agaknya tidak mungkin tanpa rekonstruksi sejarah nasional karena rekonsiliasi menuntut adanya pembedaan secara jelas siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku. Bukankah dalam rekonsiliasi terkandung usaha rehabilitasi dan kompensasi?

Kalau fokus diarahkan ke substansi Gerakan 30 September 1965, maka diakui sampai sekarang sulit menemukan dengan pasti siapa sesungguhnya yang menjadi dalang dalam wayang yang mengerikan itu. Harold Could menemukan tiga macam pemahaman ahli sejarah tentang G 30 S. Pertama, ia merupakan suatu gerakan kalangan perwira militer yang tidak puas dengan kepemimpinan Angkatan Darat. Kedua, suatu gerakan yang dinyatakan dari tentara orang-orang Indonesia yang keseluruhan operasinya diotaki PKI. Ketiga, suatu gerakan yang diinterpretasikan sebagai suatu komplotan antara perwira militer dan pemimpin PKI.[1] Harold sendiri di paragraf terakhir dalam tema yang sama menulis,

Tujuan pokok gerakan adalah menangkap para jenderal yang diyakini tengah berkomplot merencanakan penentangan terhadap presiden. Hal itu dilakukan dengan harapan agar presiden dapat mengambil tindakan terhadap para jenderal tersebut.

Penulis menyerahkan masalah tersebut kepada sejarawan. Sependek perhatian penulis terhadap peristiwa sekitar Gerakan 30 September 1965 berikut dampak-dampaknya, ada beberapa fakta yang diketahui bersama bahkan mungkin disepakati. Fakta-fakta itu antara lain adalah bahwa (a) dewi fortuna berpihak kepada Soeharto tanpa memutuskan apakah dia sebagai sang penyelamat atau penyulut kiamat (sampai mangkat, Soeharto terus diiringi dewi fortuna), (b) adanya kutukan abadi yang menimpa orang-orang yang berbau PKI mulai dari kader partainya, simpatisan, hingga orang-orang yang dicurigai sebagai PKI.

Katakanlah Gerakan 30 September itu sebagai usaha penggulingan kekuasaan Soekarno, maka seharusnya cerita sudah tamat begitu dedengkot partai telah ditangkap untuk lalu dibasmi. Yang menjadi aneh adalah semangat Soeharto untuk mengganyang PKI hingga ke akar-akarnya, malah diwujudkan dalam bentuk membakar PKI sampai ke ranting-rantingnya. Mungkin mereka atau saya tidak memahami mana yang disebut akar dan mana yang disebut ranting.

Berpangkal pada dua fakta di atas, harus dilakukan usaha-usaha untuk mewujudkan rekonsiliasi yang pada intinya bertujuan menghapuskan kutukan abadi atas orang-orang yang berbau PKI. Rekonsiliasi adalah kebutuhan tidak saja bagi para korban, tetapi juga bagi pelaku yang terus dihantui dosa dan salah. Beban dosa bagi pelaku boleh jadi sama dengan timpaan diskriminasi bagi korban dalam hal mengusik ketenteraman.

Dosa Warisan

Dalam pandangan Islam, pertanggungjawaban dosa adalah hanya ada pada pelakunya. Keluhuran ajaran ini ditambahkan dengan doktrin tidak ada dosa yang tidak terampuni. Dosa dipikulkan di atas pundak pelakunya dan dia berkesempatan mendapatkan ampunan. Sekian ayat dan hadis menunjukkan hal tersebut.

وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“…Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” (al-Anʻām: 164)

Klausa kedua dalam ayat ini disebut sebanyak lima kali dalam Al-Qur’an[2], yang di antaranya diteruskan dengan penjelasan yang mengukuhkan doktrin tersebut,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى

Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya…” (Fāṭir: 18)

Oleh karena itu, Nabi bersabda Tidaklah setiap anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitri.[3] Berbeda dengan kaum Kristiani yang meyakini adanya dosa warisan dari Adam a.s., umat Muslim memandang kisah Adam sebagai kesalahan wajar yang terampuni.

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya” (al-Baqarah: 37)

Kalau disimpulkan bahwa beberapa pemimpin PKI pada masanya telah mencoba melakukan makar, maka merekalah yang berdosa. Ribuan massa PKI yang mengitari lubang buaya hanya sebagai pion yang digerakkan dan didogma sedemikian rupa agar meyakini perbuatan mereka adalah kebenaran dan demi keutuhan negara. Tetapi, rupanya yang menanggung beban dosa adalah mereka semua dan anak cucu mereka yang tidak mengetahui apa-apa.

Bahwa orang-orang PKI dibantai habis pada masanya dianggap “wajar”, tetapi menimpakan kesalahan mereka kepada keturunan mereka jelas-jelas kurang ajar. Di satu sisi dosa telah diwariskan, dan di sisi lain amarah turut diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Perlakuan terhadap anak PKI mirip-mirip dengan perlakuan terhadap anak zina.

Dalam sejarahnya, Islam dengan figur idealnya, baginda Muhammad SAW memberikan teladan yang baik dalam membentuk happy ending antara dua suku yang bertikai, Aus dan Khazraj. Tadinya sebelum kedatangan Islam, mereka saling berperang dengan hukum darah dibalas darah. Begitu Nabi memulai membangun masyarakat Yatsrib, ikatan darah mereka telah diperkokoh dengan ikatan kepercayaan yang sama. Dalam suatu kesempatan, sekelompok Yahudi berhasil memprovokasi mereka dan sambil lalu mengingat-ingatkan persaingan masa lalu. Beruntung Nabi segera bertindak dan senantiasa menyertai mereka sampai deru-dendam lawas mereka redam dan kondisi benar-benar tenang.[4]

Baca Juga:

Mungkin tidak jauh berbeda dengan kasus serupa pertikaian yang menimpa bangsa Indonesia. Baik PKI maupun lawannya sesungguhnya adalah saudara sebangsa, bahkan tidak sedikit yang saudara seiman. Sangat mungkin dikatakan pertikaian itu ada yang menyulut apinya dan ingin terus menjaganya berkobar. Hanya keterbatasan pengetahuan yang menyebabkan penulis tidak cukup memiliki keberanian menunjuk siapa yang menjadi “Yahudi” dalam pertikaian negeri ini.

Antara Komunisme dan Ateisme

Rekonsiliasi sejauh ini masih sulit diwujudkan. Pandangan umum bahwa PKI adalah partai yang tidak percaya kepada tuhan, bahkan tidak bertuhan, menyebabkan kalangan agama, beberapa tokoh NU di antaranya,[5] sangat keberatan dengan usaha-usaha yang menuju ke arah rekonsiliasi. Sesungguhnya ateisme tidak identik dengan komunisme karena keduanya memiliki mafhūm yang berbeda, walaupun pada kenyataan tidak sedikit dari pengikut partai komunis adalah mereka yang ateis.

Ajaran Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih apakah akan beriman atau kufur, tentu saja dengan pertanggungjawaban masing-masing.

فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فليكفر

“…maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…” (al-Kahfi: 29)

Dalam tafsir al-Maturidi disebutkan bahwa Nabi Muhammad menerima wahyu dan beliau berkewajiban hanya menyampaikan kepada umatnya. Nabi tidak memaksa mereka memeluk agama Islam. Yang beriman itu karena pilihan mereka. Yang kafir juga atas dasar pilihan mereka sendiri, tidak ada paksaan untuk itu.[6] Dengan demikian, beriman atau tidak itu adalah suatu pilihan yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Tetapi secara kenegaraan, menerima orang yang nyata-nyata tidak mempercayai Tuhan meninggalkan problem akademik mengingat sila pertama dari Pancasila adalah ketuhanan yang Maha Esa.

Komunisme dalam bentuk partai yang memperjuangkan nasib kelas bawah tidak bisa dilarang beredar di Indonesia, terutama kalau mengasumsikan bahwa banyak dari mereka adalah kaum yang beriman, beragama, dan bertuhan. Pasal 3 TAP MPRS No. XXV tahun 1966 memang berlebihan, di situ dijelaskan bahwa kegiatan ilmiah yang mempelajari paham Komunisme, Marxisme, dan Leninisme dapat dilaksanakan secara terpimpin dengan ketentuan Pemerintah dan DPR-GR harus membuat perundang-undangan untuk pengamanan. Saya tidak mengetahui apakah undang-undang pengamanan pendidikan tersebut sudah dibuat atau belum. Kalau belum, berarti buku-buku tentang pemikiran Marx itu ilegal menurut TAP MPRS tersebut.

Peluang Rekonsiliasi

Rekonsiliasi adalah jalan paling baik tetapi sulit karena dalam kata tersebut terkandung makna pengembalian hak, penahanan amarah, permintaan dan pemberian maaf. Dan yang mumpuni melakukan itu semua adalah orang-orang yang oleh Al-Qur’an disebut muttaqīnnan muḥsinīn yang surga dijanjikan kepada mereka.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Āli ʻImrān: 123-124)

Pelaku kejahatan harus mengembalikan hak korban dan harus meminta maaf. Berbeda dengan meminta harta atau takhta, meminta maaf sungguh sulit. Diperlukan kesiapan mental dan ketulusan untuk mengakui kesalahan. Selanjutnya pihak korban memerlukan kekuatan dan keberanian untuk menahan kegeraman dan membutuhkan lapang dada untuk selanjutnya memafkan.

Selain itu, sifat dasar manusia itu kikir. Dan kekikiran juga yang menyebabkan jalan ke tempat rekonsiliasi semakin berliku.

وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ

“…dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir…” (al-Nisāꞌ: 128)

Pihak pelaku kikir untuk sekadar menjabarkan kebenaran dan kikir untuk mengembalikan haknya, sementara pihak korban kikir untuk memberikan maafnya. Padahal dalam perdamaian selalu ada pengorbanan baik dari pihak yang benar maupun pihak yang salah. Pengorbanan-pengorbanan ini hanya pantas berbalas surga.

Teladan yang baik telah dicontohkan Nabi ketika fatḥ makkah. Dengan kekuatan pasukan yang dibawanya beliau sangat mungkin untuk melakukan pembantaian kafir Quraisy untuk membalas kejahatan-kejahatan masa lalu mereka mulai dari hinaan, pemboikotan, hingga pengusiran. Akan tetapi, yang disabdakan beliau adalah,

مَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ وَمَنْ أَلْقَى السِّلَاحَ فَهُوَ آمِنٌ وَمَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ

Siapa yang memasuki rumahnya Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang meletakkan senjata, dia aman. Siapa yang menutup pintunya, dia aman.[7]

Sejarawan bersepakat bahwa dalam penaklukan Mekkah itu Rasulullah SAW tidak merampas harta dan tidak menawan siapapun. Kecuali itu, memang ada enam dedengkot Quraisy yang dihukum mati.[8]

Sementara pihak menilai bahwa rekonsiliasi nasional mustahil diwujudkan tanpa rekonstruksi sejarah nasional karena segresi sosial dan politik itu berakar pada sejarah politik nasional. Pandangan ini mungkin saja benar tetapi sayangnya belum menyebutkan langkah konkret rekonstruksi sejarah. Alih-alih merekonstruksi sejarah, malah nantinya terjebak pada penyeragaman sejarah seperti yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Terbitnya beberapa hasil penelitian dan buku-buku tentang Gerakan 30 September dari beberapa kalangan kiranya telah cukup untuk mengimbangi sejarah mapan buatan Soeharto yang begitu dominan.

Demikian juga perihal TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 yang dianggap sebagai batu sandungan besar dalam mewujudkan rekonsiliasi. Telah diakui oleh penulis ada beberapa pasal yang lebih menggambarkan betapa takutnya para pembuat ketetapan itu terhadap PKI daripada bagaimana menghadapi PKI secara proporsional. Pro dan kontara perihal pencabutan TAP MPRS tersebut akan terus bergulir sampai ia dicabut.

Sangat sederhana, kalau benar diskriminasi masih dialami sampai saat ini oleh orang-orang yang berbau PKI, misalnya tidak boleh melamar menjadi pegawai negeri karena tercatat sebagai anak atau cucu dari orang yang secara politik dikenal berafiliasi kepada PKI, maka usaha mengembalikan hak mereka ini lebih mendesak daripada meributkan apakah TAP MPRS harus dicabut atau tidak untuk terwujudnya rekonsiliasi. Hemat pribadi penulis, keberadaan TAP MPRS tersebut tidak berkaitan secara langsung dengan usaha-usaha konkret mengembalikan hak-hak wong cilik. Tanpa bermaksud melahirkan kecurigaan baru, TAP MPRS sangat mendesak untuk dicabut bagi kalangan elite.

Namun, apabila TAP MPRS itu benar-benar menjadi penghalang bagi para korban untuk mendapat hak-hak warga negaranya, maka tidak ada lain untuk segera mencongkelnya. Wallāhu taʻalā Aʻlam.

Penulis adalah pengajar Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo dan Syuriyah PBNU 

*Semula merupakan makalah yang disampaikan pada Halaqoh Kebudayaan “Memahami Peristiwa 1965 dalam Bingkai Rekonsiliasi (Islah) Keagamaan, Kemanusiaan, dan Kebangsaan”, 12 Februari 2015, di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

[1]Harold Could, “Another Look At Indonesia Coup”, diterjemahkan oleh A.S. Burhan dengan judul “Suatu Sorotan Lain terhadap Coup 1965”, Tashwirul Afkar, edisi no. 15, tahun 2003.

[2]Selain yang disebutkan di atas adalah al-Isrāꞌ ayat 15, al-Zumar ayat 7, dan al-Najm ayat 38.

[3]Ṡaḥīḥ Bukhari, (Beirut: Dar al-Thuq al-Najah, 1422 H), juz II, hlm 94.

[4]Imam al-Razi, Mafātih al-Ghaib, dalam penafsiran terhadap ayat 103 surat Āli ʻImrān.

[5] Di Madura pada PILPRES 2014, tepatnya di kabupaten Sumenep, ada banyak kiai yang sangat membenci Jokowi hanya karena ada isu yang menyebutkan bahwa Jokowi bersama partainya akan serius untuk mencabut TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 apabila terpilih menjadi Presiden.

[6]Al-Maturidi, Ta’wīlat Ahli al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kutub, 2005 M), hlm 297.

[7]Ṡaḥīḥ Muslim, (Beirut: Dār Ihya’ al-Turats) juz III, hlm 1407.

[8]Ramadan al-Bhuti, Fiqh al-Sīrah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993 M), hlm 313.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.