#JesuisCharlie adalah kata paling populer di media sosial pasca kejadian horor yang mengambil nyawa awak media Charlie Hebdo (selanjutnya disingkat CH) dan dua orang polisi. Dalam waktu singkat CH menjadi simbol dari perjuangan atas hak-hak untuk bersuara dan kebebasan berpendapat. Tetapi, tanpa mengurangi duka dan belangsungkawa atas korban yang tewas, CH sebetulnya bukanlah media yang memperjuangkan hak-hak minoritas Kristen di China, atau Syiah di Sampang. Dia memperjuangkan hak-hak borjuasi untuk mengkritik kebijakan imigrasi dan membangkitkan sentimen islamphobia—ini yang membuat posisi politik CH sebenarnya sangat rapuh.
Keganjilan CH terlihat pada 2009 ketika mereka memecat jurnalisnya, Maurice Sinet, karena mengkritik Jean Sarkozy, anak mantan presiden Perancis yang masuk Yahudi karena alasan uang. Editor CH Phillippe Val meminta Sinet untuk mengumumkan permintaan maaf. Sinet menolak. Konsekuensi atas penolakan itu dia dipecat.[i] Uniknya, CH punya batas ketika sebuah lelucon menyangkut Yahudi, tapi tanpa ampun ketika itu mengenai muslim dan imigran.
Kasus CH bisa didudukkan sebagai sebuah kenyataan riil mengenai permasalahan yang jauh lebih besar, yaitu bagaimana Perancis memandang dan memperlakukan komunitas imigrannya terutama imigran muslim. Menggunakan bahasa Cinzia Arruzza “Muslim di Perancis tidak hanya mendapat perlakuan opresif dan eksploitatif, mereka juga menjadi kambing hitam atas kegagalan ekonomi dan krisis, mereka adalah potret dari mimpi buruk dan ketakutan warga kulit putih di Eropa.”[ii]
Sebelumnya pada tahun 2011, Perancis melengkapi kebijakan melarang penggunaan burqa dan niqab, dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan cadar, yang menutupi seluruh muka. Pelarangan ini disambut hangat oleh banyak kalangan. Fadela Amara, feminis dan mantan menteri pada era Sarkozy menyebut burqa sebagai “kuburan, sebuah horor bagi siapapun yang terperangkap didalamnya.” André Gerin, anggota Parlemen dari Partai Komunis Perancis, yang juga menjabat sebagai ketua komisi perumusan undang-undang tersebut menyebut undang-undang itu sebagai “Sebuah langkah awal untuk menghancurkan praktek opresi (atas perempuan)”[iii]. Pemerintah Perancis mengumumkan bahwa pelarangan menutup semua muka dalam ruang publik ini tidak ditujukan kepada umat Islam, melainkan ditujukan kepada semua agama. Undang-undang itu terlebih dahulu diikuti dengan pelarangan simbol agama untuk digunakan para pegawai publik, dan pelarangan niqab dan burqa adalah puncaknya.
Perancis memang memiliki sejarah panjang dengan proyek sekularisasi dalam menggeser agama terutama Katolik dari ruang publik. Pengalaman sejarah itu yang membuat Perancis selalu menaruh kecurigaan terhadap agama dan selalu berupaya membentengi ruang publik di Perancis dari sentimen agama. Sementara komunitas imigran muslim datang ke Perancis dan Eropa dengan pengalaman historis yang berbeda.
Islam dan Eropa bertemu dalam tiga pengalaman historis yang berbeda. Pertama, sebagai seteru—diwakili dengan perang suci dan pendudukan beberapa wilayah Eropa oleh dinasti muslim. Kedua, sebagai negara koloni terutama di Afrika Utara, dan Timur Tengah—pada periode ini Perancis banyak mendapat keuntungan dari negara koloni baik ekonomi maupun tentara rekrutan (tirailleurs) yang digunakan untuk membantu Perancis dalam beberapa perang. Ketiga, sebagai ekspansi imigran terutama pasca perang dunia kedua. Ketiga perjumpaan itu ternyata tidak berjalan mulus dan penuh dengan pergesekan sosial dan politik. Karena itu Eropa mempunyai kecurigaan yang sangat tinggi atas komitmen dan loyalitas muslim terhadap nilai-nilai barat. Pertanyaan besar para politisi dan intelektual Eropa dewasa ini adalah: apakah muslim bisa menjadi warga negara yang setia atas negara sekular di Eropa?
Artikel ini mencoba mendiskusikan Perancis dan proyek sekularisasinya, terutama posisi mereka terhadap eksperesi keagamaan dan integrasi sosial dalam konteks ini dengan komunitas muslim dan imigran.
Komunitas muslim di Perancis lebih dari 5 juta warga, merupakan yang terbesar di Eropa, dan permasalahan besar mereka selain integrasi adalah ekonomi. Pada tahun 2006, PEW Research mengeluarkan data yang menyebutkan bahwa 52% Muslim di Perancis khawatir tidak mampu mendapat pekerjaan[iv]. Kegagalan integrasi sosial dan ekonomi juga berujung pada banyak masalah lain bagi komunitas Muslim di Perancis, termasuk rendahnya akses terhadap pendidikan dan keterlibatan dengan aksi-aksi kriminal. Muslim di Perancis berjumlah 8% dari total penduduk, tetapi 60% dari penghuni penjara di Perancis adalah muslim.[v]
Membicarakan posisi imigran muslim di Perancis menjadi menarik di tengah kenyataan kelompok teroris seperti ISIS dan Al Qaeda sepertinya cukup berhasil merekrut anggota di Eropa. Data tahun 2013 saja menunjukkan, pasca meletus konflik di Syria setidaknya ada sekitar 200 sampai 400 warganegara Perancis bergabung dengan ISIS atau Al-Qaeda, 200 warga Jerman, 200 sampai 300 warga Inggris, 100 sampai 300 warga Belgia[vi], dan angka itu sepertinya terus meningkat seiring dengan bermasalahnya integrasi imigran dan Muslim di Eropa. Angka itu lebih besar daripada warga Asia Tenggara yang bergabung dengan ISIS dan Al-Qaida, yang pada 2014 Indonesia memiliki 60 orang (data tak resmi menyebut hampir 200), Malaysia dan Filipina masing-masing 100 dan 200 orang.[vii]
Tulisan ini memiliki dua bagian: Bagian pertama melihat pengalaman historis antara Perancis dan agama terutama dalam kasus ini Katolik, dan bagaimana pengalaman itu melahirkan persepsi mereka atas agama dan ruang publik sekular. Bagian kedua dari tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai kondisi terkini sekularisme di Perancis yang dikenal dengan istilah Laïcité, dan bagaimana Perancis memposisikan diri mereka terhadap komunitas imigran dan muslim, serta posisi politik seperti apa yang mendukung kondisi diskriminatif terhadap komunitas imigran dan muslim di Perancis.
Revolusi Borjuis dan Gereja
Dalam konteks pembentukan sekularisme di Perancis, akan menjadi sebuah kecelakaan besar apabila kita melewatkan kondisi historis terbentuknya sebuah negara sekular. Terbentuknya negara modern di Perancis adalah tolakan besar dalam sejarah dunia. Pasca Revolusi 1789, Perancis menjadi prototype negara modern yang kemudian menjamur ke penjuru dunia. Penemuan negara modern adalah puncak dari kegaduhan rasio modern Eropa yang mengkritik aristokrasi dan wewenang kepasturan Katolik, sebagaimana moto revolusi Perancis “Liberté, Égalité, Fraternité” (Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan). Tiga moto revolusi Perancis tersebut lahir tradisi zaman pencerahan Eropa terutama mengenai ide mengenai hak-hak natural manusia.
Pada abad 17 dan 18, Perancis mengalami kemajuan pada bidang ekonomi yang cukup mengagumkan di Eropa, hal yang sama juga dialami oleh negara-negara Eropa lainnya. Konsekuensi dari kemajuan tersebut adalah berkembangnya borjuasi di Eropa. Kemajuan itu disebabkan oleh beberapa hal salah satunya adalah penemuan teknologi industri, perluasan pasar dan komsumsi, serta tentu saja penemuan koloni baru di Asia dan Afrika.
Di Perancis pada abad 17 dan 18 perkembangan kelas menengah telah melahirkan apa yang oleh Habermas disebut sebagai ruang publik borjuis. Ruang sosial yang baru ini telah menggantikan otoritas lama dalam masyarakat Eropa.Di sini setiap individu yang berpartisipasi harus mampu menunjukkan kemampuan berbicara secara rasional, karena di situlah letak otoritas seorang individu agar apa yang dia bicarakan didengar dan diakui, sementara otoritas lama lebih menekankan pada status sosial (ningrat, raja atau pendeta); pada yang mengatakan dan bukan isi pembicaraannya. Pembicaraan rasional adalah hal penting dalam pembentukan kesadaran kelas borjuis.
Salah satu topik yang berkembang pesat pada era itu di kalangan borjuis Perancis adalah perihal ekonomi-politik. Antara tahun 1750-1789, ada lebih banyak buku dengan tema ekonomi-politik diterbitkan di Perancis ketimbang novel. Padahal pada era itu novel dan sastra adalah produk cetak terlaris.[viii] Borjuis Perancis mulai mengkritisi ketidakmampuan kerajaan yang disokong Gereja dalam menjalankan pemerintahan dan menggerakkan ekonomi—mereka melihat Inggris, Jerman dan Belanda jauh lebih baik dalam mengurus kebijakan ekonomi.
Gereja memiliki hak milik atas tanah dan properti yang banyak di Perancis dan wilayah Eropa lainnya. Salah satu contoh adalah Uskup Pierre Louis de La Rochefoucauld-Bayers yang sudah menjabat sebagai uskup di Saintes semenjak tahun 1781. Penghasilannya pertahun sebelum revolusi adalah 80,000 livres (satuan mata uang), dan pada musim dingin dan panas dia tinggal di dua kastil mewah yang berbeda.[ix]
Kehidupan para pastur dan Uskup yang kaya raya mengundang banyak kritik. Puncaknya terjadi pada tahun 12 Juli 1790 dengan dikeluarkan Constitution civile du clergé (Konstitusi Civil untuk Kependetaan) oleh Majelis Nasional yang menarik semua hak-hak khusus gereja dan kemudian menjadikan pastur, uskup dan semua komponen gereja berada di bawah negara. Kebijakan ini tidak langsung diterapkan tetapi diterapkan secara berangsur. Pada tahun 1801 contohnya, Napoleon mengadakan perundingan (Concordat 1801) dengan Paus Pius VII mengenai hak-hak kebebasan beragama. Walaupun perundingan itu membuahkan hasil seperti pengakuan terhadap Katolik sebagai agama mayoritas tetapi dia bukan agama negara. Posisi gereja tetap berada di bawah pengawasan negara dan para pastur merupakan pegawai negara yang mengucapkan sumpah setia kepada negara. Vatikan boleh mengangkat Uskup tetapi tetap dengan persetujuan negara, dan tanah gereja yang dinasionalisasi dikembalikan kepada gereja tetapi tetap dalam pengawasan negara. Baru dengan undang-undang tahun 1905 Perancis menetapkan aturan pemisahan penuh antara gereja dan negara.
Pada titik inilah lompatan penting mengenai sekularisasi di Eropa dimulai, yaitu dimana hal-hal sakral diturunkan derajatnya, diukur melalui metode rasional dan dijadikan properti negara. Salah satu contohnya adalah nasionalisasi dan penjualan properti gereja yang selama ini dianggap sakral dialihkan menjadi barang komoditi selama revolusi Perancis. Di dalam bahasa Gereja Katolik, sekularisasi ditandai denganpemindahan posisi pendeta yang seharusnya hidup di luar “siècle” (duniawi), menjadi hidup di dalam urusan duniawi (otoritas negara). Pendeta kemudian terlibat dalam urusan tetek bengek seperti penyesuaian dan penggalangan dana, dan segala urusan administratif lainnya. Ia juga bertanggung jawab pada sebuah sistem administratif[x] yang kaku dan mengurangi kadar kesakraklannya.
Dimulai dari pertengahan 1880 sampai 1920an, Perancis melalui undang-undang, dekrit, hukum, dan negosisasi telah berhasil menggeser gereja dari sekolah publik dan menekan status publik gereja—sebuah kemenangan panjang sekularisasi Perancis yang kemudian dikenal dengan istilah laïcité.[xi] Projek ini meninggalkan sebuah kecurigaan mendalam atas agama, dan menggantikan otoritas geraja dengan otoritas pengetahuan sekular.
Menakar Keabsahan Imigran Muslim di Perancis.
Pada tanggal 15 Oktober 2008 Perancis dan Tunisia mengadakan pertandingan sepakbola persahabatan. Sebelum pertandingan dimulai, lagu kebangsaaan Tunisia dinyanyikan oleh Amina Annabi, sementara lagu kebangsaan Perancis dinyanyikan oleh Laam, keduanya adalah warga Negara Perancis berketurunan Tunisia. Ketika Laam menyanyikan lagu kebangsaan Perancis, para penonton mulai berteriak, membuat suara gaduh dan bersorak.[xii] Presiden Perancis pada waktu itu, Nicolas Sarkozy, menyebut peristiwa itu sebagai skandal besar, dan menyesalkan kenapa pertandingan itu tidak dihentikan ketika lagu kebangsaan dilecehkan. Pernyataan Sarkozy belum seberapa dibanding pernyataan Bernard Laporte, second secretary of state kementerian olahraga, yang mengusulkan semua pertandingan melawan negara dari Afrika Utara tidak lagi diadakan di Paris, “Kita tidak akan lagi mengadakan pertandingan dengan Algeria, Maroko dan Tunisia di Stadion Stade de France”[xiii]. Kejadian itu adalah monumen paling penting dalam membahas isu kontemporer bagaimana Perancis begitu kesulitan dalam mengintegrasikan imigran dan minoritas muslim ke dalam entitas nasional.
Perbedaan latar belakang historis setidaknya membuat komunitas imigran Muslim tidak memiliki pengalaman yang sama dengan komunitas kulit putih Perancis.Tetapi itu bukan faktor utama mengenai kegagalan integrasi kelompok muslim di Perancis.
Pada bagian ini saya hendak memberikan argumen bahwa permasalahan utama dari integrasi dan hubungan antara komunitas muslim dan Perancis terletak pada semangat sekularisme radikal yang dijalankan negara semenjak revolusi dan kecurigaan terhadap kemampuan komunitas muslim terutama imigran untuk mengemban identitas diri sebagai warga negara Perancis yang sekuler. Tetapi sebelumnya saya harus menegaskan bahwa proyek sekularisme (laïcité) dalam masyarakat Perancis bukanlah sebuah konsep tanpa pengecualian. Contoh dari pengecualian itu adalah Alsace-Moselle, sebuah wilayah di Timur Perancis yang sebelumnya dikuasai oleh Jerman dari 1871 sampai 1919. Wilayah ini adalah satu-satunya wilayah di Perancis yang otonom dari pengaruh laïcité. Di Alsace-Moselle pendidikan agama diizinkan untuk diajarkan di sekolah dan agama juga tampil di ruang publik, sebagian besar pendudukanya juga berbahasa Jerman. Alsace-Moselle mengakui Katolik, Yahudi, Calvinis, Lutherian, Protestan, dan Reform—semua agama-agama tersebut berhak mendapatkan porsinya di kurikulum sekolah.
Blandine Kriegel seorang filsuf yang juga bekerja sebagai penasehat untuk Presiden Jacques Chirac, pada tahun 2003 mengatakan bahwa “kami memegang teguh prinsip laïcité. Kami harus menempatkan diri kami di dalam ruang publik, melalui penyesuaian karakter individu dari mana kami berasal[…]sekolah publik adalah bagian dari publik karena disanalah pendidikan kewarganegaraan diajarkan. Dan tentu saja itu adalah (wilayah) administrasi publik.”[xiv]Pernyataan Kriegel memperlihatkan bahwa dalam pandangannya apapun yang publik adalah negara, otoritas negara dalam menentukan hak-hak beraktivitas sangat penting. Dalam konteks ini negara bisa diartikan sebagai masyarakat, dan tujuannya adalah menciptakan“kebaikan bersama” (common good), yang merupakan ide sentral dari pemikir Perancis, Jean-Jacques Rosseau, dan juga ide sentral dari terbentuknya Republik Perancis.
Sebagaimana sudah disinggung di atas, salah satu karakter paling penting dari terbentuknya Perancis adalah keberhasilan memisahkan “kebaikan bersama”dari kehendak Tuhan, atau kebaikan yang sekular. Salah satu kekuatan utama dari laïcité dalam mempengaruhi kebijakan publik adalah produksi pengetahuan atas sekularisme dari ruang publik borjuis paling kuat di Perancis setelah kejatuhan gereja yaitu universitas dan pendidikan tinggi.
Pembentukan elite dan dominasi pembicaraan politik di Perancis sebagian besar dipegang oleh lulusan dari Grande Ecole (sekolah tinggi elite) di Perancis, sejenis Ivy League di Amerika, sekolah tinggi dari dan untuk borjuis. Dari Grande Ecole inilah para politisi, pengusaha, filsuf, ilmuwan dan pegawai publik diproduksi. Grande Ecole terdiri dari beberapa universitas seperti École Nationale d’Administration (ENA [National School of Administration]), Sciences Po Paris dan Arts et Métiers ParisTech. Porsi lulusan dari Grande Ecole yang duduk dilingkaran penting pemerintahan terus meningkat pada dua periodepemerintahan sebelum Hollande,yaitu 53.1% pada periode pemerintahan Jacques Chirac, dan 69.9% pada pemerintahan Sarkozy.[xv]
Grande Ecole bukanlah institusi yang mudah untuk dimasuki. Seorang calon mahasiswa Grande Ecole harus mengikuti kelas persiapan selama dua tahun setelah lulus SMA (Sekolah Mengah Atas). Meskipun kelas persiapan ini tidak meminta biaya yang besar, tetapi 50% dari para siswa di sekolah persiapan adalah anak dari petinggi pemerintahan atau professional. Siswa dengan orang tua yang sudah paham dengan kompleksitas sistem pendidikan Perancis, memiliki kemungkinan lebih besar untuk diterima Grande Ecole.[xvi] 65% dari siswa di sekolah persiapan memiliki latar belakang kejuruan science ketika di SMA, di Perancis kejuruan science adalah pilihan para siswa dari kelas menengah dan kelas atas, sementara siswa SMA dari kelas bawah lebih memilih kejuruan vocational (seperti teknik mesin, dll) karena dinilai lebih memiliki kepastian di dunia kerja.[xvii] Sistem penerimaan di Grande Ecole juga rumit. Pengetahuan umum, kebudayaan, sejarah Perancis telah membuat para imigran atau keturunan imigran yang memiliki latar belakang budaya berbeda kesulitan untuk masuk ke institusi tersebut.
Dari kompleksitas sistem pendidikan tersebut, dan bagaimana kompleksitas hanya mampu dilalui bagi mereka yang bermodal ekonomi, budaya dan sosial, terutama dalam hal ini adalah kaum Borjuis Perancis, maka Grande Ecole yang pertama kali dibentuk pada 1794 adalah potret relevan dari terbentuknya ruang publik borjuis, dia secara sistematis menyisihkan kepentingan-kepentingan dan ide-ide non-Borjuis. Ini setidaknya menyebabkan komunitas imigran, Muslim dan kelas pekerja di Perancis kesulitan untuk membicarakan atau menegosiasikan identitasnya di Grande Ecole. Komunitas imigran malah menjadi subjek yang dibicarakan sebagai beban negara yang harus diintegrasikan ke dalam masyarakat sekular, ketimbang warga negara yang hak-haknya harus diakomodasi. Pada tingkat ini, project Laïcité yang dimotori oleh Borjuis Perancis memiliki keterbatasan dalam menegosiasikannya dirinya diluar ruang publik borjuis.
Motto Revolusi Perancis, “Liberté, Égalité, Fraternité” (Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan) sebagaimana jargon politik lainnya bukanlah sebuah konsep yang stabil, dia berubah dan diinterpretasikan oleh elit politik dan intelektual dalam masyarakat, dan interpretasi itu menjadi penting karena menentukan manusia seperti apa yang berhak untuk menjadi warga negara Perancis. Menurut Joan Wallach Scott setidaknya adalah lima karakteristik yang bisa menghalangi atau membatalkan seseorang untuk bisa menjadi sepenuhnya “Orang Perancis”. Pertama, ketidakmampuan untuk meliberalkan praktik relasi seksual. Seks dalam masyarakat Perancis tidak boleh menjadi tabu, dia tidak boleh malu-malu, dia harus merdeka. Kedua, ketidakmampuan memisahkan agama dari urusan politik dan sosial. Adalah sebuah hal yang memalukan apabila agama di Perancis menjadi afiliasi politik atau sosial. Ketiga, kesulitan dalam mengaplikasikan pluralisme budaya. Keempat, ketidakmampuan untuk mengintegrasikan diri ke dalam individu yang abstrak. Maksud dari individu yang abstrak adalah dia tidak boleh terikat pada praktik kongkrit agama atau kultur manapun kecuali kultur atau identitas “Perancis”. Kelima, mereka yang tidak memiliki keturunan Perancis atau Eropa akan kesulitan menjadi orang Perancis.[xviii]
Karakteristik di atas, dengan demikian, juga membuat seorang imigran sejak awal sudah menjadi masalah karena dia bukan Perancis dan Eropa. Masalah itu akan bertambah apabila dia kebetulan seorang muslim dan ingin menjalankan ritus sosial seperti menikah dengan sesama muslim atau menggunakan niqab dan burqa, atau membatasi seksualitasnya. Imigran, terutama yang datang dari Afrika Utara (baik muslim maupun non muslim), yang menemukan identitasnya dalam lingkaran komunal harus memecah diri menjadi individu lalu mengintegrasikan diri kedalam identitas Perancis “Liberté, Égalité, Fraternité” yang abstrak dan diterjemahkan oleh para elite lulusan Grande Ecole.
Masalah integrasi di Eropa adalah perseteruan panjang dan serius. Tumbuhnya PEGIDA di Jerman, Front National di Perancis, EDL (English Defence League) di Inggris, dan populernya gerakan sayap kanan belakangan ini akan menambah pelik proses integrasi imigran dan muslim di Eropa. Ironisnya, kegagalan integrasi tersebut justru menjadikan komunitas imigran dan muslim ladang subur bagi gerakan radikal dan teror.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana University of Birmingham
Daftar rujukan:
[i]Paul Macough “Charlie Hebdo: Total freedom of Expression has little chance of survival in an imperfect Society” The Sydney Morning Herald.com diakses pada 15 Januari, 2015. http://www.smh.com.au/world/charlie-hebdo-total-freedom-of-expression-has-little-chance-of-survival-in-an-imperfect-society-20150112-12mgih.html
[ii]Cinzia Arruzza “Is Solidarity Without Identity Possible?” publicseminar.org diakses pada 15 Januari, 2015. http://www.publicseminar.org/2015/01/is-solidarity-without-identity-possible/#.VLTM3ief87D
[iii]William Langley “France’s Burka ban is a Victory of Tolerance” telegraph.co.uk diakses pada15 Januari 2015. http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/france/8444177/BurkaFranceNational-FrontMarine-Le-PenMuslimFadela-AmaraAndre-Gerinhijab.html
[iv]PEW Research “Muslims in Europe: Economic Worries Top Concerns About Religious and Cultural Identity“ diakses pada 25 Januri, 2015. http://www.pewglobal.org/2006/07/06/muslims-in-europe-economic-worries-top-concerns-about-religious-and-cultural-identity/
[v]David Smith “Paris attacks reveal exclusion of French Muslims” diakses pada 25 Januari, 2015. http://www.economywatch.com/features/Paris-attacks-reveal-exclusion-of-French-Muslims.01-21-15.html
[vi]Thomas Hegghammer “Number of foreign fighters from Europe in Syria is historically unprecedented. Who should be worried?” Washingtonpost.com diakses pada 25 Januari, 2015. http://www.washingtonpost.com/blogs/monkey-cage/wp/2013/11/27/number-of-foreign-fighters-from-europe-in-syria-is-historically-unprecedented-who-should-be-worried/
[vii] Simone Roworth “Foreign Fighters and Southeast Asia” diakses pada 25 januari, 2015. http://www.aspistrategist.org.au/foreign-fighters-and-southeast-asia/
[viii] Shovlin di kutip dari: William H. Sewell Jr. “Connecting Capitalism to the French Revolution: The Parisian Promenade and the Origins of Civic Equality in Eighteenth-Century France.”, Journal of Critical Historical Studies, Vol. 1, No. 1 (Spring 2014), hlm. 8
[ix] Ballard, Richard, The Unseen Terror: The French Revolution in The Provinces, (London: IB. Tauris),hlm. 129
[x]Jean Baubérot, “Secularism and French Religious Liberty: A Sociological and Historical View” BYU Law Review, Issue 2 (2013), hlm. 452.
[xi] Jonh R. Bowen “Why The French Don’t Like Headscarves: Islam and the States and Public Space”, (New Jersey: Princenton University Press), 2007, hlm. 12
[xii] Jennifer Fredette, Constructing Muslims in France : discourse, public identity, and the politics of citizenship, (Pennsylvania:Temple University Press, Philadelphia), 2014, hlm. 3.
[xiii] Ibid, hlm. 4.
[xiv] Jonh R. Bowen, Op. Cit., hlm. 14.
[xv] Jennifer Fredette, Op. Cit., hlm. 32.
[xvi]Zachary Neumann, Iver Williksen “Percentage Based Admission Systems: A Way to Make French Higher Education More Diverse?” diakses pada 25 januari, 2015. http://www.humanityinaction.org/knowledgebase/29-percentage-based-admission-systems-a-way-to-make-french-higher-education-more-diverse
[xvii] Ibid
[xviii] Joan Wallach Scott dikutip Jennifer Fredette,ibid, hlm. 34